Dari Tradisi, Makna, dan Budaya Materi
VARIASI BENTUK GANESHA DAN PERKEMBANGAN RELIGI DI JAWA BAGIAN BARAT
Endang Widyastuti
Pendahuluan
Ganesha pada umumnya digambarkan dengan ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum Ganesha adalah sebagai berikut. Ganesha digambarkan berkepala gajah dengan belalai, badan manusia, sedangkan kaki berbentuk kaki manusia tetapi sangat tambun. Secara khusus, Ganesha mempunyai tanda-tanda ikonografik yaitu badan gemuk, perut buncit, mata ketiga, taring patah sebelah, benda-benda tertentu yang dipegang di tangannya, upavita ular, tengkorak, dan bulan sabit atau salah satu dari yang dua itu sebagai hiasan mahkota serta asana yang berupa deretan tengkorak. Sebagai tanda khusus ini ditambahkan pula tangan berjumlah empat. Akan tetapi, tanda khusus ini lebih merupakan tanda dari arca dewa pada umumnya daripada tanda Ganesha pada khususnya. Tanda-tanda ikonografik khusus yang disebutkan itu tidak selalu terdapat pada arca Ganesha (Sedyawati, 1994: 65).
Menurut Endang Sri Hardiati (1982) dengan mengacu pada Rao, ada beberapa macam penggambaran Ganesha yang masing-masing mempunyai laksana yang berlainan. Beberapa di antaranya membawa buah-buahan seperti mangga, nangka, pisang, jambu, dan batang tebu. Selain itu, ada pula yang membawa jerat (pasa), pengait (ankusa), dan lain-lain. Ganesa yang bertangan 16 antara lain membawa busur dan panah, pedang dan perisai, gada, semacam tombak (sula), kapak (parasu), bendera (dhvaja).
Ganesha yang dijumpai di Indonesia pada umumnya bertangan empat, dengan laksana berupa taring (danta) pada tangan kanan depan, mangkuk tengkorak (kapala) pada tangan kiri depan, kapak dan tasbih (aksamala) pada kedua tangan belakang. Parasu dan aksamala letaknya tidak selalu tetap, dapat saling bertukar pada tangan kanan atau kiri belakang (Soekatno, 1982: 228).
Tugas utama Ganesha menurut mitologi Hindu adalah sebagai penyingkir semua rintangan bagi orang-orang yang berbuat baik. Dengan tugas demikian, orang menempatkan arca Ganesha tidak hanya di bangunan suci, tetapi juga di tempat-tempat penting lain, seperti perempatan jalan dan di bawah pohon. Ganesha juga dianggap sebagai dewa kebijaksanaan.
Ganesha yang ditemukan di Jawa bagian barat terdapat beberapa variasi dalam penggambarannya. Adanya beberapa variasi penggambaran Ganesha ini kemungkinan berhubungan dengan latar belakang religi. Oleh karena itu, makalah ini akan menguraikan beberapa variasi bentuk Ganesha yang berasal dari beberapa situs di Jawa bagian barat. Dalam pokok bahasannya akan dicari hubungan antara perkembangan religi dan penggambaran bentuk.
Arca Ganesha yang Ditemukan di Jawa Barat
Pejambon (Cirebon)
Arca Ganesha di Pejambon terbuat dari sebongkah batu monolit. Arca digambarkan sebagai manusia berkepala gajah tanpa kaki. Tangan berjumlah dua buah terlipat di depan dada. Tangan kanan memegang gada, sedangkan tangan kiri memegang gading. Muka digambarkan dengan mulut lebar, belalai menjuntai sampai menyentuh tangan kanan. Pada bagian punggung digoreskan sebuah gambar cambuk (chamara) dan kuncup bunga teratai (utpala). Beberapa bagian arca ini telah dicat oleh penduduk. Bahan batuan andesitik, kondisi utuh, tinggi arca 75 cm, bentuk perut rata.
Arca Ganesha yang terdapat di Pejambon ini digambarkan dengan lengkap, tetapi dibuat dengan sederhana dan penggambaran secara statis. Bagian-bagian tubuh seperti tangan dan kaki dibuat menempel pada tubuhnya. Dengan kata lain hanya berupa batas goresan-goresan saja. Demikian juga penggambaran atribut atau kelengkapannya (Widyastuti, 2002: 81).
Patala (Kuningan)
Karangkamulyan (Ciamis)
Bukit Tunggul (Bandung)
Jampang Tengah (Sukabumi)
Gunung Raksa (Pulau Panaitan)
Religi Masa Hindu-Buddha di Jawa Bagian Barat
Naskah yang berasal dari masa Kerajaan Sunda antara lain adalah Carita Parahyangan, Sawakadarma, dan Sanghyang Siksakanda ng Karêsian. Dalam naskah Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanghyang Darmasiksa dika¬takan sebagai titisan Batara Wisnu. Dalam naskah ini disebutkan pula bahwa Sañjaya yang beragama Hindu, memberi nasihat kepada anaknya yang bernama Rahyang Tampêran atau Rakeyan Panaraban, agar tidak mengikuti agama yang dipeluknya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa setelah Sañjaya, agama Hindu tidak lagi berkembang. Selain naskah Carita Parahyangan, keadaan religi juga terlihat pada naskah Sawakadarma. Naskah yang berasal dari tahun 1435 M disebut pula sebagai Serat DewaBuddha. Dalam naskah tersebut disebutkan pula nama-nama dewa agama Hindu seperti Brahma, Wisnu, Maheswara, Yama, dan Baruna. Selain itu, dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian, pengaruh agama Hindu masih terlihat. Namun demikian, juga tampak adanya pengaruh agama Buddha, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Pañcatatagata (Buddha). Pada bagian lain dari naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian terlihat percampuran dengan kepercayaan terhadap leluhur. Hal ini dibuktikan dengan menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Danasasmita, 1987: 96).
Selain naskah, sumber sejarah lain yang juga dapat digunakan untuk melihat religi yang berkembang adalah prasasti. Dalam Prasasti Sanghyang Tapak ter¬lihat adanya pengaruh agama Hindu. Prasasti Sanghyang Tapak (952 Ś/1030 M) menyebutkan tentang nama tokoh Maharaja Sri Jayabhupati Jayamahen Wisnumurtti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottungadewa yang berkuasa di Prahajyan Sunda (Djafar, 1991: 20--24). Dari nama gelar tersebut terlihat bahwa raja adalah penganut agama Hindu aliran Waisnawa (Sumadio, 1990: 362). Pengaruh agama Hindu juga terlihat dari adanya pemujaan terhadap telapak kaki dan penyebutan dewa-dewa dalam agama Hindu seperti Yama, Baruna, Kuwera, dan Nandiswara.
Berdasarkan berbagai keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya, keagamaan yang melatari Kerajaan Sunda adalah Hindu. Dalam perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul (Sumadio, 1990: 392). Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Sumadio, 1990: 392; Ayatrohaédi, 1982: 337 -- 338).
Pembahasan
Penggambaran arca dengan gaya yang kaku dan statis juga dapat ditemukan pada arca-arca yang berasal dari masa Majapahit akhir. Pada masa itu arca dan relief yang ditampilkan digambarkan dengan kaku dan statis tanpa ekspresi, dan tidak naturalistis. Mengenai hal ini Hariani Santiko (1989) dengan merujuk pada Dr. N.J. Krom dan Dr. W.F. Stuterheim menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena muncul kembalinya unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli, yang dilatari oleh pemujaan kepada arwah nenek moyang (Santiko, 1989: 310 --311). Pendapat tersebut didukung oleh H.G. Quaritch Wales dan Ir. Van Romondt yang membandingkan ciri-ciri struktural pada bangunan berundak di lereng Gunung Penanggungan dengan punden berundak masa prasejarah. Ciri-ciri tersebut kemudian dihubungkan dengan adanya persamaan pada alam fikiran yang melatarinya yaitu pemujaan kepada arwah nenek moyang. Pemujaan arwah nenek moyang ini muncul kembali setelah pengaruh Hindu mulai melemah (Santiko, 1989: 310 --311).
Di Jawa bagian barat, mengenai arca-arca dengan penggambaran yang statis tersebut pernah dibahas oleh J.F.G. Brumund dan N.J. Krom. Arca-arca ini sering disebut dengan arca tipe Polinesia. Brumund menyebut arca tipe polinesia yang menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha dengan istilah arca tipe Pajajaran. Sedangkan arca yang tidak menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha tidak diberikan istilah tersendiri (Mulia, 1980). Sementara itu, Krom menyatakan bahwa setiap arca yang tidak mempunyai ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha yang menonjol adalah arca Polinesia dan berfungsi sebagai arca pemujaan leluhur. Menurut Krom arca Polinesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
- arca yang berasal dari masa sebelum zaman klasik,
- yang dilanjutkan sesudah mulai pengaruh Hindu-Buddha dan tetap berfungsi; terdapat di daerah terpencil, dan
- yang sudah terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Buddha tetapi disesuaikan dengan konsepsi baru (Mulia, 1980).
Berdasarkan pendapat Brumund dan Krom dapat ditarik hipotesis bahwa di daerah Jawa Barat terdapat beberapa tipe arca, yaitu arca yang berasal dari masa sebelum klasik dan awal masa klasik yang digunakan oleh masyarakat terpencil. Arca semacam ini biasa disebut dengan arca tipe polinesia atau arca megalitik. Tipe arca yang kedua adalah yang telah mendapat pengaruh Hindu-Buddha tetapi telah mengalami percampuran dengan kepercayaan asli. Arca sejenis ini biasa disebut dengan arca tipe pajajaran. Di samping kedua tipe arca tersebut terdapat pula arca yang mengandung ciri sebagai panteon Hindu atau Buddha.
Arca Ganesha dengan penggambaran secara plastis sebagaimana yang ditemukan di Desa Patala, Karangkamulyan dan Gunung Raksa menunjukkan kuatnya ciri-ciri Hindu. Selain itu arca Ganesha yang berasal dari Pejambon dan Bukit Tunggul termasuk dalam kelompok yang digambarkan oleh Brumund dan Krom sebagai arca yang telah mendapat pengaruh Hindu-Buddha tetapi telah mengalami percampuran dengan kepercayaan asli. Penggambaran arca Ganesha ini sesuai dengan kondisi religi di Jawa bagian barat pada masa Kerajaan Sunda.
Simpulan
Daftar Pustaka
Danasasmita, Saleh. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakanda ng Karêsian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).
Djafar, Hasan. 1991. “Prasasti-prasasti dari Masa Kerajaan-Kerajaan Sunda”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor 11 – 13 November 1991.
Michrob, Halwany. 1992. Arca Ganesha dari Panaitan Hasil Penelitian Arkeologi di Taman Nasional Ujung Kulon. Serang: Penerbit Saudara.
Mulia, Rumbi. 1980. “Beberapa Catatan Tentang Arca-arca Yang Disebut Arca Tipe Polinesia”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 599 – 646.
Santiko, Hariani. 1989. “Bangunan Berundak Teras Masa Majapahit: Benarkah Pengaruh Punden Berundak Prasejarah?. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 304 – 318.
Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganeça Masa Kadiri dan Singasari, Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Soekatno, Endang Sh. 1982. “Arca Ganesha dari Banyubiru, Jawa Tengah”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeol¬ogi Nasional. Hlm. 227 – 240.
Sumadio, Bambang. 1990. “Zaman Kuna”. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.
Widyastuti, Endang. 2002. “Arca-Arca Tipe Pajajaran di Pejambon, Cirebon”. Dalam Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten. Hlm. 75 -- 85.
----------. 2003. “Penelitian Arca-arca di Kuningan dalam Rangka Pengungkapan Perkembangan Religi”. Dalam Mosaik Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 71 – 84.
Catatan:
Tulisan ini terbit di buku “Tradisi, Makna, dan Budaya Materi”, hlm. 28 – 39. Editor Kresno Yulianto. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2004.
Label: ganesha
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda