Menelusuri Tepian Danau Bandung Purba
Analisis Pendahuluan
Abstract
Artifacts as a indication of human activities had been discovered around the Bandung Basin area. The artifacts were obtained around lake, consist of obsidian tools, stone adzes (polished stone tools), fragment of earthenware as well as axes cast forms bronze or iron. This paper focused in the distribution of obsidian and its background. The human activity that supported obsidians culture are heavily influences by water level of the lake. Considering it, obsidians are interesting to be analysis as a partial study about water and its roles in the human living in Bandung basin area.
Kata Kunci: obsidian, Danau Bandung, serpih, alat serpih, serpih beretus
Latar Belakang
Rothpletz (1951) mencoba untuk menguak budaya danau Bandung purba dengan berkonsentrasi pada daerah timur laut Bandung yang disebut dengan Blok Pulasari. Artefak yang diperoleh beragam bahan dan teknologi, antara lain berupa beliung, obsidian, keramik, dan cetakan untuk pengecoran perunggu dan besi. Secara umum, artefak yang diperoleh berupa obsidian, beliung, batu asah, gerabah, keramik asing, dan beberapa logam.
Beberapa tahun belakangan (70-an), penelitian di daerah sekitar Danau Bandung telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada tahun 1978, tim penelitian Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N) sekarang Pusat Penelitian Arkeologi, Jakarta melakukan survei di daerah Sindangkerta, Kabupaten Bandung. Lokasi yang diteliti adalah Pasir (bukit) Tampian, Pasir Suje, Pasir Monggor, Pasir Kawung, Pasir Suramenggala, Pasir Asep Roke, dan Pasir Kadut. Artefak yang diperoleh berupa alat serpih, batu berupa serut, pecahan keramik asing, pahat batu, dan beliung persegi (Anggraeni, et al, 1986).
Selanjutnya, pada tahun 1992, tim dari Bidang Arkeometri, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah sekitar Saguling, Desa Baranangsiang, Cipongkor, Kabupaten Bandung. Situs yang diteliti adalah Pasir Asep Roke, Pasir Citiis dan Jajawei, Pasir Kadut, Pasir Kawung, Pasir Lengo, Pasir Monggor, Pasir Suje, Pasir Suramenggala, dan Pasir Tampian. Temuan yang diperoleh adalah tembikar, terak besi, cangkang kerang, serut, dan beliung persegi (Tim Peneliti, 1992).
Pada tahun 2001 tim penelitian dari Balai Arkeologi Bandung melakukan penelitian yang berupa survei di daerah Cililin dan Cipongkor. Hasil penelitian adalah sebagai berikut makam Rangga Malela, makam K.H Syafei, makam Syeh Abdul Manaf, makam Sangga Wadana, beliung persegi, mata tombak, dan fosil fragmen tulang (Boedi, 2001).
Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah temuan khususnya obsidian, para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von Koeningswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, yaitu menggolongkan alat obsidian yang disebut sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934, Koeningswald, 1935, Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).
Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian Bandung digolongkan dari tradisi yang lebih tua. Pendapat senada dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang mengemuka adalah unsur bercocok tanam berasal dari masa-masa kemudian dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi yang menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi temuan di Jambi dan Leles menduga alat obsidian merupakan alat yang berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam (Soejono, 1984).
Permasalahan, Tujuan, dan Sasaran
Keberadaan situs obsidian menurut penelitian Koenigswald dan Rothpletz adalah di atas 725 meter dpal. Penelitian geologi menunjukkan bahwasurutnya muka air danau tidaklah sekaligus. Demikian juga dengan sedimentasi yang terjadi di Danau Bandung, tidak sama. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
- Apakah aktivitas pendukung obsidian Danau Bandung hanya dilakukan pada lokasi di atas 725 m dpal?
- Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilihan lokasi oleh manusia pendukung obsidian?
Kerangka Pikir dan Metode
Perilaku manusia dalam menentukan lokasi tinggalnya tidak akan berperilaku acak tetapi akan mengikuti zona-zona tertentu (Parson, 1972; Hodder, 1976). Demikian halnya dalam pembagian ruang untuk hunian pun tidak acak dan teratur. Keteraturan itu juga mencerminkan pola pembagian ruang, sehingga hubungan antara manusia dan ruang dimana mereka berinteraksi, dapat terungkapkan (Watson et. al, 1971; Fagan, 1981; Eriawati, 1997).
Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah temuan khususnya obsidian, para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von Koenigswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, yaitu menggolongkan alat obsidian yang disebut sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934; Koenigswald, 1935; Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).
Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian Bandung digolongkan dari tradisi yang lebih tua. Pendapat senada dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang mengemuka adalah unsur bercocok tanam berasal dari masa-masa kemudian, dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi yang menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi temuan di Jambi dan Leles menduga alat obsidian merupakan alat yang berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam (Soejono, 1984).
Penelitian ini menerapkan tipe penelitian eksploratif dan deskriptif. Metode eksploratif dilakukan berlandaskan pada seluruh data guna mempertajam permasalahan. Setelah permasalahan muncul secara jelas diterapkan metode deskriptif. Pelaksanaan penelitian tidak hanya terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi data (Gibbon, 1984: 80; Sharer dan Ashmore, 1979: 486).
Pola penalaran yang digunakan adalah pola induktif. Dengan demikian analisis melalui pendeskripsian yang sistematis dan terklasifikasinya data yang diperoleh maka jawaban permasalahan akan diperoleh dalam bentuk kesimpulan atau generalisasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei. Penentuan lokasi ditentukan berdasarkan studi pustaka dan peta topografi.
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan maka akan dilakukan pencuplikan sampel, mengingat luasnya wilayah. Untuk itu akan dicuplik lokasi situs yang berada pada ketinggian di atas 725 m dpal dan yang di bawah 725 m dpal. Pencuplikan tersebut juga mempertimbangkan wilayah yang dibagi sesuai dengan arah mata angin. Hal ini dilakukan untuk terwakilkan semua lokasi, yaitu wilayah utara, timur, selatan, dan barat. Untuk wilayah barat,dalam tulisan ini mencuplik data dari hasil penelitian Gua Pawon (Yondri, 2005).
Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh.
Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.
Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas volkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.
Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak ini, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).
Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.
Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung samapai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Banjir abu volkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.
Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang dan sedalam 104 m di Sukamanah; melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.
Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukan Gunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).
Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).
Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang, yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.
Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi anatara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.
Situs-situs Obsidian Danau Bandung
Kawasan Sisi Utara Danau Bandung
Punclut
Temuan obsidian diperoleh di lahan kosong sebelah selatan pemancar RRI. Lahan ini banyak ditumbuhi oleh semak-semak. Saat ini, lahan digarap untuk diambil pasirnya oleh penduduk sekitar. Akibat pengambilan pasir inilah, temuan obdisian banyak tersingkap. Temuan yang diperoleh dapat dirinci sebagai berikut: a). Keramik 1 buah, b). serpih 4 buah
Pakar
Lahan yang ada di kampung Sekepicung terdiri atas lahan tegalan, sawah, sekolah, dan bangunan rumah tinggal. Sebagian besar dari lahan yang ada merupakan lahan rumah tinggal. Lokasi yang diinventaris oleh peneliti pendahulu, saat ini sudah banyak berdiri bangunan rumah tinggal dan sekolah. Menurut keterangan penduduk sekitar, temuan obsidian sering diperoleh, sebelum lahan banyak diubah sebagai rumah tinggal.
Jejak-jejak tinggalan diperoleh pada sebuah lahan yang berada di sisi Barat daya dari SD Inpres Pakar I, II, dan III. Lahan tersebut merupakan lahan yang akan dibangun menjadi rumah tinggal. Lahan ini merupakan lahan milik Pak Alek. Adapun jejak-jejak lain disurvei dengan melakukan penyisiran di ladang-ladang yang baru digarap ataupun ditanami. Beberapa jejak arkeologi berhasil diperoleh di ladang milik Pak Arifin. Ladang tersebut ditanami singkong. Koleksi survei dari Situs Pakar seluruhnya berjumlah 33 dengan perincian sebagai berikut: a). tembikar bagian badan 1 buah, b). serpih beretus 4 buah, c). alat serpih 12 buah, d). Serpih 16 buah.
Kawasan Sisi Timur Danau Bandung
Jadaria
Temuan berada di lokasi tegalan yang sedang digarap untuk ditanami. Pemilik lahan tidak diketahui, tetapi ladang ini merupakan tanah garapan Bapak Undang, penduduk setempat. Lokasi ini berada sektar 250 m ke arah barat laut dari jalan desa. Tanaman yang ada berupa nangka, albasia, pisang dan apokat. Jejak arkeologi yang diperoleh berupa: a). fragmen beliung 1 buah, b). tembikar bagian tepian 4 buah, c). tembikar bagian badan 3 buah, d). keramik bagian badan 2 buah, e). Serpih 72 buah, f). serpih beretus 11 buah, g). alat serpih 51 buah.
Panyawungan
Jejak arkeologi diperoleh di sekitar SD Muslimim Panyawungan I dan II. Temuan terbanyak diperoleh di makam dan lahan tegalan singkong belakang SD. Tegalan tersebut milik Pak Endang. Tepatnya, 50 meter belakang SD. Secara rinci temuan tersebut berupa: a). bungkal batu obsidian 1 buah, b). serpih beretus 8 buah, c). alat serpih 108 buah, d). serpih 16 buah.
Bumi Panyawangan
Kawasan Sisi Selatan Danau Bandung
Pasir Bongkor
Situs Pasir Bongkor berada lokasi yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Lahan situs cenderung menurun ke arah utara dan barat. Di sisi utara situs merupakan areal perumahan Cikahuripan. Temuan yang diperoleh dapat dirinci sebagai berikut: a). serpih beretus 9 buah, b). alat serpih 35 buah, c). Serpih 78 buah.
Kawasan Sisi Barat Danau Bandung
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lutfi Yondri dari tahun 2003 -- 2004 menunjukkan temuan obsidian yang ditemukan umumnya lebih banyak berukuran kecil yang lebih cenderung memperlihatkan pada sisa pembuatan (Yondri, 2005: 71 -- 72). Secara kuantitas alat obsidian yang diperoleh di Situs Gua Pawon berjumlah 124 buah.
Pembahasan
- wilayah timur meliputi Situs Jadaria, Paratag, Panyaungan, dan Panyawangan.
- wilayah utara meliputi Situs Pakar, Punclut
- wilayah barat meliputi Gua Pawon
- wilayah selatan meliputi Pasir Bongkor
Penelitian Koenigswald (1935) menunjukkan bahwa situs-situs obsidian terletak pada ketinggian 725 m dpal. Oleh beberapa ahli, data Koenigswald dapat disimpulkan bahwa permukaan atau pantai danau Bandung mempunyai ketinggian di atas 725 m dpal. (Koesumadinata, 2001). Data yang menunjukan adanya jejak obsidian di Situs Panyawangan (671 m dpal) dan Panyawungan (663 m dpal), maka manusia pendukung obsidian danau Bandung tidak hanya beraktiitas pada daerah yang tinggi. Akan tetapi lokasi yang merupakan dasar danau Bandung juga dijadikan tempat beraktivitas. Penelitian geologi (Koesoemadinata, 2001) telah menjelaskan bahwa surutnya muka Danau bandung tidak sekaligus, sedimentasi di Danau Bandung eberjalan beransur-angsur.
Bukti geologis tersebut dapat menjelaskan bahwa aktivitas manusia pendukung obsidian antara situs yang berlokasi di atas 725 m dpal dengan lokasi yang lebih rendah berbeda waktu. Pasang-surutnya muka air danau bandung menjadi pertimbangan tersendiri bagi pendukung budaya obsidian dalam pemilihan lahan untuk beraktivitas. Kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungan sekitar. Manusia akan berusaha memilih lingkungan yang sesuai untuk aktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. (Herkovits, 1952).
Sejalan dengan Butzer (1964) berpendapat bahwa lingkungan dianggap penentu dalam pemilihan lokasi situs, antar lain
- tersedianya kebutuhan air, adanya tempat berteduh, dan kondisi tanah yang tidak terlalu lembab;
- tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih mudah (pantai, sungai, rawa, lereng);
- tersedianya sumber makanan baik flora dan fauna serta faktor-faktor yang memberi kemudahan di dalam cara-cara perolehannya (tempat untuk minum binatang, batas-batas topografi, pola vegetasi, dsb.); dan
- Faktor-faktor yang memberi elemen tambahan binatang laut atau binatang air (dekat pantai, danau, rawa, dsb)
Simpulan
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Truman Simanjuntak yang telah mengijinkan untuk mengambil beberapa hasil penelitian untuk diolah. Juga disampaikan penghargaan kepada Bapak Adman (staff Balai Arkeologi Bandung) yang telah bersusah payah membantu survei ke beberapa situs obsidian di Danau Bandung.
Daftar Pustaka
Anggraeni, Nies et al. 1986. “Survei di Daerah Cililin, Bandung 1978”. BPA No. 36: Laporan Penelitian Arkeologi dan Geology di Jawa Barat. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Bemmelen, R.W. van. 1949. Geology of Indonesia; vol. I A. General Geology-The Bandung Zone.
Boedi, Oerip Bramantyo. 2001. “Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kecamatan Cililin dan sekitarnya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).
Heekeren, HR. Van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague: Martinus Nijhoff
Herkovits, Melville J. 1952. “Anthropology and Economics”, The Economic Life of Primitive Peoples. New York: Knopf. Hlm. 3-8
Koesoemadinata, R.P. 2001. “Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda”. Makalah KIBS. Bandung, 22-25 Agustus 2001
Koeningswald, G.H.R. von. 1935. Das Neolithicum der Umgebung von Bandung. Tidjschrift voor Indiesche Taal-Land, on Volkenkunde, Deel LXXV, Afl.3. Hlm. 394-417.
Rothpletz, W. 1952. Alte siedlungsplatze beim Bandung (Java) und die Entdeckung. Bronzezeitlicher Gussformen: Sudsee Studien, Basel 1951.
Soejono, R.P. 1984. “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta : PN. Balai Pustaka.
Tim Peneliti. 1994. Laporan Penelitian Sumber Bahan Baku Artefak Obsidian di Nagrek, Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung-Puslit Arkenas.
Yondri, Lutfi. 2005. “Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon Desa Gunung Masigit, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Sumbangan Data Bagi Kehidupan Prasejarah di Sekitar Tepian Danau Bandung Purba”. Tesis. Universitas Indonesia.
Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku “Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan”, hlm. 18 – 29. Editor: Prof. Dr. Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten.
Label: Obsidian
1 Komentar:
Bagaimana kang penemuan candi bojong menje ranca ekek,badan candi ada dibawah permukaan tanah saat ini,mohon diteliti hubungannya dengan danau bandung.terima kasih.
9 Maret 2017 pukul 09.27
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda