Nganjang ka Sumedang (1)
PENELITIAN TENTANG PERKOTAAN KUNA
DI DESA DAYEUH LUHUR, SUMEDANG
Oerip Bramantyo Boedi
Kata Kunci : lokasi, unsur kota, tata kota kuna, Dayeuh Luhur.
Pendahuluan
Latar Belakang
Di samping mengalami dua periode dalam kerangka kesejarahan Indonesia dan status yang mengalami pasang surut, kerajaan tersebut juga mengalami perpindahan pusat pemerintahan. Diawali dengan Leuwi Hideung sebagai pusat kerajaan yang pertama pada masa klasik, kemudian diikuti perpindahan ke Ciguling. Memasuki masa Islam, ibu kota dipindah ke Kutamaya, kemudian dipindah ke Dayeuh Luhur, dan terakhir di Tegal Kalong.
Masalah
Hal lain yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana tata letak dari unsur-unsur pembentuk kota atau tata kotanya. Sebagaimana lazimnya, kota-kota yang tumbuh dan berkembang pada masa Islam biasanya terdapat tempat tinggal penguasa (misalnya keraton untuk raja dan kabupaten untuk penguasa daerah setingkat bupati), alun-alun, masjid, pasar, dan tentu pemukiman. Unsur apa saja yang terdapat di Dayeuh Luhur dan bagaimana penataannya ?
Tujuan dan Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian diawali dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, pengamatan langsung ke lapangan, dan wawancara dengan narasumber terpilih. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah sumber tradisional dan modern yang pernah ditulis oleh orang lain; pengamatan langsung ke lapangan untuk menjaring data arkeologis dan toponimi terutama yang berhubungan dengan unsur-unsur pembentuk kota; sebagai pelengkap dilakukan wawancara dengan narasumber terpilih, biasanya kuncen dan sesepuh desa. Setelah data terkumpul akan dianalisis dan disintesiskan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan atau generalisasi.
Sumber Kajian
Sejarah Kerajaan Sumedang Larang
Sepeninggal Prabu Tajimalela, Prabu Lembu Agung menggantikan kedudukannya untuk sementara waktu. Hal ini disebabkan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Pemerintahan kemudian dipegang oleh Prabu Gajah Agung. Oleh Prabu Gajah Agung pusat pemerintahan dipindah ke Ciguling (sekarang masuk Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan).
Prabu Gajah Agung selanjutnya digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Guling. Kemudian Sunan Guling digantikan putranya Sunan Tuakan yang setelah meninggal dimakamkan di Heubeul Isuk, Desa Cinanggerang, Kecamatan Sumedang Selatan.
Sunan Tuakan kemudian diganti oleh putrinya, Nyi Mas Ratu Istri Patuakan, yang mempunyai suami bernama Sunan Corendra. Setelah wafat Nyi Mas Ratu Istri Patuakan digantikan oleh putrinya Nyi Mas Ratu Inten Dewata yang setelah menjadi ratu bergelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri.
Perkawinan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri yang beragama Islam menandai adanya era baru bagi Kerajaan Sumedang Larang. Mulai saat itu agama Islam mulai masuk dan berkembang di Kerajaan Sumedang Larang. Pusat pemerintahan terletak di Kutamaya. Pengganti Ratu Pucuk Umun adalah putranya yang bernama Pangeran Kusumahdinata atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Geusan Ulun.
Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Saka atau 8 Mei 1579 M, Kerajaan Pajajaran runtuh akibat serangan pasukan dari Kesultanan Banten. Runtuhnya Kerajaan Pajajaran mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah sehingga muncullah kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka dan berdaulat. Dalam suasana kehancuran tersebut, Prabu Geusan Ulun memproklamasikan bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Pajajaran dan seluruh bekas wilayah Kerajaan Pajajaran adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Wilayah Kerajaan Sumedang Larang meliputi daerah yang di sebelah timur dibatasi oleh Sungai Cipamali, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cisadane, dan di sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa. Akan tetapi, tidak semua wilayah yang diklaim sebagai wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaannya. Daerah-daerah seperti Dayeuh Pakuan Pajajaran menjadi wilayah Kesultanan Banten, Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka, dan Galuh menjadi bagian Mataram Islam pada tahun 1595.
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun terjadi konflik dengan Cirebon disebabkan dibawa larinya Ratu Haris Baya, istri Pangeran Girilaya. Konflik tersebut didamaikan dengan syarat diserahkannya wilayah Sindangkasih atau Majalengka kepada Cirebon. Selain itu, terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pada tahun 1610, Prabu Geusan Ulun meninggal dan digantikan oleh putranya Raden Suriadiwangsa yang kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata. Pusat pemerintahan dipindah ke Tegal Kalong. Sementara itu, putra Prabu Geusan Ulun yang lainnya, Pangeran Rangga Gede memerintah sebagian wilayah Kerajaan Sumedang berpusat di Canukur. Tampaknya terdapat dualisme kepemimpinan akibat dari diserahkannya kedudukan raja kepada dua orang putranya.
Pada tahun 1620, Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah bawahan Kesultanan Mataram Islam di daerah Yogyakarta (pada waktu Sultan Agung berkuasa). Selanjutnya, Pangeran Kusumahdinata mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol dan diangkat menjadi Bupati Wedana untuk seluruh Pasundan. Dengan demikian riwayat Kerajaan Sumedang Larang sebagai kerajaan berakhir dan statusnya hanya sebagai kabupaten dari Mataram Islam.
Desa Dayeuh Luhur dan Tinggalan Arkeologis
Lokasi ini merupakan ibu kota Kerajaan Sumedang Larang ketika Prabu Geusan Ulun memegang pemerintahan. Di lokasi ini terdapat kompleks makam Prabu Geusan Ulun, tanah lapang, sejumlah bata fragmentaris dan utuh, masjid yang sudah sering direnovasi, pemukiman, dan mata air yang secara turun- temurun sudah dipakai sebagai sumber kebutuhan air bagi warga.
Kompleks Makam Prabu Geusan Ulun
- Bagian pertama merupakan kompleks makam umum dan juga para juru kunci kompleks makam.
- Bagian kedua dengan tanah yang lebih tinggi dari, di sebelah utara bagian yang pertama berisi makam Ratu Haris Baya dan beberapa makam lainnya. Makam dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu gapura paduraksa pada sisi timur. Makam Ratu Haris Baya telah mengalami renovasi. Sekarang makam berupa jirat dan nisan. Jirat berbentuk segi empat berukuran 160 x 160 cm dan bahan dari keramik. Nisan berbahan semen berbentuk kuncup bunga dengan hiasan floral, pipih dan berjumlah dua. Makam berorientasi utara – selatan.
- Bagian ketiga terletak pada bagian paling belakang dan teratas dari kompleks makam tersebut. Makam dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu gapura paduraksa pada sisi selatan. Kompleks makam berisi makam Prabu Geusan Ulun, makam Rangga Gede, dan beberapa makam lainnya yang tidak dikenal. Makam Prabu Geusan Ulun telah mengalami dua kali renovasi. Sekarang makam tersebut ditandai dengan adanya jirat tiga tingkat dari keramik, berdenah segi empat, berukuran 300 x 200 cm dan berorienrasi utara – selatan. Nisan ganda dari bahan semen setebal 10 cm dengan bentuk segi empat pada bagian badan dan segi tiga pada bagian atasnya dengan variasi lengkung pada bagian bahu dan puncaknya.
Tanah Lapang
Masjid
Mata Air
Temuan Lepas
Pembahasan
Pemilihan Lokasi
Selain faktor keamanan akibat adanya konflik, kemungkinan besar pemilihan tersebut juga dilandasi oleh aspek lain yang bersifat magis religius. Kemungkinan tersebut dilandasi adanya tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat hingga sekarang berupa adanya tujuh sumur, yaitu Ciasihan/Ciginasihan, Cikajayan, Cikahuripan, Cikawedukan, ciderma, Ciseger/Menceger, dan Cipaingan; yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut. Ketujuh sumur tersebut dikaitkan dengan legenda raja pertama Kerajaan Sumedang Larang, Prabu Tajimalela, yang mencari tempat yang cocok untuk menguji kesaktiannya. Setelah mencari beberapa tempat untuk menguji namun gagal, akhirnya di Dayeuh Luhur Prabu Tajimalela menemukan tempat yang sesuai.
Unsur dan Tata Kota
Data arkeologis di Desa Dayeuh Luhur selain kompleks makam Prabu Geusan Ulun adalah adanya temuan sejumlah bata di sebelah timur lokasi lapang parkir atau terminal desa. Sementara itu data dari penelusuran toponimi yang diperoleh di lapangan adalah adanya keterangan bahwa lapang parkir dahulunya merupakan tanah lapang. Keterangan lain adalah adanya masjid desa yang letaknya tidak pernah dipindahkan. Unsur lain yang tidak ada adalah pusat kegiatan perekomomian, yaitu pasar. Apabila sedikit keterangan tersebut dijadikan upaya mencari pola tata kota Dayeuh Luhur, kemungkinan besar pola yang pernah berlaku adalah sebagai berikut.
Unsur-unsur kota Dayeuh Luhur meliputi alun-alun, masjid, pemukiman, dan keraton. Alun-alun didasari keterangan bahwa lapang parkir sebelumnya merupakan tanah lapang. Masjid didasari keterangan belum pernah dipindahnya lokasi masjid serta adanya kebiasaan untuk melanjutkan fungsi masjid secara berkelanjutan. Pemukiman didasari adanya kelanjutan fungsi sebagai pemukiman, artinya tidak pernah ditinggalkan oleh penghuni meskipun fungsi sebagai ibu kota telah hilang. Keraton didasari adanya temuan sejumlah bata yang mengindikasikan adanya bangunan yang lebih kokoh dan mewah dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang membangun rumah dengan bahan yang tidak permanen, misalnya bambu dan kayu.
Unsur-unsur tersebut diatur mengikuti pola umum yang berlaku pada masa Islam, yaitu alun-alun sebagai pusat, keraton sebagai tempat tinggal raja menghadap ke barat terletak di sebelah timur alun-alun, dan masjid terletak di sebelah selatan alun-alun. Sementara itu, pemukiman terdapat di sebelah selatan alun-alun dan keraton.
Penutup
Kesimpulan tersebut bersifat sementara. Hal tersebut disebabkan data pustaka dan data arkeologis yang diperoleh dalam penelitian relatif sedikit, terutama data arkeologis. Sedikitnya data arkeologis yang terjaring disebabkan pada penelitian kali ini baru pada tahap awal berupa pengamatan di lapangan yang belum diikuti dengan ekskavasi. Adanya temuan beberapa bata oleh penduduk mengindikasikan kemungkinan adanya data lain yang masih terpendam dalam tanah yang perlu untuk diteliti lebih lanjut. Di samping itu, keterangan berupa toponimi sebagai salah satu pelengkap upaya mengungkap gambaran kehidupan masa lampau tergolong sedikit. Berdasarkan data yang relatif sedikit sangatlah sukar untuk menarik kesimpulan tentang unsur dan tata kota Dayeuh Luhur sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Sumedang Larang secara tuntas. Dengan demikian, simpulan dalam kesempatan ini baru bersifat sementara.
Daftar Pustaka
1994/1995 “Sejarah Kebupatian Sumedang”. Dalam Laporan Penelitian. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Hlm. 1–44.
Lubis, Nina H.
2000 “Sumedang”. Dalam Nina H. Lubis, et al. Sejarah Kota-kota di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint. Hlm. 71–90.
Sumadio, Bambang ed.
1992 “Jaman Kuna”. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka ed.
1992 “Jaman Pertumbuhan dan Perkembnagan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku berjudul "Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan", hlm. 103 - 110. Editor Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.
Label: kota sumedang
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda