BANGUNAN SUCI DI SITUS INDIHIANG, TASIKMALAYA, JAWA BARAT
Endang Widyastuti
Balai Arkeologi Bandung
endangunieq@yahoo.co.id
Sari
Di situs Indihiang
terdapat tinggalan berupa Lingga, Yoni, dan batu bulat. Adanya
tinggalan-tinggalan tersebut mengindikasikan bahwa lokasi tersebut merupakan
bangunan suci pada masa Kerajaan Sunda. Faktor pendukung situs tersebut sebagai
bangunan suci adalah lokasi yang berada di tempat tinggi. Berdasarkan bentuknya
bangunan yang terdapat di situs Indihiang berupa batur tunggal dengan atap
mudah rusak yang ditopang oleh batu-batu bulat sebagai umpaknya.
Kata kunci: Indihiang, lingga, yoni, bangunan suci
Abstract
On the site there are the remains of
Indihiang Linga, Yoni,
and boulderstone. The existence of the remains, the remains indicated that
the location is a sacred building
in the Kingdom of Sunda. Supporting factors such as building
sites are sites
that are sacred
in the highest places.
Based on the shape of buildings located on the site Indihiang a
single shelf can
be easily damaged with roofs supported
by round stones
as pedestal.
Key words: Indihiang, lingga, yoni, sacred building
PENDAHULUAN
Kota
Tasikmalaya merupakan kota yang baru berdiri sejak tahun 2001. Sebelumnya kota
Tasikmalaya merupakan ibukota Kabupaten Tasikmalaya (Munandar, 2011: 302).
Dengan demikian sejarah Kota Tasikmalaya mempunyai kaitan yang erat dengan
sejarah Kabupaten Tasikmalaya. Kabupaten Tasikmalaya sejak jaman Belanda telah
tercatat memiliki banyak tinggalan arkeologis. N.J. Krom dalam Rapporten
Oudheidkundige Dienst 1914 telah
mencatat adanya beberapa tinggalan arkeologis di Kabupaten Tasikmalaya.
Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut antara lain di daerah Gunung Cihcir
terdapat sebuah patung kecil tipe Pajajaran yang telah rusak; di daerah
Legok terdapat beberapa buah benda dari emas dan logam lainnya, anting-anting
emas berbentuk sapi dan sebuah hulu berbentuk naga; di Gunung Galunggung
terdapat Alas kaki berbentuk lingga dan dua patung batu polynesis; di puncak
Gunung Cakrabuana terdapat undak-undakan (teras); di puncak Gunung Parung
Karangnunggal terdapat dua buah patung kecil dari batu (Krom, 1915).
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 2005 dengan tema Ikonografi
masa Hindu-Budha di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, tercatat adanya temuan
berupa lingga dan yoni di situs Indihiang. Selain lingga dan yoni di lokasi
tersebut juga terdapat beberapa batu bulat dan beberapa batu datar. Adanya
temuan tersebut menimbulkan pertanyaan benarkah bahwa situs Indihiang merupakan
sebuah bangunan suci pada masa pengaruh Hindu Budha. Sehubungan hal tersebut
maka makalah ini akan mencoba menjelaskan faktor-faktor pendukung situs
tersebut sebagai bangunan suci. Untuk menjelaskan hal tersebut akan dilihat
situs tersebut berdasarkan kajian bentuk, kawasan geomorfologi, dan kawasan
budayanya.
GAMBARAN UMUM SITUS INDIHIANG
Gambaran
lokasi
Situs Indihiang
secara administratif terletak di Blok Wangkelang, Kampung Sindanglengo,
Kalurahan Sukamaju Kidul, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya. Situs
Indihiang berada pada koordinat 07°17'50,1'' LS dan 108°11'27,1'' BT
(berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 420 m di atas permukaan
laut. Situs berada di puncak bukit yang disebut Bukit Cikabuyutan. Lahan sekitar
situs merupakan lahan subur dan rimbun
yang ditanami beberapa tanaman keras, yaitu albasia, mahoni, kecapi, rambutan,
cempedak, kelapa, bambu, dan lada. Di sebelah
barat laut situs berjarak sekitar 0,5 km terdapat sumber mata air yang
dikenal dengan nama Cikahuripan. Sekarang ini mata air telah berubah menjadi
lahan persawahan. Di sebelah selatan dan barat situs terdapat Sungai Ciloseh
yang bermuara di Sungai Ciwulan.
 |
Lokasi Situs Indihiang (Sumber: Google Earth tahun 2012 dengan modifikasi) |
|
Gambaran
situs
Situs Indihiang berada pada sebuah lahan datar
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 7,30 X 7,20 m dengan ketinggian ± 420 m di atas permukaaan laut. Sekarang di
situs ini sudah dilakukan pemagaran oleh BP3 Serang serta pemasangan papan nama
oleh Balai Pengelolaaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, dan Nilai Tradisional
Propinsi Jawa Barat. Di lokasi situs terdapat batu datar, menhir, batu bulat
serta lingga dan yoni (Widyastuti, 2005).
 |
Situasi Situs Indihiang (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2005) |
Lingga
digambarkan berupa sebongkah batu andesitik yang berbentuk memanjang. Panjang
batu ini sekitar 45 cm. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian
yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan
bagian atas bulat. Diameter batu sekitar 19 cm. Bagian-bagian lingga mempunyai
penyebutan tersendiri yaitu bagian dasar berupa segi empat disebut brahmabhaga,
bagian tengah berbentuk segi delapan disebut wisnubhaga, dan bagian
puncak berbentuk bulat panjang disebut siwabhaga (Atmodjo, 1999: 23).
 |
Lingga di Situs Indihiang (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2005) |
Yoni digambarkan berupa sebongkah batu berbentuk balok yang berbahan batuan
sedimen. Ciri-ciri yoni yaitu berdenah bujur sangkar, terdapat
tonjolan yang berfungsi sebagai cerat, dan terdapat lubang di permukaan bagian
atas yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Persatuan antara lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan (Atmojo,
1999: 23). Tinggi yoni
sekitar 55 cm, dengan panjang dan lebar 56 cm. Pada salah satu
sisi bagian atas terdapat bekas pangkasan. Kemungkinan bagian yang dipangkas
tersebut adalah bagian batu yang menonjol yang berfungsi sebagai cerat. Pada permukaan atas batu terdapat lubang
berbentuk bujur sangkar dengan panjang sisi 19 cm dan dalam 25 cm. Bagian badan batu tersebut terdapat pelipit.
Pelipit tersebut dibuat secara simetris antara bagian atas dan bagian bawah,
yaitu pelipit lebar dan pelipit tipis yang diseling dengan sisi genta. Pada
bagian tengah badan batu tersebut terdapat panil polos. Selain lingga dan yoni
di lokasi ini juga terdapat dua batu bulat dan sejumlah batu berbentuk tak
beraturan yang terserak di lokasi tersebut.
 |
Yoni di Situs Indihiang (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2005)
|
 |
Batu Bulat di Situs Indihiang (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2005)
|
PEMBAHASAN
Kajian Bentuk
Sebagaimana diketahui
bahwa sampai sekarang ini di Jawa Barat Peninggalan yang berupa bangunan suci
masa Hindu Budha sangat jarang ditemukan. Beberapa tinggalan yang telah
diyakini sebagai bangunan suci atau candi yang telah tercatat adalah kompleks
percandian Batujaya, Cibuaya, Cangkuang, Bojong Menje, Candi Ronggeng, Batu
Kalde, dan Bojong Emas. Bangunan-bangunan suci tersebut selain kompleks
percandian Batujaya dan Cibuaya yang diyakini berasal dari masa Kerajaan
Tarumanegara, tinggalan yang lain kemungkinan berasal dari masa Kerajaan Sunda.
Sampai saat ini belum banyak diketahui
bagaimana bentuk bangunan keagamaan di Jawa Barat pada masa Kerajaan Tarumanegara.
Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia selain
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (Sumadio, 1990: 29). Pada masa Kerajaan
Tarumanegara telah dianut agama Hindu dan Budha. Dengan dianutnya agama
tersebut tentunya diperlukan suatu tempat untuk melaksanakan kegiatan yang
bekaitan dengan keagamaan. Berdasarkan data tertulis dalam hal ini prasasti,
keberadaan bangunan keagamaan pada masa Tarumanegara hanya disinggung sedikit
pada Prasasti Tugu (Soeroso, 1998: 4). Sementara itu tinggalan arkeologi yang
bersifat keagamaan yang ditemukan di Jawa Barat yang diyakini berasal dari
masa Kerajaan Tarumanegara adalah
candi-candi di situs Cibuaya, Karawang. Di situs Cibuaya terdapat paling tidak
tujuh candi, tetapi yang masih tergolong utuh di antaranya adalah Lemah Duhur
Lanang dan Lemah Duhur Wadon (Utomo, 2004: 24 - 33). Tinggalan di Lemah Duhur
Lanang yang masih tersisa berupa bagian kaki yang berdenah segi empat. Pada
bagian puncak terdapat lingga semu berukuran tinggi 1,11 m. Sedang tinggalan
yang masih tersisa di Lemah Duhur Wadon hanyalah bagian kaki berdenah bujur
sangkar berukuran 3,5 x 3,5 m. Kedua bangunan tersebut terbuat dari bata
(Munandar, 2011: 104 – 105). Soeroso dengan memperbandingkan antara situs
Cibuaya dengan situs Kota Kapur menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah persamaan
dalam hal bentuk, isi dan kronologi dari kedua situs tersebut. Berdasarkan
perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur bangunan di Lemah Duhur
Lanang dan Lemah Duhur Wadon hanyalah berupa batur dengan arca atau lingga di
bagian puncaknya (Soeroso, 1998: 6 - 7).
Tinggalan masa Tarumanegara di Karawang juga
ditemukan di Kompleks Percandian Batujaya (Munandar, 2011: 100 – 103).
Berdasarkan bentuk bangunan dan beberapa tinggalan arkeologi yang ada
dipastikan bahwa bangunan candi di kompleks percandian Batujaya berlatarkan
agama Buddha.
Tinggalan arkeologis di Batujaya hingga tahun
2000 telah ditemukan 24 situs tersebar di Desa Segaran dan Telagajaya. Di Desa
Segaran ditemukan 13 situs dan di Telagajaya 11 situs. Dari keduapuluhempat
situs ini terdapat beberapa situs yang telah diekskavasi dan menampakkan sisa
bangunan candi. Situs tersebut antara lain Unur Jiwa, Unur Blandongan, Unur
Serut, dan Unur Asem.
Sisa-sisa tinggalan di
Unur Jiwa menunjukkan bahwa bangunan yang ada dahulu berupa teras berundak
dengan puncaknya berupa stupa. Sementara itu bangunan di unur Blandongan berupa
batur dengan dilengkapi tubuh dan atap candi yang terbuat dari bahan yang mudah
rusak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya umpak yang terdapat pada bagian batur
candi.
Data mengenai keberadaan
bangunan suci juga dapat diperoleh berdasarkan data naskah. Salah satu naskah
yang mengungkapkan akan adanya bangunan suci adalah Naskah Bujangga Manik.
Bujangga Manik adalah seorang pendeta dari Sunda yang mengadakan perjalanan
keliling Pulau Jawa pada akhir abad ke-15. Dalam laporan perjalanannya Bujangga
Manik menyinggung mengenai suatu tempat yang disebut dengan Desa Pananjung
(Munandar, 1993/1994: 147). Dalam laporan tersebut diceritakan bahwa di desa
Pananjung terdapat reruntuhan sebuah candi. Sangatlah mungkin bahwa candi yang
pernah dikunjungi oleh Bujangga Manik tersebut adalah situs Batu Kalde. Dengan
demikian diyakini bahwa situs Batu Kalde berasal dari masa sebelum abad ke-15. Ferdinandus
berdasarkan hasil ekskavasi yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa bangunan
di situs Batu Kalde kemungkinan hanya berupa batur atau bangunan berteras
dengan tiang dan atap dari bahan yang tidak tahan lama (Ferdinandus, 1990: 295
- 297). Tiang dan atap tersebut ditopang oleh batu-batu berbentuk silinder yang
ditemukan di situs Batu Kalde yang difungsikan sebagai umpak-umpak.
Pada masa Kerajaan Sunda sebuah tempat suci
pada umumnya disebut juga dengan istilah kabuyutan. Kabuyutan yang dikenal dalam masyarakat Sunda Kuna tentunya mengacu
pada suatu tempat atau struktur bangunan yang berbeda bentuknya dengan
yang dikenal dalam masyarakat Jawa Kuna (Munandar, 1993/1994: 145).
Bentuk-bentuk bangunan suci atau kabuyutan
pada masa Kerajaan Sunda pada dasarnya adalah sebagai berikut.
1. Batur tunggal yang
ciri arsitekturnya:
a. hanya satu batur (teras), terbuat dari
batu polos, balok batu, atau bata
b. mempunyai tangga atau tidak mempunyai
tangga
2. Punden berundak yang
ciri arsitekturnya:
a. berteras 2, 3, atau lebih
b. teras-terasnya tersusun dari batu polos
atau balok batu
c. terdapat tangga pada bagian tengah teras
menuju teras teratas.
3. Bangunan pertapaan
yang belum diketahui secara pasti bentuknya, dapat berupa gua-gua atau bangunan
tersendiri dari bahan yang mudah lapuk. Sejalan dengan religi yang berkembang
pada masa Kerajaan Sunda, maka bangunan-bangunan tersebut seringkali dilengkapi
dengan arca-arca yang berasal dari pantheon Hindu seperti lingga, yoni, ganesa,
maupun arca-arca tipe pajajaran (Munandar, 1993/1994: 166 - 167).
Berdasarkan pemaparan
terdahulu telah diketahui bahwa arsitektur di daerah Jawa Barat pada umumnya
berupa batur baik tunggal maupun berundak. Bagian tubuh dan atap bangunan
tersebut tidak ditemukan lagi. Hal ini kemungkinan karena bagian tubuh dan atap
bangunan tersebut terbuat dari bahan yang mudah rusak.
Dalam mitologi Hindu
seringkali Siwa digambarkan dalam bentuk lingga. Lingga yang
digambarkan sebagai kelamin laki-laki biasanya dilengkapi dengan yoni sebagai
kelamin wanita. Persatuan antara Lingga dan Yoni melambangkan kesuburan. Dalam
mitologi Hindu, yoni merupakan penggambaran dari dewi Uma yang merupakan salah
satu sakti (istri) Siwa. Yoni adalah landasan lingga yang melambangkan kelamin wanita (vagina).
Pada permukaan yoni terdapat sebuah lubang berbentuk segi empat di bagian
tengah –untuk meletakkan lingga- yang dihubungkan dengan cerat melalui sebuah
saluran air sempit. Cerat hanya terdapat pada salah satu sisi dan berfungsi
sebagai pancuran. Lingga dan Yoni biasanya dihubungkan dengan kehadiran candi
(Atmojo, 1999: 47). Yoni
merupakan bagian dari bangunan suci dan ditempatkan di bagian tengah ruangan
suatu bangunan suci. Yoni biasanya dipergunakan sebagai dasar arca atau lingga.
Yoni juga dapat ditempatkan pada ruangan induk candi seperti Candi Jawi di Jawa
Timur. Berdasarkan konsep pemikiran Hindu, Yoni adalah indikator arah letak
candi (Ferdinandus, 1990: 296).
Dengan
demikian kemungkinan situs Indihiang merupakan sebuah bangunan suci bersifat
agama Hindu. Bangunan suci tersebut berbentuk batur tunggal dengan lingga yoni
sebagai pusatnya. Atap bangunan terbuat dari bahan yang mudah rusak yang
ditopang oleh umpak-umpak yang terbuat dari batu bulat.
Kawasan Geomorfologi
Tasikmalaya
mempunyai keunikan tersendiri dibanding dengan daerah-daerah lain di belahan
Nusantara, yaitu dengan memiliki jumlah bukit yang cukup banyak yang tersebar
di hampir seluruh kawasan, sehingga bisa dibilang salah satu keajaiban dunia.
Berdasarkan sejarah, diketahui bahwa Gunungapi Galunggung telah mengalami
beberapa kali letusan (erupsi) dengan intensitas dan kekuatan yang
berbeda-beda, yaitu: sebelum tahun 1822 yang erupsinya sangat dahsyat, yang
salah satu akibatnya adalah terbentuknya Bukit Sepuluh Ribu Tasikmalaya (Bahasa
Sunda: Gunung Sarewu). Bukit-bukit ini tersebar ke sebelah tenggara dari mulut
depresi, dengan ketinggian yang bervariasi. Bukit-bukit ini kemudian dikenal
dengan sebutan The Ten Thousand Hills of Tasikmalaya atau Bukit Sepuluh
Ribu Tasikmalaya. Letusan Gunungapi Galunggung selanjutnya terjadi pada tahun
1982 yang kegiatan vulkanismenya berlangsung hampir setahun sampai pada awal
tahun 1983. (http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzEyMg diunduh tanggal 26 Januari 2012).
Sejak masa prasejarah gunung atau tempat yang tinggi
telah menduduki tempat yang cukup penting dalam alam pikiran manusia. Tinggalan-tinggalan
yang berupa bangunan-bangunan megalitik banyak ditemukan di tempat-tempat yang
tinggi. Gunung dianggap sebagai tempat bersemayam roh nenek moyang. Memasuki
masa pengaruh Hindu Budha, peranan gunung juga cukup penting. Gunung dianggap
sebagai tempat tinggal para dewa, sehingga tempat-tempat suci banyak yang
ditempatkan di gunung.
Pada masyarakat Sunda, pada masa pengaruh Hindu
Budha, gunung menempati tempat tersendiri pada sistem religinya. Naskah Carita
Parahyangan dan Amanat galunggung menyebutkan bahwa Gunung Galunggung merupakan
tempat yang disucikan oleh masyarakat pada zaman Kerajaan Galuh. Di gunung
tersebut banyak terdapat kabuyutan, atau bahkan gunung itu sendiri merupakan
kabuyutan bagi Kerajaan Galuh (Munandar, 2004: 107). Sementara itu masyarakat
Kerajaan Pakuan Pajajaran menganggap Gunung Gede sebagai gunung suci. Bujangga
Manik menyebutkan bahwa Gunung Gede (Bukit Ageung) merupakan kabuyutan bagi
rakyat Pakuan (Munandar, 2004: 109).
Berkaitan dengan situs Indihiang, situs ini terletak
di puncak bukit yang disebut bukit Cikabuyutan. Penempatan situs ini di puncak
bukit memperkuat keberadaan situs ini sebagai tempat suci bagi masyarakat
sekitarnya.
Kawasan Budaya
Di punggung
Gunung Geger Hanjuang, desa Rawagirang Singaparna terdapat sebuah prasasti yang
disebut Prasasti Geger Hanjuang atau Prasasti Rumatak. Prasasti tersebut
ditemukan pada tahun 1877. Prasasti Geger Hanjuang dipahatkan pada sebongkah
batu pipih berukuran 85 x 62 cm. Prasasti tersebut terdiri dari tiga baris
dengan tulisan berhuruf Jawa Kuna dan berbahasa Sunda Kuna (Djafar, 1991: 16).
Isi prasasti menyebutkan mengenai penyusukan Rumatak oleh Batari Hyang pada
tahun Saka 1333 atau 1411 Masehi (Djafar, 1991: 17). Dilihat dari angka tahun
yang terdapat pada prasasti diperkirakan bahwa prasasti tersebut dibuat pada
masa Kerajaan Sunda berpusat di Kawali dengan rajanya yang bernama Niskala
Wastu Kancana (Sumadio, 1990: 365 – 367). Niskala Wastu Kancana atau yang
dikenal juga dengan nama Prabu Raja Wastu merupakan salah saeorang raja Sunda
yang cukup terkenal. Nama ini disebutkan dalam tiga prasasti yaitu prasasti
Batutulis, Kebantenan dan Kawali. Selain itu juga disebutkan dalam naskah Carita Parahyangan dan Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara.
Menurut
naskah Carita Parahyangan Prabu raja
Wastu atau Niskala Wastu Kancana memerintah selama 104 tahun (Sumadio, 1990:
367). Masa pemerintahan yang cukup lama ini disebabkan sang raja menjalankan
roda pemerintahan dengan baik dan berpegang pada ajaran agama. Penulis naskah Carita Parahyangan menjelaskan masa pemerintahan
Prabu Raja Wastu ini dengan cukup panjang lebar dan menunjukkan kekagumannya
(Nastiti, 1996: 27). Prabu Raja wastu ini diketahui telah mengeluarkan enam
prasasti yang dikenal dengan prasasti Kawali I – VI. Salah satu prasasti Kawali
yaitu prasasti Kawali III merupakan prasasti pendek yang berbunyi Sang Hyang
Lingga Hyang (Nastiti, 1996: 24). Hal ini menunjukkan adanya pemujaan kepada
lingga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa religi yang berkembang pada
masa pemerintaha Prabu Raja Wastu adalah Hindu. Dalam Pantheon Hindu dewa Siwa
seringkali digambarkan sebagai lingga. Keberadaan Lingga yang berpasangan
dengan yoni di situs Indihiang menunjukkan bahwa religi yang dianut adalah
Hindu. Lingga dan yoni merupakan satu kesatuan sebagai pusat pemujaan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian
terdahulu disimpulkan bahwa situs indihiang merupakan sisa bangunan candi.
Simpulan tersebut diperkuat dengan kajian terhadap tiga aspek yaitu aspek
kajian bentuk, kawasan geomorfologi, dan kawasan budaya. Berdasarkan kajian
bentuk, situs Indihiang merupakan bangunan suci yang berbentuk batur tunggal.
Berdasarkan keletakannya, situs ini merupakan tempat tertinggi di wilayah
tersebut. Hal ini dikaitkan dengan konsepsi gunung sebagai tempat dewa. Secara
kawasan budaya, kawasan ini merupakan wilayah Kerajaan Sunda yang berpusat di
Kawali. Pada waktu itu religi yang dianut adalah Hindu, dengan objek pemujaan
yang berpusat pada kesatuan lingga dan yoni sebagai lambang Dewa Siwa.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Hasan. 1991. Prasasti-prasasti Dari Masa Kerajaan Sunda. Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan
Pajajaran. Bogor 11 - 13 November.
Ferdinandus, P.E.J. 1990. Situs Batu Kalde di Pangandaran, Jawa Barat.
Dalam Edi Sedyawati et al. (Ed.). Monumen
Karya Persembahan Untuk Prof. DR. R. Soekmono. Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, Depok: 285 – 301.
Munandar, Agus Aris. 1993/1994. Bangunan Suci Pada Masa Kerajaan Sunda:
Data Arkeologi dan Sumber Tertulis. Pertemuan
Ilmiah Arkeologi VI. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta: 135 – 178.
--------. 2004. Sebaran Situs Arkeologi di Jawa Bagian Barat: tinjauan
terhadap Dasar Konsepsi Keagamaan. Dalam Kresno Yulianto (Ed.). Tradisi, Makna, dan Budaya Materi. Ikatan
Ahli Arkeologi Indonesia, Bandung: 102 – 115.
--------. 2011. Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat dalam Khasanah Sejarah
dan Budaya (Edisi Revisi). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa
Barat, Bandung.
Nastiti, Titi Surti. 1996. Prasasti Kawali. Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996: 19 -
37.
Soeroso. 1998. Arsitektur Jawa Barat. Dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra: 1 – 13.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuna. Dalam Marwati Djoened Poesponegorodan
Nugroho Notosusanto (ed.) Sejarah
Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Utomo, Bambang Budi. 2004. Arsitektur
Bangunan Suci Masa Hindu-Budha di Jawa Barat. Asisten Deputi Urusan
Arkeologi Nasional, Jakarta.
Widyastuti, Endang. 2005. Ikonografi Masa Hindu-Budha Di Kabupaten Ciamis Dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian
Arkeologi. Balai Arkeologi Bandung, Bandung.
Catatan: Artikel ini
diterbitkan di buku Arkeologi Ruang:
Lintas Waktu Sejak Prasejarah Hingga Kolonial di Situs-situs Jawa Barat dan
Lampung. Editor Dr. Heriyanti O. Utoro. Bandung: Alqaprint. Tahun 2012.
Halaman 31 – 42.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda