PERUBAHAN BUDAYA
MASYARAKAT PESISIR INDRAMAYU
CULTURE CHANGE
IN INDRAMAYU COASTAL COMMUNITIES
Nanang Saptono
nangsap@yahoo.co.id
Balai Arkeologi Bandung
Jalan Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623
Abstract
In the 16th
century, Indramayu is one of the six ports on the northern coast of Java, which
is under the control of the Kingdom of Sunda . Some archaeological facts and
stories that illustrate the history of society is a society Indramayu merchant.
In the 18th century Indramayu is no longer a port city that is
because Ci Manuk can no longer navigable boat so that merchant ships were
anchored off the coast of Indramayu can not connect to the city center
Indramayu to conduct trading activities / exchanges. Culture that occurred on
the eve of the 18th century to the present can be seen through the
tradition has continued until now . In Indramayu coastal area there are several
sacred sites. Communities around the shrine at certain times of the ceremonies
associated with rice cultivation cycle . Based on this it is seen that changing
the culture of the traders to the farmers. Explanatory study of the
archaeological data can be obtained through the study of historical overview of
the cultural change . Farming activities are activities that relate to
cultivate land. In theory known model of cultural ecology Environmental
determinism states that environmental conditions play an important role in
shaping the culture. There are also models of Environmental possibilism stating
that the environmental conditions are just as limiting/selectors . It happened
in Indramayu seen that Ci Manuk silting caused flood water to the environment
in Indramayu suitable for bersawah activity. At the same time, rice
cultivations was also introduced Mataram troops who invaded Batavia in 1628 and
1629. Thus the cultural changes in Indramayu occur due to environmental factors
and political expansion of Sultan Agung.
Key word: merchants, farmers, the
changes, environmental, political
Abstrak
Pada
sekitar abad ke-16, Indramayu merupakan salah satu dari enam pelabuhan di
pantai utara Jawa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Beberapa fakta
arkeologis serta cerita sejarah masyarakat menggambarkan bahwa masyarakat Indramayu
merupakan masyarakat pedagang. Pada abad ke-18 Indramayu bukan lagi sebagai
kota pelabuhan yang disebabkan karena Ci Manuk tidak dapat lagi dilayari perahu
sehingga kapal-kapal dagang yang berlabuh di pantai Indramayu tidak dapat
terhubung ke pusat kota Indramayu untuk melakukan aktivitas
perdagangan/pertukaran. Budaya masyarakat yang terjadi pada menjelang abad
ke-18 hingga sekarang dapat dilihat melalui tradisi yang masih berlangsung
hingga sekarang. Di kawasan pesisir Indramayu terdapat beberapa lokasi yang
dikeramatkan. Masyarakat di sekitar keramat pada waktu-waktu tertentu melakukan
upacara yang berkaitan dengan siklus penanaman padi. Berdasarkan hal ini
terlihat bahwa budaya masyarakat berubah dari masyarakat pedagang ke masyarakat
petani. Kajian eksplanatif terhadap data arkeologis melalui studi historis
dapat diperoleh gambaran mengenai perubahan budaya tersebut. Aktivitas bertani
merupakan aktivitas yang berhubungan dengan mengolah lahan. Dalam teori cultural ecology dikenal model Environmental determinism yang
menyatakan bahwa kondisi lingkungan sangat berperan dalam membentuk kebudayaan.
Selain itu juga terdapat model Environmental
possibilism yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan hanya sebagai
pembatas/penyeleksi. Hal yang terjadi di Indramayu terlihat bahwa pendangkalan
Ci Manuk menyebabkan luapan air sehingga lingkungan di Indramayu cocok untuk
aktivitas bersawah. Bersamaan dengan itu, budaya bersawah juga diperkenalkan
oleh pasukan Mataram yang menyerbu Batavia pada 1628 dan 1629. Dengan demikian
perubahan budaya masyarakat di Indramayu terjadi karena faktor lingkungan dan
politis ekspansi Sultan Agung.
Kata kunci: pedagang,
petani, perubahan, lingkungan, politis
PENDAHULUAN
Sebagaimana kehidupan,
kebudayaan akan mengalami perkembangan. Kebudayaan bersifat dinamis. Manusia
sebagai pendukung kebudayaan mempunyai bakat di dalam gen-nya untuk
mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi dalam
kepribadian individunya. Dari berbagai hal inilah kemudian manusia membangun
kebudayaannya. Wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadian
sebagai pembentuk kebudayaan itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli
yang berada dalam sekitaran alam dan lingkungan sosial maupun budayanya. Salah
satu proses pembentukan kebudayaan adalah institutionalization.
Dalam proses itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran
serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang
hidup di kebudayaannya. Dengan demikian, individu sebagai bagian dari
masyarakat akan selalu mengembangkan diri untuk membangun kebudayaan. Demikian
juga masyarakat, secara komunal akan mengembangkan kebudayaannya. Terdapat
beberapa proses perubahan kebudayaan dalam masyarakat yaitu proses difusi,
akulturasi, asimilasi, dan inovasi (Koentjaraningrat, 1990).
Proses difusi terjadi
karena terjadi perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain.
Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi
turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran
unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran unsur-unsur
kebudayaan dapat juga terjadi tanda ada perpindahan kelompok-kelompok manusia
dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena ada individu-individu
tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Sebagai
contoh adalah para pedagang dan pelaut yang menjelajah dunia. Pada zaman
penyebaran agama-agama besar, para pendeta agama Buddha, agama Nasrani, dan
kaum muslimin mendifusikan berbagai unsur kebudayaan dari mana mereka berasal.
Bentuk difusi yang lain lagi adalah berdasarkan pertemuan-pertemuan antara
individu-individu dalam suatu kelompok dengan individu-individu kelompok
tetangga.
Proses perubahan
kebudayaan selanjutnya adalah akulturasi. Proses akulturasi timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses
perubahan kebudayaan selanjutnya adalah asimilasi. Proses ini timbul bila ada
golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul
langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan
golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga
unsur-unsurnya masing-masing berubah wujud menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran.
Proses perubahan
kebudayaan berupa inovasi adalah suatu proses pembaruan kebudayaan dari
penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru tenaga kerja
dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem
produksi, serta dibuatnya produk-produk baru. Inovasi biasanya berkaitan dengan
unsur teknologi dan ekonomi.
Perubahan kebudayaan
dapat terjadi pada kelompok manusia manapun, tidak hanya terjadi pada
masyarakat yang tinggal di kawasan pedalaman dan juga masyarakat pesisir. Namun
demikian, karena secara geografis kawasan pesisir lebih mudah terjadi interaksi
antar masyarakat maka biasanya di kawasan pesisir itulah sangat mudah terjadi
perubahan kebudayaan. Dalam kajian ini akan dibahas perubahan kebudayaan yang
terjadi pada masyarakat pesisir Indramayu.
Kawasan pantai utara
Jawa Barat sejak masa Kerajaan Sunda sudah sering disinggahi pedagang dari
luar. Menurut Joao de
Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan di sepanjang pantai
utara yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan
Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83).
Selain Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166).
Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan.
Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sedangkan Pires menyebutnya
dari barat ke timur. Antara Barros dan Pires pun ada perbedaan dalam penyebutan
lokasi. Calapa yang disebut Pires
tidak disebut oleh Barros, sedangkan Xacatra
atau Caravam yang disebutkan Barros
tidak disebutkan oleh Pires.
Tomé Pires juga
memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cortesão, 1967:
170-173). Bantam merupakan pelabuhan
besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung
hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara
lain beras dan lada. Pomdam juga
merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang
dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar.
Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas,
Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa
beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus.
Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat
penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas
yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue,
Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan
Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano
merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh
di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin dengan
Chemano hingga seluruh Jawa.
Chiamo
atau Chemano dapat diidentifikasi
sebagai Cimanuk yang merupakan nama lama untuk Indramayu. Graaf dan Pigeaud
(1985) menyebut bahwa kota Indramayu atau Dermayu dahulu merupakan kota
pelabuhan Kerajaan Sunda Galuh. Perubahan nama Cimanuk menjadi Indramayu
menurut tradisi masyarakat Indramayu terjadi ketika Arya Wiralodra berkuasa di
Cimanuk.
Selain mempunyai
kota-kota pelabuhan, Kerajaan Sunda juga sudah mempunyai sistem jaringan
transportasi darat berupa jalan utama yang sudah dikenal oleh para pedagang.
Jalan darat itu berpusat di Pakwan
Pajajaran, yang satu menuju ke timur sedangkan yang lainnya lagi ke barat.
Jalan ke timur menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang
terletak di tepi Ci Manuk. Jalan ini dari Pakwan Pajajaran melalui Cileungsi
menuju Cibarusah kemudian belok ke arah utara menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum,
Karawang. Dari Tanjungpura ada jalur yang menuju Cikao dan Purwakarta kemudian
berakhir di Karangsambung. Di Karangsambung, jalan ini berlanjut ke arah timur
hingga ke Cirebon, kemudian ke selatan menuju Kuningan, dan akhirnya sampai ke
Galuh atau Kawali. Dari Karangsambung ada juga yang ke arah selatan menuju
Sindangkasih dan Talaga kemudian ke Kawali. Kedua jalan ini bertemu di daerah
Cikijing.
Sedangkan jalan yang ke
arah barat menghubungkan Pakwan Pajajaran hingga Banten melalui Jasinga dan
Rangkasbitung menuju Serang dan berakhir di Banten. Selain itu juga ada jalan
dari Pakwan Pajajaran menuju Ciampea dan Rumpin selanjutnya dilakukan melalui
S. Cisadane. Melalui jalan-jalan darat dan sungai itulah hasil bumi dan
pertambangan Kerajaan Sunda diangkut menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai. Dari
pantai barang-barang kebutuhan penduduk pedalaman diangkut melalui jalan itu
pula (Hardiati, 2009: 419 - 420).
Dalam perkembangannya hingga sekarang,
pelabuhan-pelabuhan tersebut ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang
surut bahkan sudah tidak dapat dikenali lagi secara pasti. Menurut John Joseph
Stockdale dalam bukunya Island of Java, keadaan di Jawa Barat pada tahun 1775 – 1778, hanya
ada tiga pelabuhan yaitu Banten, Batavia, dan Cheribon
(Stockdale, 1995: 193). Keadaan ini sangat berbeda dengan pemberitaan Tomé Pires.
Pada
masa Kerajaan Sunda hingga pada sekitar abad ke-18, Indramayu menunjukkan
sebagai kota dagang. Dengan demikian masyarakat pada waktu itu akan mempunyai
latar belakang kebudayaan sebagai masyarakat pedagang. Setelah abad ke-18,
Indramayu tidak lagi berfungsi sebagai kota dagang. Dengan beralihnya fungsi
kota Indramayu maka akan terjadi pula perubahan kebudayaan pada masyarakat
penghuninya. Bagaimana kebudayaan masyarakat setelah terjadi alih fungsi kota
dan bagaimana proses perubahan kebudayaan itu terjadi akan dibahas dalam
makalah ini.
SEJARAH DAN LEGENDA
Pada masa pra-Islam,
wilayah Kerajaan Sunda hingga Ci Pamali di daerah Brebes sekarang. Pada masa
itu, sekitar 1415 M di sebelah timur Indramayu yaitu Juntinyuat sudah ada
pemukiman. Selain Juntinyuat juga ada Desa Babadan yang pada tahun 1471 M pernah
dikunjungi Sunan Gunung Jati. Beberapa desa tua seperti Bungko, Panguragan,
Karangkendal, dan Kertasura mungkin pada waktu itu juga sudah berdiri. Di
daerah Cirebon sekarang bahkan sudah ada Desa Singapura, yang berada di bawah
kendali Kerajaan Sunda, dikepalai oleh
seorang Mangkubumi merangkap Syahbandar yang bernama Ki Gedeng Tapa. Masa
pemerintahan Sri Baduga Maharaja adalah tahun 1474 – 1513 M. Dengan demikian
maka desa-desa seperti Juntinyuat, Babadan, dan desa-desa sekitarnya merupakan
wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut Babad
Dermayu, desa-desa ini merupakan wilayah Rajagaluh yang merupakan salah
satu pemerintahan setingkat provinsi di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran (Dasuki,
1977: 17 – 19). Peran penting Cimanuk bagi Kerajaan Sunda berlangsung cukup
lama. Kerajaan Sunda bergantung pada Cimanuk tidak hanya ketika beribukota di
Pakwan Pajajaran tetapi juga ketika beribukota di Kawali dan Galuh daerah
Ciamis.
Menurut Babad Dermayu, nama Cimanuk kemudian
diubah menjadi Indramayu berkaitan erat dengan cerita wakil kerajaan Sunda
(Galuh) bernama Wiralodra yang menjadi penguasa di Indramayu. Pada tanggal 7
Oktober 1527, Cimanuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Sunda dan namanya
diubah menjadi Indramayu (Dasuki, 1977: 106). Nama Indramayu diambil dari nama
istri Wiralodra Endang Darma yang juga disebut Darma Ayu. Berdasarkan nama
panggilan tersebut, daerah Cimanuk kemudian disebut Dermayu yang akhirnya
jadi Indramayu.
Awal abad ke-16 di kawasan
Nusantara terjadi peristiwa penting yang mengakibatkan banyak perubahan. Pada
1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sejak itu hubungan dengan Eropa semakin
intensif. Perdagangan di kawasan Asia Tenggara mengalami kemajuan dengan pesat.
Kota-kota dengan penguasa para pedagang muslim dari Timur Tengah bermunculan
dan berkembang dengan pesat. Kerajaan Sunda yang merasa mendapat ancaman dari
orang-orang Islam, menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf dan Pigeaud, 1985:
146-147). Hubungan antara Portugis (Malaka) dengan Sunda berlangsung sejak
1512. Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam meminta
bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada ahun 1522 pihak
Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque,
mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian
dengan Raja Sunda. Ketika itu yang bertahta adalah Samiam (Hardiati, 2009: 397).
Perjanjian berlangsung
pada tanggal 21 Agustus 1522. Isi perjanjian pada intinya bahwa Raja Sunda
memberikan ijin kepada Portugis untuk membangun benteng. Raja akan menyediakan
lada sebanyak-banyaknya sebagai penukar barang-barang yang diperlukan. Sebagai
pernyataan persahabatan Raja Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap
tahun sejak Portugis membangun benteng (Djajadiningrat, 1983: 79-80).
Keberadaan Portugis di
Malaka banyak mendapat perlawanan dari penguasa Islam. Pada 1523, Malaka
diserang Sultan Mahmud yang bermarkas di P. Bintan. Walaupun Sultan Mahmud
tidak berhasil, namun Portugis di Malaka banyak mendapat kerugian. Pada 1526,
ketika Portugis akan mendarat di Sunda Kelapa untuk mewujudkan perjanjian
dengan Raja Sunda, mendapat perlawanan dari Demak dan Cirebon. Pada tahun 1526
itulah Fadhillah Khan dan Pangeran Cirebon berhasil merebut Sunda Kelapa
(Dasuki, 1977: 96-97). Keberhasilan Fadhillah Khan merebut Sunda Kelapa diikuti
oleh beberapa kota pelabuhan melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Sajarah Banten
menguraikan bahwa setelah pesisir utara Jawa Barat terlepas dari kekuasaan
Pajajaran, maka Panembahan Hasanuddin menyerahkan daerah yang telah dikuasainya
kepada Sunan Gunung Jati. Daerah-daerah yang berada di sebelah barat Sungai
Citarum diserahkan kepada penguasa Banten, sedang daerah yang terletak di
sebelah timurnya diserahkan kepada Pakungwati (Cirebon). Sunan Gunung Jati
kemudian menyerahkan daerah-daerah kekuasaan Cirebon kepada Demak sebagai
pemerintah pusat. Beberapa daerah di sebelah timur Sungai Citarum yaitu
Kandanghaur dan Lelea masih berada di bawah kekuasaan Kadipaten Sumedang
(Dasuki, 1977: 113-115).
Kerajaan Demak berdiri
pada sekitar 1475. Pendiri dan raja pertama di Demak adalah Raden Patah atau
Panembahan Jin Bun. Raden Patah adalah putra raja Kerajaan Majapahit, Brawijaya
dengan selir seorang Putri Cina. Ketika Putri Cina mengandung, atas desakan
permaisuri kepada Raja Brawijaya agar diberikan kepada Adipati Palembang yang
bernama Arya Dilah. Raden Patah lahir di Palembang. Perkawinan Putri Cina
dengan Arya Dilah melahirkan putra yang diberi nama Kusen.
Di dalam catatan Tomé
Pires, Raden Patah (Pate Rodim) yang juga dikenal dengan sebutan Panembahan Jin
Bun adalah anak Angka Wijaya dari Palembang menikah dengan cucu Sunan Ampel. Di
bawah kepemimpinan Raden Patah, wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara,
Semarang, Tegal, Palembang, Jambi, dan pulau-pulau yang terletak di antara
Kalimantan dan Sumatera. Pada abad ke-16
Demak telah menguasai seluruh Jawa. Hampir semua bagian pedalaman kerajaan
Majapahit telah menjadi daerah taklukan Demak. Di bagian barat, sebagian daerah
Pajajaran telah menjadi daerah di bawah pengaruh Demak. Cirebon juga ada di
bawah Demak (Tjandrasasmita, 2009: 52).
Pada 1512/1513 Demak
berusaha merebut Malaka dari tangan Portugis tetapi gagal. Raden Patah wafat
pada 1518 dan kepemimpinannya digantikan oleh Dipati Unus. Kepemimpinan Dipati
Unus tidak berlangsung lama. Pada 1521 meninggal dengan tidak mempunyai anak.
Karena tidak ada putra mahkota maka calon pengganti adalah saudaranya yaitu
Pangeran Mukmin atau Sekar Seda Lepen. Penobatan Pangeran Mukmin tidak pernah
berlangsung karena ia dibunuh oleh Sunan Prawata putra Pangeran Trenggana.
Pangeran Trenggana adalah adik Pangeran Mukmin. Dengan terbunuhnya Pangeran
Mukmin selanjutnya yang naik tahta kerajaan adalah Pangeran Trenggana. Pangeran
Trenggana memerintah dari tahun 1521 hingga 1546. Pangeran Trenggana wafat
dalam ekpedisi ke Panarukan. Sepeninggal Pangeran Trenggana, Demak mengalami
kekacauan. Arya Jipang, putra Pangeran Mukmin menuntut balas atas pengkhianatan
terhadap ayahnya. Arya Jipang membakar habis kota Demak kecuali Masjid Agung
Demak. Dengan hancurnya kota Demak, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke
Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir (Tjandrasasmita,
2009: 53-54).
Tahun 1568 Sunan Gunung
Jati wafat, pemerintahan Cirebon diserahkan kepada Panembahan Ratu. Kesultanan
Pajang kemudian menjalin hubungan dengan Cirebon dengan jalan melakukan
perkawinan antara puteri Sultan Pajang dengan Panembahan Ratu. Perkawinan ini
menyiratkan keinginan Pajang untuk menguasai Cirebon. Sepeninggal Sunan Gunung
Jati, Banten di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin menyatakan sebagai
kerajaan yang berdaulat, bebas dari ikatan Pajang maupun Cirebon.
Di Kesultanan Pajang
terjadi peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh Sutawijaya . Sutawijaya
adalah Ki Gedeng Mataram, bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan Pajang dan
akan mendirikan Kesultanan Mataram. Ketika Sultan Hadiwijaya akan menyerang
Mataram tiba-tiba wafat. R. Benawa sebagai putra mahkota Pajang kemudian
menyerahkan kekuasaan kepada Sutawijaya atau yang juga dikenal dengan nama
Ngabehi Loring Pasar. Sejak saat itu Ngabehi Loring Pasar memproklamirkan diri
sebagai Raja Mataram bergelar Senopati ing Ngalaga Sayidin Panatagama
Abdurrakhman Khalifatullah (Dasuki, 1977: 147-158).
Panembahan Senopati
menganggap bahwa Kesultanan Mataram merupakan pewaris dan penerus Kerajaan
Majapahit dan Demak. Mataram berusaha memperluas kekuasaan hingga menguasai
hampir seluruh wilayah Pulau Jawa. Pada 1590, Mataram mulai menjalin hubungan
kekeluargaan dengan Cirebon. Pada masa Sultan Agung, yaitu tahun 1615, Mataram
mulai memperkuat pengaruh terhadap Cirebon. Sultan Agung menikah dengan puteri
Panembahan Ratu. Wilayah Indramayu di sebelah barat Ci Manuk diserahkan kepada
Mataram. Selanjutnya pada 1619 Cirebon ditetapkan sebagai daerah vasal Mataram
dan pada 1625 Cirebon ditundukkan hingga akhirnya pada 1650 secara keseluruhan
menjadi bawahan Mataram.
Pada masa Sultan Agung
memerintah Mataram, hubungan dengan Banten mengalami ketegangan. Pada masa ini
VOC sudah berada di Batavia. Mataram mengambil hati VOC agar mau menyerang
Banten secara bersama-sama. VOC sebagai pihak yang mau mengambil keuntungan
tidak menghendaki salah satu kerajaan menjadi kuat. Oleh karena itu VOC menolak
keinginan Mataram. Pada 1628 Mataram menyerang VOC di Batavia tetapi mengalami
kegagalan. Serangan Mataram diulangi lagi pada 1629 dan mengalami kegagalan
lagi. Kegagalan berturut-turut yang dialami Mataram dikarenakan kekurangan logistik.
Mataram mengubah strategi, pada 1630 Sultan Agung menempatkan rakyatnya di
daerah Karawang, Ukur (Bandung), Sumedang, Ciasem, Cilamaya, dan beberapa
tempat di pantai utara Jawa untuk membuka persawahan guna mempersiapkan
logistik. Pada 1641 penduduk Mataram banyak ditempatkan di Indramayu untuk
membuka persawahan. Melihat gelagat seperti itu Banten tidak tinggal diam.
Sejak 1632 Banten menempatkan penduduknya di Karawang dan Cikalong Wetan.
Situasi perang antara Mataram, Banten, dan Batavia berlangsung lama. Daerah
Karawang hingga Indramayu menjadi medan pertempuran.
Ambisi Mataram untuk
menguasai tanah Jawa sedikit kendor setelah Sultan Agung wafat pada 1645.
Amangkurat I sebagai penerus tahta Mataram mendapat tekanan pemberontakan
Trunojoyo pada 1667 yang dibantu Kraeng Galesong dan Pangeran Giri. Banten juga
berpihak kepada Trunojoyo. Mataram terpaksa minta dukungan pihak VOC (Kompeni
Belanda) untuk mengatasi Trunojoyo. Dua pangeran Cirebon yang bermukim di
Mataram diculik Trunojoyo tetapi kemudian berhasil dibebaskan oleh pasukan
Banten dan selanjutnya dibawa ke Banten. Pangeran Wangsakerta menyusul ke
Banten, di sana mereka bertiga mendapat indoktrinasi untuk tidak bekerjasama
dengan Kompeni Belanda. Tahun 1678 mereka kembali ke Cirebon dan mendapat gelar
Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon.
Tiga Sultan Cirebon
berencana akan menyerang Sumedang. Rencana ini kemudian digagalkan oleh Kompeni
Belanda. Pada 1681 ditandatangani
perjanjian antara Kompeni Belanda dengan ketiga Sultan Cirebon yang sangat
merugikan Cirebon. Wilayah Kandanghaur, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan
Kabupaten Cirebon menjadi wilayah kekuasaan Kompeni. Selain itu ketiga sultan
tidak boleh memakai gelar Sultan tetapi harus kembali memakai gelar Panembahan.
Di Mataram, pemberontakan
Trunojoyo berhasil ditumpas pada masa Amangkurat II tahun 1679 dengan bantuan
Admiral Speelman dari Jepara. Di Balik keberhasilan ini Mataram harus
menanggung banyak kerugian. Amangkurat II didesak pihak Kompeni Belanda untuk
menandatangani piagam yang isinya bahwa semua pelabuhan dari Karawang hingga
pelabuhan terjauh di timur digadaikan kepada Kompeni sebagai pembayaran hutang
Susuhunan.
Beberapa tahun kemudian
timbul sengketa antara Amangkurat dengan Kompeni Belanda karena Amangkurat
tidak mau melaksanakan perjanjian yang dipaksakan Kompeni Belanda. Di pihak
Kompeni Belanda terjadi pemberontakan oleh Surapati, opsir kompenei yang merasa
terhina. Surapati beserta pengikutnya diterima Susuhunan Amangkurat II. Pada
1685 Kapten Tack datang ke Kartasura (Ibukota Mataram masa Amangkurat II) untuk
mengurus pembayaran hutang Susuhunan. Di Kartasura terjadi pertempuran antara
pasukan Surapati yang diperkuat rakyat Mataram dengan pasukan Kapten Tack.
Kemenangan berada di pihak Surapati. Kapten Tack beserta banyak serdadu Kompeni
Belanda terbunuh. Atas kekalahan ini, pihak Kompeni Belanda mau mengadakan
perundingan ulang mengenai hutang Susuhunan. Sebelum perundingan itu mencapai
kesepakatan, pada 1703 Amangkurat II wafat dan digantikan Amangkurat Mas atau
Sunan Mas.
Masa pemerintahan
Amangkurat Mas juga diwarnai intrik di dalam istana. Pngeran Puger menyingkir
ke Semarang karena berselisih faham dengan Sunan Mas mengenai hubungannya
dengan Kompeni Belanda. Di Semarang Pangeran Puger mendapat dukungan dari
Adipati Semarang, Bupati Surabaya, dan beberapa bupati lain. Pada 1704 para
bupati mengangkat Pangeran Puger sebagai susuhunan bergelar Pakubuwono. Sunan
Mas mengirim 40.000 pasukan untuk menumpas pemberontakan Pakubuwono. Panglima
yang memimpin pasukan itu ternyata berkhianat dan berbalik memihak Susuhunan
Pakubuwono. Pasukan Susuhunan Pakubuwono dibantu pihak Kompeni Belanda
menyerang Kartasura dan berhasil mendudukinya. Karena berhasil pihak Kompeni
Belanda mendapat hak untuk mengurus wilayah Priangan, Cirebon, dan Madura.
Kompeni pun kemudian melunaskan hutang-hutang Susuhunan tetapi pihak Mataram
harus mengirimkan beras ke Batavia sebanyak 800 koyan setiap tahun selama 25
tahun. Sejak itu pula Indramayu yang semula merupakan wilayah Mataram selanjutnya jatuh ke tangan Kompeni Belanda.
Tahun 1799 VOC
mengalami kebangkrutan dan akhirnya dibubarkan. Seluruh wilayah kekuasaan VOC
diambil alih pemerintah Belanda. Pada 1806 ditunjuklah Daendels sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels melakukan restrukturisasi
pemerintahan. Tahun 1809 Cirebon dinyatakan menjadi milik Belanda. Sultan
diperbolehkan memakai gelar tetapi mereka dianggap sebagai pegawai pemerintah
yang derajatnya sama dengan bupati. Bupati juga dinyatakan sebagai pegawai
pemerintah yang kedudukannya berada di bawah prefectur. Para bupati dibebaskan dari membayar upeti tetapi masih
berhak memungut pajak. Sebagian pajak yang diperoleh bupati harus disetor ke
Gubernur sebanyak 100.000 ringgit. Pada waktu itu daerah Cirebon dibagi menjadi
dua prefectur yaitu prefectur utara meliputi Indramayu,
Kuningan, Majalengka, dan Cirebon; prefectur
selatan meliputi Galuh, Sukapura, dan Limbangan. Daerah Cirebon dan Kuningan
dikepalai Sultan Sepuh, daerah Majalengka dikepalai Sultan Anom, dan daerah Indramayu
dikepalai Sultan Cirebon.
Tahun 1811 hingga 1816
penguasaan Indramayu pindah ke tangan Inggris di bawah pemerintahan Thomas
Stamford Raffles sebagai Luitenan Gubernur Jenderal. Raffless meneruskan
kebijaksanaan politik Daendels yaitu mengurangi sebanyak-banyaknya kekuasaan
raja dan sultan bahkan bupati. Salah satu peraturan yang diciptakan Raffles
yang banyak berpengaruh terhadap Indramayu adalah mengenai perbudakan. Pada
1812 Raffles mengeluarkan peraturan yang isinya 1) bagi setiap budak yang telah
mencapai usia 8 tahun dikenakan pajak kepala sebesar 1 ringgit Spanyol yang
harus dibayarkan oleh tuannya, 2) bagi setiap budak yang dijual, tuannya
dikenakan pajak penjualan sebanyak-banyaknya ½ ringgit Spanyol. Tahun 1815
segala peraturan mengenai biaya memerdekakan budak dicabut. Polisi tidak
diperkenankan menangkap budak yang melarikan diri atas permintaan tuannya.
Rakyat Cirebon dan Indramayu yang banyak menjadi budak orang Belanda dan Cina
menjadi berkurang.
Situasi politik di
Eropa mengalami gejolak. Pihak Inggris dan Belanda harus menghadapi ekspansi
Prancis di bawah Napoleon. Inggris akan menjadika Belanda sebagai benteng
pertahanan dari serangan Prancis. Agar Belanda kuat maka harus mempunyai
wilayah jajahan untuk membiayai keperluan militer. Pada 1814 dicapai
kesepakatan bahwa pemerintah Inggris akan menyerahkan kembali wilayah jajahan
kepada Belanda. Raffles menentang perjanjian itu akhirnya dipersilahkan
meninggalkan Jawa. Perjanjian antara Inggris dan Belanda baru bisa dilaksanakan
pada 1816.
Pemerintah Belanda
memerlukan banyak biaya untuk memenuhi anggaran militer. Banyak tanah di
wilayah jajahan dijual kepada swasta baik perusahaan maupun perorangan. Daerah
Indramayu di sebelah barat Ci Manuk termasuk di dalam daftar tanah yang dijual.
Sejak itu daerah Indramayu di sebelah barat Ci Manuk menjadi tanah partikelir
yang dikuasai tuan tanah bangsa Belanda, Inggris, dan sebagian Cina. Pada masa
tuan tanah, daerah Indramayu sebelah barat Ci Manuk terbagi dalam 6 Kademangan
yaitu Kademangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan (Sindang), Bangodua,
dan Jatitujuh. Sedangkan Indramayu sebelah timur Ci Manuk dibagi dalam 3
kawedanaan yaitu Kawedanaan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).
Dalam rangka mengelola
tanah jajahan, pemerintah Belanda membentuk Komissaris Jenderal terdiri Elout,
Buyskes, dan Van der Capellen selanjutnya Van der Capellen terpilih menjadi
Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Van der Capellen dalam mengelola
tanah-tanah partikelir memanfaatkan kedudukan sosial para Bupati dan
Kepala-kepala setempat. Sistem sewa tanah secara perorangan dihapuskan. Pajak
tanah tidak diambil langsung tetapi dibebankan kepada desa. Dengan demikian
pemerintah Kolonial Belanda tidak perlu berurusan dengan banyak orang.
Van der Capellen digantikan
oleh Du Buis. Konsep-konsep yang digagas oleh Du Buis tidak sempat terlaksana
karena berkobar perang Jawa/perang Diponegoro (1825 – 1830). Pada Oktober 1827
diangkatlah Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Van den Bosch menerapkan
sistem tanam paksa atau Cultuur-Stelsel.
Pemerintahan Belanda berakhir setelah pada 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat
di Eretan Wetan, Indramayu dan langsung bergerak dan menguasai Kalijati,
Subang. Akhirnya pada 7 Maret 1942 pemerintah Belanda diwakili Gubernur Jenderal
Carda van Starkenborg dan Jenderal Ter Poorten menandatangani penyerahan tanpa
syarat kepada Jepang.
Masa pendudukan Jepang
tidak memberi kemakmuran bahkan banyak menimbulkan penderitaan. Di Blitar
terjadi pemberontakan prajurit Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Indramayu di
bawah pimpinan Kapten Arya dan Mayor Dasuki juga mulai merencanakan
pemberontakan. Sebelum pemberontakan dicetuskan terdengar berita bahwa Hirosima
dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu. Beberapa hari kemudian Jepang menyerah
kepada sekutu. Markas Kempetai di Indramayu ketika diserbu oleh rakyat sudah
dalam keadaan kosong. Bala tentara Jepang di Indramayu ternyata ditarik ke
Kedungbunder, Palimanan, Cirebon. Tidak lama setelah Jepang menyerah kepada
sekutu Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
TINGGALAN
BUDAYA MASYARAKAT INDRAMAYU
Jejak-jejak budaya
masyarakat Indramayu sebagai pedagang terlihat pada toponimi, benda-benda
artefak dan situs, serta tradisi lisan masyarakat.
Toponimi
Di Indramayu terdapat
toponimi Pabean Ilir. Lokasi ini termasuk di wilayah Kecamatan Pasekan,
tepatnya berada pada posisi 06°17’36.93” LS dan 108°19’20.60”
BT. Pemukiman di Desa Pabean Ilir berpola memanjang mengikuti tanggul alam rawa
belakang (backswamp). Desa Pabean Ilir berdasarkan toponim merupakan bekas
pabean. Desa ini terletak pada sekitar bekas muara aliran Ci Manuk di Laut Jawa
dan merupakan bagian paling utara Kabupaten Indramayu. Sisa pemukiman lama
sudah jarang ditemukan lagi. Pemukiman yang ada sekarang merupakan pemukiman
baru dan terletak di sepanjang bekas aliran Ci Manuk. Di kanan kiri bekas aliran sungai tersebut
masih terdapat sisa-sisa tanggul yang sekarang dimanfaatkan untuk jalan desa.
Satu-satunya
indikator pemukiman lama yaitu adanya situs Embah Buyut Datuk Khapi. Situs ini terletak
di sebelah timur tanggul sungai. Berdasarkan keterangan, situs tersebut
merupakan petilasan padepokan Syech Datuk Khapi dalam rangka menyebarkan Islam
di Pabean. Syech Datuk Khapi adalah ulama dari Cirebon. Islamisasi yang
dilakukannya ditujukan kepada para pemukim di Pabean yang merupakan imigran
dari daerah Jawa Tengah. Sampai sekarang penduduk Desa Pabean menggunakan
Bahasa Jawa.
Keadaan
objek yang ada sekarang berupa “makam panjang” yang dilengkapi cungkup. Sekitar
objek berupa komplek kuburan umum yang masih dipakai hingga sekarang. Pada sisi
selatan komplek kuburan terdapat pagar tembok yang dilengkapi jalan masuk
berupa gapura paduraksa. Bangunan pagar beserta gapura merupakan bangunan baru.
Kompleks petilasan Syech Datuk Khapi terletak pada bagian paling utara.
Petilasan tersebut berpagar tembok yang merupakan bangunan baru. Jalan masuk
terdapat di sisi selatan tanpa dilengkapi gapura. Pada pagar sisi timur
terdapat sumur kuna berdiameter 1 meter (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 39 –
41).
Selain
Pabean, di Indramayu terdapat toponim Paoman. Toponim ini berasal dari kata
Pa-omah-an yang berarti perumahan. Menurut keterangan, Kampung Paoman merupakan
pemukiman yang dihuni para pekerja di Pabean. Dahulu para istri yang suaminya
bekerja di Pabean, bermukim di Paoman, bekerja sebagai pembatik. Sampai
sekarang tradisi membatik masih berlanjut.
Kampung
Paoman terletak di sebelah timur Ci Manuk dan merupakan bagian paling utara
pusat kota Indramayu. Di tengah-tengah pemukiman terdapat petilasan Padepokan
Paoman yaitu bekas lokasi islamisasi bagi pemukim di Kampung Paoman. Pada
petilasan tersebut terdapat “makam” dengan orientasi utara-selatan, yang
berukuran 1 X 3 m berjumlah sebelas. Makam-makam tersebut merupakan lambang
penyebar Islam di Paoman. Sembilan makam merupakan lambang walisanga, sedangkan
dua yang lain merupakan lambang Ki Jaka Geding sebagai pemimpin keamanan, dan
Ki Jaka Kendil sebagai pemimpin dapur umum (Saptono, 1995: 61).
Kepandean
merupakan toponim berasal dari kata Ka-pande-an yang berarti tempat industri
logam (pande). Di Kampung Kepandean
terdapat makam Ki Buyut Blencong. Makam tersebut berlokasi di sebelah timur Jalan
Jenderal Suprapta pada sebidang tanah kosong. Keadaan makam berjirat dan
berpagar tembok yang merupakan bangunan baru. Menurut kepercayaan masyarakat,
Ki Buyut Blencong merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan pembuatan
peralatan dari besi.
Di
Kampung Kepandean juga terdapat lokasi yang dipercaya sebagai lokasi industri
pande besi. Lokasi tersebut terletak di tepi Ci Manuk sebelah timur.
Berdasarkan pengamatan di lokasi, tidak ditemukan adanya bukti-bukti sisa
kegiatan industri pande besi. Namun demikian, indikator industri pande besi
ditemukan di Blok Dermayu Selatan, Desa Dermayu, Kecamatan Sindang, di seberang
barat Ci Manuk bersebelahan dengan Kampung Kepandean berjarak sekitar 300 m
(Saptono, 1994: 10).
Situs
dan Artefak
Di
beberapa lokasi di Indramayu terdapat beberapa situs dan artefak yang
menunjukkan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Di sepanjang ruas Jalan Jenderal
Suprapto, pada sisi kiri dan kanan jalan merupakan pemukiman etnis Cina. Secara
administratif, lokasi ini termasuk di wilayah Kelurahan Karang Anyar dan Karang
Malang yang merupakan pusat kota Indramayu. Masyarakat menyebut lokasi ini
Kampung Pacinan. Bangunan yang ada sebagian bertingkat, berfungsi sebagai
rumah toko (ruko). Sebagaian besar bangunan pada puncaknya terdapat ragam hias
berbentuk melengkung. Di antara jajaran rumah Cina terdapat suatu tempat yang
disebut Pasar Lawas. Menurut keterangan, dahulu pasar Indramayu berada di
lokasi tersebut. Pada sekitar tahun 1925, pasar dipindahkan ke lokasi sekarang
ini.
Pemukiman
etnis Cina, selain di Jalan Jenderal Suprapto juga terdapat di sepanjang Jalan
Cimanuk hingga Jalan Veteran. Ruas jalan ini sejajar dengan Jalan Jenderal
Suprapto di sebelah barat. Jalan Cimanuk dan Jalan Veteran terletak di sisi
timur Ci Manuk. Bangunan Cina di sepanjang ruas jalan tersebut berfungsi
sebagai rumah tinggal. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai gudang. Beberapa
gudang ada yang menghadap ke Ci Manuk (Saptono, 1995: 61 – 62).
Di
ruas Jalan Veteran pada sisi timur, terdapat Klenteng An Tjeng Bio atau Vihara
Dharma Rahayu. Vihara ini semula bukan merupakan bangunan permanen. Pada tahun
1848 dibangun secara permanen oleh Poey Soen Kam. Pada tahun 1880 dipindahkan
dari lokasi semula ke lokasi yang sekarang oleh Tan Liong Siang. Pada waktu itu
jumlah penduduk Tionghoa terdiri dari 219 orang laki-laki dan 302 orang
perempuan. Data ini terdapat pada catatan yang ada di klenteng tersebut. Klenteng
An Tjeng Bio merupakan tempat pemujaan kepada Toa Pekong Lak Kwa Ya, yang
merupakan panglima (Dewa) perang yang bersemayam di laut. Perayaan terhadap Toa
Pekong Lak Kwa Ya dilaksanakan setiap Cia Gwee Ji It yaitu tanggal 21 bulan
kesatu Imlek.
Bangunan
klenteng menghadap ke Ci Manuk yang terletak di sebelah barat klenteng. Secara
umum bangunan terdiri dari tiga unit. Bangunan yang terdapat di tengah
merupakan bangunan inti. Pada bagian tersebut terdiri dari dua yaitu bagian
depan dan bagian belakang. Bagian depan merupakan sebuah pendapa terbuka.
Sedangkan bagian belakang merupakan bagian utama tempat bersemayamnya Toa
Pekong Lak Kwa Ya. Di kanan dan kiri bangunan inti terdapat bangunan terbuka
yang masing-masing menghadap ke bangunan inti. Bangunan tersebut berfungsi
untuk pemujaan kepada panteon Budha (Saptono, 1994: 8 – 9).
Di Desa Krangkeng
Kecamatan Karangampel, terdapat artefak bagian-bagian pedati kuna (Tim
Penelitian, 2011: 10). Pedati kuna tersimpan pada suatu bangunan cungkup di
belakang kantor desa, tepatnya berada pada posisi 6°
28’ 34,44” LS dan 108° 29’ 15,82” BT pada ketinggian 4 m di
atas permukaan laut. Desa Krangkeng berada di sebelah timur Karangampel
berjarak sekitar 4 km. Permukiman berpola mengelompok dikelilingi area
persawahan.
Berdasarkan legenda
yang hidup di masyarakat, Pedati Kuno itu berkaitan dengan Dampu Awang, adalah
nama lain dari Laksamana Cheng Ho atau Sam Po (Sam Poo atau San Po) dalam
dialek Fujian atau San Bao dalam bahasa nasional Tiongkok (Mandarin). Cheng Ho
adalah pelaut yang selama hampir 28 tahun (1405-1433) mengunjungi lebih dari 30
negara dan kawasan yang terletak di Asia.
Kondisi pedati sudah
sangat rusak. Panjang pedati diukur dari rangka dasar utama, sekitar 3 m hingga
5 m. Tinggi bagian dasar dari permukaan tanah adalah sekitar 80 cm. Roda pedati berdiameter 2 m dengan
jari-jari sebanyak 15 buah, berporos pada sumbu roda. Sumbu roda pada tiap roda
berbentuk silinder, pada kedua ujungnya berbentuk tabung. Ujung sumbu bagian
sisi luar atau tempat jari-jari berporos, lebih besar bila dibandingkan dengan
ujung sumbu sisi bagian dalam yang dipasangkan dengan as roda. Sumbu roda
diukir pola garis memanjang.
Bagian lain yang masih
tersisa utuh adalah lengan kayu yang menghubungkan pedati dengan hewan
penariknya beserta kayu berbentuk lengkung yang biasa diletakan di atas bahu
hewan penariknya (kolongan).
Berdasarkan sisa bagian kolongan
dapat diperkirakan hewan penariknya adalah satu ekor sapi atau kerbau. Pedati
kuno juga dilengkapi kursi tempat duduk berlengan. Bagian lengan dan kaki kursi
dihias ukiran. Beberapa bagian lain yang tersisa diukir dengan ragam hias
sulur-suluran. Ragam hias demikian dipergunakan pada seluruh bagian badan
pedati. Papan yang mungkin merupakan bagian muka, belakang, atau samping
terdapat hiasan sulur-suluran.
Di rumah Awiyah, Blok
Karang Taruna, Desa Benda tersimpan artefak batu (Tim Penelitian, 2011: 11).
Masyarakat setempat menyebutnya Sambi
Watu. Sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1990-an akhir, batu tersebut berada
di pinggir sisi utara jalan desa pada kebun mangga tepatnya pada posisi 6°
27’ 48,52” LS dan 108° 27’ 50,54” BT dengan ketinggian 4 m di
atas permukaan laut. Di sebelah timur lahan merupakan area persawahan dan di
sebelah baratnya merupakan area perkampungan. Rumah Ibu Awiyah berada sekitar
100 m sebelah timur lokasi semula, berada berseberangan, sebelah sisi selatan
jalan desa. Alasan dipindahkan karena kalau di tempat semula tidak ada yang
merawat. Masyarakat Desa Benda dan sekitarnya mempercayai bahwa batu itu
merupakan peninggalan Dampu Awang.
Sambi
Watu
merupakan dua buah batu andesit yang bentuknya hampir sama, yaitu segi empat
pipih berukuran panjang 130 cm, lebar 66 cm, dan tebal 66 cm tersimpan di dalam
kamar diselubungi kelambu, diletakkan dalam posisi berdiri. Pada bagian bawah
terdapat takikan dengan lebar 16 cm. Di atas takikan terdapat dua lubang tembus
berdiameter 8 cm. Dilihat dari bentuknya, batu ini merupakan bagian dari ambang
pintu. Kedua lubang merupakan tempat meletakkan kayu penyangga daun pintu.
Selain dua buah batu tersebut juga terdapat beberapa batu polos. Batu-batu
tersebut dahulu berada di bawah batu yang berlobang tersebut.
Di Desa Lombang,
Kecamatan Juntinyuat sekitar 20 km timur kota Indramayu pernah ditemukan perahu
dalam kondisi tertimbun pasir. Lokasi temuan berada di sebelah timur laut jalan
raya berjarak sekitar 200 m. Secara geografis lokasi situs berada pada posisi 6°
24' 26,75" LS dan 108°
25' 32,96" BT. Morfologi daerah merupakan pedataran rendah di tepi pantai
Laut Jawa. Sungai yang mengalir di daerah ini yaitu Kali Gabus dan Kali Glayem.
Dahulu di daerah ini mengalir Kali Genggong. Pada saat sekarang sungai tersebut
tinggal berupa jejaknya dan diperkirakan lokasi penemuan perahu kuna tersebut
pada aliran sungai ini (Saptono, 1994: 15).
Penemuan perahu terjadi
pada sekitar bulan November 1991. Ekaskavasi penyelamatan yang dilakukan oleh
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala berhasil menampakkan secara keseluruhan
bangkai perahu (Michrob, 1992). Bangkai perahu berukuran panjang 11,5 m lebar 3
m tinggi sekitar 1,5 m. Bagian yang masih ada adalah serang (muka perahu), guri
(belakang perahu), celek (tempat
tiang layar), gading (rusuk perahu), galaran (papan yang ditempatkan di atas
gading), dan baya-baya (kayu
memanjang dari serang sampai guri). Teknik penyambungan beberapa
komponen menggunakan paku. Temuan perahu kuna ini sekarang disimpan di sebuah
bangunan di lokasi objek wisata Pantai Tirtamaya, Desa Lombang, Kecamatan
Juntinyuat. Pada pintu masuk bangunan tempat menyimpan perahu itu terdapat
papan nama “Musium Perahu”.
Cerita
Sejarah
Sejarah Indramayu
berkaitan dengan keberadaan kota pelabuhan yang merupakan wilayah kekuasaan
Kerajaan Sunda yang kebanyakan terletak di sekitar Teluk Banten kecuali
Cimanuk atau Indramayu yang terletak jauh di ujung timur Jawa Barat. Menurut
keterangan dalam Carita Parahyangan, antara
ibukota Kerajaan Sunda dengan kota pelabuhan dihubungkan dengan jalan
darat yang berpusat di Pakwan Pajajaran,
yang satu menuju ke timur sedangkan yang lainnya lagi ke barat. Jalan ke timur
menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi
Citarum kemudian berlanjut hingga ke Cirebon, Kuningan, hingga Kawali.
Sedangkan jalan yang ke arah barat menghubungkan Pakwan Pajajaran hingga Banten
(Hardiati, 2009: 420).
Berdasarkan data
sejarah tersebut dapat dilihat bahwa permukiman di tepi Cimanuk banyak disebut.
Hal ini tidak mengherankan karena kerajaan Sunda ketika beribukota di Kawali
dan Galuh daerah Ciamis, banyak menggantungkan prasarana transportasi menuju
pantai pada Cimanuk. Menurut Babad Dermayu, perubahan nama dari Cimanuk menjadi
Indramayu berkaitan erat dengan cerita wakil kerajaan Sunda (Galuh) bernama
Wiralodra yang menjadi penguasa di Indramayu. Pada tanggal 7 Oktober 1527,
Cimanuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Sunda dan namanya diubah
menjadi Indramayu (Dasuki, 1977: 106). Nama Indramayu diambil dari nama istri
Wiralodra Endang Darma yang juga disebut Darma Ayu. Dari nama panggilan
tersebut, daerah Cimanuk kemudian disebut Dermayu yang akhirnya jadi
Indramayu.
Surutnya kekuasaan
kerajaan Sunda digantikan oleh Banten di daerah barat Jawa Barat dan Cirebon di
daerah timur Jawa Barat. Pada masa ini Indramayu menjadi daerah kekuasaan
Cirebon, hingga masa kolonial, Indramayu dibawah kontrol residen Cirebon (Abdurachman, 1982: 29 - 67). Mengenai
sejarah yang berkaitan dengan kawasan pantai timur Indramayu khususnya daerah
Juntinyuat, kebanyakan cenderung bersifat legenda yang bercampur dengan cerita
sejarah (Dasuki, 1977: 339 – 340). Diceritakan bahwa Prabu Siliwangi sebagai
raja Kerajaan Pajajaran mempunyai putra Raden Kuncung Walangsungsang, Nyi
Larasantang, dan Raja Sengara. Ketiga putra Prabu Siliwangi ini pada suatu saat
mengadakan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Nyi Larasantang
kemudian diperistri Raja Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayat dan Syarif
Ngaripin.
Syarif Hidayat
bermaksud menuntut ilmu ke Mekah tetapi tidak terwujud. Syarif Hidayat kemudian
pergi ke Tiongkok. Di sana ia berlaku sebagai dukun yang bisa menyembuhkan
segala macam penyakit. Raja Tiongkok yang bernama Titongki kemudian menguji
kesaktian Syarif Hidayat dengan jalan disuruh menebak bayi yang dikandung
isterinya, apakah laki-laki atau perempuan. Padahal isteri Raja Titongki
tersebut sebenarnya tidak hamil. Syarif Hidayat mengatakan bahwa isteri Raja
Titongki mengandung anak perempuan. Raja Titongki marah karena tahu bahwa
Syarif Hidayat salah. Syarif Hidayat kemudian akan ditangkap tetapi berhasil
melarikan diri dan menuju laut. Setelah itu kemudian isteri Raja Titongki yang
sebelumnya pura-pura hamil jadi benar-benar hamil dan melahirkan anak
perempuan. Anak tersebut diberi nama Santi.
Ketika anak itu
menginjak dewasa menanyakan kepada Raja Titongki siapa sebenarnya ayahnya. Raja
Titongki mengaku sebagai ayahnya. Santi sebenarnya sudah tahu bahwa ia bukan
anak Raja Titongki. Ia kemudian melarikan diri menuju laut. Raja Titongki
merasa kehilangan anak, maka diutuslah beberapa punggawa di bawah pimpinan
Dampu Awang mencarinya ke laut. Di laut Santi bertemu dengan Syarif Hidayat.
Mereka berdua kemudian mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu Nabi (Islam).
Perjalanan Syarif
Hidayat hingga di Gunung Jati dan bertemu dengan Syech Datu Kahpi. Syarif
Hidayat mendapat banyak ilmu tentang Islam dari Syech Datu Kahpi. Ketika Syarif
Hidayat menuntut ilmu kepada Syech Datu Kahpi, Santi membuat tempat
peristirahatan di padang Junti. Kebetulan di sebelah selatannya ada orang
berkebun, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikebon. Di sebelah barat terdapat
kedokan air yang kemudian diperbaiki dan diperpanjang. Lokasi itu kemudian diberi
nama Juntikedokan. Di tepi laut dilihatnya ada pohon yang daunnya menyolok (nyongat) ke laut maka tempat itu
dinamakan Juntinyuat.
Pada kisah lain
diceritakan dalam Babad Cirebon,
Dampu Awang berkunjung ke rumah Ki Gedeng Junti (Dasuki, 1977: 7 – 9). Di situ
ia bertemu puteri Ki Gedeng Junti dan kemudian bermaksud untuk
mempersuntingnya. Ki Gedeng Junti mempersilahkan tetapi mengajukan syarat agar
Dampu Awang sanggup membongkar benteng pekarangan Ki Gedeng Junti yang tersusun
dari pohon bambu duri selebar 1,5 m dalam waktu semalam.
Dampu Awang yang kaya
menyanggupinya. Ia kemudian menyebarkan berita bahwa akan mengadakan “tawur mas picis raja-brana”. Penduduk
desa Junti mendengar berita itu lalu berbondong-bondong menuju alun-alun di
depan rumah Ki Gedeng Junti. Begitu malam tiba, Dampu Awang mulai menabur emas
pada rumpun bambu yang memagari pekarangan Ki Gedeng Junti. Rakyat mulai
berebut mendapatkan emas dengan cara membongkar benteng bambu. Satu demi satu
rumpun bambu itu jebol, sementara Dampu Awang terus menaburkan emas.
Usaha Dampu Awang
berhasil, akhirnya benteng pekarangan Ki Gedeng Junti jebol. Di mata Ki Gedeng
Junti, perlakuan Dampu Awang tersebut curang. Ia dan puterinya melarikan diri
menuju Gunung Sembung. Di sana mereka menemui Syech Bentong untuk mohon
perlindungan dari kecurangan Dampu Awang. Ki Gedeng Junti berjanji akan
menyerahkan puterinya agar diperisteri Syech Bentong. Pengejaran Dampu Awang
sampai di Gunung Sembung. Di situ bertemu Syech Bentong yang kemudian terjadi
perang mulut hingga perang fisik yang akhirnya dimenangkan Syech Bentong.
Akhirnya Syech Bentong memperisteri puteri Ki Gedeng Junti.
Legenda tentang
bertambah lebarnya laut di Desa Dadap juga berkaitan dengan Dampu Awang dan
puteri dari Junti (Dasuki, 1977: 358 – 359). Diceritakan bahwa Dampu Awang yang
berasal dari daerah timur berguru dan tinggal di Cirebon. Dampu Awang ingin
punya isteri. Ia mendengar bahwa di daerah Junti ada wanita cantik. Dia pun ke
Junti membawa barang-barang perhiasan dengan menggunakan tiga pedati. Karena
berangkatnya terlambat, satu pedati ditinggal di keraton. Dua pedati lainnya
berangkat ke Junti. Karena terlalu kesiangan, perjalanan pedati hanya sampai di
Desa Krangkeng. Dampu Awang melanjutkan perjalanan ke Junti sendirian. Sampai
di Junti keinginan Dampu Awang ditolak.
Dampu Awang pulang
kembali sambil mencari janda Nyi Ratu Benda. Di Benda, Dampu Awang mendapatkan
wanita yang mau diperisteri tetapi dengan syarat minta dibuatkan keraton dalam
waktu semalam. Dampu Awang menyanggupi karena dia bisa minta bantuan makhluk
halus untuk membuat keraton tersebut. Ketika pembuatan keraton baru selesai
bagian pintu gerbang, malam sudah berakhir. Makhluk halus yang membantunya lari
meninggalkan Dampu Awang. Emas dan perhiasan sudah terlanjur dipakai dan
ditabur di Desa Dadap.
Dampu Awang mengetahui
kalau dia diperdaya wanita dari Desa Benda. Dampu Awang mencari dan mengejar ke
mana wanita itu pergi. Wanita dari Desa Benda tadi karena terdesak masuk ke
laut. Dampu Awang hanya bisa mengutuk kalau di daerah Benda ada wanita yang
tidak mau menikah maka akan jadi perawan tua, dan bila ada pria yang tidak mau
menikah akan jadi perjaka tua. Dampu Awang kemudian kembali ke Cirebon. Pedati
yang tertinggal di Desa Krangkeng ditinggalkannya dan sampai sekarang masih
ada. Di Desa Dadap masyarakat percaya bahwa abrasi yang terjadi karena laut mau
mengejar wanita ke Desa Benda.
BUDAYA
MASYARAKAT PASCA ABAD KE-18
Tipe kebudayaan suatu
masyarakat dapat dilihat dari wujud kebudayaan yang dimilikinya. J.J. Honigman membedakan
tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifacts (Honigman, 1959 dalam Koentjaraningrat, 1990: 186).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa tiga wujud
kebudayaan tersebut terdiri dari
1.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya
2.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
3.
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Dari ketiga wujud
tersebut, yang dapat diamati hanya wujud kedua dan ketiga yaitu kompleks
aktivitas dan benda hasil karya manusia. Di kawasan pesisir Indramayu terdapat
beberapa lokasi yang berdasarkan aktivitas masyarakat pendukungnya dapat
memperlihatkan bagaimana tipe kebudayaannya.
Kompleks
Keramat Buyut Tambi dan Buyut Waja
Desa Tambi berada di
sebelah tenggara kota Indramayu berjark sekitar 18 km. Nama Desa Tambi
berkaitan erat dengan keberadaan makam keramat Buyut Tambi. Cerita atau sejarah
Buyut Tambi tidak pernah diketahui secara pasti. Masyarakat setempat dan juru
kunci makam tidak bisa menjelaskan mengenai tokoh Buyut Tambi. Keterangan
singkat yang diperoleh menyebutkan bahwa Buyut Tambi adalah seorang dalang
wayang kulit yang kemudian membuka lahan pemukiman yang saat itu masih kosong.
Di lokasi itu kemudian berkembang anak-cucu dan pendatang yang ingin ikut
bermukim. Setelah mengalami perkembangan, permukiman yang semula hanya
merupakan kelompok masyarakat akhirnya menjadi desa dan dinamakanlah Desa
Tambi.
Kompleks makam keramat
Buyut Tambi berada di tengah pemukiman padat di sebelah selatan jalan raya
Karangampel – Jatibarang. Secara geografis berada pada posisi 06°28’39.06”
LS dan 108°20’13.58”
BT. Kompleks makam menghadap ke arah timur. Di depan kompleks makam terdapat
lapangan semacam alun-alun. Komplek makam Buyut Tambi berpagar tembok bata
setinggi sekitar 2,5 m. Pintu gerbang berada di sisi timur terdiri dua jalan
masuk. Gerbang utama berada di bagian selatan. Di bagian utara terdapat gerbang
lainnya. Kedua gerbang tersebut berbentuk gapura paduraksa. Bagian atas terdapat
hiasan kemuncak berjumlah empat.
Kompleks makam terbagi
dalam tiga halaman. Makam Buyut Tambi berada di halaman ketiga. Jalan yang
berada pada halaman pertama dan kedua berupa koridor terbuka, di kanan dan kiri
terdapat bangunan terbuka untuk para peziarah. Pada halaman kedua di sisi utara
terdapat mushala. Pada halaman ketiga, hampir seluruhnya berada pada bangunan
terbuka. Pada bagian ini terdapat sekat-sekat untuk memisahkan para peziarah.
Bagian selatan halaman ketiga merupakan bagian terbuka, terdapat lima kuburan.
Makam Buyut Tambi berada di bagian utara halaman. Makam tersebut berada pada
kamar berdinding keramik. Pintu masuk berada di sisi selatan dalam keadaan
terkunci. Pada dinding sisi selatan ini dihias dengan tempelan piring keramik.
Di depan pintu cungkup terdapat berbagai kelengkapan ziarah seperti tungku
pembakaran kemenyan, botol air, dan benda-benda kecil lainnya.
Di sebelah selatan
cungkup makam Buyut Tambi pada bagian bangunan terbuka terdapat satu kelompok
makam khusus perempuan yang terletak dalam satu atap bangunan dengan dibatasi
pagar pembatas dari tembok berukuran sekitar 50 cm. Makam ini disebut dengan
Makam keramat Buyut Raisa. Di dalam makam ini terdapat 6 makam, terdiri dari 5
makam berada dalam satu deretan dari arah barat ke timur dan 1 makam terpisah
di sebelah utara dari 5 deret makam tersebut. Makam Buyut Raisa berada di dalam
5 deretan nomor dua dari arah barat. Makam-makam lainnya tidak diketahui siapa
yang dimakamkan di situ atau merupakan makam yang tidak dikenal. Dimungkinkan
masih kerabat atau pengikut Ki Buyut Tambi dan Buyut Raisa. Sementara itu,
Buyut Raisa sendiri tidak ada keterangan tentang keterkaitannya dengan Ki Buyut
Tambi.
Ada
beberapa upacara adat diselenggarakan masyarakat. Setiap malam Jumat menyelenggarakan
tahlil. Mapag tanggal diselenggarakan
setiap awal bulan pada tanggal ganjil hari Sabtu malam Minggu. Tanggal yang
dianut adalah sistem kalender Jawa Aboge. Bentuk acaranya adalah membuat
tumpeng dan melaksanakan tahlil. Setiap tahun menyelenggarakan acara khaul atau
mermule. Acara ini diselenggarakan setiap akhir musim panen kedua antara bulan
September atau Oktober. Pada acara ini sering juga dilengkapi dengan adanya
hiburan berupa wayang, sandiwara, musik organ tunggal, dan semacam pasar raya.
Juru Kunci hanya berkewajiban menyelenggarakan upacara adat sedangkan hiburan
merupakan tanggung jawab panitia penyelenggara. Pembangunan fisik bukan
kewajiban Juru Kunci. Perbaikan prasarana fisik memang menjadi tugas Juru Kunci
tetapi pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan pemerintah desa (Saptono dan
Lia Nuralia, 2012: 22 – 23).
Aktivitas
Masyarakat di Keramat Syekh Datuk Khafi
Di Keramat Syekh Datuk
Khafi diselenggarakan upacara adat ngunjungan.
Upacara ini diadakan satu tahun sekali pada bulan 9 (September) atau 10
(Oktober). Upacara ngunjungan
dimaksudkan untuk memanjatkan rasa syukur masyarakat petani setempat. Selain
upacara ngunjungan, masyarakat
setempat apabila akan melakukan hajatan atau mau berangkat ibadah haji juga
mengadakan tahlil di Keramat Syekh Datuk Khafi (Saptono dan Lia Nuralia, 2012:
39 – 41).
Keramat
Ki Buyut Gentong
Di daerah Losarang pada
masa awal masuknya agama Islam dikenal tokoh penyebar yang disebut Kuwu
Sangkan. Tokoh ini juga dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuwana atau Kuwu
Warsitem. Salah satu petilasan Kuwu Sangkan adalah di Keramat Ki Buyut Gentong.
Keramat ini berada di Dusun Muntur, Desa Santing, sekitar 750 m sebelah selatan
jalan raya Cirebon – Jakarta, tepatnya pada posisi 06°23’43.01”
LS dan 108°08’51.33”
BT.
Lahan Keramat Ki Buyut
Gentong berada di tengah perkampungan pada sisi barat laut persimpangan jalan
desa. Batas sisi selatan dan timur berupa pagar bambu, sedangkan sisi barat dan
utara dinding bangunan rumah penduduk. Pada bagian timur lahan terdapat pohon
asam (Tamarindus indica). Di sebelah
barat pohon asam terdapat bangunan, bagian selatan berupa bangunan terbuka
tanpa dinding, bagian utara terdapat bangunan cungkup menghadap ke selatan
beratap welit (rumbia).
Penelitian Balai
Arkeologi Bandung pada 1996 mencatat adanya dua batu pipisan yang tersimpan di
dalam bangunan cungkup. Batu pipisan pertama bagian atas berpenampang segi
empat dengan ukuran 39,5 x 20,5 cm. Bagian dasar juga berpenampang segi empat
tetapi dalam ukuran lebih kecil yaitu 24 x 11,5 cm. Bagian dasar atau kaki
berukuran tinggi 4 cm. Secara keseluruhan berpenampang lintang trapesium dengan
tinggi berukuran 12 cm. Batu pipisan kedua, bagian atas berukuran 40 x 21 cm.
Kedua sisi panjang pada bagian tengahnya agak masuk. Sedangkan salah satu sisi
lebarnya melengkung keluar dan sisi lebar lainnya rata. Pada permukaan atas
dekat dengan sisi lebar yang rata terdapat cekungan kecil berdiameter 5 cm.
Bagian dasar pipisan terdapat dua buah kaki masing-masing berpenampang lintang segi
tiga. Secara keseluruhan berukuran tinggi 12 cm. Kedua batu pipisan ini
sekarang dibungkus kain putih dan tidak diperbolehkan dibuka. Menurut
keterangan dahulu juga terdapat gentong keramik (guci) tetapi sekarang sudah
hilang. Gentong yang sekarang ada merupakan duplikat. Benda-benda tersebut
dipercaya sebagai tinggalan Kuwu Sangkan.
Beberapa upacara adat
masih dilaksanakan masyarakat di lokasi ini. Masyarakat setiap melaksanakan
hajatan didahului dengan mengirim nasi tumpeng ke keramat. Selain upacara adat
perorangan, juga ada upacara adat yang dilakukan secara komunal. Upacara adat
yang dilakukan secara masal antara lain “mapag
sri” setiap musim panen tiba dan “sedekah
bumi” pada setiap awal musim bertani. Pada acara “mapag sri” dilengkapi dengan tumpeng berjumlah tujuh, dilengkapi
dengan ayam bakakak dan degan ijo. Rangkaian acara biasanya juga
disertai dengan pertunjukan wayang (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 44 – 47).
Keramat
Buyut Slonto atau Buyut Jaka Dolok
Di Desa Kapringan,
Kecamatan Krangkeng terdapat keramat Buyut Slonto. Asal mula Desa Kapringan
menurut cerita tutur masyarakat bermula dari tokoh Buyut Daya Lautan. Sejak
kecil Buyut Daya Lautan sudah yatim piatu. Dia mempunyai pusaka peninggalan
orang tuanya berupa cucuk konde, keris “Jaka
Tua”, cemeti “Komala Geni”, dan
rotan. Buyut Daya Lautan mempunyai putra bernama Buyut Maspah yang kemudian
menjadi kuwu pertama di Desa Kapringan. Buyut Maspah berputrakan Buyut Warsiki.
Buyut Warsiki mempunyai anak Slonto dan Jayalaksana. Jayalaksana dibunuh oleh
orang Cirebon. Slonto akan balas dendam menyerang ke Cirebon. Di Desa
Suramenggala bertemu Kuwu Sangkan. Di situ Slonto dibersihkan jiwanya dan
berubah menjadi orang yang kalem (Dolok). Akhirnya Slonto mengurungkan niat
untuk menyerang ke Cirebon. Slonto memutuskan untuk tinggal di Desa Kapringan
hingga meninggal dunia dan dikenal dengan nama Jaka Dolok.
Keramat Buyut Slonto
atau Jaka Dolok berada di pinggir sawah sebelah timur Kantor Kepala Desa
Kapringan. Lokasi ini berada pada posisi 06°32’07.27” LS dan
108°27’30.48”
BT. Kompleks Keramat Buyut Slonto berupa pemakaman umum. Makam Buyut Slonto
berada di tengah-tengah kompleks dilengkapi bangunan cungkup yang merupakan
bangunan baru. Cungkup menghadap ke arah utara terdiri dua ruangan. Ruang depan
berfungsi untuk tempat para peziarah, sedang ruang dalam merupakan tempat makam
Buyut Slonto.
Di lokasi keramat Buyut
Slonto, secara komunal pada waktu tertentu dilaksanakan upacara adat. Upacara
adat yang secara rutin dilaksanakan adalah munjungan.
Acara ini dilaksanakan pada bulan Oktober atau November. Pada acara munjungan biasanya diisi dengan
pertunjukan wayang, sandiwara, tarling, dan organ tunggal (Saptono dan Lia
Nuralia, 2012: 47 – 48).
Keramat Buyut Tambi,
Syekh Datuk Khafi, Buyut Gentong, dan Buyut Slonto semua berada di kawasan
pesisir Indramayu. Masyarakat di sekitar lokasi keramat pada waktu-waktu
tertentu mengadakan upacara adat secara komunal di lokasi makam. Upacara adat
yang dilakukan berkaitan dengan siklus dalam menanam padi. Berdasarkan bentuk
budaya dalam wujud kompleks aktivitas berupa upacara adat tersebut terlihat
bahwa masyarakat pesisir Indramayu merupakan masyarakat petani. Dengan demikian
telah terjadi perubahan dari yang sebelumnya sebagai pedagang ke petani.
Perubahan budaya dapat
terjadi melalui beberapa proses salah satunya difusi. Pada kasus perubahan
kebudayaan di Indramayu, berdasarkan data sejarah dapat diketahui adanya proses
difusi oleh sebagian masyarakat Jawa yang memperkenalkan sistem persawahan.
Proses ini berkaitan dengan penyerangan tentara Mataram ke Batavia. Pada masa
Sultan Agung memerintah Mataram, hubungan dengan Banten mengalami ketegangan.
Pada masa ini VOC sudah berada di Batavia. Mataram mengambil hati VOC agar mau
menyerang Banten secara bersama-sama. VOC sebagai pihak yang mau mengambil
keuntungan tidak menghendaki salah satu kerajaan menjadi kuat. Oleh karena itu
VOC menolak keinginan Mataram. Pada 1628 Mataram menyerang VOC di Batavia
tetapi mengalami kegagalan. Serangan Mataram diulangi lagi pada 1629 dan
mengalami kegagalan lagi. Kegagalan berturut-turut yang dialami Mataram
dikarenakan kekurangan logistik. Mataram mengubah strategi, pada 1630 Sultan
Agung menempatkan rakyatnya di daerah Karawang, Ukur (Bandung), Sumedang,
Ciasem, Cilamaya, dan beberapa tempat di pantai utara Jawa untuk membuka
persawahan guna mempersiapkan logistik. Pada 1641 penduduk Mataram banyak
ditempatkan di Indramayu untuk membuka persawahan. Melihat gelagat seperti itu
Banten tidak tinggal diam. Sejak 1632 Banten menempatkan penduduknya di
Karawang dan Cikalong Wetan. Situasi perang antara Mataram, Banten, dan Batavia
berlangsung lama. Daerah Karawang hingga Indramayu menjadi medan pertempuran
(Dasuki, 1977; Graaf, 2002).
Pada kasus ini terlihat
bahwa sumber perubahan berasal dari luar. Menurut Rogers dan Shoemaker (1987:
17). Perubahan karena bersumber dari luar terdapat dua jenis yaitu selektif dan
terarah. Perubahan selektif terjadi apabila warga bersikap terbuka terhadap
pengaruh yang datang dari luar. Ide baru tersebut diterima didasarkan karena
kebutuhan yang dirasakannya sendiri. Perubahan terarah terjadi karena adanya
kesengajaan oleh pihak luar sebagai agen perubahan. Kelompok masyarakat ini
akan berusaha memperkenalkan ide-ide baru di luar sistem budaya masyarakat yang
dipengaruhinya agar diterima.
Perubahan yang terjadi
di Indramayu tampaknya tidak melalui proses perubahan terarah tetapi melalui
cara selektif. Pada awalnya sistem sawah hanya ditujukan untuk memenuhi
logistik para laskar Mataram yang akan menyerang Batavia. Secara arkeologis,
bukti-bukti adanya pengenalan sistem sawah terlihat pada adanya fitur sawah
yang dikenal dengan sawah dalem.
Objek berada di sebelah barat Kantor
Kepala Desa Plumbon. Sawah dalem berukuran sekitar 30 X 20 m.
Menurut keterangan, sawah tersebut merupakan bekas sawah laskar Mataram ketika
mengadakan penyerangan ke Jayakarta atau Batavia. Penyerangan besar-besaran
oleh Mataram terjadi pada tahun 1618 dan 1629. Ketika Belanda mengadakan
pembersihan terhadap laskar Mataram di sepanjang pantai utara Jawa, Laskar
Mataram di Indramayu menyamar sebagai penduduk setempat yang berprofesi sebagai
petani. Di sebelah utara situs sawah dalem
berjarak sekitar 500 m terdapat situs lumbung
dalem. Lokasi situs berada di tepi Ci Manuk sebelah timur berjarak sekitar
100 m. Lumbung dalem berada di dalam
sebuah cungkup yang merupakan bangunan baru. Lumbung terbuat dari bahan kayu
jati yang pada bagian tertentu berukir. Konstruksi bangunan lumbung menggunakan
teknik pasak berbentuk prisma terbalik. Ukuran bagian bawah 2,6 X 1,4 m
sedangkan pada bagian atas berukuran 3 X 1,8 m, tinggi keseluruhan 2 m. Menurut
keterangan, lumbung tersebut juga merupakan peninggalan laskar Mataram
(Saptono, 1994: 11). Pada kasus ini, laskar Mataram merupakan agen perubahan
dari luar bagi masyarakat pesisir Indramayu.
Perubahan
budaya di Indramayu selain dipengaruhi faktor budaya luar melalui proses difusi
juga dipengaruhi faktor biofisik. Ci Manuk yang semula berfungsi sebagai urat
nadi lalu lintas barang komoditi, secara perlahan mengalami pendangkalan
sehingga tidak mampu lagi memenuhi fungsi sebagai prasarana transportasi.
Tingginya volume lumpur yang terbawa dari kawasan hulu kemudian terendapkan di
kawasan hilir, selain berdampak negatif juga berdampak positif. Masyarakat
dengan cepat melakukan adaptasi. Menurut teori the cultural ecology sebagaimana yang digagas oleh Julian Steward,
pada intinya kebudayaan berkembang di dalam lingkungan-lingkungan lokal.
Kebudayaan inti (a cultural core)
memiliki kaitan paling erat terhadap aktivitas-aktivitas subsisten dan
penyusunan ekonomi (Iskandar, 2009: 47). Sementara itu menurut teori para
penganut environmental determinism
menyatakan bahwa faktor lingkungan bukan saja menentukan karakteristik
kebudayaan tetapi juga berperan dalam pembentukan kebudayaan. Jadi, ditegaskan
bahwa seluruh aspek-aspek kebudayaan manusia dan tingkah lakunya disebabkan
secara langsung oleh pengaruh lingkungan (Rambo, 1983 dalam Iskandar, 2009). Model
environmental determinism tidak
selalu bisa diterima. Sedikit berbeda dengan itu, para penganut environmental possibillism berpendapat
bahwa faktor-faktor lingkungan hanya membatasi kebudayaan tetapi tidak
menentukan kebudayaan (Ellen, 1982; Milton, 1966 dalam Iskandar, 2009).
Indramayu
pada masa Kerajaan Sunda merupakan kota pelabuhan dagang. Eksistensi Indramayu
sebagai kota pelabuhan sangat bergantung pada kondisi ekologi. Pelabuhan bukan
sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu
sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta
terlindung dari angin dan arus yang kuat. Tempat ideal untuk pelabuhan adalah
muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai
penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara
pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat
mengangkut hasil bumi ke pantai. Namun demikian, seringkali sungai membawa
material aluvial yang dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga
mendangkalkan pelabuhan. Apabila hal ibi terjadi, pelabuhan tidak dapat
dijadikan sebagai tempat kapal berlabuh (Tjandrasasmita, 2009: 141). Sedimentasi
adalah hasil proses erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah
lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, genangan banjir,
saluran air, sungai, waduk, dan muara (Asdak, 2007: 391). Pada umumnya daerah
genangan banjir yang mengalami sedimentasi merupakan daerah yang subur untuk
pertanian.
Kawasan
Indramayu mendapat pengaruh besar Ci Manuk. Sebagian kebutuhan air disuplai
dari Ci Manuk. Pengkajian terhadap sedimentasi yang terjadi di sekitar Ci
Manuk, khususnya daerah delta, sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli
misalnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten-ind). Ci Manuk
merupakan gabungan dari anak-anak sungai yang lebih kecil, yaitu Ci Lutung, Ci
Pelas dan Ci Keruh. Hulu Ci Lutung berada di Kabupaten Kuningan, berasal dari
kaki Gunungapi Ciremai. Hulu Ci Pelas berada di Kabupaten Sumedang, tepatnya di
kaki Gunungapi Tampomas. Hulu Ci Keruh berada di sekitar Kabupaten Garut.
Ketiga anak sungai Ci Manuk tersebut mengalir pada daerah-daerah endapan
volkanik muda berumur Kuarter. Debit air Ci Manuk mencapai 1200 m3/detik
di kala musim hujan, yaitu pada bulan Oktober hingga Maret. Pada musim kering
debit sungai ini hanya mencapai 5 m3/detik. Dengan debit sungai yang
sedemikian besar, di kala musim hujan, mengakibatkan alur sungai yang ada tidak
mampu menampung jumlah air sungai, air akan meluap keluar menggenangi
lingkungan sekitar. Dalam situasi tersebut kecepatan aliran air luapan (banjir)
Ci Manuk akan mengalami penurunan karena terhambat oleh berbagai
pematang-pematang, arus dan gelombang laut.
Kadar lumpur air Ci Manuk tergolong
tinggi yaitu rata-rata 2.850 mg/liter, sementara kadar maksimum adalah 8.840
mg/liter, karena memiliki kadar lumpur yang cukup tinggi maka pertumbuhan
daratan baru (akrasi) di kawasan
muara berlangsung dengan kecepatan kurang lebih 200 meter/tahun. Dua faktor
penting yang mempengaruhi dinamika alur Ci Manuk yaitu perubahan yang drastis
debit sungai dan kandungan lumpur yang cukup tinggi. Ci Lutung sebagai salah
satu anak sungai Ci Manuk juga mempunyai arti penting, sungai ini juga memiliki
kadar lumpur lebih dari 2.850 mg/liter. Dari kandungan lumpur yang demikian
tinggi tersebut ditambah dengan kandungan lumpur Ci Manuk dapat mencapai 27
juta ton/tahun. Akibatnya kawasan muara Ci Manuk akan mengalami proses
pendangkalan (akrasi) yang sangat
luas dan cepat. Material sedimen terangkut aliran Ci Manuk memiliki beragam
ukuran butir, gosong pasir terkadang terbentuk pada tengahtengah alur sungai (mid stream bar) yang terdiri dari pasir
ukuran sedang. Pembentukan gosong pasir tersebut dapat menghambat dan menyumbat
aliran alur-alur sungai mengakibatkan proses pengendapan tidak seimbang antara
satu alur dengan alur-alur lainnya (http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten-ind).
Tingginya
sedimentasi yang terjadi di sekitar aliran Ci Manuk mengakibatkan terjadinya
perubahan lingkungan. Pada masa Kerajaan Sunda, muara Ci Manuk sangat ideal
untuk pelabuhan. Daerah itu kemudian mengalami pendangkalan hingga menyebabkan
tidak dapat memenuhi fungsi sebagai pelabuhan. Di kanan-kiri aliran sungai juga
terjadi sedimentasi sehingga menyediakan lahan bagi aktivitas bercocok tanam. Berlandaskan
pada teori the cultural ecology dan
fakta di lapangan terlihat bahwa perubahan lingkungan di Indramayu menyebabkan masyarakat
menyesuaikan diri mengubah subsisten dari budaya perdagangan menjadi budaya
pertanian sawah. Hal ini juga terjadi karena adanya proses perubahan secara
difusi yang bersumber pada peristiwa ekspansi Mataram ke Batavia pada 1628
hingga 1630.
SIMPULAN
Dikaji melalui
pendekatan arkeologi, sejarah, dan cerita sejarah/legenda, Indramayu hingga sekitar
abad ke-16 merupakan kota pelabuhan dagang. Masyarakatnya pun bercirikan
masyarakat yang berbudaya pedagang. Memasuki abad ke-17 terjadi perubahan
kebudayaan pada masyarakat menjadi masyarakat petani sawah. Kompleks aktivitas
serta tindakan berpola masyarakat yang berlangsung hingga sekarang menunjukkan
bahwa masyarakat pesisir Indramayu adalah masyarakat petani. Perubahan ini
terjadi karena proses difusi yang disebabkan oleh adanya penetrasi budaya luar
yang dibawa oleh laskar Mataram yang akan menyerang Batavia. Secara politis
pada masa itu Indramayu berada di bawah kendali Mataram. Selain itu perubahan
yang terjadi juga didukung adanya perubahan lingkungan. Ci Manuk yang semula
dapat menjalankan peran sebagai urat nadi lalu lintas barang dan jasa, karena
terjadi sedimentasi pada akhirnya tidak lagi berfungsi sebagai prasarana
transportasi. Bila dilihat dari aspek pertanian, sedimentasi di sepanjang
bantaran sungai berdampak positif bagi pengembangan persawahan. Dengan demikian
proses perubahan budaya di Indramayu selain terjadi karena faktor pengaruh
budaya luar juga karena perubahan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman,
Paramita R. (Ed.). 1982. Cerbon.
Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, Sinar Harapan.
Asdak, Chay.
2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Cortesão,
Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome
Pires. London: The Hakluyt Society.
Dasuki. 1977. Sejarah Indramayu. Pemerintah Kabupaten
Daerah Tingkat II Indramayu.
Djajadiningrat,
Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang
Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan - KITLV.
Graaf, H.J. de.
2002. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik
Ekspansi Sultan Agung. Jakarta Grafitipers.
Graaf, H.J. de;
Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.
Iskandar, Johan.
2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan
Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas
Padjadjaran.
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Michrob, Halwany.
1992. Temuan Perahu KunoTradisi Jawa
Barat di Kabupaten Indramayu. Serang: Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Jawa Barat, DKI Jaya, dan Lampung.
Rogers, E.M. dan
F.F. Shoemaker. 1987. Memasyarakatkan
Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.
Stockdale, John
Joseph. 1995. Island of Java.
Singapore: Periplus Editions Ltd.
Saptono, Nanang.
1994. Permukiman di Indramayu.
Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Bandung, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Saptono, Nanang.
1995. Perkembangan Pemukiman di Indramayu. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi
Tahun XV Edisi Khusus 1995: 47 – 59.
Saptono, Nanang
dan Lia Nuralia. 2012. Pengelolaan Wisata
Ziarah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Laporan Penelitian Arkeologi
Publik. Balai Arkeologi Bandung, Badan Pengembangan Sumber Daya, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Hardiati, Endang
Sri (Ed.). 2009. Jaman Kuno, Sejarah
Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penelitian.
2011. Persebaran Tinggalan Arkeologis di
Indramayu. Laporan Pengumpulan Databased Arkeologi. Pusat Arkeologi
Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tjandrasasmita,
Uka (Ed.). 2009. Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka.
Label: Indramayu
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda