100 Tahun Purbakala
Memang jarang sekali peringatan Hari Purbakala terdengar di telinga kita, kecuali para purbakalawan. Bagi kalangan purbakalawan, Hari Purbakala setiap tanggal 14 Juni, merupakan peringatan bagi lahirnya kesadaran akan pentingnya kepurbakalaan secara nasional. Pada masyarakat luas Jawa Barat, peristiwa yang berkaitan dengan dunia purbakala beberapa tahun terakhir ini muncul ke permukaan. Penemuan Candi Bojongmenje di Rancaekek dan penemuan manusia Gua Pawon pernah menyita perhatian masyarakat luas. Akhir-akhir ini kasus piramida dan Gunung Padang kembali menyita perhatian kita terhadap arkeologi. Peristiwa-peristiwa itu menyadarkan masyarakat bahwa purbakala merupakan sisi penting dalam kehidupan manusia. Tidak berlebihan pula bila diduga bahwa dampak peristiwa tersebut, mengakibatkan masyarakat mengetahui adanya Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Bagaimanakah perjalanan sepak terjang lembaga purbakala, layak disimak pada Hari Purbakala ini.
Mungkin tidak berlebihan jika dikatan apa yang dilakukan Prapanca dan Bujangga Manik juga merupakan embrio arkeologi Indonesia. Prapanca pada beberapa sarga dalam Nagarakrtagama mencatat tentang beberapa candi era pra Majapahit. Catatan perjalanan Bujangga Manik keliling Pulau Jawa pada akhir abad XV diantaranya juga berisi tentang bangunan candi dan beberapa kabuyutan. Mungkin sudah merupakan suratan takdir, sesudah masa Prapanca dan Bujangga Manik, Indonesia berada di bawah cengkeraman bangsa asing, sehingga orang asinglah yang mendapat kesempatan sebagaimana misalnya Rumphius dan C.A. Lons.
Pemerintah kolonial ketika itu ternyata tidak hanya menguras harta kekayaan bangsa Indonesia tetapi juga memperhatikan kekayaan budaya Indonesia. Perhatian itu diwujudkannya dengan pendirian Bataviasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1778. Lembaga ini sekarang menjadi Museum Nasional. Pendirian lembaga itu memberi pengaruh besar pada kegiatan penelitian sejarah, adat istiadat, dan peninggalan purbakala. Peningkatan perhatian terhadap kekunoan mencakup pula usaha membentuk komisi khusus di bidang kepurbakalaan seperti Kommissie tot het Opsporen Verzamelen en Bewaren van Oudheidkundige Voorwerpen pada tahun 1882. Perhatian kepada kepurbakalaan selain dari pemerintah juga dari pihak swasta. Organisasi non pemerintah (ornop) yang mula-mula berdiri adalah Archaeologische Vereeniging berdiri tahun 1885. Di bawah kepemimpinan Ir. J.W. Ijzerman, ornop ini berhasil mengungkap relief Karmawibangga pada kaki Candi Borobudur yang sekarang tertutup teras terbawah.
Pada masa awal inilah arkeologi berkembang di Indonesia. Walaupun aktivis ketika itu bukan arkeolog tetapi kegiatannya sangat sistematis. Landasan kerja yang telah dirintis oleh orang-orang Belanda tersebut terutama menyangkut segi dokumentasi, pemugaran, ekskavasi, dan interpretasi. Glyn E Daniel dalam bukunya yang berjudul A Hundred Years of Archaeology menyatakan bahwa perkembangan yang berlangsung di Indonesia sejalan dengan di Eropa. Di Indonesia kegiatan kearkeologian terutama terfokus pada masalah arkeologi klasik. Tinggalan berupa bangunan candi dan arca dijadikan objek perhatian para purbakalawan ketika itu. Makin pesatnya perkembangan dunia purbakala, membutuhkan badan khusus yang menangani bidang purbakala. Pada tahun 1901 didirikanlah Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madura (O.C.) dengan ketua J.L.A. Brandes. Landasan pendirian komisi ini karena di Jawa dan Madura banyak terdapat bangunan purbakala yang terbengkalai tanpa ditangani secara sistematis.
Adalah N.J. Krom, kepala O.D. yang pertama merupakan peletak dasar pengelolan peninggalan purbakala di seluruh Indonesia. Sebagai kepala dinas, telah merumuskan tugas pokok dan fungsi O.D. yaitu menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala, membuat rencana serta mengambil tindakan-tindakan dari bahaya runtuh lebih lanjut, melakukan pengukuran dan penggambaran yang diteruskan dengan melakukan penelitian kepurbakalaan dalam arti seluas-luasnya, termasuk dalam bidang epigrafi (ilmu tulisan kuna, prasasti, naskah). Salah satu warisan Krom adalah buku inventaris peninggalan purbakala berjudul Rapporten Van De Oudheidkundigen Dienst In Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Buku ini hingga sekarang dipakai sebagai acuan, khususnya dalam penelitian arkeologi.
Krom memimpin O.D. hanya selama dua tahun. Pada tahun 1916 F.D.K. Bosch diangkat menggantikan Krom. Kemajuan yang patut dicatat dalam kepemimpinan Bosch adalah perihal pemugaran bangunan purbakala. Pada masa Krom terdapat anggapan bahwa, melengkapkan bangunan (memugar) candi yang sudah runtuh adalah soal ilmiah belaka, oleh karena itu cukup dilakukan di atas kertas saja. Pelaksanaan rekonstruksi dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan berarti pemalsuan bukti sejarah. Bosch mempunyai pandangan lain. Dalam keadaan tertentu pembinaan kembali merupakan suatu keharusan. Pendapatnya dilandasi pada pengamatannya bahwa banyak sekali ditemukan kembali batu-batu runtuhan candi yang hiasannya atau pahatannya merupakan pelengkap atau bagian pari apa yang masih tegak dan asli. Dalam hal yang demikian tidak ada pilihan yang wajar kecuali menempatkan kembali batu-batu lepas itu kepada bangunannya. Polemik antara Krom dan Bosch berlangsung lama yang akhirnya dimenangkan oleh Bosch. Mungkin polemik yang terjadi pada sekitar 97 tahun yang lalu ini dapat kita jadikan renungan dalam kasus Candi Cangkuang.
Gagasan Bosch tidak melulu mengurus peninggalan purbakala secara fisik. Nilai penting yang terkandung dalam benda purbakala perlu diwariskan kepada generasi penerus. Untuk mewujudkannya, pada tahun 1926 digagas pendirian A.M.S. di Solo yang mengajarkan Sastra dan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Sangat disayangkan, pada kurikulum yang berlaku sekarang ini, pelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia bukan merupakan pelajaran yang berdiri sendiri melainkan sebatas muatan dalam pelajaran tertentu.
Kemenangan demi kemenangan dicapai oleh Bosch. Setelah merambah di dunia pendidikan, kemenangannya juga menembus pada dunia hukum. Sejak dahulu tampaknya benda purbakala dianggap sebagai harta karun yang tak ternilai harganya, di mana setiap orang yang menemukan bebas memperlakukan sekehendak hatinya. Lebih parah lagi setiap orang dianggap berhak mencarinya. Untuk menjaga keselamatan benda purbakala, O.D. mendesak pemerintah untuk mengeluarkan produk hukum yang melindungi benda purbakala. Akhirnya pada tahun 1931 diundangkan Monumenten Ordonantie (Staatblad 1931 No. 238) yang menjamin pengawasan dan perlindungan peninggalan purbakala.
Setelah mendapatkan berbagai kemenangan, pada tahun 1931 Bosch mendapatkan musibah besar. Dalam pameran internasional di Paris, benda-benda terbaik dari khazanah kepurbakalaan Indonesia musnah dalam kebakaran yang melanda pavilyun Indonesia. Arca-arca emas, perunggu, dan benda-benda lainnya hancur jadi abu. Mungkin sebagai bentuk pertanggungjawaban, Bosch kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh W.F. Stutterheim.
O.D. di bawah kepemimpinan Stutterheim tidak begitu mencatat prestasi istimewa. Hal ini juga karena secara kebetulan seluruh dunia dilanda malaise. Meskipun demikian pemugaran candi masih terus dilanjutkan walaupun agak tersendat. Salah satu kemajuan yang dicapai adalah perhatiannya pada peninggalan dari jaman Islam seperti pemugaran tempat penyimpanan barang-barang di Gunung Jati, perbaikan gapura Sunyaragi, dan perbaikan masjid Panjunan, Cirebon. Kepemimpinan Stutterheim “berakhir” dengan runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda karena serangan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan, lembaga purbakala mengalami masa penuh perjuangan. Tidak adanya tenaga ahli dari Belanda dan belum siapnya tenaga Indonesia, lembaga purbakala nyaris lumpuh tetapi tidak mati. Tercatat nama-nama seperti Suhamir, Amin Soendoro, dan Soewarno adalah tenaga muda Indonesia yang berjasa dalam menjaga tetap eksisnya lembaga purbakala. Selama masa penjajahan Jepang hingga masa revolusi fisik, aktivitas lembaga purbakala dijalankan oleh tenaga Indonesia. Serangan Belanda pada tahun 1947 menyebabkan lahirnya kembali O.D. yang kemudian dikepalai oleh Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers.
Pada masa kepemimpinan Kempers ini, mulai muncul tenaga muda Indonesia yang memperdalam studi di bidang purbakala. Sejalan dengan itu, secara kelembagaan O.D. beralih ke struktur pemerintah Indonesia. Pada awal tahun 1951 secara organisasi pemerintahan lembaga ini berada di bawah Kementerian P.P. dan K dengan nama Dinas Purbakala. Putra Indonesia yang pertama kali memimpin Dinas Purbakala adalah R. Soekmono. Lembaga ini terus mengalami perubahan dan perkembangan. Dinas Purbakala pernah diubah menjadi Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional (LPPN). Karena semakin berkembangnya tugas yang diemban, LPPN dijadikan dua lembaga yaitu yang bertugas menangani penelitian dan yang bertugas menangani perlindungan dan pembinaan peninggalan purbakala.
Di Jawa Barat, sekitar Bandung khususnya, objek purbakala tidak sama seperti yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kedua daerah tersebut peninggalan masa klasik berupa bangunan candi merupakan tinggalan yang banyak dijumpai. Peninggalan purbakala yang dominan di sekitar Bandung berasal dari masa prasejarah. Sekitar Danau Bandung memiliki kandungan tinggalan purbakala khas berupa mikrolit obsidian. Seperti halnya di daerah lain, para perintis penelitian purbakala Danau Bandung bukanlah arkeolog.
Penelitian purbakala sekitar Danau Bandung, pertama-tama dilakukan oleh A.C. de Jong dan von Koenigswald (1930), selanjutnya oleh J. Krebs (1932-1933), W. Rothpletz dan W Mohler (1942-1945). Sebagian besar dari mereka adalah geolog atau paleontolog. Mereka menemukan tinggalan berupa mikrolit obsidian, beliung batu, batu asah, tembikar, keramik asing, dan beberapa logam. Tampaknya para pendahulu ini mewariskan kepada penerusnya, sehingga penelitian terhadap budaya di tepian Danau Bandung misalnya di Gua Pawon dirintis oleh kalangan geolog.
Secara instansional, sekarang ini kepurbakalaan di Jawa Barat ditangani oleh Balai Arkeologi Bandung, Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan Balai Kepurbakalaan, Kesejarahan, dan Nilai Tradisional yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat. (Nanang Saptono, dari berbagai sumber)
Label: amerta
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda