PERANAN ANJING PADA MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI
SEKITAR CANDI BOJONGMENJE ABAD VIII-IX
Nanang Saptono
nangsap@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Kehidupan sehari-hari manusia akan dipengaruhi dan mempengaruhi
lingkungannya. Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya
dipengaruhi oleh sistem budaya yang dimilikinya. Faktor budaya sangat penting
bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi. Dalam kehidupan sehari-hari,
sistem budaya terwujud nyata dalam sistem budaya yang ideal dan faktual. Sistem
budaya ideal adalah pedoman bagi orang untuk berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan. Sedang sistem budaya faktual hanya berbentuk hal-hal yang dianggap
sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. Aktivitas manusia yang
dikendalikan oleh sistem budaya ideal dan faktual, dalam hal hubungan timbal
balik dengan lingkungannya menunjukkan bahwa manusia mengelola lingkungan
sekitar. Lingkungan manusia didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada di
sekeliling manusia yang berpengaruh kepada kehidupan manusia itu sendiri.
Faktor-faktor sistem biofisik (ekosistem) di sekitar manusia sangat beragam
termasuk di dalamnya iklim, udara, air, tanah, tanaman, dan binatang. Hubungan
timbal balik yang erat antara dua subsisten dapat berjalan dengan baik dan
teratur karena adanya arus energi, materi, dan informasi (Iskandar, 2001: 7 – 8).
Budaya bagi manusia merupakan alat untuk berinteraksi dengan alam untuk
memenuhi seluruh kebutuhannya serta sebagai jembatan yang mengantarkannya ke
berbagai sumber daya energi atau energi yang ada di dalam ekosistemnya. Kebudayaan
berisi berbagai perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan
untuk mendorong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya.
Kebudayaan dapat dikatakan sebagai desain menyeluruh dari kehidupan manusia.
Pada umumnya, kebudayaan tidak diwariskan secara genetika, tetapi diperoleh
manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar. Manusia dapat mempelajari
sesuatu karena mempunyai kesanggupan untuk memuat dan memahami ide-ide yang
abstrak, serta mewujudkan kelakuan simbolik (Suparlan, 2005: 114 – 115). Media
untuk penyebaran semua informasi atau pengetahuan masyarakat tentang ekosistem
biasanya dalam bahasa indung. Berbagai kelompok masyarakat lokal memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang berbagai faktor lingkungan di sekitarnya
dengan istilah lokal yang khas. Faktor-faktor tersebut antara lain tentang
jenis-jenis tumbuhan, binatang, tanaman obat tradisional, batuan dan mineral,
tanah, permukaan topografi, tata guna lahan, tipe vegetasi, serta gejala
meteorologis (Iskandar, 2009: 36). Menurut aliran environmental determinism, lingkungan dapat membentuk
kebudayaan-kebudayaan manusia. Faktor lingkungan bukan saja menentukan
karakteristik-karakteristik kebudayaan, tetapi juga berperan dalam pembentukan
kebudayaan. Sosial manusia dan tingkah lakunya sebagian besar ditentukan oleh
habitat alami di mana mereka tinggal. Sementara itu para penganut environmental possibilism berpendapat
bahwa faktor lingkungan hanya membatasi kebudayaan dan tidak menentukan
kebudayaan. Lingkungan tidak langsung menyebabkan perkembangan kebudayaan
secara spesifik. Di luar model itu, Julian Steward berpendapat bahwa kebudayaan
telah berkembang di dalam lingkungan-lingkungan lokal. Suatu kebudayaan inti (a culture core) adalah bagian kebudayaan
yang memiliki kaitan paling erat terhadap aktivitas-aktivitas subsisten dan
penyusunan ekonomi (Moran, 1982; Ellen, 1982; Milton, 1996; Iskandar, 2009: 43
– 47).
Perkembangan budaya masyarakat tidak lepas dari hubungan timbal balik
antara masyarakat dengan lingkungannya. Budaya manusia bermula dari tahapan
masyarakat pengembara yang selalu berpindah-pindah (nomaden). Pada tahap itu, budaya manusia masih terbatas pada aktivitas
berburu dan mengumpulkan makanan. Manusia pada tahapan budaya bermukim, banyak
mempunyai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masyarakat
berpindah (nomad) aktivitas utama adalah berburu dan mengumpulkan makanan, sedangkan
pada masyarakat yang sudah menetap, meningkat dari pengumpul makanan menjadi
penghasil makanan. Meskipun masyarakat sudah bisa menghasilkan makanan melalui
bercocok tanam, tetapi aktivitas berburu masih sering dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan protein hewani. Kalau mengumpulkan makanan meningkat menjadi bentuk
aktivitas bercocok tanam, maka aktivitas berburu meningkat menjadi domestikasi binatang.
Salah satu binatang yang mengalami domestikasi adalah anjing.
Pada beberapa situs permukiman masa prasejarah di Indonesia telah
ditemukan data mengenai keberadaan anjing pada kehidupan manusia. Keberadaan
anjing mulai dikenal pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
yang berlangsung pada kala Pasca-Plestosen. Di Goa Cakondo, Sulawesi Selatan
pernah ditemukan gigi anjing. Penemuan ini merupakan suatu bukti bahwa telah
ada usaha penjinakan anjing. Seperti diketahui, anjing adalah binatang yang
dapat menolong manusia dalam hidupnya. Anjing dapat dipergunakan sebagai
penjaga tempat tinggal dan dapat dimanfaatkan dalam usaha-usaha berburu di
hutan. Gambaran adanya usaha domestikasi anjing juga terlihat pada lukisan pada
dinding gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Hal-hal yang dilukiskan meliputi
bermacam-macam jenis antar lain manusia dalam berbagai sikap, binatang meliputi
kuda, rusa, buaya, anjing, dan kadal (Soejono, 1990).
Selain fungsi praktis, anjing juga mempunyai fungsi magis. Pada
masyarakat prasejarah yang sudah mengenal sistem religi terdapat kebiasaan
menguburkan kerabatnya yang sudah meninggal di sekitar tempat kediamannya.
Mayat diletakkan mengarah ke tempat yang dipandang sebagai tempat asal-usul
moyang kelompoknya bersemayam. Bagi orang yang terpandang atau mempunyai
kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat, penguburan dilakukan dengan upacara
dan disertai bekal kubur yang lengkap. Bekal kubur selain benda-benda berharga
seperti periuk, benda-benda peruinggu dan besi, manik-manik, serta perhiasan
lain, kadang-kadang juga disertakan pengawal sewaktu masih hidup dan binatang
yang dianggap merupakan kendaraan roh. Di Gilimanuk, binatang yang ditemukan
sebagai bekal kubur adalah anjing (Soejono, 1990).
Anjing dalam kehidupan manusia tidak hanya berfungsi secara praktis
tetapi juga mengandung nilai-nilai religius. Anjing dalam mitologi bahkan ada
juga yang dinilai sebagai leluhur manusia. Legenda Sangkuriang yang hidup di
masyarakat Sunda berisi kisah kehidupan Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Mereka
digambarkan sebagai manusia biasa. Dayang Sumbi merupakan wanita penenun
sedangkan Sangkuriang merupakan pemburu binatang. Dalam kehidupan manusiawi
tersebut terjalin gambaran kehidupan legendaris dan mitologis. Baik Dayang
Sumbi maupun Sangkuriang terjalin dalam ikatan hidup bersama binatang. Dayang
Sumbi lahir dari babi hutan (Celeng Wayungyang) bersuamikan anjing (Si Tumang).
Sangkuriang lahir dengan anjing sebagai ayah (Ekadjati, 2009).
Jejak anjing ditemukan juga pada tinggalan dari masa klasik. Di Candi
Bojongmenje, Rancaekek, Bandung pernah ditemukan bata yang pada permukaannya
terdapat jejak anjing. Data ini dapat memberikan gambaran bahwa masyarakat yang
bermukim di sekitar Candi Bojongmenje pada waktu itu juga akrab dengan anjing.
Berdasarkan data ini akan diungkap bagaimana peranan anjing pada masyarakat
Bojongmenje. Dalam kajian ini akan diterapkan metode komparasi dengan relief
pada candi. Untuk mengetahui bagaimana binatang sudah mengalami domestikasi dan
dimanfaatkan untuk keperluan aktivitas manusia paling tepat melalui fisik
binatang itu sendiri. Binatang yang sudah mengalami domestikasi akan mengalami
perubahan karakteristik fisik dari spesies yang masih liar. Tulang dan gigi binatang
yang sering ditemukan di situs-situs arkeologi apabila sudah menunjukkan adanya
perubahan morfologi
seperti pengurangan ukuran rahang dan pemadatan gigi yang meningkat. Tulang pada
binatang hasil domestikasi tidak sekokoh pada tulang binatang liar. Fenomena tersebut merupakan respon
terhadap stres, kurangnya
olahraga, gizi buruk, kerusakan genetik, atau kombinasi faktor dari
beberapa faktor tersebut. Petunjuk terhadap domestikasi binatang juga bisa
diungkapkan melalui seni lukis pada dinding gua (Renfrew & Bahn, 1991).
Dengan demikian, kesenian masyarakat pada masa lalu terutama seni lukis atau
relief dapat dipakai untuk mengungkapkan aspek domestikasi hewan.
Kerangka pemikiran dalam mengungkap permasalahan, berangkat dari asumsi mengenai
jejak yang tertera pada bata. Melalui perbandingan antara jejak yang tertera
pada bata dengan jejak binatang yang dekat dengan kehidupan manusia dapat
diasumsikan bahwa jejak tersebut adalah jejak anjing. Selanjutnya dicari
gambaran mengenai berbagai peranan anjing pada masa klasik melalui relief pada
candi. Berdasarkan gambaran kehidupan masyarakat berikut lingkungan fisiknya selanjutnya
diperbandingkan dengan kondisi sosial masyarakat dan geomorfologis kawasan
Bojongmenje yang kira-kira mendukung kehidupan sebagaimana yang tergambarkan
pada relief. Berdasarkan perbandingan tersebut kemudian ditarik suatu simpulan.
Secara sederhana, kerangka pemikiran ini tergambar sebagaimana bagan berikut.
CANDI BOJONGMENJE DAN JEJAK ANJING
Candi Bojongmenje ditemukan pada Agustus 2002 selanjutnya pada
September 2002 dilakukan ekskavasi total. Secara
administratif lokasi Candi
Bojongmenje termasuk di wilayah Kampung Bojongmenje, Desa
Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.
Secara geografis berada pada posisi 6°57’57,28” LS dan 107°48’06,53” BT. Geomorfologi
kawasan Candi Bojongmenje secara umum merupakan pedataran bergelombang
dengan ketinggian antara 620 hingga 1700 m di atas permukaan laut,
Candi Bojongmenje berada pada ketinggian sekitar 675 m di atas
permukaan laut. Kawasan yang berada di bagian
selatan, di mana candi berada, dan barat merupakan pedataran rendah. Kawasan bagian utara dan
timur merupakan perbukitan. Bukit-bukit tersebut antara lain G. Bukitjarian
(1282 m), G. Iwiriwir, Pr. Sumbul (949 m), G. Kareumbi, G. Kerenceng (1736 m),
G. Pangukusan (1165 m), Pr. Sodok, Pr. Panglimanan, Pr. Dangusmelati, Pr.
Serewen (1278 m), G. Buyung, dan beberapa puncak lainnya.
Kawasan Bojongmenje dialiri beberapa sungai yang bermata
air dari kawasan pegunungan di sebelah utara dan timur. Di kawasan paling barat
mengalir Sungai Cikeruh. Ke arah timur berturut-turut terdapat aliran sungai
Cikijing, Cimande, dan Citarik. Sungai Cikijing dan Cimande bersatu dengan
Citarik. Candi Bojongmenje berada pada kelokan Sungai Cimande.
Di sebelah timur situs,
aliran Sungai Cimande bermula dari arah selatan ke utara
kemudian berbelok ke arah barat. Di sebelah barat laut situs sungai ini
kemudian berbelok lagi ke arah selatan.
Aliran Sungai Cimande yang berkelok menjadikan dataran
lokasi candi menjorok ke arah sungai. Menurut istilah Sunda, bentuk
geomorfologis seperti ini disebut bojong.
Secara toponimi di kawasan Jawa Barat banyak terdapat lokasi yang diawali
dengan bojong selanjutnya diikuti
dengan nama tumbuhan atau binatang (Bachtiar et al, 2008: 47). Menje
yang mengikuti kata bojong pada nama
Bojongmenje belum diketahui apakah merupakan nama tumbuhan atau binatang.
Menurut keterangan Abah Rochman, juru pelihara situs Bojongmenje, menje adalah nama tumbuhan yang buahnya
asam.
Lokasi candi waktu ditemukan berupa kompleks pemakaman
umum yang berada di sebelah selatan Jalan Raya Rancaekek, dikelilingi pabrik.
Makam yang ada sekarang sudah dipindahkan ke kompleks pemakaman umum di sekitar
Bojongmenje. Untuk menuju lokasi candi dari jalan raya melalui jalan setapak di
perkampungan padat penduduk. Dari jalan raya hingga lokasi berjarak sekitar
sekitar 300 m.
Struktur kaki candi Bojongmenje
(Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2002)
Ekskavasi berhasil menampakkan bagian bangunan yang
tersisa yaitu struktur bagian kaki. Struktur kaki candi sisi
barat tersisa lima hingga tujuh lapis batu. Bagian sudut barat daya dalam kondisi melesak. Struktur sisi utara
belum tampak karena berada di bawah pondasi pagar pabrik. Struktur sisi timur ditemukan dalam keadaan tidak lengkap. Beberapa batu
dalam keadaan terpotong akibat aktivitas penduduk membuat lubang galian
kuburan. Keadaan struktur sisi selatan
relatif utuh. Berdasarkan bagian kaki dapat diketahui bahwa
bangunan candi berdenah segi empat berukuran 6 x 6 m. Profil kaki candi terdiri
dari pelipit, sisi genta (ojief atau padma), dan bingkai rata (patta). Profil seperti ini merupakan
gaya bangunan candi Jawa Tengah abad ke-7 atau ke-8. Dengan demikian Candi
Bojongmenje diperkirakan dibangun pada abad ke-7 atau ke-8.
Pada kaki candi sisi timur ditemukan batu bagian ojief yang menyudut. Batu tersebut merupakan suatu
indikator bagian tangga/pintu. Berdasarkan temuan
ini dapat dipastikan bahwa arah hadap candi adalah ke timur. Selain struktur
bagian kaki, juga ditemukan beberapa komponen batu candi bagian tubuh dan atap.
Komponen bagian atap yang masih tersisa berupa kemuncak dan antefiks. Berdasarkan komponen tersebut
dapat dipastikan bahwa candi Bojongmenje merupakan bangunan lengkap yang
terdiri dari kaki, tubuh, dan atap (Djubiantono, 2002; Saptono, 2003). Selain
temuan berupa batu komponen bangunan juga ditemukan benda-benda artefaktual
yaitu fragmen tembikar dan alat serpih obsidian. Dengan adanya temuan ini
menunjukkan bahwa sebelum masyarakat masa klasik yang bermukim di Bojongmenje,
telah ada masyarakat prasejarah yang bermukim di lokasi itu (Saptono, 2005)
Fragmen arca nandi candi Bojongmenje
(Dok. Nanang Saptono, 2004)
Temuan penting lainnya di Candi Bojongmenje adalah
fragmen arca nandi bagian kepala. Kondisi fragmen arca bagian mulut patah,
telinga kiri juga patah. Kedua tanduk digambarkan hanya berupa benjolan. Pada
leher terdapat kalung berupa untaian manik-manik bulat. Berdasarkan temuan ini
dapat dipastikan bahwa Candi Bojongmenje bersifat Hinduistis. Beberapa benda
arkeologis yang pernah dilaporkan ditemukan di kawasan sekitar Bojongmenje juga
bersifat Hinduistis. N.J.
Krom di dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD)
1914 (Laporan Dinas Purbakala
Hindia-Belanda tahun 1914) melaporkan adanya runtuhan candi di Tenjolaya,
Cicalengka. Unsur bangunan candi yang dilaporkan antara lain patung bergaya
Polinesia, kala, patung Durga, dan beberapa balok-balok batu. Selain itu di
daerah Cibodas pernah juga dilaporkan adanya temuan patung Çiva-Mahãdewa. Di
Cibeeut ditemukan patung Ganeça. Pleyte pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa
di Desa Citaman, 200 m sebelah utara Stasiun KA Nagreg, terdapat objek
purbakala yang oleh masyarakat setempat disebut pamujan. Di situs ini pernah ditemukan patung Durga (Pleyte, 1909).
Beberapa temuan penting tidak hanya ditemukan pada
waktu ekskavasi tetapi juga pada waktu dilakukan kegiatan penyelamatan dan
prapemugaran. Pada waktu kegiatan penyelamatan dilakukan ekskavasi di lahan
sebelah timur candi. Ekskavasi menemukan struktur bata berupa hamparan
membentuk semacam lantai. Posisi hamparan bata berada agak ke sisi utara.
Antara bata terdapat perekat tanah. Salah satu bata pada permukaannya terdapat
jejak binatang. Bata tersebut dalam keadaan tidak utuh berbentuk hampir
segitiga yang pada sisi miringnya melengkung. Tera jejak binatang terdiri dua
masing-masing memperlihatkan empat jari dan telapak. Berdasarkan perbandingan
dapat diasumsikan bahwa jejak tersebut merupakan jejak anjing.
ANJING DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Anjing memiliki posisi unik dalam hubungan
antarspesies. Anjing merupakan hewan yang telah mengalami evolusi
berasal dari Cynodictis yang hidup
sekitar 35 juta tahun yang lalu. Hewan ini bertubuh panjang dan lentur dengan
ekor panjang, hidup di pohon. Anjing-anjing purba secara bertahap meninggalkan
pohon dan hidup di dataran-dataran terbuka, mencari mangsa secara berkelompok.
Seperti halnya kucing, anjing juga mempunyai gigi pencabik (karnisial). Lain halnya dengan kucing,
anjing mempunyai gigi geraham untuk mengunyah makanan yang keras. Karena adanya
gigi penggerus ini, anjing-anjing modern makanannya lebih beraneka ragam bila
dibandingkan dengan kucing.
Struktur bata yang terdapat di sebelah timur bangunan candi, jejak kaki anjing,
dan jejak kaki anjing yang tertera pada bata di candi Bojongmenje
(Dok. Nanang Saptono, 2004)
Garis evolusi anjing diantaranya menurunkan anjing-anjing yang mirip hiena, dulu berkeliaran di padang-padang
Amerika utara. Cabang lainnya berakhir pada anjing-anjing besar mirip beruang.
Kelompok lain membentuk serigala, ajak, rubah, dan anjing-anjing piaraan.
Anjing piaraan sebagian besar merupakan keturunan serigala. Serigala pernah
hidup dan punah di Inggris pada abad ke-16. Di Skotlandia dan Irlandia serigala
bertahan hingga sekitar abad ke-18. Di Amerika, serigala masih cukup banyak
hidup dikawasan hutan bagian barat ke selatan hingga Mexico. Serigala juga dapat
dijumpai di hutan-hutan Kanada bagian utara dan barat serta kawasan
Newfoundland dan Teluk Hudson.
Serigala (Canis lupus) terdapat hampir di seluruh Eropa, terbanyak di
Uni Soviet dan Skandinavia. Di Asia serigala tersebar di perbatasan India dan
daratan Cina. Di Amerika serigala tersebar di kawasan utara, Florida, dan
Texas. Serigala baik yang hidup liar di Eropa maupun Amerika kebanyakan tinggal
di daerah terbuka dan hutan-hutan. Mereka membuat sarang di celah-celah batu
karang atau di dalam lubang pohon tumbang yang telah lapuk. Serigala
kadang-kadang membuat liang di dalam tanah atau memperbesar liang yang dibuat
oleh hewan lain. Serigala jarang menyerang manusia, baru menyerang bila sudah
sangat kelaparan atau kalau anak-anaknya diganggu. Pada umumnya serigala
termasuk hewan pemalu dan tidak mau bersahabat dengan manusia.
Pengkajian terhadap bukti genetika dan arkeologis
menunjukkan serigala sudah didomestikasi sejak akhir jaman paleolitik
yang merupakan peralihan antara zaman pleistosen dan holosen, antara 17.000-14.000 tahun yang lalu. Walaupun demikian penelitian
morfologi fosil tulang dan analisis genetika serigala, anjing zaman kuno, dan anjing jaman
sekarang belum bisa memastikan asal mula domestikasi anjing. Semua anjing kemungkinan berasal hanya
dari satu kelompok serigala. Fosil anjing tertua yang pernah
ditemukan adalah dua
tulang kranium dari Rusia dan rahang bawah dari Jerman. Kedua fosil
ini berasal dari 13000-17000 tahun yang lalu. Analisis
DNA yang di lakukan menunjukkan semua populasi anjing berasal dari sumber gen (gene pool) tunggal bersama-sama dengan
serigala. Bukti
baru menunjukkan anjing pertama kali didomestikasi di Asia Timur, kemungkinan
di Tiongkok. Manusia pertama yang menginjakkan kaki di Amerika Utara membawa
serta anjing dari Asia. Penelitian genetika telah berhasil mengidentifikasi 14
ras anjing kuno. Di antaranya, Chow Chow,
Shar Pei, Akita, Shiba dan Basenji merupakan ras anjing yang
tertua. Teori yang mengatakan anjing berasal dari Asia mungkin bisa dipercaya
karena sebagian besar dari 14 ras anjing kuno berasal dari China dan Jepang.
Domestikasi anjing awalnya di dorong motif saling
menguntungkan oleh kedua belah pihak. Anjing liar yang memungut sisa-sisa
makanan di sekeliling permukiman manusia mendapat lebih banyak makanan di
bandingkan kawanan yang masih liar dan takut pada manusia. Anjing liar yang
kebetulan menyerang manusia purba dan anak-anaknya kemungkinan di usir atau di
bunuh, sedangkan anjing yang bersahabat dengan manusia selamat. Manusia purba
memanfaatkan anjing untuk mengusir hewan liar pengganggu manusia. Anjing dimanfaatkan
sebagai
penjaga manusia dari kedatangan hewan pemangsa yang selalu mengincar karena
mempunyai indera yang tajam. Hingga saat
ini anjing menjadi sahabat manusia atau menjadi hewan peliharaan untuk di perdagangkan (Cowan,
2003; Savolainen, 2002; Colbert, 1969: 351 – 352).
ANJING PADA RELIEF CANDI
Relief pada bangunan candi pada umumnya menggambarkan cerita mengenai
kehidupan manusia, mitologi, atau fabel. Melalui relief cerita dapat diketahui
kehidupan masyarakat pada waktu itu. Pada gambaran tentang kehidupan masyarakat
inilah terselip pengetahuan tentang kaitan antara manusia dengan anjing. Untuk
mencari gambaran bagaimana kehidupan masyarakat pada sekitar abad ke-7 – 8 di
Bojongmenje dapat melalui gambaran pada relief Candi Borobudur khususnya pada
panil yang menceritakan Karmawibangga dan pada relief Candi Surowono.
Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan
Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada posisi 7°36’28” LS dan 110°12’13” BT. Lingkungan geografis Candi
Borobudur dikelilingi oleh Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, Gunung
Sindoro dan Sumbing di sebelah Utara, dan pegunungan Menoreh di sebelah
Selatan, serta terletak di antara Sungai Progo dan Elo. Candi Borobudur didirikan
di atas bukit yang telah dimodifikasi, dengan ketinggian 265 dpl.
Mpu Prapanca
di dalam Kitab Nagarakertagama (1365
M) telah menyebut nama “Budur” sebagai bangunan suci agama Buddha Wajradara. Babad Tanah Jawi (c.a. abad ke-18 M) menyebut nama “Bukit Budur”. Candi Borobudur muncul kembali tahun
1814 ketika Sir Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris mendapatkan
informasi bahwa di daerah Kedu telah ditemukan candi “Boro
Bodo” (Adi, 1992; Raffles, 2008). Menurut legenda Candi Borobudur didirikan oleh arsitek
Gunadharma, namun secara historis belum diketahui secara pasti. J.G. de
Casparis berdasarkan
interpretasi prasasti Sri Kahulunan (842 M), menyatakan pendiri Candi Borobudur adalah
Smaratungga yang memerintah tahun 782-812 M pada masa Dinasti Syailendra. Selanjutnya
Casparis menemukan kata sang kamulan ibhumisambharabudara. Kalimat
tersebut berarti bangunan
suci yang melambangkan kumpulan kebaikan dari kesepuluh tingkatan Bodhisattva (Adi, 1992).
Bangunan
candi terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan ajaran Buddha (Kempers, 1959:
43 – 44). Bagian paling bawah atau kaki candi disebut Kamadhatu yaitu dunia hasrat, selanjutnya bagian tubuh candi
disebut Rupadhatu, dan paling atas
bagian puncak disebut Arupadhatu,
yaitu dunia tanpa wujud. Di bagian Kamadhatu
terdapat 160 panil relief yang menggambarkan berbagai perilaku manusia dengan
segala hasrat dan nafsunya. Relief ini merupakan perwujudan ajaran yang
terdapat pada kitab Maha Karmawibhangga.
Karmawibhangga
merupakan ajaran dari aliran Mahayana yang berlandaskan kepada hukum
sebab-akibat antara samsara dan karma, penentu bentuk kehidupan manusia
sekarang dan masa mendatang, serta akibat perbuatan selama hidup. Ajaran ini
merupakan salah satu bagian terpenting dalam agama Buddha yaitu tentang
bagaimana manusia seharusnya menempuh kehidupan di dunia. Agama Buddha sangat
mementingkan hubungan serasi, antara lingkungan alam dan makhluk berjiwa
pemukim dunia ini sebagai kesatuan, melalui kasih sayang dan rasa welas asih
kepada semua (Satrio A, 1992). Meskipun Karmawibhangga merupakan ajaran agama
Buddha, tetapi kehidupan sehari-hari yang tergambarkan merupakan gambaran
kehidupan secara umum.
Relief menggambarkan suami yang sering menganiaya isteri,
akan mendapat balasan digigit anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)
Relief menggambarkan lelaki yang menganiaya orang lain mendapat balasan
digigit anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)
Pada beberapa
panil tergambarkan bagaimana anjing berperan dalam kehidupan manusia. Anjing
digambarkan sebagai binatang buas yang menyerang manusia dan sebagai kawan
manusia. Anjing sebagai binatang buas misalnya tergambar pada panil yang
menggambarkan laki-laki digigit anjing karena melakukan kejahatan terhadap
sesama atau karena sering menganiaya isteri. Pada panil lain ada yang
menggambarkan suami yang main serong mendapat balasan dikejar anjing.
Relief menggambarkan suami main serong sementara isteri menunggu di rumah,
suami mendapat balasan dikejar anjing hingga ketakutan
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)
Anjing dalam
kehidupan masyarakat berperan sebagai kawan manusia tergambar pada beberapa
panil. Salah satu panil menggambarkan anjing sebagai binatang piaraan di rumah.
Di sini terlihat bagaimana anjing sangat dekat dengan manusia. Karmawibhangga
menampilkan adegan pengamen jalanan yang sedang beraksi di hadapan seseorang
yang sedang istirahat sambil menikmati sajian para pengamen ditemani anjing.
Anjing dalam posisi duduk di dekat seseorang yang sedang istirahat. Kepala
anjing digambarkan mendongak ke arah para pengamen.
Relief sekelompok pengamen sedang beraksi di depan seseorang yang sedang
istirahat ditemani anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)
Selain itu,
pada panil yang lain tergambar bahwa anjing berperan sebagai teman manusia
dalam aktivitas bertani. Pada beberapa prasasti dan naskah secara tegas
menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara merupakan masyarakat agraris. Relief Karmawibhangga membuktikan bahwa Candi
Borobudur dibangun oleh masyarakat agraris. Beberapa tanaman dan tumbuhan
digambarkan pada relief seperti jewawut (Setaria
italica), padi (Oryza sativa),
nangka (Artocarpus heterophylla),
sukun (Artocarpus ommunis), pisang (Musa paradisiaca), jeruk (Cytrus sp.), mangga (Mangifera indica), dan durian (Durio zibethinus). Sebagian besar
tanaman ini dibudidayakan untuk bahan pangan, minuman, zat pewarna, dan
obat-obatan (Yulianto dan Azul S, 1992).
Peran anjing
dalam aktivitas pertanian sudah lama dikenal. Anjing dalam hal ini dapat
dimanfaatkan untuk menjaga tanaman dari serangan binatang perusak tanaman
seperti misalnya babi hutan. Pada salah satu panil relief Karmawibhangga
terdapat gambaran anjing dimanfaatkan sebagai teman petani. Digambarkan ada dua
orang petani sedang duduk di bangunan panggung terbuka sedang menjaga sawah
yang mulai berbuah. Sawah tersebut terlihat sedang terserang hama tikus. Anjing
berada di kolong rumah menemani petani yang sedang menjaga sawah tersebut.
Relief dua orang petani menjaga sawah yang terserang hama tikus
ditemani anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)
Gambaran
mengenai peranan anjing dalam kehidupan manusia juga terdapat di Candi
Surowono. Candi
Surowono terletak di Dusun Sorowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar 25 km arah timur laut dari kota Kediri. Candi ini diperkirakan sebagai wujud pendharmaan (penyucian) Vishnubhuvanapura atau Bhre Wengker yang meninggal pada
tahun 1388 M. Pembangunan candi dilaksanakan 12 tahun setelah raja meninggal dunia, melalui
upacara Craddha. Dengan demikian, candi ini diperkirakan baru
didirikan pada tahun 1400 M.
Candi Surowono berbentuk bujursangkar menghadap ke
barat berukuran 7.8 X 7.8 meter dengan ketinggian 4.72 meter, dengan pondasi
batu bata sedalam 30 cm dari permukaan tanah. Jika dibandingkan dengan candi
peninggalan Majapahit pada umumnya yang cenderung langsing, candi ini memang
agak berbeda karena memiliki postur yang tambun. Relief yang
terdapat pada dinding candi adalah cerita Arjunawiwaha, Sri Tanjung, dan
Bubuksah (Kempers, 1959: 96). Pada salah satu panil terdapat adegan bangsawan
yang melakukan perjalanan dengan ditandu diikuti beberapa pengikut. Di bawah
tandu ada seekor anjing yang mengikutinya. Berdasarkan gambaran pada panil itu
terlihat bahwa anjing merupakan binatang piaraan yang bisa diajak pergi.
Relief di candi Surowono yang menggambarkan perjalanan disertai anjing
(Dok. Nanang Saptono, 1985)
PERANAN ANJING PADA MASYARAKAT BOJONGMENJE
Anjing pada masyarakat masa klasik merupakan hewan yang dekat dengan
manusia. Pada relief candi tergambarkan bahwa kedekatan anjing dengan manusia
sebagai hewan piaraan untuk kesenangan dan juga untuk membantu dalam aktivitas
sebagai masyarakat agraris. Jejak anjing yang tertera pada bata di Candi
Bojongmenje menunjukkan bahwa anjing juga dikenal masyarakat Bojongmenje. Keletakan
Candi Bojongmenje di kawasan pedalaman juga menunjukkan bahwa masyarakat
pendukungnya juga sebagai masyarakat agraris.
Masyarakat yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje secara detail
memang sulit digambarkan. Hal ini karena belum adanya prasasti yang memberikan
petunjuk ke arah situ. Kalau melihat berdasarkan keterangan pada beberapa
prasasti di Jawa yang berasal dari masa-masa sekitar abad ke-7 – 8, terdapat
gambaran bahwa pada waktu itu sudah terdapat organisasi sosial dan organisasi
keagamaan yang mengelola bangunan suci dengan tanah perdikannya. Suatu candi
biasanya mempunyai tanah-tanah perdikan berupa sawah, ladang, kebun, pagagan (huma), taman, padang rumput,
bukit dan lembah, serta rawa-rawa dan tepian. Di suatu candi biasa
dipersembahkan saji-sajian dan dilakukan upacara-upacara keagamaan setiap hari,
setiap bulan, dua kali setahun, dan setahun sekali. Berdasarkan gambaran pada prasasti,
di sekitar candi terdapat permukiman baik permukiman penduduk biasa yang
bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah perdikan yang mempunyai kewajiban
mengelolanya maupun tempat tinggal para pendeta yang mengurus dan memimpin
upacara-upacara keagamaan. Selain itu juga akan ada permukiman para pembantu
yang berkewajiban merawat bangunan candi dan apa yang ada di sekitarnya
(Boechari, 1980: 328 - 329).
Bentuk Candi Bojongmenje yang sederhana dan ukuran yang kecil, yaitu 6 x
6 m serta sedikitnya bangunan candi di kawasan pedalaman Jawa Barat, memberi
arahan gambaran bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) pada masa itu merupakan
masyarakat dengan populasi yang tidak begitu besar yang bermata pencaharian
sebagai petani huma. Pada masa silam, orang Sunda umumnya memiliki rumah
menyendiri di kawasan hutan. Mereka akan berpindah mencari lokasi ladang-ladang
baru yang subur. Perkampungan mereka biasanya berhimpit-himpitan dua deret yang
saling berhadapan terpisah oleh suatu pelataran yang luas (Iskandar dan Budiawati,
2011). Masyarakat Sunda sebagai masyarakat huma bersifat dinamis, kerapkali
berpindah tempat dan tidak menetap di suatu lokasi karena harus membuka
huma-huma baru (Munadar, 2011: 135). Huma yang dikerjakan akan berpindah
setelah tingkat kesuburan tanahnya berkurang atau habis. Sebagai masyarakat
yang tidak menetap maka mereka tidak memerlukan bangunan suci yang besar dan
megah.
Masyarakat peladang berpindah sangat memerlukan anjing selain untuk
menjaga ladang juga untuk membantu dalam berburu. Pada masyarakat Anak Dalam di
Jambi, anjing merupakan harta paling berharga. Semakin banyak memiliki anjing
piaraan akan semakin meningkatkan hasil buruan. Anjing juga dimanfaatkan untuk
menjaga ladang dari serangan hama babi hutan (Handini, 2008: 571). Pernan
anjing bagi masyarakat peladang berpindah seperti ini juga terlihat pada
masyarakat Punan Sajau di Kalimantan Timur (Eriawati, 2008: 629). Masyarakat
Sunda pada sekitar abad ke-8 – 9 yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje
sebagai masyarakat peladang berpindah tentunya juga memerlukan anjing untuk
menjaga ladang dan membantu dalam berburu.
Jejak anjing yang tertera pada bata di Bojongmenje dapat dipastikan
tercetak pada waktu proses pembuatan bata. Bojongmenje yang berada di tepi
sungai cocok juga sebagai lokasi industri bata. Dengan demikian bata yang
dipakai untuk membuat komponen bangunan candi merupakan produk lokal. Hingga
saat ini di sepanjang Sungai Cimande hingga Sungai Citarik masih banyak
dijumpai masyarakat yang membuat bata. Aliran sungai yang mengendapkan tanah
liat di kanan kiri sungai memberikan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan
bahan dasar bata. Dengan adanya jejak anjing, memberikan keterangan bahwa
masyarakat pembuat bata pada waktu itu memelihara anjing. Peranan anjing bagi masyarakat
pembuat bata adalah sebagai hewan piaraan.
SIMPULAN
Anjing bagi masyarakat Nusantara yang merupakan masyarakat agraris,
mempunyai banyak peranan yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam maupun
hanya sebatas sebagai hewan piaraan. Dalam kaitannya dengan bercocok tanam,
anjing dapat berperan sebagai hewan penunggu dari gangguan hama pengganggu
tanaman seperti babi hutan. Sebagai hewan piaraan, anjing merupakan hewan
rumahan yang juga bisa disertakan saat melakukan perjalanan. Karena Bojongmenje
berada pada kawasan yang sesuai untuk kehidupan agraris, maka peranan anjing
bagi masyarakat yang bermukim di Bojongmenje adalah sebagai hewan untuk
membantu aktivitas agraris dan juga sebagai hewan piaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Siswoyo. 1992. Isi dari Tiga Lapis Dunia. Dalam
Rudi Badil dan Nurhadi Rangkuti (ed.). Rahasia
di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.: 39 – 50.
Bachtiar, T, Etti R.S., Tedi Permadi. 2008. Toponimi Kota Bandung. Bandung Art & Culture Council dan
Yayasan Purbatisti, Bandung.
Badil, Rudi dan Nurhadi Rangkuti. 1992. Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.
Boechari. 1980. Candi dan Lingkungannya. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25
Februari 1977. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional,
Jakarta.: 319 – 341.
Cowan, Ian Mc T. 2003. Mamalia. Dalam Ilmu Pengetahuan Populer. PT Widyadara,
Jakarta.: 198 – 292.
Colbert, Edwin H. 1969. Evolution of the Vertebrates. John Wiley & Sons Inc., New York.
Djubiantono, Tony et al. 2002.
Ekskavasi Penyelamatan Situs Bojongmenje,
Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat.
Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Proyek Penelusuran Sejarah dan Pelestarian
Nilai-nilai Seni Budaya Tradisional Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Bandung.
Ekadjati, Edi S. 2009. Kebudayaan
Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2. Pustaka Jaya, Jakarta.
Ellen, R. 1982. Environment,
Subsistence and System: The Ecology of Small-Scale Social Formations.
Cambridge University Press.
Eriawati, Yusmaini. 2008. Strategi Hidup Masyarakat
Punan Sajau, Kalimantan Timur Sebagai Perbandingan Dalam Menginterpretasi
Kehidupan Manusia Toala Maros, Sulawesi Selatan. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-9. Kediri, 23 – 28
Juli 2002. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.: 623 – 636.
Handini, Retno. 2008. Unsur-unsur Prasejarah pada
Tradisi Berburu Meramu Masyarakat Anak Dalam. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-9. Kediri, 23 – 28
Juli 2002. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.: 570 – 576.
Iskandar, Johan. 2001. Manusia,
Budaya, dan Lingkungan. Humaniora Utama Press, Bandung.
Iskandar, Johan. 2009. Ekologi
Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program Studi Magister Ilmu
Lingkungan, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Iskandar, Johan dan Budiawati S. Iskandar. 2011. Agroekosistem Orang Sunda. Kiblat, Bandung.
Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Harvard University Press, Cambridge –
Massachusetts.
Krom, N.J. 1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD)
1914. Uitgegeven door het Bataviasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. Albrecht & Co, Batavia.
Milton, K. 1996. Environmentalism
and Cultural Theory: Exploring the Role of Anthropology in Environmental
Discourse. Routledge, London and New York.
Moran, E.F. 1990. The Ecosystem
Approach in Anthropology from Concept to Practice. Michigan: The University
of Michigan Press.
Munandar, Agus Aris (et al.).
2011. Bangunan Suci Sunda Kuna.
Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Pleyte, C.M. 1909. Archaeology in West Java. The 20 th Century Inpressions of the Netherland India. London.
Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java, terj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin,
Idda Qoryati Mahbubah. Penerbit Narasi, Yogyakarta.
Renfrew, Colin & Paul Bahn. 1991. Archaeology:
Theories, Methods and Practice. Thames and Hudson, London.
Saptono, Nanang. 2003. The
Bojongmenje Temple: The Treasure that Comes to Light at East Bandung.
Ministry of Culture and Tourism, Jakarta.
Saptono, Nanang. 2005. Transformasi Budaya di Situs Candi Bojongmenje.
Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi X.
Yogyakarta, 26 – 30 September.
Satrio A, Junus. 1992. Ajaran Itu Terkubur Demi
Manusia. Dalam Rudi Badil dan Nurhadi Rangkuti. Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.: 51 – 80.
Savolainen,
P., Y.P. Zhang, J. Luo, J. Lunderberg, T. Leitner and T. Leitner.
2002. Genetic Evidence for an East Asian Origin
of Domestic Dogs. Science 298:
1610-1613.
Soejono, RP (ed.). 1990. Jaman Prasejarah di
Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia I.
Balai Pustaka, Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 2005. Kebudayaan Dalam Pembangunan. Indonesia Center for Sustainable Development, Jakarta.
Yulianto, Kresno dan Sri Unggul Azul S. 1992. Alam
Binatang dan Suasana Neraka. Dalam Rudi Badil dan Nurhadi Rangkuti. Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis,
Jakarta.: 51 – 80.
Catatan: Tulisan terdapat pada buku "Arkeologi Ruang: Lintas Waktu sejak Prasejarah hingga Kolonial di Situs-situs Jawa Barat dan Lampung", Editor Dr. Heriyanti O. Untoro. Jatinangor: Alqa Print, 2012, hlm. 93 - 112.
5 Komentar:
hallo salam sejahtera Pak Arkeologi Sunda,
saya mau menanyakan tentang medali / koin payung kastuba pada era kerajaan sumedanglarang.
medali / koin_nya seperti yang ada di museum Sri Baduga, ini link medali payung kastuba: http://www.sribadugamuseum.com/a-koleksi.php
pada Lajur Koleksi 6,
yang mau saya tanyakan : apakah makna pada koin/medali payung kastuba yg bertulisan cacarakan sunda dan pada era pangeran siapa di kerajaan sumedanglarang ?
karena saya sendiri masih keturunan darah sumedang.
sebelum dan sesudah_nya saya ucapkan terimakasih.
22 April 2013 pukul 01.45
saya curiga dan yang saya ketahui bahwa legenda sangkuriang di sebarkan oleh kaum lain yang memebenci etnis sunda dan menghinakan orang sunda
2 Juli 2013 pukul 05.35
luar biasa, terima kasih informasinya. izin repost
23 Januari 2014 pukul 08.05
indah menawan, memang indonesia merupakan negara yang begitu indah, hampir setiap wilayah di negeri ini memilki nilai keindahan, namun syang keindahan itu seakan tidak tampak mengapa demikian? mari kita sama-sama berbuat satu hal untuk membuat satu nilai keindahan di negeri kita ini
25 Januari 2014 pukul 05.49
saya sangat menunggu untuk ekskavasi lanjutannya pak hehhe
21 Juli 2016 pukul 16.58
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda