Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

22 Maret, 2009

Ada masyarakat prasejarah sebelum kedatangan para pendiri candi

TRANSFORMASI BUDAYA DI SITUS CANDI BOJONGMENJE


Oleh

Nanang Saptono


Disampaikan pada:

Pertemuan Ilmiah Arkeologi X
IKATAN AHLI ARKEOLOGI INDONESIA

Yogyakarta, 26 – 30 September 2005



Seputar Penemuan
Candi Bojongmenje ditemukan kembali pada tanggal 18 Agustus 2002. Bapak Ahmad Muhammad ketika sedang meratakan tanah gundukan yang ada di areal makam Kampung Bojongmenje mendapatkan batu. Karena penasaran, pada tanggal 19 Agustus 2002 bersama teman-temannya yang berjumlah 12 orang melanjutkan penggalian hingga menemukan tatanan batu yang merupakan runtuhan bangunan candi. Berdasarkan penemuannya ini mereka melapor ke pihak berwenang antara lain Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat, Balai Arkeologi Bandung, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung. Menindaklanjuti laporan itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat dan Balai Arkeologi Bandung pada tanggal 20 Agustus 2002 melakukan peninjauan.

Berdasarkan hasil peninjauan dapat diketahui bahwa lokasi situs Bojongmenje di sebelah selatan jalan raya Rancaekek, pada komplek kuburan yang terletak di antara pabrik-pabrik, secara administratif berada di wilayah Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Secara geografis berada pada posisi 650’47” LS dan 10748’02” BT (berdasarkan peta topografi daerah Sumedang lembar 4522-II). Bangunan candi berada pada bagian barat laut lahan. Tanah di mana terdapat struktur bangunan candi sedikit menggunduk dengan ketinggian sekitar 1,5 m dari permukaan tanah sekitar. Pada puncak gundukan tanah tersebut terdapat pohon bungur. Menindaklanjuti penemuan ini kemudian dilakukan ekskavasi penyelamatan.

Dilihat dari sisi kepurbakalaan, Jawa Barat bila dibandingkan dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Sumatera merupakan kawasan yang miskin candi. Penemuan candi di Bojongmenje dapat dikatakan penemuan yang sangat signifikan. Di kawasan Rancaekek selama ini belum ada laporan atau temuan mengenai adanya Candi Bojongmenje. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914 (Laporan Dinas Purbakala Hindia-Belanda tahun 1914) yang disusun oleh N.J. Krom belum memuat adanya objek purbakala di sekitar Rancaekek. Dalam laporan itu dimuat adanya runtuhan candi di Tenjolaya, Cicalengka. Unsur bangunan candi yang dilaporkan antara lain patung bergaya Polinesia, kala, patung Durga, dan beberapa balok-balok batu. Selain itu di daerah Cibodas pernah juga dilaporkan adanya temuan patung Çiva-Mahãdewa. Di Cibeeut ditemukan patung Ganeça. Pleyte pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa di Desa Citaman, 200 m sebelah utara Stasiun KA Nagreg, terdapat objek purbakala yang oleh masyarakat setempat disebut pamujan. Di situs ini pernah ditemukan patung Durga. Berkaitan dengan Candi Bojongmenje, dalam kajian ini akan dibahas mengenai seputar kehadiran Hindu di situs Bojongmenje.


Gambaran Lokasi
Kawasan Situs Bojongmenje dilihat dari aspek geomorfologi secara umum merupakan pedataran bergelombang dengan ketinggian antara 620 hingga 1700 m di atas permukaan laut. Situs Bojongmenje berada pada ketinggian sekitar 675 m di atas permukaan laut. Dataran rendah berada di bagian selatan dan barat, sedangkan bagian utara dan timur merupakan perbukitan. Bukit-bukit tersebut antara lain G. Bukitjarian (1282 m), G. Iwiriwir, Pr. Sumbul (949 m), G. Kareumbi, G. Kerenceng (1736 m), G. Pangukusan (1165 m), Pr. Sodok, Pr. Panglimanan, Pr. Dangusmelati, Pr. Serewen (1278 m), G. Buyung, dan beberapa puncak lainnya (berdasarkan peta topografi daerah Sumedang lembar 4522-II).

Dataran rendah di mana situs berada dialiri beberapa sungai. Sungai-sungai tersebut bermata air dari kawasan pegunungan di sebelah utara dan timur. Di kawasan paling barat mengalir Sungai Cikeruh. Ke arah timur berturut-turut terdapat aliran sungai Cikijing, Cimande, dan Citarik. Sungai Cikijing dan Cimande bersatu dengan Citarik. Sungai Cimande yang mengalir di dekat situs, di sebelah timur situs bermula dari arah selatan ke utara kemudian berbelok ke arah barat. Di sebelah barat laut situs sungai ini kemudian berbelok lagi ke arah selatan.


Hasil Ekskavasi
Pembukaan kotak ekskavasi di situs Bojongmenje dilakukan dengan teknik spit, yaitu menggali tanah secara arbitrer dengan interval ketebalan 20 cm. Ekskavasi yang telah dilakukan berhasil membuka 21 kotak gali dan sebuah lubang uji. Pembukaan kotak gali, pada umumnya mencapai kedalaman spit 6 atau sekitar 150 cm. Ekskavasi pada 21 kotak gali tersebut telah menampakkan sisa struktur candi bagian kaki. Struktur kaki candi sisi barat (sebagian telah digali masyarakat setempat) yang tersisa terdiri 5 hingga 7 lapis batu. Bagian sudut barat daya terlihat melesak.

Struktur kaki sisi utara tidak dapat ditampakkan secara keseluruhan karena berada dekat sekali dengan tembok pabrik. Beberapa batu runtuhan berada di bawah pondasi pagar tembok pabrik. Sudut timur laut tidak dapat ditampakkan sama sekali karena berada tepat di bawah pagar tembok pabrik.
Struktur sisi timur ditemukan dalam keadaan tidak lengkap. Beberapa batu ditemukan dalam keadaan terpotong akibat aktivitas penduduk membuat lubang galian kuburan. Sudut tenggara dapat ditampakkan secara penuh. Beberapa batu bagian ini juga rusak akibat galian kuburan. Struktur sisi selatan keadaannya relatif utuh dalam arti tidak rusak akibat penggalian untuk kuburan.

Secara umum ekskavasi telah menampakkan denah candi berbentuk bujur sangkar berukuran sekitar 6 X 6 m, bila diukur pada bagian ojief (bingkai padma, sisi genta) dan sekitar 7,5 X 7,5 m bila diukur pada batu paling bawah. Bahan utama yang dipergunakan adalah batuan volkanik, meskipun pada beberapa kotak gali ditemukan bata. Batu kulit hanya terdiri satu lapis. Batu isian berupa batu-batu polos tidak dibentuk. Kebanyakan batu isian berbentuk panjang disusun secara melintang (berpotongan dengan struktur sisi).

Bata ditemukan dibeberapa kotak gali. Ukuran bata berkisar antara tebal 9 cm, lebar 20 cm, dan panjang 40 cm. Pada akhir spit, yaitu dimana terdapat batu pondasi bangunan candi, tanah di sekitarnya diperkeras dengan pecahan bata dan kerikil. Pada setiap kotak gali, penggalian pada kedalaman sekitar 1 m terganggu oleh resapan air tanah yang cukup deras. Sehingga pada setiap penggalian harus selalu berpacu dengan cepatnya genangan air.

Dilihat dari pola stratigrafi, bagian candi telah beberapa kali mengalami penimbunan karena proses sedimentasi. Dari kotak gali yang berada di sudut barat laut terlihat bahwa lapisan tanah paling atas merupakan tanah urug berwarna coklat kemerahan banyak mengandung akar. Di bawah lapisan ini terdapat lapisan tanah berwarna coklat kemerahan dengan tekstur halus sampai kasar padu, akar sedikit berkurang. Pada lapisan ini sampah modern seperti plastik dijumpai secara selaras. Di bawahnya terdapat lapisan tanah tipis berwarna kehitaman sedikit akar. Pada lapisan ini sampah modern masih dijumpai. Di bawah lapisan ini tanah berwarna kecoklatan banyak diselingi material candi. Lapisan paling bawah sedikit mengandung pasir/kerikil atau pecahan bata. Lapisan paling bawah merupakan permukaan tanah pada waktu candi masih dipergunakan.

Di kotak gali pada sudut barat daya keadaannya sedikit berbeda. Kotak ini dapat dijadikan sampel stratigrafi bagian selatan. Lapisan paling atas berupa tanah coklat kemerahan banyak mengandung akar. Di bawahnya adalah lempung kehitaman masih mengandung akar. Selanjutnya lempung hitam kecoklatan yang menyambung dengan tanah mengandung pasir/kerikil atau pecahan bata. Stratigrafi yang terlihat, menunjukkan bahwa tertimbunnya bangunan Candi Bojongmenje belum berlangsung lama. Sampah modern banyak yang ditemukan berada di bawah level batu candi (bagian ojief).


Temuan Penting
Temuan penting antara lain berupa sejenis wadah berbentuk kotak dari bahan batuan tufa. Wadah tersebut berukuran 12 X 11 cm dengan ketebalan 5,5 cm. Pada bagian penampang datar terdapat lubang berbentuk segi empat berukuran 8 X 8,5 cm. Benda ini ditemukan di sisi timur. Di tempat ini pula ditemukan batu bagian ojief yang menyudut. Batu tersebut merupakan suatu indikator bagian tangga/pintu masuk. Dengan demikian wadah berbentuk kotak, posisinya berada di bawah jalan/tangga masuk.

Pada sisi timur bagian utara, di kedalaman sekitar 105 cm ditemukan batu berhias medalion. Secara keseluruhan berukuran panjang 50 cm, lebar 39 cm, dan tebal 12 cm. Pada sisi selatan, terdapat batu struktur yang sudah terlepas. Pada sisi batu tersebut terdapat profil bingkai padma dalam ukuran kecil. Diperkirakan batu ini merupakan unsur bagian atas bangunan candi. Di sisi barat, pada kedalaman sekitar 100 cm ditemukan batu yang salah satu sisinya terdapat dua cekungan berbentuk setengah lingkaran berjajar. Batu tersebut berukuran panjang 75 cm, lebar 28 cm, tebal 18 cm, diameter pahatan 21 cm dan 22 cm.

Temuan penting juga ditemukan ketika dilakukan penggalian fondasi pagar pengaman. Pada sisi timur berjarak sekitar 3 m dari sisi timur candi, di kedalaman sekitar 75 cm ditemukan fragmen yoni dan batu kemuncak. Fragmen yoni dalam keadaan pecah sedikit bagian atas. Bagian cerat tidak ditemukan lagi karena patah. Batu kemuncak pada bagian atas persegi delapan, bagian bawah cembung. Fragmen yoni dan batu kemuncak dari bahan batu tufaan sedikit rapuh.

Unsur kelengkapan bangunan candi lainnya ditemukan ketika konservasi. Di sebelah timur bangunan candi terdapat struktur lantai dari bahan bata. Denah keseluruhan belum dapat diketahui karena sebagian berada di bawah pagar pabrik (sisi utara). Selain itu juga karena sudah ada bagian yang rusak akibat aktivitas pemakaman. Pada waktu kegiatan konservasi ini juga ditemukan fragmen arca nandi bagian kepala sisi kanan. Fragmen nandi itu memperlihatkan daun telinga pendek (kecil), tanduk hanya berupa tonjolan kecil. Pada leher terdapat untaian kalung manik-manik. Penampilan arca nandi seakan-akan menggambarkan sapi masih muda. Temuan penting lainnya adalah antefik bagian sudut bangunan. Antefik tersebut digambarkan polos tanpa ragam hias.


Temuan Artefak Sebagai Indikator Adanya Transformasi Budaya
Candi Bojongmenje yang ditemukan di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek berada dalam kawasan budaya klasik cukup kuat. Beberapa tinggalan arkeologis dari masa klasik antara lain ditemukan di Tenjolaya berupa arca Durga. Di Cibodas pernah dilaporkan adanya temuan arca Siwa Mahadewa. Di Cibeeut pernah ditemukan Ganesa. Di Citaman terdapat arca Durga. Di Leles, Garut terdapat Candi Cangkuang. Beberapa tinggalan masa klasik yang terkonsentrasi di kawasan ini menunjukkan bahwa pada zamannya, kawasan ini merupakan pusat peradaban klasik yang cukup tinggi.

Kehadiran peradaban klasik di kawasan ini, khususnya di situs Candi Bojongmenje tampaknya tidak secara serta-merta. Kehadirannya tidak berada pada ruang kosong tetapi pada kawasan yang telah dihuni pendukung budaya sebelumnya. Indikator adanya peradaban yang mendahuluinya adalah beberapa artefak berupa alat serpih obsidian dan pecahan tembikar. Kedua jenis artefak ini ditemukan baik di sekitar candi maupun di tubuh candi.

Temuan yang berada di dalam tubuh candi terdapat di kotak U5T3 pada spit 5, kotak U5T4 pada spit 3, kotak U3T4 pada spit 2,3, dan 4, serta kotak U4T5 pada spit 5. Artefak yang berada di dalam tubuh candi ini diperkirakan terdeposisi ketika aktifitas mengurug bagian tubuh candi dengan tanah. Di atas tanah urugan ini kemudian baru ditutup dengan batu isian, baru kemudian lantai candi.

Artefak yang ditemukan di luar bangunan candi terdapat di kotak U2T1 pada spit 5 dan 6; kotak U2T2 pada spit 5 dan 6; kotak U2T3 pada spit 5; kotak U3T1 pada spit 7; kotak U5T1 pada spit 5; kotak U6T1 pada spit 6, 7, dan 8; serta kotak U4T5 pada spit 5. Dengan demikian artefak alat serpih obsidian dan fragmen tembikar terkonsentrasi di bagian barat candi atau di sisi belakang. Secara vertikal, kebanyakan ditemukan pada spit 5 hingga 8. Kedalam seperti itu berada pada sekitar batas bawah kaki candi atau pada lantai halaman.

Fragmen tembikar yang ditemukan pada umumnya polos, namun dijumpai juga tembikar berhias pola garis-garis. Pada bagian luar ada yang dilapisi slip tipis. Bahan pada umumnya bertemper pasir halus. Beberapa fragmen terlihat ada jejak pemakaian berupa jelaga. Artefak berupa alat serpih obsidian cenderung dikaitkan dengan masa bercocok tanam. Sedangkan tembikar, meskipun sudah dikenal sejak maa bercocok tanam namun masih memerlukan analisis lebih lanjut untuk memastikan penjamanannya. Berdasarkan konteksnya ada yang ditemukan bersamaan dengan alat serpih obsidian maka dapat diduga bahwa tembikar yang ditemukan di situs Candi Bojong Menje berasal sejak dari masa bercocok tanam ada pula yang dari masa klasik. Dengan demikian dapat ditarik suatu hipotesis bahwa sebelum kedatangan peradaban klasik di lokasi tersebut, sudah ada kelompok masyarakat yang mendiaminya. Kedatangan peradaban baru ini sangat berpengaruh pada terjadinya transformasi budaya.

Label:

17 Maret, 2009

Nganjang ka Sumedang (2)



PERANAN GUNUNG BAGI MASYARAKAT PADA MASA KLASIK AKHIR DI KAWASAN SUMEDANG



Nanang Saptono




Sari

Konsep kosmogoni dalam ajaran Brahma dan Buddha menyatakan bahwa alam semesta berpusat pada Mahameru. Implementasi konsep ini terdapat pada pengagungan terhadap gunung. Masyarakat masa klasik akhir di Sumedang memandang Gunung Tampomas sebagai gunung suci. Pemukiman masyarakat berada di sisi utara hingga timur Gunung Tampomas. Pada masa Islam masuk di Sumedang, gunung atau bukit di sekitar lokasi pemukiman disamakan dengan gunung suci.


Abstract

Cosmogony Concept in Brahma and Buddhism are expresses that centre of the universe are the
Mahameru. The implementation of this concept are exalting of the mountain. The Sumedang society in the late classical period look into Tampomas as a holy mountain. The settlement people reside in north side till east of the Mount Tampomas. At a period of Islam coming in Sumedang, hill or mount around settlement location be equalled with a holy mountain.


Kata Kunci: Mahameru, gunung suci, kosmogoni, pemukiman



Pendahuluan
Gunung merupakan unsur alam yang sangat penting dalam konsep kehidupan manusia. Karena begitu sangat pentingnya gunung bagi kehidupan, hingga Betara Guru perlu memerintahkan Yaksa untuk memindahkan Gunung Mahameru di Jambudwipa ke Pulau Jawa. Pemindahan ini dilakukan karena Pulau Jawa diombang-ambingkan ombak samudera. Setelah gunung itu berhasil dipindahkan, Parameswara memerintahkan seluruh dewa untuk memujanya (Pigeaud, 1924: 129). Peranan gunung dalam simbolisme kehidupan terlihat dalam landasan kosmogoni kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara. Robert von Heine Geldern (1982: 1–5) dalam menelaah konsepsi ini mendapatkan gambaran bahwa kerajaan kuna di Asia Tenggara pada umumnya mempunyai kepercayaan akan adanya keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Konsep kosmogoni ini berdasar pada doktrin agama Brahma dan Buddha. Menurut doktrin Brahma, jagad merupakan benua berbentuk lingkaran yang disebut Jambudwipa. Di tengah Jambudwipa berdiri kokoh Gunung Meru. Jambudwipa dikelilingi tujuh samudera dan tujuh benua lainnya. Di luar samudera terakhir terdapat jajaran pegunungan.

Menurut doktrin Buddha, Gunung Meru sebagai pusat jagad raya, dikelilingi tujuh barisan pegunungan masing-masing dipisahkan tujuh samudera. Di luar jajaran pegunungan yang paling luar terletak lautan. Di lautan ini terdapat empat benua yang berada pada empat penjuru mata angin. Benua yang berada di sebelah selatan Gunung Meru adalah Jambudwipa tempat tinggal manusia. Konsep kosmogoni antara doktrin Brahma dan Buddha terdapat sedikit perbedaan, namun pada intinya sama yaitu bahwa alam semesta berpusat pada meru. Pada kehidupan kenegaraan, konsep kosmogoni disimbolkan pada jumlah negara bawahan dan struktur birokrasi (Sumadio, 1990: 189–190). Dengan mengikuti pola sesuai dengan konsep kosmogoni, kerajaan dipandang sebagai implementasi jagad raya. Kota sebagai unsur kerajaan (negara) strukturnya juga menganut konsep kosmogoni.

Struktur kota yang berpusat pada gunung tampaknya merupakan model universal. Banyak kota menyimbolkan sebagai tengah-tengah dunia, pusar dunia, poros dunia, dan seterusnya. Sebagai contoh, kota-kota Romawi merupakan gambaran duniawi dari suatu citra surgawi di mana menggabungkan poros dunia dengan pembagian atas dunia menjadi empat bagian didasarkan atas Roma. Kota-kota Cina zaman kuna dibangun dengan tata ruang, kanal dan jembatan, tembok dan benteng, jaringan jalan, letak pusat dan daerah, serta keadaan lingkungan kota menggambarkan simbol kosmologi. Kota Khmer di Kamboja seperti Angkor Thom mengikuti kosmologi Hindu. Bagian pusat kota merupakan bukit suci. Benteng dan parit pertahanan meniru alam semesta. Kota-kota suku Yoruba di Afrika, kota bangsa Aztec seperti Tenochtitlan dan kota bangsa Maya seperti Cozumel juga mencerminkan simbol kosmologi (Rapoport, 1985: 28–31).

Di Indonesia pada zaman Mataram kuna, struktur ketatanegaraan yang tersirat pada prasasti Canggal mengandung petunjuk adanya konsep kosmologi. Raja Sanjaya dipersamakan sebagaimana Raghu yang telah menaklukkan raja-raja yang mengelilinginya. Kebesaran Raja Sanjaya dilukiskan bagaikan meru yang menjulang tinggi, kaki-kakinya diletakkan jauh di atas kepala raja-raja yang lain. Selama ia memerintah, dunia berikatpinggangkan samudera dan berdada gunung-gunung (Sumadio, 1990: 99).

Konsep tentang meru sebagai pusat kosmos dipakai terus hingga masa Mataram Islam. Negara berpusat pada inti kekuatan yang disusun sebagaimana lingkaran konsentris. Ibukota kerajaan yang disebut kuthagara merupakan tempat kedudukan keraton. Di sekelilingnya terdapat wilayah yang disebut negara agung, selanjutnya mancanagara dan wilayah pasisir (Behrend, 1982: 170–172). Wilayah kuthagara sebagai pusat wilayah kerajaan, disusun mengikuti konsep mikrokosmos. Keraton dibangun menurut orientasi kosmis dengan sumbu pada Gunung Merapi dan laut selatan.

Konsep tentang meru tidak sebatas diimplementasikan dalam simbol-simbol kenegaraan. Dalam pertunjukan wayang kulit, replika gunung yang disebut gunungan atau kekayon, selalu digunakan untuk mengawali dan mengakhiri secara menyeluruh atau sebagian adegan (Behrend, 1982: 168). Lakon dalam wayang merupakan gambaran perjalanan hidup manusia. Karena begitu pentingnya arti gunung bagi kehidupan manusia maka seakan-akan perjalanan hidup manusia diawali dan diakhiri oleh gunung. Prasasti Pucangan (Sumadio, 1990: 175–177) menyiratkan bagaimana Dharmmawangsa Airlangga mengakhiri penderitaan akibat serangan Haji Wurawari dan memulai menata kehidupan baru kerajaan, di wanagiri yaitu hutan di lereng gunung.

Peristiwa hampir serupa juga terjadi pada masa akhir Kerajaan Pajajaran. Pada sekitar tahun 1575, Sumedanglarang yang merupakan kerajaan kecil bawahan Kerajaan Pajajaran berusaha melepaskan diri. Peristiwa itu sering disebut dengan istilah Burak Pajajaran (Jubaedah, 2005: 18–19). Menurut Nina H. Lubis (2000: 73) Kerajaan Sumedanglarang menjadi kerajaan berdaulat karena runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran yang terjadi pada tahun 1579. Catatan Lucas Partanda Koestoro (1987: 36), berdasarkan cerita rakyat menyebutkan ketika Pakwan Pajajaran diserang pasukan Banten, Prabu Siliwangi mendatangi Sumedanglarang. Kedatangannya diikuti empat orang patih di antaranya adalah Sayang Hawu atau dikenal juga dengan sebutan Embah Jayaperkosa. Di Sumedanglarang, Sayang Hawu diperintahkan menyerahkan pusaka keraton berupa mahkota emas kepada Prabu Geusan Ulun. Prabu Siliwangi kemudian menuju puncak Gunung Tampomas menjalankan semedi. Di sanalah beliau ngahiang sesuai dengan apa yang diajarkan agama yang dianutnya. Berdasarkan peristiwa ini tergambar bahwa konsep kosmogoni juga menjadi landasan bagi kehidupan di Sumedang. Permasalahan yang muncul bagaimanakah peran Gunung Tampomas dalam struktur permukiman di kawasan Sumedang dalam kaitannya dengan konsep kosmogoni tersebut.


Sumedang Dalam Historiografi Tradisional
Secara umum wilayah Sumedang merupakan dataran tinggi beriklim tropis dengan curah hujan tinggi. Luas wilayah Sumedang 1.421,82 km2. Di dalam Babad Sumedang pupuh Sinom bait ke-5 terdapat uraian mengenai kondisi alam. Disebutkan bahwa Sumedang tempo dulu beribukota di Kutamaya. Di sebelah selatan terdapat Gunung Kecapi. Di sebelah utara terdapat Gunung Palasari. Di pinggir kota ada sungai. Kawasan sebelah selatan merupakan daerah pedataran tinggi. Dari sana dapat melihat daerah sekelilingnya. Gambaran ini merupakan kondisi kota Sumedang (Kutamaya) pada masa Pangeran Geusan Ulun yaitu sekitar awal abad ke-16 (Jubaedah, 2005: 15–16).

Pada masa sebelumnya di Sumedang dikenal adanya Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang (Lubis, 2000: 71 – 78). Lokasi pusat kerajaan ini sekarang berada di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja. Menurut historiografi tradisional, kerajaan ini didirikan oleh Batara Tuntang Buana. Sebelum mendirikan kerajaan, Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu kasumedangan*) di Gunung Mandalasakti. Pendalaman ilmu yang dilakukan Batara Tuntang Buana mengakibatkan Gunung Mandalasakti terbelah. Berkat kesaktian Batara Tuntang Buana, gunung yang terbelah tersebut dibalut (disimpay) sehingga tidak hancur. Gunung Mandalasakti yang terletak di Kecamatan Situraja kemudian dikenal dengan nama Gunung Simpay. Setelah selesai mendalami ilmu kasumedangan, Batara Tuntang Buana mendirikan Kerajaan Sumedanglarang. Ketika naik tahta kerajaan Batara Tuntang Buana mendapat nama Prabu Taji Malela. Pendirian kerajaan ini berlangsung pada sekitar tahun 900.

Prabu Taji Malela digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu Gajah Agung. Pada masa ini pusat kerajaan di Ciguling. Prabu Gajah Agung kemudian digantikan oleh Sunan Pagulingan. Ketika pemerintahan berada di bawah Sunan Pagulingan, terjadi perkawinan politis antara Ratu Rajamantri, puteri Sunan Pagulingan, dengan Prabu Siliwangi, Raja Sunda Pajajaran. Sejak perkawinan ini Kerajaan Sumedanglarang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Sunan Pagulingan digantikan oleh Ratu Rajamantri selanjutnya digantikan oleh Sunan Guling. Pada masa pemerintahan Pangeran Pamelekaran, pusat kerajaan dipindahkan ke Kutamaya.

Ketika Sumedanglarang di bawah kepemimpinan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Sunda Pajajaran mengalami masa surut. Prabu Geusan Ulun mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Usaha ini mendapat tekanan dari Banten yang sebelumnya sudah berhasil memerangi Kerajaan Sunda Pajajaran. Menghadapi tekanan tersebut, Sumedanglarang mencari dukungan ke Cirebon. Pada masa ini pusat kerajaan dipindahkan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur yang berada pada kawasan perbukitan.

Pada tahun 1610 Geusan Ulun wafat. Kepemimpinan kerajaan Sumedanglarang kemudian digantikan oleh Aria Suriadiwangsa I. Suksesi ini sepertinya tidak berjalan lancar, karena putra Geusan Ulun lainnya yang bernama Rangga Gede juga diangkat menjadi penguasa Sumedanglarang. Perpindahan pusat kerajaan terjadi lagi. Aria Suriadiwangsa memindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegalkalong, sedangkan Rangga Gede memindahkan ke Canukur.


Beberapa Tinggalan Arkeologis
Berdasarkan historiografi tradisional, tercatat beberapa pemukiman yang juga sebagai pusat kerajaan Sumedanglarang yaitu Tembong Agung, Ciguling, Kutamaya, Dayeuh Luhur, Tegalkalong, dan Canukur. Jejak-jejak arkeologis di beberapa lokasi yang disebutkan sumber historiografi sudah sulit diketahui. Tinggalan arkeologis di kawasan Sumedang kebanyakan berupa makam-makam tokoh seperti makam Prabu Taji Malela di Gunung Lingga, makam Prabu Gajah Agung di Cicanting, Darmaraja, makam Sunan Pagulingan dan Sunan Guling di Ciguling, serta makam Sunan Tuakan di Heubeul Isuk, Pasanggrahan.

Di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Darmaraja yang disebut-sebut sebagai lokasi Kerajaan Tembong Agung, sangat sedikit mengandung fakta arkeologis indikator pemukiman. Lokasi ini berada di sebelah barat aliran Sungai Cimanuk. Jejak pemukiman yang ada berupa sebaran fragmen keramik asing dan lokal yang berada pada kebun penduduk di perkampungan. Keramik yang pernah ditemukan merupakan keramik Cina masa dinasti Qing.


Makam keramat dan jejak tatanan batu
membentuk bangunan berundak di Pasir Limus


Di sebelah utara perkampungan terdapat bukit kecil yang disebut Pasir Limus. Pada puncak bukit terdapat makam keramat. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Eyang Jamanggala. Makam berpagar bambu. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Nisan berupa batu alam tanpa dimodifikasi. Di sebelah tenggara makam utama terdapat makam Eyang Istri Ratna Komala Inten. Jirat makam juga berupa tatanan batu alam berdenah empat persegi panjang. Nisan dari batu alam. Di sebelah timur kedua makam ini terdapat monolit. Di sebelah barat daya makam Eyang Jamanggala terdapat beberapa makam kuna yang ditandai dengan nisan batu alam. Di sebelah timur kelompok makam ini terdapat monolit. Pada bagian komplek makam ini terdapat jejak tatanan batu membentuk bangunan berundak.

Di sebelah timur kelompok makam ini berjarak sekitar 25 m terdapat makam keramat yang ditandai dengan kumpulan batu. Makam ini berada di bawah pohon beringin. Tokoh yang dimakamkan adalah Eyang Jayaraksa atau dikenal juga dengan sebutan Eyang Nanti. Makam ini disebut juga petilasan Tilem.

Di sebelah timur perkampungan juga terdapat komplek makam yang dikeramatkan. Komplek makam dikelilingi parit kecil. Jalan masuk berada di sisi selatan. Tokoh yang dimakamkan adalah Eyang Marapati dan Eyang Martapati. Makam Eyang Marapati berada di bagian barat. Kondisi makam berpagar bambu. Jirat makam berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Pada bagian selatan, tatanan batu tersebut agak menonjol. Jirat dilengkapi nisan dari batu alam. Makam Eyang Martapati berada di sebelah timur makam Eyang Marapati berjarak sekitar 20 m. Kondisi makam juga berpagar bambu. Jirat berupa tatanan batu berdenah empat persegi panjang. Bila dibandingkan dengan jirat makam Eyang Marapati, volume batu jirat makam Eyang Martapati lebih sedikit. Nisan makam Eyang Martapati juga berupa batu alam.

Di sepanjang aliran Sungai Cimanuk masih banyak lagi situs yang berupa makam kuna yang dikeramatkan. Kebanyakan situs tersebut dikaitkan dengan Kerajaan Sumedanglarang atau masa-masa sesudahnya. Pada umumnya situs berada pada puncak bukit. Situs-situs yang berasal dari masa yang lebih tua terdapat di Gunung Tampomas, Kecamatan Buah Dua dan di Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di Gunung Tampomas terdapat dua objek situs arkeologi yaitu di Sanghiang Taraje dan Puncak Manik sedangkan di Narimbang terdapat lokasi yang disebut Blok Candi.

Beberapa peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Gunung Tampomas pernah beberapa kali diteliti. N.J. Krom pada tahun 1914 pernah mencatat adanya bangunan berundak dari batu-batu terdiri empat teras. Untuk mencapainya melalui sebuah tangga batu. Di puncak bangunan berundak terdapat patung Ganesha, batu dengan tanda bekas kaki dan enam benda kecil antara lain berbentuk genta dan satu lagi berbentuk landasan (Krom, 1915: 65).

Pada bulan Januari 1987, Lucas Partanda Koestoro dari Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri, Bandung (sekarang Balai Arkeologi Bandung) mengadakan penelitian deskriptif terhadap peninggalan di Sanghiang Taraje. Uraian hasil penelitiannya menguraikan kondisi dan dimensi bangunan berundak. Beberapa objek penting yang dicatatnya adalah arca menhir dari batuan andesit di halaman pertama, batu tatapakan (umpak), batu ajeg (batu yang didirikan tegak), dan batu kasur yang terdapat di halaman ketiga (Koestoro, 1987: 38–39). Di sebelah tenggara Sanghiang Taraje terdapat situs Puncak Manik. Di Puncak Manik terdapat objek berupa arca Ganesha, arca binatang dan sebuah bentuk tumpeng.

Arca Ganesha yang terdapat di Puncak Manik dari bahan batuan andesitik. Ganesha digambarkan secara sederhana dalam posisi duduk, tangan kiri dilipat di depan dada, tangan kanan memegang ujung belalai. Arca binatang menggambarkan harimau dan monyet. Binatang tersebut digambarkan dalam posisi sedang berjongkok. Kaki belakang ditekuk dan kaki depan lurus (Yondri, 1988).

Pada lereng sebelah timur Gunung Tampomas terdapat lokasi yang disebut Blok Candi. Secara administratif lokasi tersebut merupakan wilayah Desa Narimbang, Kecamatan Congeang. Di lokasi ini terdapat struktur teras batu berorientasi utara – selatan. Panjang 6,40 m dengan ketebalan 40 cm. Menurut keterangan masyarakat setempat pada sekitar tahun 1998 telah ditemukan arca batu.


Fragmen arca yang ditemukan di Blok Candi,
lereng timur Gunung Tampomas



Arca ini sekarang disimpan Sdr. Ifan, warga Desa Narimbang. Arca terbuat dari bahan batuan tufa berwarna kemerahan. Kondisi arca sudah tidak lengkap, pada bagian kepala patah. Ukuran tinggi 45 cm, lebar 25 cm, dan tebal 15 cm. Penggambaran sangat sederhana. Kedua tangan digambarkan dalam sikap menyilang di dada. Tangan kiri berada di atas tangan kanan. Bagian perut hingga kaki tidak digambarkan. Tepat di atas persilangan dua tangan terdapat semacam ujung belalai yang menjulur ke arah kanan.


Gunung Dalam Kehidupan Masyarakat
Gunung bagi masyarakat Sunda pada zaman klasik menduduki tempat tersendiri pada sistem religinya. Pada zaman Kerajaan Galuh, Gunung Galunggung merupakan meru bagi kerajaan. Carita Parahyangan dan Amanat Galunggung sering menyebut gunung ini. Di gunung tersebut mungkin banyak terdapat kabuyutan atau gunung itu sendiri merupakan kabuyutan bagi Kerajaan Galuh. Galunggung merupakan gunung yang disucikan oleh masyarakat Galuh baik para elite penguasa maupun rakyat kebanyakan (Munandar, 2004: 107). Kerajaan Pakuan Pajajaran menganggap Gunung Gede sebagai gunung suci. Bujangga Manik menyebut bahwa Gunung Gede (bukit Ageung) merupakan kabuyutan bagi rakyat Pakuan (Munandar, 2004: 109).

Gunung dimaknai sebagai kabuyutan terlihat pada tindakan Prabu Siliwangi dalam peristiwa Burak Pajajaran. Tindakan ini mirip dengan apa yang dilakukan Dharmawangsa Airlangga menghadapi maha pralaya dari Haji Wurawari. Perbedaannya, Prabu Siliwangi yang lari ke Gunung Tampomas tidak dalam usaha konsolidasi untuk menegakkan kembali Kerajaan Sunda Pajajaran tetapi untuk menekuni ajaran agama yang dianutnya setelah kerajaannya menghadapi kehancuran. Sedang Dharmawangsa Airlangga menuju wanagiri dalam rangka menunggu saat yang tepat untuk menegakkan kembali kerajaannya. Hal penting yang perlu dicatat adalah peranan gunung sebagai tempat untuk mendapatkan pencerahan sebagaimana halnya kabuyutan. Prabu Siliwangi di Gunung Tampomas mencari pencerahan untuk memasuki alam kedewaan dan akhirnya ngahiang, sedangkan Dharmawangsa Airlangga mencari pencerahan untuk menyusun kekuatan. Gunung Tampomas sebagai gunung suci dijadikan tujuan akhir Prabu Siliwangi untuk menuju alam kedewaan.

Beberapa tinggalan arkeologis yang terdapat di Sanghiang Taraje dan Puncak Manik menunjukkan bahwa gunung itu merupakan gunung suci. Konsepsi tentang gunung suci muncul sejak masa prasejarah. Pada masa klasik konsep tentang gunung suci ditandai dengan bangunan suci yang berada di lereng gunung. Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada sekitar abad ke-15 juga dikenal sebagai gunung suci. Di lereng barat terdapat Candi Sukuh dan Candi Ceta. Kedua bangunan candi ini lebih menyerupai bangunan berundak. Selain kedua bangunan candi juga terdapat punden Cemoro Bulus dan Planggatan. Kedua bangunan ini berbentuk bangunan teras berundak yang lebih kecil dibandingkan dengan Candi Sukuh atau Ceta. Menurut Bernet Kempers (1959: 101) Candi Sukuh merupakan bangunan suci yang dijadikan sebagai sarana pembebasan arwah nenek moyang. Relief cerita Sudamala yang bertemakan tentang pembebasan menunjukkan bahwa pembangunan Candi Sukuh ada kaitannya dengan pembebasan. Dengan demikian, pendirian bangunan candi tersebut juga mengandung maksud penghormatan terhadap Gunung Lawu dalam rangka pembebasan jiwa. Gunung tersebut dianggap keramat sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang telah meninggal. Di Jawa Timur tinggalan arkeologi yang menunjukkan adanya hubungan antara bangunan suci dengan gunung tampak jelas. Di Gunung Penanggungan banyak ditemukan bangunan suci berbentuk teras berundak yang memanfaatkan kemiringan lereng atau gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan suci tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 – 11 (Kempers, 1959: 65 – 67). Beberapa bangunan suci di lereng gunung dan Gunung Penanggungan itu sendiri erat kaitannya dengan konsep pelepasan menuju alam kedewaan.

Konsep gunung suci dan pelepasan dalam kaitannya dengan Gunung Tampomas terlihat hanya berhubungan dengan Kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa Kerajaan Tembong Agung -- awal mula Kerajaan Sumedang Larang -- dan masa-masa sesudahnya, tampak bahwa konsep gunung suci mengacu pada gunung atau bukit yang berada dekat dengan pusat kerajaan. Di sebelah utara lokasi bekas Kerajaan Tembong Agung terdapat situs Pasir Limus. Pada situs tersebut terdapat jejak-jejak sisa bangunan berundak dan beberapa makam kuna yang dikeramatkan. Struktur bangunan makam kuna tampak berada pada struktur bangunan berundak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangunan makam lebih kemudian bila dibandingkan dengan bangunan berundak.

Bangunan berundak yang ada di situs Pasir Limus belum tentu menunjukkan latar religi megalitik dari masa prasejarah. Di tatar Sunda, pada masa klasik akhir antara agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan asli leluhur bercampur. Dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian, disebutkan ... ini na lakukeuneun, talatah sang sadu jati hongkara namo sewaya, sêmbah ing hulun di sanghyang pañcatatagata; pañca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana ... (... inilah yang harus dilakukan, (yaitu) amanat Sang Baikhati (terpercaya) yang sejati. Selamatlah (hendaknya) dengan nama Siwa, menyembahlah hamba kepada Sanghyang Pañcatatagata (Buddha), pañca berarti lima, tata itu artinya sabda, gata itu artinya raga, ya itulah untuk kebaikan semuanya ...). Pada bagian lain terdapat keterangan bahwa ... mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang ... (... mangkubumi berbakti kepada ratu, ratu berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang ...). Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya, keagamaan yang melatari adalah Hindu, Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Kemunculan kepercayaan asli para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Sumadio, 1990: 390 -- 392; Ayatrohaédi, 1982: 337 -- 338). Dalam kasus Kerajaan Tembong Agung tampak lebih ditekankan pada konsep pemujaan gunung suci. Pasir Limus merupakan mahameru bagi Kerajaan Tembong Agung.

Quarith Wales mengaitkan konsep Gunung Mahameru dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai Girisa, yang memperoleh gelar sebagai penguasa gunung. Hubungan antara tanah (bumi) yang memberi kekuatan (kesuburan) dengan gunung suci adalah jelas. Hal itu disebabkan karena sakti Siwa yaitu Uma Haimawati anak perempuan dari Raja Gunung Himalaya, sebenarnya dipuja juga sebagai Dewi Gunung (Wales, 1953: 88). Pandangan tentang gunung sebagai tempat suci yang mengarah pada pemujaan gunung itu sendiri ada kaitannya dengan ajaran Siwa.

Pemilihan lokasi pusat-pusat Kerajaan Sumedanglarang sesudah masa Tembong Agung, cenderung mengandung unsur pengagungan terhadap gunung. Dengan adanya gunung suci menjadikan lokasi pemukiman masyarakat tersucikan pula. Konsepsi demikian ini sangat umum berlaku pada tatanan pemukiman tradisional. Tiap kebudayaan tradisional akan memperlihatkan suatu tatanan yang keramat, meluas dari tempat hunian (rumah) sampai ke perkampungan hingga seluruh lahan kawasan. Pada pemukiman-pemukiman tradisional, karena agama dan upacara keagamaan adalah sentral maka organisasi tersebut sering didasarkan pada hal-hal yang keramat. Dengan demikian maka memahami perkampungan tradisional menghendaki bahwa perkampungan dianggap sebagai ekspresi-ekspresi fisik ruang keramat (Rapoport, 1985: 28).

Konsepsi tentang ruang keramat dalam kaitannya dengan pemukiman, bila dihubungkan dengan keberadaan Gunung Tampomas akan didapatkan gambaran mengenai pemukiman pada masa klasik akhir di kawasan Sumedang. Di Gunung Tampomas, situs-situs yang menunjukkan bangunan sakral berada pada lereng utara dan timur. Pada bagian lereng tersebut mungkin merupakan lokasi pemukiman.

Di Desa Narimbang yang berada pada kaki Gunung Tampomas sisi timur laut terdapat lokasi yang disebut kabuyutan. Objek berupa tatanan batu terhampar. Di antara tatanan batu terdapat dua batu berdiri menyerupai nisan. Kedua batu berdiri itu beroerientasi utara – selatan. Tatanan hamparan batu berada di bagian utara batu berdiri. Objek batu berdiri dan tatanan hamparan batu itu dikelilingi pagar dari susunan batu berdenah empat persegi panjang. Pada pagar sisi timur terdapat jalan masuk. Pagar keliling ini merupakan hasil buatan masyarakat setempat. Menurut keterangan masyarakat setempat kabuyutan ini merupakan makam Sutawijaya (Hadiwisastra dan Saptono, 2005: 7).

Di desa ini juga terdapat makam keramat yang disebut Makam Sawah Kalapa. Jalan masuk menuju komplek berada di sebelah selatan. Makam tokoh utama berada di dalam bangunan cungkup, terletak di bagian timur laut komplek. Cungkup merupakan bangunan baru semi permanen berlantai ubin. Pintu masuk cungkup berada di sisi barat. Menurut keterangan, tokoh utama yang dimakamkan adalah Embah Secagati. Tokoh ini merupakan cikal bakal masyarakat kampung Narimbang. Di dalam cungkup, selain makam Embah Secagati juga terdapat makam isteri Embah Secagati. Makam Embah Secagati berada di sebelah timur, sedangkan makam isteri Embah Secagati di sebelah barat. Makam Embah Secagati maupun isterinya tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai tanda makam berupa batu panjang yang ditancapkan. Di luar cungkup banyak dijumpai makam baik makam lama maupun baru. Makam-makam tersebut terkonsentrasi di sebelah barat cungkup makam Embah Secagati. Kebanyakan makam tidak dilengkapi jirat, namun ada yang dibatasi dengan susunan batu berdenah empat persegi panjang. Salah satu makam yang berada di sebelah barat cungkup makam utama, susunan batu keliling berpola swastika. Nisan kebanyakan berupa batu panjang yang diberdirikan (Hadiwisastra dan Saptono, 2005: 7–8). Dengan adanya beberapa bangunan suci di Gunung Tampomas dan beberapa objek di Desa Narimbang terdapat gambaran bahwa di kawasan lereng utara hingga timur Gunung Tampomas merupakan lokasi pemukiman yang berlangsung sejak masa klasik akhir hingga masa Islam.


Simpulan
Gunung mempunyai arti penting dalam konsep kepercayaan. Gunung dipandang sebagai objek suci untuk mendapatkan pencerahan. Pada masa klasik akhir di Sumedang, yaitu masa menjelang keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran. Gunung Tampomas merupakan gunung suci bagi masyarakat setempat. Peristiwa Burak Pajajaran, memberikan gambaran bahwa Gunung Tampomas merupakan gunung suci tempat Prabu Siliwangi menuju alam kedewaan (ngahiang). Beberapa tinggalan arkeologis di Sanghiang Taraje, Puncak Manik, dan beberapa objek di Desa Narimbang menunjukkan bahwa Gunung Tampomas diperlakukan sebagai Gunung Suci.

Keruntuhan Kerajaan Sunda Pajajaran mendorong berdirinya Kerajaan Sumedanglarang. Konsep kepercayaan terhadap gunung suci tetap berlanjut. Historiografi tradisional menyebutkan bahwa Batara Tuntang Buana memperdalam ilmu kasumedangan di Gunung Mandalasakti. Dalam kaitannya dengan pemukiman, terlihat ada hubungan antara konsep gunung suci dengan pemilihan lokasi pemukiman. Beberapa lokasi pusat Kerajaan Sumedanglarang berada pada kawasan perbukitan. Pada masa klasik akhir diperkirakan lokasi pemukiman berada di sekitar lereng utara hingga timur Gunung Tampomas.



Daftar Pustaka

Ayatrohaedi
1982 “Masyarakat Sunda Sebelum Islam”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 333–346.

Behrend, Timothy Earl
1982 Kraton and Cosmos in Tradisional Java. A Thesis submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of master of arts (history). Madison: University of Wisconsin.

Geldern, Robert von Heine
1982 Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Terjemahan Deliar Noer. Jakarta: CV. Rajawali.

Hadiwisastra, Agus dan Nanang Saptono
2005 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Penanggulangan Kasus Kepurbakalaan di Kecamatan Congeang, Sumedang. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. (Tidak diterbitkan).

Jubaedah, Edah
2005 Titilar Karuhun: Perubahan Budaya di Sumedang Abad XVI–XVII. Bandung: Paragraf.

Kempers, A.J. Bernet
1959 Ancient Indonesian Art. Cambridge: Masachusets University Press.

Koestoro, Lucas Partanda
1987 “Sanghiang Taraje, Tinggalan Tradisi Megalitik di Gunung Tampomas”. Dalam Berkala Arkeologi VIII (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 36–46.

Krom, N.J.
1915 Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914. Batavia: Albrecht & Co.

Lubis, Nina H
2000 “Sumedang”. Dalam Nina H Lubis, et al. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint. Hlm. 71–90.

Munandar, Agus Aris
2004 “Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Bagian Barat: Tinjauan Terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan”. Dalam Kresno Yulianto (ed.), Tradisi, Makna, dan Budaya Materi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 102–115.

Pigeaud, Th. G. Th.
1924 De Tantu Panggelaran: Een Oud-Javaansch Proza-geschrift Uitgegeven, Vertald en Toegelicht. Dissertasi. Rijksuniversiteit te Leiden. 's-Gravenhage: Nederlandsche Boeken Steendrukerij vh. H.L. Smits.

Rapoport, Amos
1985 “Tentang Asal-usul Kebudayaan Permukiman”. Dalam Anthony J. Catanese (et all.) Pengantar Sejarah Perencanaan Perkotaan. Bandung: Intermedia. Hlm. 21–44.

Sumadio, Bambang (ed.)
1990 “Jaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wales, H.G. Quaritch
1953 The Mountain Of God: A Study In Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, Ltd.

Yondri, Lutfi
1988 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Penanggulangan Kasus Kepurbakalaan di Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.


*) Nina H Lubis berdasarkan wawancara dengan R. Mumu Abdullah Kartadibrata mendapatkan penjelasan bahwa Ilmu kasumedangan merupakan ilmu yang kelak menjadi falsafah hidup rakyat Sumedang, namun ada juga yang berpendapat bahwa karena sangat sulit untuk dipelajari, maka tidak ada orang yang sanggup mempelajarinya (Lubis, 2000: 72).



Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku "Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan", hlm. 43 - 54. Editor Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.



Nganjang ka Sumedang (1)


PENELITIAN TENTANG PERKOTAAN KUNA

DI DESA DAYEUH LUHUR, SUMEDANG


Oerip Bramantyo Boedi


Sari

Desa Dayeuh terletak di bagian puncak Gunung Rengganis. Secara administratif masuk dalam Kecamatan Ganeas, Kabupaten sumedang. Pada masa lampau, Dayeuh Luhur pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sumedang Larang pada waktu Prabu Geusan Ulun berkuasa. Kerajaan Sumedang Larang merupakan kerajaan yang berdiri pada masa klasik atau Hindu-Buda hingga masa Islam. Dua hal yang menarik untuk dipecahkan dalam penelitian kali ini ialah alasan pemilihan lokasi sebagai ibu kota. Hal lain adalah unsur-unsur kota dan tata letak dari unsur-unsur kota tersebut.


Abstract

Dayeuh Luhur Village is located at top of Rengganis Mountain. Administratively, it is a part of Ganeas district, Sumedang regency. Dayeuh Luhur was used to be city of Sumedang Larang Kingdom along Prabu Geusan Ulun reign. The kingdom is established during classical or Hindu-Buddha period until Islamic Period. There are two interesting cases that found in this research, the location of a village as capital city and the element of city and setting of the element.

Kata Kunci : lokasi, unsur kota, tata kota kuna, Dayeuh Luhur.



Pendahuluan

Latar Belakang
Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan yang pernah berdiri di daerah Jawa bagian barat atau di Tatar Sunda. Sejarah kerajaan tersebut diawali pada waktu didirikan pada masa klasik sebagai kerajaan bawahan Kerajaan Sunda-Pajajaran, kemudian menjadi kerajaan yang bercorak Islami serta menjadi negara merdeka sebelum akhirnya menjadi kabupaten dari Mataram Islam di Yogyakarta.

Di samping mengalami dua periode dalam kerangka kesejarahan Indonesia dan status yang mengalami pasang surut, kerajaan tersebut juga mengalami perpindahan pusat pemerintahan. Diawali dengan Leuwi Hideung sebagai pusat kerajaan yang pertama pada masa klasik, kemudian diikuti perpindahan ke Ciguling. Memasuki masa Islam, ibu kota dipindah ke Kutamaya, kemudian dipindah ke Dayeuh Luhur, dan terakhir di Tegal Kalong.


Masalah
Kerajaan Sumedang Larang mengalami beberapa kali perpindahan ibu kota. Perpindahan dengan diawali proses pemilihan lokasi untuk pembangunan kota serta bentuk dari kota menjadi kajian dalam tulisan ini. Salah satu yang menarik untuk diteliti adalah ibu kota Kerajaan Sumedang Larang pada masa Islam, yaitu Dayeuh Luhur yang menggantikan peran Kutamaya sebagai ibu kota. Pemilihan lokasi Dayeuh Luhur yang sekilas tidak strategis, yaitu di bagian puncak gunung yang di kiri-kanannya merupakan daerah yang terjal, menarik untuk dikaji. Hal tersebut tentu disebabkan alasan tertentu.

Hal lain yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana tata letak dari unsur-unsur pembentuk kota atau tata kotanya. Sebagaimana lazimnya, kota-kota yang tumbuh dan berkembang pada masa Islam biasanya terdapat tempat tinggal penguasa (misalnya keraton untuk raja dan kabupaten untuk penguasa daerah setingkat bupati), alun-alun, masjid, pasar, dan tentu pemukiman. Unsur apa saja yang terdapat di Dayeuh Luhur dan bagaimana penataannya ?


Tujuan dan Metode Penelitian
Kajian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang latar belakang dan alasan pemilihan dipilihnya Dayeuh Luhur sebagai lokasi ibu kota Kerajaan Sumedang Larang pada masa Islam. Di samping itu, bertujuan memperoleh gambaran tata kota dari Dayeuh Luhur.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian diawali dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, pengamatan langsung ke lapangan, dan wawancara dengan narasumber terpilih. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah sumber tradisional dan modern yang pernah ditulis oleh orang lain; pengamatan langsung ke lapangan untuk menjaring data arkeologis dan toponimi terutama yang berhubungan dengan unsur-unsur pembentuk kota; sebagai pelengkap dilakukan wawancara dengan narasumber terpilih, biasanya kuncen dan sesepuh desa. Setelah data terkumpul akan dianalisis dan disintesiskan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan atau generalisasi.


Sumber Kajian

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang
Penelusuran para ahli sejarah, seperti Nina H. Lubis (2000) dan Dedi Supardi Arifin et al. (1994/1995), mengenai sejarah Sumedang dalam zaman sejarah diawali adanya Kerajaan Tembong Agung pada sekitar awal abad ke-16, masa klasik atau Hindu-Buddha sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung merupakan bawahan Kerajaan Pajajaran dengan Prabu Tajimalela sebagai raja yang pertama. Prabu Tajimalela merupakan anak Prabu Aji Putih, saudara Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi I. Pusat pemerintahan berada di Leuwi Hideung (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Darmaraja). Prabu Tajimalela mempunyai dua orang putra, yaitu Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji dan Prabu Gajah Agung.

Sepeninggal Prabu Tajimalela, Prabu Lembu Agung menggantikan kedudukannya untuk sementara waktu. Hal ini disebabkan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Pemerintahan kemudian dipegang oleh Prabu Gajah Agung. Oleh Prabu Gajah Agung pusat pemerintahan dipindah ke Ciguling (sekarang masuk Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan).

Prabu Gajah Agung selanjutnya digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Guling. Kemudian Sunan Guling digantikan putranya Sunan Tuakan yang setelah meninggal dimakamkan di Heubeul Isuk, Desa Cinanggerang, Kecamatan Sumedang Selatan.

Sunan Tuakan kemudian diganti oleh putrinya, Nyi Mas Ratu Istri Patuakan, yang mempunyai suami bernama Sunan Corendra. Setelah wafat Nyi Mas Ratu Istri Patuakan digantikan oleh putrinya Nyi Mas Ratu Inten Dewata yang setelah menjadi ratu bergelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri.

Perkawinan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri yang beragama Islam menandai adanya era baru bagi Kerajaan Sumedang Larang. Mulai saat itu agama Islam mulai masuk dan berkembang di Kerajaan Sumedang Larang. Pusat pemerintahan terletak di Kutamaya. Pengganti Ratu Pucuk Umun adalah putranya yang bernama Pangeran Kusumahdinata atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Geusan Ulun.

Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Saka atau 8 Mei 1579 M, Kerajaan Pajajaran runtuh akibat serangan pasukan dari Kesultanan Banten. Runtuhnya Kerajaan Pajajaran mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah sehingga muncullah kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka dan berdaulat. Dalam suasana kehancuran tersebut, Prabu Geusan Ulun memproklamasikan bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Pajajaran dan seluruh bekas wilayah Kerajaan Pajajaran adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Wilayah Kerajaan Sumedang Larang meliputi daerah yang di sebelah timur dibatasi oleh Sungai Cipamali, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cisadane, dan di sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa. Akan tetapi, tidak semua wilayah yang diklaim sebagai wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaannya. Daerah-daerah seperti Dayeuh Pakuan Pajajaran menjadi wilayah Kesultanan Banten, Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka, dan Galuh menjadi bagian Mataram Islam pada tahun 1595.

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun terjadi konflik dengan Cirebon disebabkan dibawa larinya Ratu Haris Baya, istri Pangeran Girilaya. Konflik tersebut didamaikan dengan syarat diserahkannya wilayah Sindangkasih atau Majalengka kepada Cirebon. Selain itu, terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pada tahun 1610, Prabu Geusan Ulun meninggal dan digantikan oleh putranya Raden Suriadiwangsa yang kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata. Pusat pemerintahan dipindah ke Tegal Kalong. Sementara itu, putra Prabu Geusan Ulun yang lainnya, Pangeran Rangga Gede memerintah sebagian wilayah Kerajaan Sumedang berpusat di Canukur. Tampaknya terdapat dualisme kepemimpinan akibat dari diserahkannya kedudukan raja kepada dua orang putranya.

Pada tahun 1620, Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah bawahan Kesultanan Mataram Islam di daerah Yogyakarta (pada waktu Sultan Agung berkuasa). Selanjutnya, Pangeran Kusumahdinata mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol dan diangkat menjadi Bupati Wedana untuk seluruh Pasundan. Dengan demikian riwayat Kerajaan Sumedang Larang sebagai kerajaan berakhir dan statusnya hanya sebagai kabupaten dari Mataram Islam.

Desa Dayeuh Luhur dan Tinggalan Arkeologis
Secara administratif Desa Dayeuh Luhur masuk dalam Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang, terletak pada koordinat 107058’50” Bujur Timur dan 6053’42” Lintang Selatan. Seperti arti dari namanya, dayeuh dalam bahasa Sunda yang berarti kota dan luhur yang berarti atas, Desa Dayeuh Luhur terletak di daerah yang tinggi, yaitu di bagian puncak Gunung Rengganis. Desa tersebut dikitari lereng bukit yang cukup terjal.

Lokasi ini merupakan ibu kota Kerajaan Sumedang Larang ketika Prabu Geusan Ulun memegang pemerintahan. Di lokasi ini terdapat kompleks makam Prabu Geusan Ulun, tanah lapang, sejumlah bata fragmentaris dan utuh, masjid yang sudah sering direnovasi, pemukiman, dan mata air yang secara turun- temurun sudah dipakai sebagai sumber kebutuhan air bagi warga.


Kompleks Makam Prabu Geusan Ulun
Kompleks makam terletak di sebelah utara areal parkir/terminal Desa Dayeuh Luhur. Kompleks makam lebih rendah dibandingkan dengan areal parkir/terminal. Kompleks makam berupa areal yang berbentuk bukit kecil dengan pintu gapura berbentuk paduraksa. Kompleks terdiri dari tiga bagian besar.
  1. Bagian pertama merupakan kompleks makam umum dan juga para juru kunci kompleks makam.
  2. Bagian kedua dengan tanah yang lebih tinggi dari, di sebelah utara bagian yang pertama berisi makam Ratu Haris Baya dan beberapa makam lainnya. Makam dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu gapura paduraksa pada sisi timur. Makam Ratu Haris Baya telah mengalami renovasi. Sekarang makam berupa jirat dan nisan. Jirat berbentuk segi empat berukuran 160 x 160 cm dan bahan dari keramik. Nisan berbahan semen berbentuk kuncup bunga dengan hiasan floral, pipih dan berjumlah dua. Makam berorientasi utara – selatan.
  3. Bagian ketiga terletak pada bagian paling belakang dan teratas dari kompleks makam tersebut. Makam dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu gapura paduraksa pada sisi selatan. Kompleks makam berisi makam Prabu Geusan Ulun, makam Rangga Gede, dan beberapa makam lainnya yang tidak dikenal. Makam Prabu Geusan Ulun telah mengalami dua kali renovasi. Sekarang makam tersebut ditandai dengan adanya jirat tiga tingkat dari keramik, berdenah segi empat, berukuran 300 x 200 cm dan berorienrasi utara – selatan. Nisan ganda dari bahan semen setebal 10 cm dengan bentuk segi empat pada bagian badan dan segi tiga pada bagian atasnya dengan variasi lengkung pada bagian bahu dan puncaknya.

Tanah Lapang
Menurut keterangan juru kunci, Aceng Hermawan, areal parkir/terminal Desa Dayeuh Luhur sebelumnya merupakan tanah lapang. Areal berdenah empat persegi panjang berukuran sekitar 50 x 25 m. Sekarang seluruh permukaan areal telah dilapisi dengan aspal dan di bagian selatan area terdapat kios-kios pedagang, toilet, dan pos retribusi.

Masjid
Masjid terletak di sebelah selatan areal parkir/terminal. Masjid telah mengalami beberapa kali renovasi. Berdasar keterangan, di lokasi tersebut sejak dahulu merupakan tempat berdirinya masjid.

Mata Air
Kurang lebih 100 m di sebelah selatan pemukiman penduduk terdapat mata air yang secara turun-temurun digunakan oleh penduduk sebagai sumber air untuk segala keperluan.

Temuan Lepas
Di sebelah timur areal parkir/terminal pernah ditemukan beberapa bata fragmentaris dan utuh pada kedalaman sekitar 50 cm. Bata-bata tersebut disimpan di kompleks makam Prabu Geusan Ulun. Salah satu bata yang utuh mempunyai ukuran 25 x 20 x 8 cm.



Pembahasan

Pemilihan Lokasi
Perpindahan ibu kota pusat pemerintahan merupakan hal yang sering terjadi dalam perjalanan sejarah di Indonesia, sejak masa klasik, masa Islam bahkan hingga masa awal-awal terbentuknya Republik Indonesia. Pemindahan tersebut disebabkan oleh berbagai hal, misalnya karena alasan politik, ekonomi, keamanan, dan bencana alam (Sumadio, 1992: 355). Demikian pula halnya dengan pemindahan pusat pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur oleh Prabu Geusan Ulun. Berdasarkan catatan sejarah, pemindahan tersebut kemungkinan besar didasari alasan keamanan. Hal tersebut terlihat adanya konflik dan diikuti peperangan antara pihak Sumedang Larang dan Cirebon. Konflik tersebut diawali dibawa larinya Ratu Haris Baya, salah satu istri Sultan Cirebon Pangeran Girilaya oleh Prabu Geusan Ulun. Akibat peristiwa tersebut, Sumedang Larang mengalami serangan oleh Cirebon. Penyerangan tersebut tidak menyebabkan kekalahan dan keruntuhan Kerajaan Sumedang Larang. Konflik akhirnya bisa diredakan dan tercapai perdamaian dengan syarat Prabu Geusan Ulun menyerahkan Sindangkasih atau Majalengka ke Cirebon. Konflik diikuti peperangan dan kemungkinan masih adanya penyerangan lagi, besar kemungkinan menyebabkan pemindahan pusat pemerintahan oleh Prabu Geusan Ulun dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pemilihan lokasi yang susah dijangkau kemungkinan besar menjadi pilihan utama dalam proses tersebut.

Selain faktor keamanan akibat adanya konflik, kemungkinan besar pemilihan tersebut juga dilandasi oleh aspek lain yang bersifat magis religius. Kemungkinan tersebut dilandasi adanya tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat hingga sekarang berupa adanya tujuh sumur, yaitu Ciasihan/Ciginasihan, Cikajayan, Cikahuripan, Cikawedukan, ciderma, Ciseger/Menceger, dan Cipaingan; yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut. Ketujuh sumur tersebut dikaitkan dengan legenda raja pertama Kerajaan Sumedang Larang, Prabu Tajimalela, yang mencari tempat yang cocok untuk menguji kesaktiannya. Setelah mencari beberapa tempat untuk menguji namun gagal, akhirnya di Dayeuh Luhur Prabu Tajimalela menemukan tempat yang sesuai.

Unsur dan Tata Kota
Dayeuh Luhur merupakan ibu kota kedua Kerajaan Sumedang Larang pada masa Islam setelah Kutamaya. Pada masa masuk dan berkembang Islam di Indonesia terdapat suatu fenomena, yaitu tumbuh dan berkembangnya kota-kota dengan unsur-unsur pembentuk kota yang ditata menjadi suatu pola yang berlaku secara umum. Unsur yang biasanya ada dalam kota adalah adanya tempat tinggal penguasa (keraton untuk kota pusat kerajaan dan kabupaten untuk kota pusat pemerinthan kabupaten), alun-alun, masjid sebagai tempat ibadah masyarakat yang mayoritas beragama Islam, pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian, dan pemukiman. Unsur tersebut ditata dengan keraton terletak di sebelah selatan alun-alun, masjid terletak di sebelah barat alun-alun, pasar terletak di sebelah utara alun-alun, dan pemukiman tersebar di lahan lainnya. Pola tersebut tidak selamanya berlaku, namun kadang-kadang menyesuaikan dengan kondisi geografis lokasi kota (Tjandrasasmita, 1992: 218–222).

Data arkeologis di Desa Dayeuh Luhur selain kompleks makam Prabu Geusan Ulun adalah adanya temuan sejumlah bata di sebelah timur lokasi lapang parkir atau terminal desa. Sementara itu data dari penelusuran toponimi yang diperoleh di lapangan adalah adanya keterangan bahwa lapang parkir dahulunya merupakan tanah lapang. Keterangan lain adalah adanya masjid desa yang letaknya tidak pernah dipindahkan. Unsur lain yang tidak ada adalah pusat kegiatan perekomomian, yaitu pasar. Apabila sedikit keterangan tersebut dijadikan upaya mencari pola tata kota Dayeuh Luhur, kemungkinan besar pola yang pernah berlaku adalah sebagai berikut.

Unsur-unsur kota Dayeuh Luhur meliputi alun-alun, masjid, pemukiman, dan keraton. Alun-alun didasari keterangan bahwa lapang parkir sebelumnya merupakan tanah lapang. Masjid didasari keterangan belum pernah dipindahnya lokasi masjid serta adanya kebiasaan untuk melanjutkan fungsi masjid secara berkelanjutan. Pemukiman didasari adanya kelanjutan fungsi sebagai pemukiman, artinya tidak pernah ditinggalkan oleh penghuni meskipun fungsi sebagai ibu kota telah hilang. Keraton didasari adanya temuan sejumlah bata yang mengindikasikan adanya bangunan yang lebih kokoh dan mewah dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang membangun rumah dengan bahan yang tidak permanen, misalnya bambu dan kayu.

Unsur-unsur tersebut diatur mengikuti pola umum yang berlaku pada masa Islam, yaitu alun-alun sebagai pusat, keraton sebagai tempat tinggal raja menghadap ke barat terletak di sebelah timur alun-alun, dan masjid terletak di sebelah selatan alun-alun. Sementara itu, pemukiman terdapat di sebelah selatan alun-alun dan keraton.


Penutup
Desa Dayeuh Luhur sebagai bekas ibu kota Kerajaan Sumedang Larang yang terletak di bagian puncak Gunung Rengganis secara alamiah memberi perlindungan dari kemungkinan gangguan keamanan. Hal tersebutlah yang kemungkinan besar alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai ibu kota pada waktu situasi politik dan keamanan dipandang tidak kondusif oleh Prabu Geusan Ulun. Berdasarkan hasil penelitian, unsur-unsur pembentuk kota relatif sedikit berupa alun-alun, keraton, masjid, dan pemukiman. Unsur-unsur tersebut ditata mengikuti pola tata kota masa Islam.

Kesimpulan tersebut bersifat sementara. Hal tersebut disebabkan data pustaka dan data arkeologis yang diperoleh dalam penelitian relatif sedikit, terutama data arkeologis. Sedikitnya data arkeologis yang terjaring disebabkan pada penelitian kali ini baru pada tahap awal berupa pengamatan di lapangan yang belum diikuti dengan ekskavasi. Adanya temuan beberapa bata oleh penduduk mengindikasikan kemungkinan adanya data lain yang masih terpendam dalam tanah yang perlu untuk diteliti lebih lanjut. Di samping itu, keterangan berupa toponimi sebagai salah satu pelengkap upaya mengungkap gambaran kehidupan masa lampau tergolong sedikit. Berdasarkan data yang relatif sedikit sangatlah sukar untuk menarik kesimpulan tentang unsur dan tata kota Dayeuh Luhur sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Sumedang Larang secara tuntas. Dengan demikian, simpulan dalam kesempatan ini baru bersifat sementara.



Daftar Pustaka

Arifin, Dedi Supardi et al.
1994/1995 “Sejarah Kebupatian Sumedang”. Dalam Laporan Penelitian. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Hlm. 1–44.

Lubis, Nina H.
2000 “Sumedang”. Dalam Nina H. Lubis, et al. Sejarah Kota-kota di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint. Hlm. 71–90.

Sumadio, Bambang ed.
1992 “Jaman Kuna”. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Tjandrasasmita, Uka ed.
1992 “Jaman Pertumbuhan dan Perkembnagan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.


Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku berjudul "Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan", hlm. 103 - 110. Editor Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.

Label:

11 Maret, 2009

Mengungkap tinggalan arkeologis di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor



KOTA HILANG HOLOTAN







Endang Widyastuti

(Peneliti Bidang Arkeologi Hindu-Buddha pada Balai Arkeologi Bandung)





Tentang Holotan
Berdasarkan beberapa prasasti yang pernah ditemukan, kerajaan tertua yang dikenal di Jawa Barat yaitu Kerajaan Tarumanegara. Prasasti yang berasal dari masa tersebut adalah Prasasti Ciaruteun, Pasir Koleangkak, Kebon Kopi, Tugu, Pasir Awi, Muara Cianten, dan Prasasti Cidanghiang. Selain prasasti, sumber lain yang menyebut tentang keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah berita asing dari Cina.

I’Tsing (abad ke-7 M) dalam catatan perjalanannya menyebut tentang To-lo-mo. Berita dari masa dinasti Soui dan berita dari masa dinasti T’ang Muda juga menceritakan mengenai sebuah kerajaan yang bernama To-lo-mo. Menurut beberapa ahli To-lo-mo merupakan lafal Cina dari Taruma. Berdasarkan data yang ada diduga keberadaan kerajaan Tarumanegara berlangsung dari abad ke-5 hingga akhir abad ke-7 M.

Selain To-lo-mo di Jawa Barat juga disebut-sebut adanya Kerajaan Holotan. Sejarah Lama Dinasti Sung (420 – 478) menyebutkan tentang adanya utusan sebuah kerajaan lain yang diduga juga berada di Jawa Barat. Diceritakan bahwa pada tahun 430 datang utusan dari Kerajaan Holotan dengan membawa upeti. Kedatangan utusan dari Kerajaan Holotan tersebut tercatat pada tahun 430, 433, 434, 437, dan 452. Setelah tahun 452 Kerajaan Holotan tidak lagi mengirimkan utusan ke Cina, hal ini diduga karena kerajaan tersebut sudah menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara.

Menurut beberapa ahli nama Holotan dapat dihubungkan dengan (Ci)Aruteun. Merupakan kebiasaan pada masa lalu bahwa nama kerajaan yang berada di dekat muara sungai selalu menggunakan nama sungai yang bersangkutan. Berdasarkan tinggalan arkeologis yang ada, bekas kerajaan di muara sungai tersebut adalah situs Muarajaya. Situs ini berada di Kampung Muarajaya, Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.


Bagaimana menuju ke lokasi?
Kampung Muara Jaya merupakan daerah yang berpenduduk jarang. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah berladang. Kampung ini berada di daerah pedataran sedikit bergelombang dengan ketinggian berkisar 100 – 200 meter dari permukaan laut. Lahan kampung dikelilingi tiga aliran sungai yaitu Sungai Cisadane di sebelah utara, Sungai Cianten di sebelah barat, dan Sungai Ciaruteun di sebelah timur. Di sebelah selatan Kampung Muarajaya terdapat Kampung Munjul.

Kampung Muarajaya berjarak sekitar 19 km di sebelah barat daya kota Bogor. Kondisi jalan yang telah beraspal memungkinkan situs dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua. Untuk menuju lokasi dapat melalui jalur Bogor-Ciampea-Simpang Lebak Sirna-Ciaruteun Ilir. Apabila menggunakan kendaraan umum, dapat menggunakan angkutan kota jalur Bogor-Ciampea, dan dilanjutkan dengan ojek sampai ke lokasi.


Obyek-obyek arkeologis yang terdapat di situs Muarajaya berupa batu dakon, prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi I, Prasasti Muara Cianten, dan batu datar. Selain itu berdasarkan hasil ekskavasi oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2006 dan 2008, di lokasi tersebut ditemukan adanya tatanan batu mendatar yang membentuk seperti balai.


Jejak-jejak tinggalan

a. Batu Dakon
Batu Dakon berada pada suatu lahan berukuran 7 x 6 m, dikelilingi pagar tembok setinggi sekitar 140 cm. Di dalam lahan tersebut terdapat dua batu dakon yang berjajar timur barat, berjarak sekitar 1 m. Pada permukaan batu dakon tersebut masing-masing terdapat 8 dan 10 lubang. Di sebelah selatan batu dakon terdapat dua menhir yang berjajar timur – barat berjarak sekitar 1 m.



b. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun sekarang ditempatkan pada lahan berpagar seluas sekitar 1000 m2 dan dilengkapi cungkup berukuran 8 x 8 m. Prasasti dipahatkan pada sebongkah batu andesit. Prasasti ini ditulis dengan huruf Palawa berbahasa Sansekerta, dituliskan dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari 4 baris. Berdasarkan pembacaan oleh Poerbatjaraka prasasti tersebut berbunyi

vikkranta syavani pateh
srimatah purnnavarmmanah
tarumanagarendrasya
visnoriva padadvayam

yang artinya sebagai berikut.

“ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki dewa Wisnu
ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman,
raja di negeri Taruma
raja yang gagah berani di dunia”

Di atas tulisan terdapat goresan membentuk gambar sepasang tapak kaki dan di tengahnya terdapat gambar laba-laba.



c. Prasasti Kebon Kopi I
Prasasti Kebon Kopi I oleh masyarakat juga disebut Batu Tapak Gajah. Prasasti Kebon Kopi I berada pada lahan berteras seluas sekitar 1500 m2. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup dengan ukuran 4,5 x 4,5 m. Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk tidak beraturan. Pada permukaan batu yang menghadap ke timur terdapat pahatan yang membentuk 2 telapak kaki gajah. Di antara kedua pahatan tersebut terdapat 1 baris tulisan setinggi 10 cm. Prasasti ditulis dalam bentuk puisi anustubh yang artinya sebagai berikut

“Di sini nampak sepasang tapak kaki ... yang seperti Airawata, gajah penguasa taruma (yang) agung dalam ... dan (?) kejayaan”.



d. Prasasti Pasir Muara
Prasasti ini berada di tepi sisi barat Sungai Cisadane, berjarak sekitar 50 m dari pertemuan dengan Sungai Cianten. Karena masih berada pada lokasi semula, maka pada waktu air sungai pasang akan terendam.


Prasasti Pasir Muara dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk yang tidak beraturan. Keadaan batu pada beberapa bagian sudah mengelupas karena tergerus air sungai. Tulisan berupa aksara ikal seperti motif suluran yang belum dapat dibaca.

f. Struktur Batu
Ekskavasi pada tahun 2006 di kebun milik H. Murad Effendi menemukan struktur batu pada kedalaman 65 cm. Struktur batu tersebut berupa susunan batu kali yang disusun memanjang dengan orientasi arah timur-barat.


Pada ekskavasi tahun 2008 struktur batu juga ditemukan di sebelah barat daya prasasti Kebon Kopi, pada kedalaman sekitar 40 cm. Struktur batu tersebut berupa tatanan batu kali yang membentuk lantai.


Prasasti Ciaruteun dan Kebon Kopi I menunjukkan bahwa Tarumanegara menguasai wilayah ini. Batu dakon, menhir, dan temuan struktur batu merupakan sisa-sisa kota di muara Ciaruteun yang dapat disamakan dengan Holotan dalam berita Cina (Endang Widyastuti).



Catatan:
Tulisan ini diterbitkan Balai Arkeologi Bandung (2008) dalam bentuk leaflet.

Label:

08 Maret, 2009

Gambaran Islamisasi di Ciamis, Jawa Barat

PERLAKUAN TERHADAP TINGGALAN BERCORAK HINDU-BUDDHA
Kaitannya dengan Proses Islamisasi


Endang Widyastuti
(Peneliti bidang Arkeologi Hindu-Buddha pada Balai Arkeologi Bandung)





Sari

Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung di daerah Ciamis, tercatat adanya sejumlah tinggalan arkeologis dari masa Hindu-Buddha yang telah mengalami perubahan bentuk, fungsi dan lokasi. Perubahan tersebut kemungkinan berkaitan dengan proses Islamisasi yang berlangsung di daerah tersebut.

Abstract

In research that had been done by Bandung Archaeological Research Bureau noted that in the Ciamis area the existence of some archaeological remain from Hindu-Buddha period which have experienced form, function and location. The transformation possibly relate to theIslamisation process that happened in the area.


Kata kunci
: perlakuan arca, Islamisasi




Pendahuluan

Manusia dalam kehidupannya selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat terjadi secara cepat ataupun secara lambat. Arkeologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari proses perubahan budaya menusia berdasarkan tinggalan-tinggalan budayanya. Beberapa paradigma yang berkembang dalam disiplin arkeologi diantaranya adalah merekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, menyusun sejarah kebudayaan, dan menggambarkan proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 80). Dalam upaya untuk memahami manusia dan budaya masa lalu dilakukan dengan mempelajari segala sesuatu yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan aktivitas manusia masa lalu.

Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung tercatat adanya sejumlah tinggalan arkeologis bercorak Hindu-Buddha yang sudah mengalami transformasi bentuk dan lokasi. Transformasi bentuk yang dilakukan terhadap tinggalan arkeologis tersebut berupa dirusak, dibalik, dan diubah fungsinya. Sedang transformasi lokasi berupa pengumpulan tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut pada satu tempat.


Sehubungan dengan kondisi temuan dan latar belakang sejarah, maka akan dilihat bagaimana proses Islamisasi yang berlangsung di kawasan Ciamis dalam kaitannya dengan perlakuan terhadap tinggalan arkeologis tersebut.



Kondisi Tinggalan Arkeologi di Ciamis
Penelitian di daerah Ciamis telah sering dilakukan. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut diketahui bahwa Ciamis menyimpan potensi arkeologis dengan rentang waktu yang panjang. Tinggalan arkeologis di Ciamis berasal dari masa prasejarah sampai dengan masa kolonial.
Tinggalan-tinggalan arkeologis dari masa Hindu Buddha yang terdapat di kawasan Ciamis tersebar di beberapa situs di antaranya yaitu situs Karangkamulyan, Jambansari, Lakbok, Mangunjaya, dan Rajegwesi.


Karangkamulyan
Kompleks Karangkamulyan secara administratif berada di Kampung Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing. Keadaan situs berupa hutan seluas sekitar 25,5 hektar pada pertemuan antara Sungai Cimuntur dan Citanduy. Kompleks Karangkamulyan merupakan kompleks situs yang sekarang sudah dijadikan obyek wisata budaya. Situs-situs yang terdapat di kompleks ini adalah: Pangcalikan, Sipatahunan, Sanghyang Bedil, Panyabungan Hayam, Lambang Peribadatan, Cikahuripan, Panyandaan, Makam Sri Bhagawat Pohaci, Pamangkonan, Makam Adipati Panaekan, fitur parit dan benteng. Dari sejumlah situs di kompleks Karangkamulyan tinggalan arkeologis ditemukan di situs Pangcalikan. Di situs Pangcalikan terdapat sebongkah batu datar berdenah bujur sangkar. Pada bagian samping batu tersebut terdapat pelipit. Batu dengan bentuk demikian kemungkinan merupakan bagian dasar yoni yang diletakkan secara terbalik (Widyastuti, 2006: 67 – 68). Selain itu di lokasi yang sekarang digunakan sebagai lahan parkir, pernah ditemukan sebuah arca Ganesa. Arca tersebut sekarang disimpan di Museum “Sri Baduga” Bandung.



Yoni dalam keadaan terbalik di situs Pangcalikan, kompleks Karangkamulyan
(Dok. Balai Arkeologi Bandung)



Jambansari

Situs Jambansari secara administratif termasuk lingkungan Rancapetir, Kelurahan Linggasari. Situs ini merupakan kompleks makam Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, bupati Ciamis ke 16, yang berkuasa dari tahun 1839 - 1886. Situs berada di sebuah lahan seluas 4 hektar. Lokasi ini pada masa lalu merupakan kompleks rumah tinggal pribadi Bupati Ciamis tersebut (Sukardja, 2004: 155). Pada lahan tersebut selain terdapat kompleks makam juga terdapat lahan persawahan.

Di salah satu bangunan di kompleks makam ini tersimpan 13 arca. Arca-arca yang terdapat di lokasi ini di antaranya berbentuk arca megalitik, arca tipe pajajaran, nandi, ganesa, dan lingga. Selain itu di lokasi ini juga terdapat lumpang batu dan lapik arca (Widyastuti, 2006: 58 – 62). Arca-arca yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan oleh R.A.A Kusumadiningrat. Pengumpulan ini dilakukan dalam rangka dakwah agama Islam, sehingga bagi yang mempunyai arca atau berhala diharuskan untuk dikumpulkan di lokasi tersebut (Sukardja, 2004: 155).

Sejumlah arca yang terkumpul di kompleks makam Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, Jambansari
(Dok. Balai Arkeologi Bandung)


Lakbok
Situs Lakbok secara administratif berada di dusun Kelapa kuning, desa Sukanegara. Secara geografis wilayah ini berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian 26 m di atas permukaan laut. Situs berada di kebun milik penduduk. Di lokasi ini terdapat tinggalan arkeologis yang berbentuk lingga, yoni, arca, dan nandi (Widyastuti, 2006: 62 – 64). Tinggalan arkeologis tersebut dalam keadaan rusak. Bagian ujung lingga telah patah menjadi tiga bagian. Bagian atas dan bawah yoni telah terpisah. Sedang bagian kepala arca telah hilang. Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut ditemukan terkumpul di tanah lapang. Menurut keterangan Marjono (juru pelihara) pengrusakan arca-arca tersebut terjadi pada tahun 1965. Sekarang arca-arca tersebut disimpan di sebuah bangunan.


Lingga yoni di situs Lakbok (Dok. Balai Arkeologi Bandung)

Arca tokoh dengan bagian kepala hilang, di situs lakbok
(Dok. Balai Arkeologi Bandung)



Mangunjaya

Situs Mangunjaya secara administratif berada di Dusun Pasirlaya Desa Mangunjaya. Lokasi temuan tepat berada di depan kantor Kecamatan Mangunjaya. Lokasi temuan berada di puncak sebuah bukit. Sisi timur bukit sekarang sudah dipangkas untuk dibangun masjid. Pada sisi barat masih tampak adanya teras berundak yang dibentuk dengan batu pasir tufaan. Di sebelah utara situs terdapat Sungai Ciputrahaji, sedangkan di sebelah selatan terdapat Sungai Ciseel. Di lokasi tersebut terdapat dua buah batu bulat dan sebuah yoni. Pada waktu ditemukan yoni dalam keadaan terbalik. Lubang yoni berbentuk bulat. Cerat yoni sebagian telah patah. Bagian badan terdapat pelipit yang dibuat secara simetris antara bagian atas dan bagian bawah, yaitu pelipit lebar dan pelipit tipis yang diseling dengan sisi genta (Widyastuti, 2006: 64).

Yoni dalam keadaan terbalik di situs Mangunjaya (Dok. Balai Arkeologi Bandung)

Rajegwesi

Situs Rajegwesi secara administratif termasuk di dalam wilayah Dusun Pananjung, Desa Mulyasari, Kec. Pataruman, Kotif Banjar. Lokasi situs berada pada areal perkebunan milik PTP Nusantara VIII, Kebun Batulawang, Afdeeling Mandalareh. Di situs ini tinggalan yang ditemukan berupa bekas bangunan candi dan sebuah yoni yang sudah pecah (Saptono, 2000: 50 – 52).

Bekas bangunan candi berada di sebuah gundukan tanah pada kelokan sungai sebelah selatan Citanduy.
Bekas bangunan candi berupa sebaran bata yang sudah tidak terstruktur karena terangkat akar pohon. Bata tersebut terpusat pada puncak bukit dengan radius 8 m. Hampir semua bata dalam keadaan tidak utuh. Satu-satunya bata utuh yang ditemukan berukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tebal 7 cm. Selain bata juga terdapat batu andesitik dan tufa. Di tengah sebaran bata terdapat kumpulan batu dan bata yang bentuknya seperti jirat makam dengan orientasi utara-selatan. Di sebelah timur makam pada sisi talud terdapat dua buah batu datar yang disusun seperti altar.

Pada komplek makam di dekat pemukiman peduduk terdapat fragmen yoni.Fragmen yoni terbuat dari bahan batu tufa berwarna putih. Fragmen yang ada terdiri dari tiga bagian yaitu dua bagian merupakan bagian atas dan satu bagian kemungkinan merupakan bagian tubuh yoni.



Proses Islamisasi di Ciamis

Berdasarkan uraian terdahulu diketahui bahwa tinggalan- tinggalan arkeologis yang bercorak Hindu Buddha di Ciamis ditemukan dalam keadaan terbalik, tidak lengkap, dan terkumpul di suatu tempat. Keadaan demikian merupakan akibat dari kesengajaan yang berkaitan dengan proses islamisasi.

Pada umumnya islamisasi di Nusantara berlangsung melalui tiga fase, yaitu kontak dengan Islam, tumbuhnya komunitas Islam sehingga terbentuk kekuasaan politik Islam, dan pelembagaan Islam (Ambary, 1998: 55 – 60). Mengenai cara-cara penyebaran Agama Islam, Suwedi Montana (1996: 19) mengemukakan pendapat bahwa terdapat dua cara, yaitu secara perorangan dan secara politis. Penyebaran Islam secara perorangan cenderung dilakukan dengan cara damai, sedangkan secara politis cenderung dilakukan dengan cara kekerasan.

Daerah Ciamis pada masa lalu termasuk wilayah Galuh. Di dalam Carita Purwaka Caruban Nagari penyebaran Islam di daerah Galuh dilakukan pada masa Susuhunan Jati dari Cirebon. Pada waktu itu Galuh berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Ketika pusat kekuasaan dipindah ke Bogor daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Galuh menjadi terpecah-pecah. Keadaan tersebut berlangsung hingga Susuhunan Jati mempersatukan kembali dengan Agama Islam sebagai alat pemersatunya ( Ekadjati, 1975: 99 – 100).

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari tergambar bahwa tahap kontak dengan Islam di daerah Ciamis adalah kontak dengan Cirebon. Kontak tersebut dilakukan dengan secara perorangan yaitu oleh Susuhunan Jati. Kondisi masyarakat yang terpecah-pecah akibat pindahnya pusat kekuasaan, tersusun lagi menjadi komunitas muslim. Komunitas tersebut berkembang hingga tersusun kekuatan politik dalam bentuk kabupaten. Pada waktu itu proses islamisasi berlangsung terus sehingga terjadi pelembagaan Islam. Hal itu terlihat pada perekayasaan candi menjadi makam Islam sebagaimana terlihat di situs Rajegwesi. Hal-hal yang menunjukkan simbol-simbol religi pra-Islam dihilangkan dengan cara dibalik atau dirusak. Sedang untuk menghindari terjadinya kemusyrikan pada masyarakat, simbol-simbol religi pra-Islam tersebut dikumpulkan di suatu tempat.



Penutup

Proses Islamisasi di daerah Ciamis berlangsung dalam beberapa fase. Pada fase persentuhan dengan Islam terjadi dengan Cirebon. Perkembangan dari fase ini menjadikan tumbuhnya komunitas Muslim sehingga terbentuknya kekuatan politis dalam bentuk kabupaten. Pada masa ini terjadi pelembagaan Islam dalam bentuk perekayasaan simbol Islam dan penghapusan simbol-simbol religi pra-Islam. Keadaan tersebut tercermin pada kondisi tinggalan arkeologis bercorak Hindu-Buddha yang sudah mengalami perubahan bentuk, pengalihfungsian dan pemindahan lokasi.



Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban: Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press.


Ekadjati, Edi S. 1975. “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”. Dalam Teguh Asmar et all. Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hlm. 82 – 107. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.

Montana, Suwedi. 1996. “Perbedaan Dalam Cara Penyebaran Agama Islam di Jawa pada Abad ke-15 – 17 (Kajian Atas Historiografi Lokal dan Asimilasi Tinggalan Arkeologi)”. Dalam Forum Arkeologi No. 2, hlm. 12 – 37. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.


Saptono, Nanang. 2000. “Penelitian Candi Rajegwesi di Kabupaten Ciamis, Rekonstruksi Bentuk dan Hubungannya dengan Tinggalan Arkeologis di Sekitarnya”. Dalam Fachroel Aziz dan Etty Saringendyanti (ed.) Cakrawala Arkeologi, hlm. 46 – 61. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.


Sukardja, Djadja. 2004. Inventarisasi dan Dokumentasi Sumber Sejarah Galuh Ciamis, Naratas 15 No. 426/Juli/2004.

Widyastuti, Endang. 2006. “Penelitian Arca-arca di Ciamis, Kaitannya Dengan Teknik Pengarcaan”. Dalam Edi Sedyawati (ed.) Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan, hlm. 55 – 72. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.


Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku “Widyasaparuna”, hlm. 17 – 23. Editor Prof. Dr. Timbul Haryono. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2007.

Label: