Dimensi Arkeologi Kawasan Ciamis
SITUS ASTANA GEDE KAWALI DALAM KONTEKS PERUBAHAN BUDAYA
Nanang Saptono
Pendahuluan
Perjalanan sejarah budaya manusia tidak berjalan secara linier tetapi mengalami proses perubahan. Proses perubahan yang terjadi kadang-kadang berlangsung secara drastis. Arkeologi sebagai disiplin yang mengkhususkan pada pengkajian tinggalan manusia masa lampau mempunyai beberapa paradigma di antaranya merekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, menyusun sejarah kebudayaan, dan menggambarkan proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 80). Upaya memahami manusia dan budaya masa lampau dilaksanakan melalui media berupa segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung bertalian dengan aktivitas manusia masa lampau. Tinggalan arkeologis yang terpenting adalah artefak beserta keterangan yang memadai tentang konteks dan atribut-atribut spesifiknya (Clarke, 1978: 10-13). Melalui tinggalan manusia masa lampau beserta konteksnya itulah perubahan budaya dapat tergambarkan. Tinggalan arkeologis di situs Astana Gede di Dusun Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat memiliki permasalahan mengenai gambaran fenomena perubahan budaya yang pernah terjadi. Tinggalan yang ada menunjukkan ciri budaya tradisi megalitik, budaya masa klasik, dan budaya masa Islam. Melalui kajian terhadap tinggalan budaya tersebut, akan dilihat bagaimana proses perubahan yang terjadi khususnya dari budaya klasik ke budaya Islam.
Data Permukaan Situs Astana Gede
Situs Astana Gede, Kawali berada di kaki Gunung Sawal bagian timur. Seluruh situs berupa hutan lindung yang luasnya sekitar 5 hektar. Di sebelah selatan situs terdapat aliran Sungai Cibulan yang mengalir dari barat ke timur. Di sebelah timur terdapat parit yang mengalir ke Sungai Cimuntur. Di sebelah utara terdapat aliran Sungai Cikadongdong, dan di sebelah barat terdapat aliran Sungai Cigarunggang. Di sebelah barat situs sekitar 200 m terdapat sisa benteng tanah. Jejak benteng tanah ini mengelilingi kawasan situs. Pada jarak sekitar 100 meter di sebelah barat benteng tanah terdapat mata air yang dinamakan mata air Cikawali (Prijono, 1994/1995: 6). Kompleks situs Astana Gede merupakan tinggalan arkeologis yang mempunyai ciri budaya megalitik, namun juga mengandung unsur budaya klasik dan Islam.
Secara umum Situs Astana Gede terbagi dalam beberapa teras bertingkat secara konsentris. Teras paling atas merupakan halaman yang dikelilingi pagar bambu dan tanaman. Halaman ini berukuran 15 m X 13,5 m. Pada halaman ini terdapat makam Adipati Singacala. Tokoh ini dikenal juga dengan nama Dalem Kawali. Ia adalah penguasa di Kawali setelah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda pindah ke Pakuan Pajajaran. Di sebelah barat makam Adipati Singacala terdapat makam Pangeran Usman. Tokoh ini dikenal sebagai utusan dari Cirebon yang bertugas menyebarkan agama Islam di Kawali. Dalam aktivitasnya, Pangeran Usman mendapat dukungan Adipati Singacala.
Teras tengah merupakan halaman yang lebih rendah, mengelilingi teras paling atas. Halaman ini berpagar besi, berdenah persegi empat berukuran 27,5 m X 25,5 m. Pada teras ini terdapat beberapa tinggalan arkeologis antara lain batu datar yang oleh masyarakat disebut batu pamuruyan. Batu ini terdapat di bagian utara halaman timur. Pada sudut tenggara halaman teras tengah terdapat batu datar berinskripsi yang disebut Prasasti Kawali I. Di sebelah barat prasasti Kawali I terdapat Prasasti Kawali II. Di sebelah utara Prasasti Kawali II terdapat Prasasti Kawali VI. Di sebelah barat prasasti-prasasti tersebut atau pada halaman bagian selatan teras tengah, terdapat beberapa makam, yaitu makam putra Adipati Singacala yang bernama Baya Magasari, makam isteri Adipati Singacala yang bernama Anjungsari, dan beberapa makam kuncen situs Astana Gede. Di halaman bagian utara teras tengah terdapat Prasasti Kawali III. Pada prasasti ini terdapat gambar goresan membentuk petak-petak seperti bagan sistem kalender Sunda (kolenjer) serta telapak tangan dan kaki. Pada halaman ini juga terdapat sebaran batu berdiri (menhir).
Teras bawah, merupakan halaman mengelilingi teras tengah dan atas. Pada teras ini terdapat beberapa batu berdiri. Di bagian barat laut halaman teras bawah terdapat dua batu berdiri berinskripsi Sanghyang lingga hiyang (Prasasti Kawali IV) dan Sanghyang lingga bingba (Prasasti Kawali V). Di sebelah timur Prasasti Kawali IV dan V terdapat batu berdiri (menhir) dan yoni. Batu ini disebut dengan istilah pangeunteungan (Tim Penelitian Ciamis, 1993: 35 – 41; Sukardja, 2002: 8 – 16).
Data Hasil Ekskavasi
Ekskavasi di situs Astana Gede, Kawali sudah beberapa kali dilaksanakan. Ekskavasi yang dilaksanakan Balai Arkeologi Bandung berlangsung dua kali yaitu pada bulan Agustus 1994 dan Juni 2003. Selain itu, pada bulan Oktober 1995 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung melakukan survei berkaitan dengan penemuan Prasasti Kawali VI.
Ekskavasi 1994 berhasil menampakkan struktur bangunan berupa tatanan batu dan beberapa artefak (Prijono, 1994/1995). Ekskavasi di bagian sudut barat laut teras tengah, menemukan tatanan batu membentuk semacam lantai atau jalan dengan orientasi utara – selatan. Bagian ini ditemukan pada kedalaman sekitar 30 cm. Selain tatanan batu, juga ditemukan fragmen tembikar polos pada kedalaman sekitar 65 cm. Kondisi tanah pada umumnya berupa lapukan tufa berwarna coklat kemerahan.
Ekskavasi di bagian timur halaman utara teras bawah menemukan struktur batu mengarah timur – barat pada kedalaman 12 cm hingga 51 cm. Struktur ini merupakan dinding sisi selatan suatu bangunan. Pada kedalaman sekitar 15 cm ditemukan pula fragmen keramik Cina masa dinasti Ming dan fragmen tembikar berwarna kecoklatan, bagian luarnya berwarna hitam. Kondisi tanah berupa pelapukan tufa berwarna coklat kemerahan.
Ekskavasi di halaman ini juga menemukan struktur bangunan dari tatanan batu. Struktur bangunan yang ditemukan merupakan bagian sisi selatan. Struktur ini berada pada kedalaman sekitar 50 cm. Di antara struktur bangunan ini terselip lapisan tufa, fragmen tembikar, terakota, dan fragmen keramik Cina masa dinasti Ming.
Ekskavasi tahun 2003 pada dasarnya merupakan kelanjutan penelitian tahun 1994 (Tim Peneliti, 2003). Data penting hasil ekskavasi tahun 2003, pada kedalaman 10 cm dijumpai lapisan tufa dengan ketebalan sekitar 2,5 cm. Di bawah lapisan tufa terdapat struktur bangunan berupa tatanan batu. Pada kedalaman 50 cm, terdapat tatanan batu mendatar dengan orientasi tenggara – barat laut, terdiri dua bagian yang saling sejajar. Selain itu terdapat tiga batu datar berjajar menghubungkan dua deretan tatanan batu. Batu datar yang terdapat di bagian ujung utara disangga tiga batu kecil.
Ekskavasi di halaman teras tengah bagian luar pagar dimaksudkan untuk mengidentifikasi kumpulan batu yang mengelompok. Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa susunan batu tersebut membentuk setengah lingkaran, merupakan bagian dari susunan batu melingkar.
Tatanan batu yang ditemukan pada ekskavasi tahun 2003
Data penting lain, yaitu Prasasti Kawali VI. Dalam hal ini bukan mengenai isi prasasti melainkan mengenai posisi prasasti ketika ditemukan. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung berkaitan dengan penemuan prasasti itu, disebutkan bahwa prasasti ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1995 oleh Bapak Sopar, juru pelihara situs Astana Gede. Prasasti terletak di sebelah utara Prasasti Kawali I berjarak sekitar 4,5 m. Ketika ditemukan terkubur tanah kedalaman sekitar 5 hingga 6 cm (Rosyadi, 1995/1996: 15 – 16).
Berdasarkan hasil ekskavasi dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama bahwa keadaan situs Astana Gede yang terlihat sekarang bukan merupakan bentuk asli. Lahan situs yang terbagi dalam tiga teras merupakan bentuk yang sudah mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Lapisan tufa yang dijumpai pada kedalaman sekitar 10 hingga 30 cm merupakan proses sedimentasi pada lahan situs. Dilihat dari meratanya lapisan tufa pada halaman teras tengah dan bawah, sedimentasi tufa tersebut mungkin merupakan hasil aktifitas erupsi gunung. Feature berupa bangunan yang terdiri dari tatanan batu di bawah lapisan tufa, adalah bangunan asli. Bangunan tersebut mungkin berupa bangunan berundak yang dilengkapi dengan beberapa jalan batu (balay).
Dengan memperhatikan adanya menhir yang berinskripsi Sang Hyang Lingga Hyang (Prasasti Kawali III) dan Sang Hyang Lingga Bingba (Prasasti Kawali IV) menunjukkan bahwa bangunan berundak tersebut merupakan sarana pemujaan. Pada beberapa prasasti dan naskah kuna, tempat suci bagi pemujaan leluhur yang telah diperdewa disebut dengan istilah kabuyutan. Bangunan ini juga sebagai tempat suci pendharmaan raja dan pejabat. Dalam hal ini kabuyutan dianggap sebagai pusat kekuatan batin (Saringendyanti, 1996: 30-31). Beberapa temuan fragmen keramik Cina dari masa dinasti Ming, menunjukkan bahwa kabuyutan di situs Astana Gede berasal dari sekitar abad ke-14 – 17.
Kesimpulan kedua berkaitan dengan enam prasasti yang terdapat di situs Astana Gede. Krom di dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914 melaporkan bahwa di permakaman Astana Gede ada lima batu bertulis dengan huruf Sunda Kuna. Salah satu prasasti dilengkapi dengan garis-garis menyerupai bagan sistem kalender Sunda (kolenjer) yang di sampingnya terdapat pahatan sepasang telapak kaki dan sebuah telapak tangan (Krom, 1915: 95). Diketahui prasasti keenam ditemukan dalam keadaan terkubur pada kedalaman 5 hingga 6 cm. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa prasasti-prasasti tersebut tidak insitu. Artinya, prasasti berada pada posisi demikian itu setelah terjadi sedimentasi tufa. Dengan demikian penempatan prasasti yang posisinya terlihat pada saat ini, tidak dilakukan pada jaman ketika bangunan berundak dibangun dan dimanfaatkan.
Gambaran Proses Perubahan di Situs Astana Gede
Keberadaan bangunan berundak, prasasti, dan makam kuna di situs Astana Gede dapat memberikan tafsiran tentang proses perubahan budaya. Situs Astana Gede berdasarkan kandungan isi Prasasti Kawali I menunjukkan sebagai bekas ibukota Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Prabu Raja Wastu yang berkuasa di kota Kawali, memperindah kedaton Surawisesa, membuat parit di sekeliling ibukota (dayeuh), dan memakmurkan seluruh desa (Nastiti, 1996: 21). Berdasarkan keterangan ini dapat diketahui bahwa ibukota kerajaan pada masa Prabu Raja Wastu di Kawali. Kedatonnya bernama Surawisesa. Sisa-sisa kota kuna Kawali masih dapat dilihat berupa parit keliling dan sebagian benteng tanah.
Menurut catatan Tomé Pires, di Jawa Barat terdapat kerajaan yang disebut regño de çumda (Cortesao, 1944: 412-416). Berita Cina dari dinasti Ming menyebut-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt, 1960: 44). Prasasti Kebon Kopi (854 Ç/ 932 M), Bogor menyebut ba(r) pulihkan haji sunda. Naskah kuna Carita Parahyangan menyebut suatu kawasan yang bernama Sunda (Sumadio, 1990: 356). Berdasarkan beberapa sumber tersebut akhirnya disimpulkan bahwa di Jawa Barat terdapat kerajaan bernama Sunda.
Menurut Ayatrohaedi, Prabu Raja Wastu sebagai salah satu raja Kerajaan Sunda, namanya selain disebut dalam Prasasti Kawali I juga disebut dalam Prasasti Batutulis dan Kebantenan. Pada Prasasti Batutulis yang berangka tahun 1455 Śaka dan Prasasti Kebantenan (tidak berangka tahun) disebutkan dengan nama Rahyang Niskala Wastu Kañcana (Purbatjaraka, 1921; Pleyte, 1911; Buchari, 1985: 104; Ayatrohaedi, 1986: 25).
Prasasti Kebantenan juga menyebutkan raja-raja pengganti Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal Wastu Kañcana digantikan oleh Rahyang Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan Susuhunan ayeuna di Pakuan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis disebutkan bahwa Maharaja penguasa Pakuan Pajajaran adalah cucu Niskala Wastu Kañcana, putra Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga memuat tempat moksa (surup) Niskala Wastu Kañcana yaitu di Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di Gunungtiga (Ayatrohaédi, 1986: 26). Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Sunda setelah di Kawali pindah ke Pakuan Pajajaran yang letaknya di sekitar Prasasti Batutulis, Bogor.
Dengan pindahnya pusat pemerintahan ke Pakuan Pajajaran, kawasan timur Kerajaan Sunda yang juga disebut dengan daerah Galuh terpecah-pecah. Kota Kawali berada di bawah kepemimpinan Adipati Singacala. Keadaan ini terus berlangsung hingga Susuhunan Jati, penguasa Cirebon, mempersatukan kembali desa-desa di daerah Galuh dengan Islam sebagai alat pemersatunya (Ekadjati, 1975: 99 – 100). Dalam tradisi masyarakat tokoh yang mengislamkan Kawali adalah Pangeran Usman.
Bagaiman proses perubahan ini terjadi perlu penelaahan. Sangat menarik memperhatikan hasil kajian Suwedi Montana (1995: 12 – 37) mengenai cara sosialisasi Islam di Jawa pada abad ke-15 – 17. Diasumsikan ada dua cara, yaitu perorangan dan politis. Cara perorangan cenderung dengan jalan damai sedangkan secara politis cenderung radikal dengan disertai kekerasan. Menilik pada asumsi ini, Islamisasi di Kawali cenderung dilakukan secara politis, yaitu oleh penguasa Cirebon. Dengan demikian muncul pertanyaan benarkah Islamisasi di Kawali cenderung secara radikal dengan disertai kekerasan?
Jika dilihat dari kondisi yang ada di situs Astana Gede, tergambar terjadinya penghancuran. Bangunan di situs Astana Gede yang mengindikasikan sebagai bangunan peribadatan bagi agama pra-Islam hancur tidak tersisa kecuali beberapa menhir dan fondasi atau bagian batur. Akan tetapi berdasarkan hasil ekskavasi, diduga hancurnya bangunan ini tidak disebabkan oleh tindak kekerasan (perang) tetapi karena bencana alam, mungkin letusan Gunung Sawal, yang ditandai dengan lapisan tufa yang menutupi struktur bangunan.
Kehadiran Islam di Kawali mungkin berlangsung setelah bencana alam terjadi. Kondisi tinggalan arkeologis di situs Astana Gede menggambarkan adanya semacam pemanfaatan ajaran moral dari budaya pra-Islam dalam sosialisasi Islam di Kawali. Enam prasasti yang terdapat di situs Astana Gede ditemukan berada di atas lapisan tufa. Kondisi ini memberi gambaran bahwa prasasti tersebut mungkin dahulu tidak berada di tempat itu. Setelah bencana alam terjadi, berbarengan dengan gerakan sosialisasi Islam, prasasti itu ditempatkan di lokasi tersebut.
Penempatan prasasti ini tidak mungkin tanpa alasan. Pemanfaatan ajaran moral dari budaya pra-Islam dalam sosialisasi Islam terlihat pada penempatan prasasti ini. Prasasti tetap dipakai dalam sosialisasi Islam di Kawali. Diketahui bahwa isi prasasti Kawali I – VI sarat dengan ajaran moral (Nastiti, 1996). Ajaran ini sangat relevan dengan ajaran Islam. Peringatan larangan berjudi yang terdapat pada Prasasti Kawali VI termasuk ajaran pokok dalam Islam. Dengan demikian tampak bahwa Pangeran Usman dalam menyebarkan Islam juga memanfaatkan ajaran dalam prasasti tersebut.
Penempatan makam Pangeran Usman di komplek situs Astana Gede mengandung makna tersendiri. Pada beberapa daerah di pantai utara Jawa Barat, lokasi pusat Islamisasi ditandai dengan makam tokoh penyebar Islam. Di Pabean Ilir, Indramayu terdapat makam Syekh Datuk Kahfi. Di Pulo Kalapa, Karawang terdapat makam Syekh Quro. Lokasi makam tersebut merupakan bekas lokasi pusat penyebaran Islam. Makam Syekh Datuk Kahfi dan makam Syekh Quro sebenarnya bukan makam dalam arti kuburan tetapi merupakan petilasan (Saptono, 1998: 2 – 3). Membandingkan dengan kasus makam tokoh penyebar Islam di kawasan pantai utara Jawa Barat dapat diajukan hipotesis bahwa makam Adipati Singacala dan Pangeran Usman di Astana Gede adalah merupakan petilasan di tempat kedua tokoh ini menyebarkan Islam, jadi bukan merupakan makam kubur.
Kesimpulan
Situs Astana Gede adalah bagian dari Kota Kawali yang merupakan ibukota Kerajaan Sunda pada masa Niskala Wastu Kancana. Tinggalan yang terdapat di situs Astana Gede memberikan gambaran proses perubahan budaya dari masa klasik ke masa Islam. Bangunan yang terdapat di situs Astana Gede berciri bangunan berundak sebagai tempat peribadatan di Kota Kawali pada masa pra-Islam. Setelah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda pindah ke Pakuan Pajajaran, bangunan di Astana Gede mengalami kerusakan akibat bencana alam. Dengan pindahnya pusat kerajaan ke Pakuan Pajajaran dan bencana alam letusan gunung, peradaban di kawasan itu mengalami penurunan. Pada kondisi yang demikian, penguasa Cirebon melakukan penyebaran Islam. Perubahan budaya dari pengaruh Hindu ke Islam berlangsung secara damai. Beberapa prasasti yang memuat ajaran moral tetap dipakai dalam menyebarkan ajaran Islam.
Daftar Pustaka
Ayatrohaedi
1986 “Niskalawastukancana (1348-1475): Raja Sunda Terbesar ?”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV Buku II a. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 25 - 36.
Binford, Lewis R
1972 An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press.
Buchari
1985 Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I. Jakarta: Museum Nasional.
Clarke, David L
1978 Analytical Archaeology. London: Methuen.
Ekadjati, Edi S
1975 “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”. Dalam Teguh Asmar et all. Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra-Sejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
Krom, N.J.
1915 Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Montana, Suwedi
1995 “Perbedaan Dalam Cara Penyebaran Agama Islam di Jawa pada Abad ke-15 – 17 (Kajian Atas Historiografi Lokal dan Asimilasi Tinggalan Arkeologi)”. Dalam Forum Arkeologi No. 2. Balai Arkeologi Denpasar. Hlm. 12 – 37.
Nastiti, Titi Surti
1996 “Prasasti Kawali”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996. Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 19 – 37.
Pleyte, C.M.
1911 “Het jaartal op den Batoe Toelis nabij Buitenzorg”. Dalam T.B.G. LIII. Hlm 155 - 220.
Prijono, Sudarti
1994/1995 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi tentang Identitas Data Untuk Memperoleh Gambaran Transformasi Budaya di Situs Astana Gede, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kab. Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Balai Arkeologi Bandung
Purbacaraka, R. Ng.
1921 “De Batoe Toelis nabij Buitenzorg”. Dalam T.B.G. LIII. Hlm. 380 - 218.
Rosyadi, ed.
1995/1996 Situs Astana Gede Kawali (Penelitian Awal). Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat.
Saptono, Nanang
1998 “Pola Perkembangan Permukiman Masa Islam di Pantai Utara Jawa Barat (Sebuah Hipotesis)”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Cipayung 16 – 19 Februari 1998. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Saringendyanti, Etty.
1996 “Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Tinjauan Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat”. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Sukardja, Djadja
2004 Inventarisasi dan Dokumentasi Sumber Sejarah Galuh Ciamis, Naratas 15 No. 426/Juli/2004 (tidak dipublikasikan).
Tim Penelitian Ciamis
1993 Survei Situs-situs Prasejarah: Tinjauan Aspek Keruangan Di Kecamatan Cijulang dan Sekitarnya, Bandung: Balai Arkeologi Bandung (tidak dipublikasikan).
Tim Peneliti
2003 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Klasik di Situs Astana Gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Balai Arkeologi Bandung.
Catatan:
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam buku berjudul "Dimensi Arkeologi Kawasan Ciamis", hlm. 81 - 93. Editor: Endang Sri Hardiati. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.
3 Komentar:
Assalamualaikum wr wb.
Akhirnya saya baru nemu satu blog yang dibuat oleh arkeolog. saya juga udah buat namanya tapak arkeologi klo ada waktu buka ya kang. he he sekarang jadi akang nanang ya bukan mas lagioicsqua
8 Februari 2009 pukul 22.53
Sampurasun. Hatur nuhun abdi tiasa mendak informasi arkeologi ttg Bujangga Manik. Abdi teu nyangki anjeuna adalah peletak tapak arkeologi kabuhunan. Salami ieu abdi nyangkina sebagai pendeta sastrawan pengembara. Sakali deui hatur nuhun.
2 Agustus 2010 pukul 23.43
Sampurasun....
Bujangga Manik memang seorang rohaniwan, tetapi dalam perjalanannya sering juga melakukan pendeskripsian terhadap beberapa bangunan suci misalnya tentang candi Pananjung di Pangandaran. Para arkeolog sekarang, khususnya yang menekuni bidang arkeologi klasik, banyak memanfaatkan informasi Bujangga Manik. Oleh karena itu pantas kalau disebut sebagai salah satu tokoh peletak dasar arkeologi Indonesia.
13 Agustus 2010 pukul 16.32
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda