Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

07 Januari, 2013

masih tentang candi Bojongmenje



PERANAN ANJING PADA MASYARAKAT YANG BERMUKIM DI SEKITAR CANDI BOJONGMENJE ABAD VIII-IX


Nanang Saptono
nangsap@yahoo.co.id



PENDAHULUAN

Kehidupan sehari-hari manusia akan dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya dipengaruhi oleh sistem budaya yang dimilikinya. Faktor budaya sangat penting bagi manusia untuk melakukan proses adaptasi. Dalam kehidupan sehari-hari, sistem budaya terwujud nyata dalam sistem budaya yang ideal dan faktual. Sistem budaya ideal adalah pedoman bagi orang untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Sedang sistem budaya faktual hanya berbentuk hal-hal yang dianggap sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. Aktivitas manusia yang dikendalikan oleh sistem budaya ideal dan faktual, dalam hal hubungan timbal balik dengan lingkungannya menunjukkan bahwa manusia mengelola lingkungan sekitar. Lingkungan manusia didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia yang berpengaruh kepada kehidupan manusia itu sendiri. Faktor-faktor sistem biofisik (ekosistem) di sekitar manusia sangat beragam termasuk di dalamnya iklim, udara, air, tanah, tanaman, dan binatang. Hubungan timbal balik yang erat antara dua subsisten dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya arus energi, materi, dan informasi  (Iskandar, 2001: 7 – 8).

Budaya bagi manusia merupakan alat untuk berinteraksi dengan alam untuk memenuhi seluruh kebutuhannya serta sebagai jembatan yang mengantarkannya ke berbagai sumber daya energi atau energi yang ada di dalam ekosistemnya. Kebudayaan berisi berbagai perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong serta menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Kebudayaan dapat dikatakan sebagai desain menyeluruh dari kehidupan manusia. Pada umumnya, kebudayaan tidak diwariskan secara genetika, tetapi diperoleh manusia setelah kelahirannya melalui proses belajar. Manusia dapat mempelajari sesuatu karena mempunyai kesanggupan untuk memuat dan memahami ide-ide yang abstrak, serta mewujudkan kelakuan simbolik (Suparlan, 2005: 114 – 115). Media untuk penyebaran semua informasi atau pengetahuan masyarakat tentang ekosistem biasanya dalam bahasa indung. Berbagai kelompok masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang mendalam tentang berbagai faktor lingkungan di sekitarnya dengan istilah lokal yang khas. Faktor-faktor tersebut antara lain tentang jenis-jenis tumbuhan, binatang, tanaman obat tradisional, batuan dan mineral, tanah, permukaan topografi, tata guna lahan, tipe vegetasi, serta gejala meteorologis (Iskandar, 2009: 36). Menurut aliran environmental determinism, lingkungan dapat membentuk kebudayaan-kebudayaan manusia. Faktor lingkungan bukan saja menentukan karakteristik-karakteristik kebudayaan, tetapi juga berperan dalam pembentukan kebudayaan. Sosial manusia dan tingkah lakunya sebagian besar ditentukan oleh habitat alami di mana mereka tinggal. Sementara itu para penganut environmental possibilism berpendapat bahwa faktor lingkungan hanya membatasi kebudayaan dan tidak menentukan kebudayaan. Lingkungan tidak langsung menyebabkan perkembangan kebudayaan secara spesifik. Di luar model itu, Julian Steward berpendapat bahwa kebudayaan telah berkembang di dalam lingkungan-lingkungan lokal. Suatu kebudayaan inti (a culture core) adalah bagian kebudayaan yang memiliki kaitan paling erat terhadap aktivitas-aktivitas subsisten dan penyusunan ekonomi (Moran, 1982; Ellen, 1982; Milton, 1996; Iskandar, 2009: 43 – 47).

Perkembangan budaya masyarakat tidak lepas dari hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Budaya manusia bermula dari tahapan masyarakat pengembara yang selalu berpindah-pindah (nomaden). Pada tahap itu, budaya manusia masih terbatas pada aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan. Manusia pada tahapan budaya bermukim, banyak mempunyai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masyarakat berpindah (nomad) aktivitas utama adalah berburu dan mengumpulkan makanan, sedangkan pada masyarakat yang sudah menetap, meningkat dari pengumpul makanan menjadi penghasil makanan. Meskipun masyarakat sudah bisa menghasilkan makanan melalui bercocok tanam, tetapi aktivitas berburu masih sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Kalau mengumpulkan makanan meningkat menjadi bentuk aktivitas bercocok tanam, maka aktivitas berburu meningkat menjadi domestikasi binatang. Salah satu binatang yang mengalami domestikasi adalah anjing.

Pada beberapa situs permukiman masa prasejarah di Indonesia telah ditemukan data mengenai keberadaan anjing pada kehidupan manusia. Keberadaan anjing mulai dikenal pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut yang berlangsung pada kala Pasca-Plestosen. Di Goa Cakondo, Sulawesi Selatan pernah ditemukan gigi anjing. Penemuan ini merupakan suatu bukti bahwa telah ada usaha penjinakan anjing. Seperti diketahui, anjing adalah binatang yang dapat menolong manusia dalam hidupnya. Anjing dapat dipergunakan sebagai penjaga tempat tinggal dan dapat dimanfaatkan dalam usaha-usaha berburu di hutan. Gambaran adanya usaha domestikasi anjing juga terlihat pada lukisan pada dinding gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Hal-hal yang dilukiskan meliputi bermacam-macam jenis antar lain manusia dalam berbagai sikap, binatang meliputi kuda, rusa, buaya, anjing, dan kadal (Soejono, 1990).

Selain fungsi praktis, anjing juga mempunyai fungsi magis. Pada masyarakat prasejarah yang sudah mengenal sistem religi terdapat kebiasaan menguburkan kerabatnya yang sudah meninggal di sekitar tempat kediamannya. Mayat diletakkan mengarah ke tempat yang dipandang sebagai tempat asal-usul moyang kelompoknya bersemayam. Bagi orang yang terpandang atau mempunyai kedudukan sosial yang tinggi di masyarakat, penguburan dilakukan dengan upacara dan disertai bekal kubur yang lengkap. Bekal kubur selain benda-benda berharga seperti periuk, benda-benda peruinggu dan besi, manik-manik, serta perhiasan lain, kadang-kadang juga disertakan pengawal sewaktu masih hidup dan binatang yang dianggap merupakan kendaraan roh. Di Gilimanuk, binatang yang ditemukan sebagai bekal kubur adalah anjing (Soejono, 1990).

Anjing dalam kehidupan manusia tidak hanya berfungsi secara praktis tetapi juga mengandung nilai-nilai religius. Anjing dalam mitologi bahkan ada juga yang dinilai sebagai leluhur manusia. Legenda Sangkuriang yang hidup di masyarakat Sunda berisi kisah kehidupan Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Mereka digambarkan sebagai manusia biasa. Dayang Sumbi merupakan wanita penenun sedangkan Sangkuriang merupakan pemburu binatang. Dalam kehidupan manusiawi tersebut terjalin gambaran kehidupan legendaris dan mitologis. Baik Dayang Sumbi maupun Sangkuriang terjalin dalam ikatan hidup bersama binatang. Dayang Sumbi lahir dari babi hutan (Celeng Wayungyang) bersuamikan anjing (Si Tumang). Sangkuriang lahir dengan anjing sebagai ayah (Ekadjati, 2009).

Jejak anjing ditemukan juga pada tinggalan dari masa klasik. Di Candi Bojongmenje, Rancaekek, Bandung pernah ditemukan bata yang pada permukaannya terdapat jejak anjing. Data ini dapat memberikan gambaran bahwa masyarakat yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje pada waktu itu juga akrab dengan anjing. Berdasarkan data ini akan diungkap bagaimana peranan anjing pada masyarakat Bojongmenje. Dalam kajian ini akan diterapkan metode komparasi dengan relief pada candi. Untuk mengetahui bagaimana binatang sudah mengalami domestikasi dan dimanfaatkan untuk keperluan aktivitas manusia paling tepat melalui fisik binatang itu sendiri. Binatang yang sudah mengalami domestikasi akan mengalami perubahan karakteristik fisik dari spesies yang masih liar. Tulang dan gigi binatang yang sering ditemukan di situs-situs arkeologi apabila sudah menunjukkan adanya perubahan morfologi seperti pengurangan ukuran rahang dan pemadatan gigi yang meningkat. Tulang pada binatang hasil domestikasi tidak sekokoh pada tulang binatang liar. Fenomena tersebut merupakan respon terhadap stres, kurangnya olahraga, gizi buruk, kerusakan genetik, atau kombinasi faktor dari beberapa faktor tersebut. Petunjuk terhadap domestikasi binatang juga bisa diungkapkan melalui seni lukis pada dinding gua (Renfrew & Bahn, 1991). Dengan demikian, kesenian masyarakat pada masa lalu terutama seni lukis atau relief dapat dipakai untuk mengungkapkan aspek domestikasi hewan.

Kerangka pemikiran dalam mengungkap permasalahan, berangkat dari asumsi mengenai jejak yang tertera pada bata. Melalui perbandingan antara jejak yang tertera pada bata dengan jejak binatang yang dekat dengan kehidupan manusia dapat diasumsikan bahwa jejak tersebut adalah jejak anjing. Selanjutnya dicari gambaran mengenai berbagai peranan anjing pada masa klasik melalui relief pada candi. Berdasarkan gambaran kehidupan masyarakat berikut lingkungan fisiknya selanjutnya diperbandingkan dengan kondisi sosial masyarakat dan geomorfologis kawasan Bojongmenje yang kira-kira mendukung kehidupan sebagaimana yang tergambarkan pada relief. Berdasarkan perbandingan tersebut kemudian ditarik suatu simpulan. Secara sederhana, kerangka pemikiran ini tergambar sebagaimana bagan berikut.


 
CANDI BOJONGMENJE DAN JEJAK ANJING

Candi Bojongmenje ditemukan pada Agustus 2002 selanjutnya pada September 2002 dilakukan ekskavasi total. Secara administratif lokasi Candi Bojongmenje termasuk di wilayah Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Propinsi  Jawa Barat. Secara geografis berada pada posisi 6°5757,28” LS dan 107°48’06,53” BT. Geomorfologi kawasan Candi Bojongmenje secara umum merupakan pedataran bergelombang dengan ketinggian antara 620 hingga 1700 m di atas permukaan laut, Candi Bojongmenje berada pada ketinggian sekitar 675 m di atas permukaan laut. Kawasan yang berada di bagian selatan, di mana candi berada, dan barat merupakan pedataran rendah. Kawasan bagian utara dan timur merupakan perbukitan. Bukit-bukit tersebut antara lain G. Bukitjarian (1282 m), G. Iwiriwir, Pr. Sumbul (949 m), G. Kareumbi, G. Kerenceng (1736 m), G. Pangukusan (1165 m), Pr. Sodok, Pr. Panglimanan, Pr. Dangusmelati, Pr. Serewen (1278 m), G. Buyung, dan beberapa puncak lainnya.

Kawasan Bojongmenje dialiri beberapa sungai yang bermata air dari kawasan pegunungan di sebelah utara dan timur. Di kawasan paling barat mengalir Sungai Cikeruh. Ke arah timur berturut-turut terdapat aliran sungai Cikijing, Cimande, dan Citarik. Sungai Cikijing dan Cimande bersatu dengan Citarik. Candi Bojongmenje berada pada kelokan Sungai Cimande. Di sebelah timur situs, aliran Sungai Cimande bermula dari arah selatan ke utara kemudian berbelok ke arah barat. Di sebelah barat laut situs sungai ini kemudian berbelok lagi ke arah selatan.

 

Aliran Sungai Cimande yang berkelok menjadikan dataran lokasi candi menjorok ke arah sungai. Menurut istilah Sunda, bentuk geomorfologis seperti ini disebut bojong. Secara toponimi di kawasan Jawa Barat banyak terdapat lokasi yang diawali dengan bojong selanjutnya diikuti dengan nama tumbuhan atau binatang (Bachtiar et al, 2008: 47). Menje yang mengikuti kata bojong pada nama Bojongmenje belum diketahui apakah merupakan nama tumbuhan atau binatang. Menurut keterangan Abah Rochman, juru pelihara situs Bojongmenje, menje adalah nama tumbuhan yang buahnya asam.

Lokasi candi waktu ditemukan berupa kompleks pemakaman umum yang berada di sebelah selatan Jalan Raya Rancaekek, dikelilingi pabrik. Makam yang ada sekarang sudah dipindahkan ke kompleks pemakaman umum di sekitar Bojongmenje. Untuk menuju lokasi candi dari jalan raya melalui jalan setapak di perkampungan padat penduduk. Dari jalan raya hingga lokasi berjarak sekitar sekitar 300 m.

 Struktur kaki candi Bojongmenje
(Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2002)


Ekskavasi berhasil menampakkan bagian bangunan yang tersisa yaitu struktur bagian kaki. Struktur kaki candi sisi barat tersisa lima hingga tujuh lapis batu. Bagian sudut barat daya dalam kondisi melesak. Struktur sisi utara belum tampak karena berada di bawah pondasi pagar pabrik. Struktur sisi timur ditemukan dalam keadaan tidak lengkap. Beberapa batu dalam keadaan terpotong akibat aktivitas penduduk membuat lubang galian kuburan. Keadaan struktur sisi selatan relatif utuh. Berdasarkan bagian kaki dapat diketahui bahwa bangunan candi berdenah segi empat berukuran 6 x 6 m. Profil kaki candi terdiri dari pelipit, sisi genta (ojief atau padma), dan bingkai rata (patta). Profil seperti ini merupakan gaya bangunan candi Jawa Tengah abad ke-7 atau ke-8. Dengan demikian Candi Bojongmenje diperkirakan dibangun pada abad ke-7 atau ke-8.

Pada kaki candi sisi timur ditemukan batu bagian ojief yang menyudut. Batu tersebut merupakan suatu indikator bagian tangga/pintu. Berdasarkan temuan ini dapat dipastikan bahwa arah hadap candi adalah ke timur. Selain struktur bagian kaki, juga ditemukan beberapa komponen batu candi bagian tubuh dan atap. Komponen bagian atap yang masih tersisa berupa kemuncak dan antefiks. Berdasarkan komponen tersebut dapat dipastikan bahwa candi Bojongmenje merupakan bangunan lengkap yang terdiri dari kaki, tubuh, dan atap (Djubiantono, 2002; Saptono, 2003). Selain temuan berupa batu komponen bangunan juga ditemukan benda-benda artefaktual yaitu fragmen tembikar dan alat serpih obsidian. Dengan adanya temuan ini menunjukkan bahwa sebelum masyarakat masa klasik yang bermukim di Bojongmenje, telah ada masyarakat prasejarah yang bermukim di lokasi itu (Saptono, 2005)

 Fragmen arca nandi candi Bojongmenje
(Dok. Nanang Saptono, 2004)

Temuan penting lainnya di Candi Bojongmenje adalah fragmen arca nandi bagian kepala. Kondisi fragmen arca bagian mulut patah, telinga kiri juga patah. Kedua tanduk digambarkan hanya berupa benjolan. Pada leher terdapat kalung berupa untaian manik-manik bulat. Berdasarkan temuan ini dapat dipastikan bahwa Candi Bojongmenje bersifat Hinduistis. Beberapa benda arkeologis yang pernah dilaporkan ditemukan di kawasan sekitar Bojongmenje juga bersifat Hinduistis. N.J. Krom di dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Neder­landsch-Indie (ROD) 1914 (Laporan Dinas Purbakala Hindia-Belanda tahun 1914) melaporkan adanya runtuhan candi di Tenjolaya, Cicalengka. Unsur bangunan candi yang dilaporkan antara lain patung bergaya Polinesia, kala, patung Durga, dan beberapa balok-balok batu. Selain itu di daerah Cibodas pernah juga dilaporkan adanya temuan patung Çiva-Mahãdewa. Di Cibeeut ditemukan patung Ganeça. Pleyte pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa di Desa Citaman, 200 m sebelah utara Stasiun KA Nagreg, terdapat objek purbakala yang oleh masyarakat setempat disebut pamujan. Di situs ini pernah ditemukan patung Durga (Pleyte, 1909).

Beberapa temuan penting tidak hanya ditemukan pada waktu ekskavasi tetapi juga pada waktu dilakukan kegiatan penyelamatan dan prapemugaran. Pada waktu kegiatan penyelamatan dilakukan ekskavasi di lahan sebelah timur candi. Ekskavasi menemukan struktur bata berupa hamparan membentuk semacam lantai. Posisi hamparan bata berada agak ke sisi utara. Antara bata terdapat perekat tanah. Salah satu bata pada permukaannya terdapat jejak binatang. Bata tersebut dalam keadaan tidak utuh berbentuk hampir segitiga yang pada sisi miringnya melengkung. Tera jejak binatang terdiri dua masing-masing memperlihatkan empat jari dan telapak. Berdasarkan perbandingan dapat diasumsikan bahwa jejak tersebut merupakan jejak anjing.


ANJING DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Anjing memiliki posisi unik dalam hubungan antarspesies. Anjing merupakan hewan yang telah mengalami evolusi berasal dari Cynodictis yang hidup sekitar 35 juta tahun yang lalu. Hewan ini bertubuh panjang dan lentur dengan ekor panjang, hidup di pohon. Anjing-anjing purba secara bertahap meninggalkan pohon dan hidup di dataran-dataran terbuka, mencari mangsa secara berkelompok. Seperti halnya kucing, anjing juga mempunyai gigi pencabik (karnisial). Lain halnya dengan kucing, anjing mempunyai gigi geraham untuk mengunyah makanan yang keras. Karena adanya gigi penggerus ini, anjing-anjing modern makanannya lebih beraneka ragam bila dibandingkan dengan kucing.

 Struktur bata yang terdapat di sebelah timur bangunan candi, jejak kaki anjing,
dan jejak kaki anjing yang tertera pada bata di candi Bojongmenje
(Dok. Nanang Saptono, 2004)

Garis evolusi anjing diantaranya menurunkan anjing-anjing yang mirip hiena, dulu berkeliaran di padang-padang Amerika utara. Cabang lainnya berakhir pada anjing-anjing besar mirip beruang. Kelompok lain membentuk serigala, ajak, rubah, dan anjing-anjing piaraan. Anjing piaraan sebagian besar merupakan keturunan serigala. Serigala pernah hidup dan punah di Inggris pada abad ke-16. Di Skotlandia dan Irlandia serigala bertahan hingga sekitar abad ke-18. Di Amerika, serigala masih cukup banyak hidup dikawasan hutan bagian barat ke selatan hingga Mexico. Serigala juga dapat dijumpai di hutan-hutan Kanada bagian utara dan barat serta kawasan Newfoundland dan Teluk Hudson.

Serigala (Canis lupus) terdapat hampir di seluruh Eropa, terbanyak di Uni Soviet dan Skandinavia. Di Asia serigala tersebar di perbatasan India dan daratan Cina. Di Amerika serigala tersebar di kawasan utara, Florida, dan Texas. Serigala baik yang hidup liar di Eropa maupun Amerika kebanyakan tinggal di daerah terbuka dan hutan-hutan. Mereka membuat sarang di celah-celah batu karang atau di dalam lubang pohon tumbang yang telah lapuk. Serigala kadang-kadang membuat liang di dalam tanah atau memperbesar liang yang dibuat oleh hewan lain. Serigala jarang menyerang manusia, baru menyerang bila sudah sangat kelaparan atau kalau anak-anaknya diganggu. Pada umumnya serigala termasuk hewan pemalu dan tidak mau bersahabat dengan manusia.

Pengkajian terhadap bukti genetika dan arkeologis menunjukkan serigala sudah didomestikasi sejak akhir jaman paleolitik yang merupakan peralihan antara zaman pleistosen dan holosen, antara 17.000-14.000 tahun yang lalu. Walaupun demikian penelitian morfologi fosil tulang dan analisis genetika serigala, anjing zaman kuno, dan anjing jaman sekarang belum bisa memastikan asal mula domestikasi anjing. Semua anjing kemungkinan berasal hanya dari satu kelompok serigala. Fosil anjing tertua yang pernah ditemukan adalah dua tulang kranium dari Rusia dan rahang bawah dari Jerman. Kedua fosil ini berasal dari 13000-17000 tahun yang lalu. Analisis DNA yang di lakukan menunjukkan semua populasi anjing berasal dari sumber gen (gene pool) tunggal bersama-sama dengan serigala. Bukti baru menunjukkan anjing pertama kali didomestikasi di Asia Timur, kemungkinan di Tiongkok. Manusia pertama yang menginjakkan kaki di Amerika Utara membawa serta anjing dari Asia. Penelitian genetika telah berhasil mengidentifikasi 14 ras anjing kuno. Di antaranya, Chow Chow, Shar Pei, Akita, Shiba dan Basenji merupakan ras anjing yang tertua. Teori yang mengatakan anjing berasal dari Asia mungkin bisa dipercaya karena sebagian besar dari 14 ras anjing kuno berasal dari China dan Jepang.

Domestikasi anjing awalnya di dorong motif saling menguntungkan oleh kedua belah pihak. Anjing liar yang memungut sisa-sisa makanan di sekeliling permukiman manusia mendapat lebih banyak makanan di bandingkan kawanan yang masih liar dan takut pada manusia. Anjing liar yang kebetulan menyerang manusia purba dan anak-anaknya kemungkinan di usir atau di bunuh, sedangkan anjing yang bersahabat dengan manusia selamat. Manusia purba memanfaatkan anjing untuk mengusir hewan liar pengganggu manusia. Anjing dimanfaatkan sebagai penjaga manusia dari kedatangan hewan pemangsa yang selalu mengincar karena mempunyai indera yang tajam. Hingga saat ini anjing menjadi sahabat manusia atau menjadi hewan peliharaan untuk di perdagangkan (Cowan, 2003; Savolainen, 2002; Colbert, 1969: 351 – 352).


ANJING PADA RELIEF CANDI

Relief pada bangunan candi pada umumnya menggambarkan cerita mengenai kehidupan manusia, mitologi, atau fabel. Melalui relief cerita dapat diketahui kehidupan masyarakat pada waktu itu. Pada gambaran tentang kehidupan masyarakat inilah terselip pengetahuan tentang kaitan antara manusia dengan anjing. Untuk mencari gambaran bagaimana kehidupan masyarakat pada sekitar abad ke-7 – 8 di Bojongmenje dapat melalui gambaran pada relief Candi Borobudur khususnya pada panil yang menceritakan Karmawibangga dan pada relief Candi Surowono.

Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada posisi 7°3628 LS dan 110°1213 BT. Lingkungan geografis Candi Borobudur dikelilingi oleh Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah Utara, dan pegunungan Menoreh di sebelah Selatan, serta terletak di antara Sungai Progo dan Elo. Candi Borobudur didirikan di atas bukit yang telah dimodifikasi, dengan ketinggian 265 dpl.

Mpu Prapanca di dalam Kitab Nagarakertagama (1365 M) telah menyebut nama “Budur” sebagai bangunan suci agama Buddha Wajradara. Babad Tanah Jawi (c.a. abad ke-18 M) menyebut nama “Bukit Budur”. Candi Borobudur muncul kembali tahun 1814 ketika Sir Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu telah ditemukan candi “Boro Bodo” (Adi, 1992; Raffles, 2008). Menurut legenda Candi Borobudur didirikan oleh arsitek Gunadharma, namun secara historis belum diketahui secara pasti. J.G. de Casparis berdasarkan interpretasi prasasti Sri Kahulunan (842 M), menyatakan pendiri Candi Borobudur adalah Smaratungga yang memerintah tahun 782-812 M pada masa Dinasti Syailendra. Selanjutnya Casparis menemukan kata sang kamulan ibhumisambharabudara. Kalimat tersebut berarti bangunan suci yang melambangkan kumpulan kebaikan dari kesepuluh tingkatan Bodhisattva (Adi, 1992).

Bangunan candi terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan ajaran Buddha (Kempers, 1959: 43 – 44). Bagian paling bawah atau kaki candi disebut Kamadhatu yaitu dunia hasrat, selanjutnya bagian tubuh candi disebut Rupadhatu, dan paling atas bagian puncak disebut Arupadhatu, yaitu dunia tanpa wujud. Di bagian Kamadhatu terdapat 160 panil relief yang menggambarkan berbagai perilaku manusia dengan segala hasrat dan nafsunya. Relief ini merupakan perwujudan ajaran yang terdapat pada kitab Maha Karmawibhangga.

Karmawibhangga merupakan ajaran dari aliran Mahayana yang berlandaskan kepada hukum sebab-akibat antara samsara dan karma, penentu bentuk kehidupan manusia sekarang dan masa mendatang, serta akibat perbuatan selama hidup. Ajaran ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam agama Buddha yaitu tentang bagaimana manusia seharusnya menempuh kehidupan di dunia. Agama Buddha sangat mementingkan hubungan serasi, antara lingkungan alam dan makhluk berjiwa pemukim dunia ini sebagai kesatuan, melalui kasih sayang dan rasa welas asih kepada semua (Satrio A, 1992). Meskipun Karmawibhangga merupakan ajaran agama Buddha, tetapi kehidupan sehari-hari yang tergambarkan merupakan gambaran kehidupan secara umum.

Relief menggambarkan suami yang sering menganiaya isteri,
akan mendapat balasan digigit anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)

 Relief menggambarkan lelaki yang menganiaya orang lain mendapat balasan
digigit anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)

Pada beberapa panil tergambarkan bagaimana anjing berperan dalam kehidupan manusia. Anjing digambarkan sebagai binatang buas yang menyerang manusia dan sebagai kawan manusia. Anjing sebagai binatang buas misalnya tergambar pada panil yang menggambarkan laki-laki digigit anjing karena melakukan kejahatan terhadap sesama atau karena sering menganiaya isteri. Pada panil lain ada yang menggambarkan suami yang main serong mendapat balasan dikejar anjing.

 Relief menggambarkan suami main serong sementara isteri menunggu di rumah,
suami mendapat balasan dikejar anjing hingga ketakutan
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)

Anjing dalam kehidupan masyarakat berperan sebagai kawan manusia tergambar pada beberapa panil. Salah satu panil menggambarkan anjing sebagai binatang piaraan di rumah. Di sini terlihat bagaimana anjing sangat dekat dengan manusia. Karmawibhangga menampilkan adegan pengamen jalanan yang sedang beraksi di hadapan seseorang yang sedang istirahat sambil menikmati sajian para pengamen ditemani anjing. Anjing dalam posisi duduk di dekat seseorang yang sedang istirahat. Kepala anjing digambarkan mendongak ke arah para pengamen.

 Relief sekelompok pengamen sedang beraksi di depan seseorang yang sedang
istirahat ditemani anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)

Selain itu, pada panil yang lain tergambar bahwa anjing berperan sebagai teman manusia dalam aktivitas bertani. Pada beberapa prasasti dan naskah secara tegas menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara merupakan masyarakat agraris. Relief Karmawibhangga membuktikan bahwa Candi Borobudur dibangun oleh masyarakat agraris. Beberapa tanaman dan tumbuhan digambarkan pada relief seperti jewawut (Setaria italica), padi (Oryza sativa), nangka (Artocarpus heterophylla), sukun (Artocarpus ommunis), pisang (Musa paradisiaca), jeruk (Cytrus sp.), mangga (Mangifera indica), dan durian (Durio zibethinus). Sebagian besar tanaman ini dibudidayakan untuk bahan pangan, minuman, zat pewarna, dan obat-obatan (Yulianto dan Azul S, 1992).

Peran anjing dalam aktivitas pertanian sudah lama dikenal. Anjing dalam hal ini dapat dimanfaatkan untuk menjaga tanaman dari serangan binatang perusak tanaman seperti misalnya babi hutan. Pada salah satu panil relief Karmawibhangga terdapat gambaran anjing dimanfaatkan sebagai teman petani. Digambarkan ada dua orang petani sedang duduk di bangunan panggung terbuka sedang menjaga sawah yang mulai berbuah. Sawah tersebut terlihat sedang terserang hama tikus. Anjing berada di kolong rumah menemani petani yang sedang menjaga sawah tersebut.

 Relief dua orang petani menjaga sawah yang terserang hama tikus
ditemani anjing
(Sumber: Badil dan Nurhadi Rangkuti, 1992)

Gambaran mengenai peranan anjing dalam kehidupan manusia juga terdapat di Candi Surowono. Candi Surowono terletak di Dusun Sorowono, Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sekitar 25 km arah timur laut dari kota Kediri. Candi ini diperkirakan sebagai wujud pendharmaan (penyucian) Vishnubhuvanapura atau Bhre Wengker yang meninggal pada tahun 1388 M. Pembangunan candi dilaksanakan 12 tahun setelah raja meninggal dunia, melalui upacara Craddha. Dengan demikian, candi ini diperkirakan baru didirikan pada tahun 1400 M.

Candi Surowono berbentuk bujursangkar menghadap ke barat berukuran 7.8 X 7.8 meter dengan ketinggian 4.72 meter, dengan pondasi batu bata sedalam 30 cm dari permukaan tanah. Jika dibandingkan dengan candi peninggalan Majapahit pada umumnya yang cenderung langsing, candi ini memang agak berbeda karena memiliki postur yang tambun. Relief yang terdapat pada dinding candi adalah cerita Arjunawiwaha, Sri Tanjung, dan Bubuksah (Kempers, 1959: 96). Pada salah satu panil terdapat adegan bangsawan yang melakukan perjalanan dengan ditandu diikuti beberapa pengikut. Di bawah tandu ada seekor anjing yang mengikutinya. Berdasarkan gambaran pada panil itu terlihat bahwa anjing merupakan binatang piaraan yang bisa diajak pergi.

 Relief di candi Surowono yang menggambarkan perjalanan disertai anjing
(Dok. Nanang Saptono, 1985)


PERANAN ANJING PADA MASYARAKAT BOJONGMENJE

Anjing pada masyarakat masa klasik merupakan hewan yang dekat dengan manusia. Pada relief candi tergambarkan bahwa kedekatan anjing dengan manusia sebagai hewan piaraan untuk kesenangan dan juga untuk membantu dalam aktivitas sebagai masyarakat agraris. Jejak anjing yang tertera pada bata di Candi Bojongmenje menunjukkan bahwa anjing juga dikenal masyarakat Bojongmenje. Keletakan Candi Bojongmenje di kawasan pedalaman juga menunjukkan bahwa masyarakat pendukungnya juga sebagai masyarakat agraris.

Masyarakat yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje secara detail memang sulit digambarkan. Hal ini karena belum adanya prasasti yang memberikan petunjuk ke arah situ. Kalau melihat berdasarkan keterangan pada beberapa prasasti di Jawa yang berasal dari masa-masa sekitar abad ke-7 – 8, terdapat gambaran bahwa pada waktu itu sudah terdapat organisasi sosial dan organisasi keagamaan yang mengelola bangunan suci dengan tanah perdikannya. Suatu candi biasanya mempunyai tanah-tanah perdikan berupa sawah, ladang, kebun, pagagan (huma), taman, padang rumput, bukit dan lembah, serta rawa-rawa dan tepian. Di suatu candi biasa dipersembahkan saji-sajian dan dilakukan upacara-upacara keagamaan setiap hari, setiap bulan, dua kali setahun, dan setahun sekali. Berdasarkan gambaran pada prasasti, di sekitar candi terdapat permukiman baik permukiman penduduk biasa yang bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah perdikan yang mempunyai kewajiban mengelolanya maupun tempat tinggal para pendeta yang mengurus dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Selain itu juga akan ada permukiman para pembantu yang berkewajiban merawat bangunan candi dan apa yang ada di sekitarnya (Boechari, 1980: 328 - 329).

Bentuk Candi Bojongmenje yang sederhana dan ukuran yang kecil, yaitu 6 x 6 m serta sedikitnya bangunan candi di kawasan pedalaman Jawa Barat, memberi arahan gambaran bahwa masyarakat Jawa Barat (Sunda) pada masa itu merupakan masyarakat dengan populasi yang tidak begitu besar yang bermata pencaharian sebagai petani huma. Pada masa silam, orang Sunda umumnya memiliki rumah menyendiri di kawasan hutan. Mereka akan berpindah mencari lokasi ladang-ladang baru yang subur. Perkampungan mereka biasanya berhimpit-himpitan dua deret yang saling berhadapan terpisah oleh suatu pelataran yang luas (Iskandar dan Budiawati, 2011). Masyarakat Sunda sebagai masyarakat huma bersifat dinamis, kerapkali berpindah tempat dan tidak menetap di suatu lokasi karena harus membuka huma-huma baru (Munadar, 2011: 135). Huma yang dikerjakan akan berpindah setelah tingkat kesuburan tanahnya berkurang atau habis. Sebagai masyarakat yang tidak menetap maka mereka tidak memerlukan bangunan suci yang besar dan megah.

Masyarakat peladang berpindah sangat memerlukan anjing selain untuk menjaga ladang juga untuk membantu dalam berburu. Pada masyarakat Anak Dalam di Jambi, anjing merupakan harta paling berharga. Semakin banyak memiliki anjing piaraan akan semakin meningkatkan hasil buruan. Anjing juga dimanfaatkan untuk menjaga ladang dari serangan hama babi hutan (Handini, 2008: 571). Pernan anjing bagi masyarakat peladang berpindah seperti ini juga terlihat pada masyarakat Punan Sajau di Kalimantan Timur (Eriawati, 2008: 629). Masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-8 – 9 yang bermukim di sekitar Candi Bojongmenje sebagai masyarakat peladang berpindah tentunya juga memerlukan anjing untuk menjaga ladang dan membantu dalam berburu.

Jejak anjing yang tertera pada bata di Bojongmenje dapat dipastikan tercetak pada waktu proses pembuatan bata. Bojongmenje yang berada di tepi sungai cocok juga sebagai lokasi industri bata. Dengan demikian bata yang dipakai untuk membuat komponen bangunan candi merupakan produk lokal. Hingga saat ini di sepanjang Sungai Cimande hingga Sungai Citarik masih banyak dijumpai masyarakat yang membuat bata. Aliran sungai yang mengendapkan tanah liat di kanan kiri sungai memberikan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan bahan dasar bata. Dengan adanya jejak anjing, memberikan keterangan bahwa masyarakat pembuat bata pada waktu itu memelihara anjing. Peranan anjing bagi masyarakat pembuat bata adalah sebagai hewan piaraan.


SIMPULAN

Anjing bagi masyarakat Nusantara yang merupakan masyarakat agraris, mempunyai banyak peranan yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam maupun hanya sebatas sebagai hewan piaraan. Dalam kaitannya dengan bercocok tanam, anjing dapat berperan sebagai hewan penunggu dari gangguan hama pengganggu tanaman seperti babi hutan. Sebagai hewan piaraan, anjing merupakan hewan rumahan yang juga bisa disertakan saat melakukan perjalanan. Karena Bojongmenje berada pada kawasan yang sesuai untuk kehidupan agraris, maka peranan anjing bagi masyarakat yang bermukim di Bojongmenje adalah sebagai hewan untuk membantu aktivitas agraris dan juga sebagai hewan piaraan.


DAFTAR PUSTAKA

Adi, Siswoyo. 1992. Isi dari Tiga Lapis Dunia. Dalam Rudi Badil dan Nurhadi Rangkuti (ed.). Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.: 39 – 50.

Bachtiar, T, Etti R.S., Tedi Permadi. 2008. Toponimi Kota Bandung. Bandung Art & Culture Council dan Yayasan Purbatisti, Bandung.

Badil, Rudi dan Nurhadi Rangkuti. 1992. Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.

Boechari. 1980. Candi dan Lingkungannya. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta.: 319 – 341.

Cowan, Ian Mc T. 2003. Mamalia. Dalam Ilmu Pengetahuan Populer. PT Widyadara, Jakarta.: 198 – 292.

Colbert, Edwin H. 1969. Evolution of the Vertebrates. John Wiley & Sons Inc., New York.

Djubiantono, Tony et al. 2002. Ekskavasi Penyelamatan Situs Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Proyek Penelusuran Sejarah dan Pelestarian Nilai-nilai Seni Budaya Tradisional Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Bandung.

Ekadjati, Edi S. 2009. Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2. Pustaka Jaya, Jakarta.

Ellen, R. 1982. Environment, Subsistence and System: The Ecology of Small-Scale Social Formations. Cambridge University Press.

Eriawati, Yusmaini. 2008. Strategi Hidup Masyarakat Punan Sajau, Kalimantan Timur Sebagai Perbandingan Dalam Menginterpretasi Kehidupan Manusia Toala Maros, Sulawesi Selatan. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-9. Kediri, 23 – 28 Juli 2002. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.: 623 – 636.

Handini, Retno. 2008. Unsur-unsur Prasejarah pada Tradisi Berburu Meramu Masyarakat Anak Dalam. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke-9. Kediri, 23 – 28 Juli 2002. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.: 570 – 576.

Iskandar, Johan. 2001. Manusia, Budaya, dan Lingkungan. Humaniora Utama Press, Bandung.

Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Iskandar, Johan dan Budiawati S. Iskandar. 2011. Agroekosistem Orang Sunda. Kiblat, Bandung.

Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Harvard University Press, Cambridge – Massachusetts.

Krom, N.J. 1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Albrecht & Co, Batavia.

Milton, K. 1996. Environmentalism and Cultural Theory: Exploring the Role of Anthropology in Environmental Discourse. Routledge, London and New York.

Moran, E.F. 1990. The Ecosystem Approach in Anthropology from Concept to Practice. Michigan: The University of Michigan Press.

Munandar, Agus Aris (et al.). 2011. Bangunan Suci Sunda Kuna. Wedatama Widya Sastra, Jakarta.

Pleyte, C.M. 1909. Archaeology in West Java. The 20 th Century Inpressions of the Netherland India. London.

Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java, terj. Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah. Penerbit Narasi, Yogyakarta.

Renfrew, Colin & Paul Bahn. 1991. Archaeology: Theories, Methods and Practice. Thames and Hudson, London.

Saptono, Nanang. 2003. The Bojongmenje Temple: The Treasure that Comes to Light at East Bandung. Ministry of Culture and Tourism, Jakarta.

Saptono, Nanang. 2005. Transformasi Budaya di Situs Candi Bojongmenje. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi X. Yogyakarta, 26 – 30 September.

Satrio A, Junus. 1992. Ajaran Itu Terkubur Demi Manusia. Dalam Rudi Badil dan Nurhadi Rangkuti. Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.: 51 – 80.

Savolainen, P., Y.P. Zhang, J. Luo, J. Lunderberg, T. Leitner and T. Leitner. 2002. Genetic Evidence for an East Asian Origin of Domestic Dogs. Science 298: 1610-1613.

Soejono, RP (ed.). 1990. Jaman Prasejarah di Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia I. Balai Pustaka, Jakarta.

Suparlan, Parsudi. 2005. Kebudayaan Dalam Pembangunan. Indonesia Center for Sustainable Development, Jakarta.

Yulianto, Kresno dan Sri Unggul Azul S. 1992. Alam Binatang dan Suasana Neraka. Dalam Rudi Badil dan Nurhadi Rangkuti. Rahasia di Kaki Borobudur. Katalis, Jakarta.: 51 – 80. 

Catatan: Tulisan terdapat pada buku "Arkeologi Ruang: Lintas Waktu sejak Prasejarah hingga Kolonial di Situs-situs Jawa Barat dan Lampung", Editor Dr. Heriyanti O. Untoro. Jatinangor: Alqa Print, 2012, hlm. 93 - 112.

5 Komentar:

Blogger Benny Hendric mengatakan...

hallo salam sejahtera Pak Arkeologi Sunda,
saya mau menanyakan tentang medali / koin payung kastuba pada era kerajaan sumedanglarang.
medali / koin_nya seperti yang ada di museum Sri Baduga, ini link medali payung kastuba: http://www.sribadugamuseum.com/a-koleksi.php
pada Lajur Koleksi 6,
yang mau saya tanyakan : apakah makna pada koin/medali payung kastuba yg bertulisan cacarakan sunda dan pada era pangeran siapa di kerajaan sumedanglarang ?
karena saya sendiri masih keturunan darah sumedang.
sebelum dan sesudah_nya saya ucapkan terimakasih.

22 April 2013 pukul 01.45

 
Anonymous Anonim mengatakan...

saya curiga dan yang saya ketahui bahwa legenda sangkuriang di sebarkan oleh kaum lain yang memebenci etnis sunda dan menghinakan orang sunda

2 Juli 2013 pukul 05.35

 
Anonymous budaya indonesia mengatakan...

luar biasa, terima kasih informasinya. izin repost

23 Januari 2014 pukul 08.05

 
Anonymous tempat wisata di bali mengatakan...

indah menawan, memang indonesia merupakan negara yang begitu indah, hampir setiap wilayah di negeri ini memilki nilai keindahan, namun syang keindahan itu seakan tidak tampak mengapa demikian? mari kita sama-sama berbuat satu hal untuk membuat satu nilai keindahan di negeri kita ini

25 Januari 2014 pukul 05.49

 
Blogger Dadang Nugraha sehum mengatakan...

saya sangat menunggu untuk ekskavasi lanjutannya pak hehhe

21 Juli 2016 pukul 16.58

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda