REKAYASA UNTUK MENGHASILKAN
PANGAN
PADA MASYARAKAT
KERAJAAN SUNDA
ABAD KE-14 – 16
Nanang Saptono
nangsap@yahoo.co.id
Balai
Arkeologi Bandung
Abstract
Kingdom of Sunda region mostly located on
geomorphological mountains. Accordance with the conditions geomorfologinya,
the Sunda kingdom
rests on life as
cultivators. According to the theory of the development of civilization,
the cultivators to
grow up to form the kingdom. It was
because of lack of available food. Sundanese community
in meeting the food needs of the agricultural engineering turns applying a
mixture of farming and perswahan. In the field
of system is also known kebun-talun system.
Keywords:
cultivation, rice fields, engineering, settlement, civilization
Sari
Wilayah Kerajaan Sunda sebagian
besar berada pada geomorfologis pegunungan. Sesuai dengan kondisi
geomorfologinya, masyarakat Kerajaan Sunda bertumpu pada kehidupan sebagai
peladang. Menurut teori perkembangan peradaban, masyarakat peladang sulit
berkembang hingga mencapai bentuk kerajaan. Hal itu karena kurang tersedianya
bahan pangan. Masyarakat Sunda dalam memenuhi kebutuhan pangan ternyata
menerapkan rekayasa pertanian campuran antara perladangan dan perswahan. Dalam
sistem ladang juga dikenal sistem talun kebun.
Kata
kunci: perladangan, persawahan, rekayasa, permukiman,
peradaban
PENDAHULUAN
Pangan merupakan
kebutuhan pokok manusia untuk mempertahankan hidup. Bermacam-macam cara
dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Begitu pentingnya cara
manusia mendapatkan pangan sehingga para ahli pun menjadikannya patokan dalam
menyusun babakan masa dalam perkembangan tingkat kebudayaan khususnya pada masa
prasejarah. Sudah umum disepakati bahwa pembabakan masa ada yang mengacu pada
tingkat teknologi sehingga didapatkan masa paleolitik, mesolitik, neolitik, dan
masa perunggu besi. Selain itu dikenal pula model pembabakan mengikuti
pendekatan sosio-kultural. V. Gordon Childe (1968) melihat adanya lonjakan
dalam tingkat budaya manusia yang berkaitan erat dengan sistem sosial dan
ekonomi. Pada suatu masa, kebudayaan manusia mengalami revolusi yang mengubah
cara hidup berburu yang menjadikan manusia untuk selalu mengembara menjadi cara
hidup menetap yang mengusahakan pertanian. Pada tingkat yang lebih maju lagi
terjadilah revolusi perkotaan yang membawa masyarakat ke arah kehidupan yang
kompleks dengan timbulnya sistem kota, teknik pembuatan benda-benda logam,
perdagangan, serta timbulnya kelompok-kelompok sosial dengan status khusus
(Childe, 1968 dalam Soejono, 1976: 8). Berdasarkan model sistem matapencaharian
tersebut Gordon Childe membagi evolusi
peradaban manusia dalam tiga tahap yaitu savagery,
barbarism, dan civilization. Tahap savagery
dianggap sebagaimana masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa ini belum
dikenal adanya hukum dan tata pemerintahan. Tahap barbarism merupakan masyarakat bercocok tanam yang sudah mengenal
hukum dan tata pemerintahan secara sederhana dalam kelompok yang terbatas dan
tertutup. Sedangkan pada tahap civilization
adalah suatu masyarakat agrikultur dan industri. Kelompok masyarakat ini sudah
mengenal tata pemerintahan dan hukum adat yang telah teratur (Childe, 1979:
12-14).
Secara teoritik sistem
mata pencaharian khususnya teknik memperoleh makanan merupakan hal yang penting
dalam perkembangan kebudayaan. Bentuk-bentuk kebudayaan sederhana yang kemudian
berkembang menjadi peradaban tinggi yang diperlihatkan pada masyarakat kota,
berkaitan erat dengan sistem memperoleh bahan makanan. Perkembangan pemukiman
sederhana menjadi kota berhubungan dengan beberapa aspek sosial. Karl Wittfogel
berpendapat bahwa suatu negara terbentuk karena adanya masyarakat petani yang
mengenal sistem irigasi. Pada daerah subur mula-mula terbentuk masyarakat dalam
kelompok kecil berjuang menghidupi diri sendiri dengan pertanian yang didukung
sistem irigasi skala kecil. Sistem itu dinilai sangat menguntungkan sehingga
kelompok masyarakat itu menggabungkan desa mereka ke dalam unit politik tunggal
untuk merancang dan menata irigasi dalam skala besar (Wittfogel, 1957: 18).
Robert L. Carneiro
berpendapat bahwa munculnya kota antara lain disebabkan oleh pertambahan
penduduk yang menyebabkan kemajuan teknologi khususnya pertanian. Dengan adanya
teknologi terjadi surplus bahan pangan. Karena terjadi surplus maka tercipta
waktu luang untuk mengembangkan usaha-usaha lain, sehingga terjadi spesialisasi
kerja dan terbentuknya sistem organisasi. Teori ini didasarkan pada fakta situs-situs
permukiman di Timur Tengah, Cina, Asia Selatan, dan Afrika Utara yang pada
umumnya berada pada lembah-lembah subur. Lahan yang luas dan subur mampu
menghasilkan bahan makanan yang cukup bagi jumlah penduduk yang relatif besar
(Carneiro, 1970: 733-738).
Lahan yang subur
merupakan suatu syarat yang harus ada untuk berkembangnya peradaban. Masyarakat
penghuni Lake Plains di dataran tinggi Papua hidup sebagai kawanan nomaden,
ketika sebagian besar penduduk Papua lain hidup dalam kelompok-kelompok lebih
besar yang menetap. Hal itu karena wilayah Lake Plains tidak memiliki
konsentrasi lokal sumberdaya yang memungkinkan banyak orang hidup bersama-sama.
Wilayah itu tidak memiliki tumbuhan asli yang memungkinkan pertanian yang
produktif. Makanan pokok kawanan adalah pohon palem sagu yang bagian tengahnya
menghasilkan empulur berpati ketika pohon itu dewasa. Kawanan terpaksa hidup
secara nomaden karena harus berpindah setelah menebangi pohon sagu yang dewasa
di daerah itu. Sistem organisasi yang terbentuk hanya sebatas suku. Berdasarkan
gambaran ini terlihat bahwa prasyarat munculnya pemukiman adalah produksi
makanan atau lingkungan produktif dengan sumberdaya yang sangat terkonsentrasi
dan bisa diburu serta diramu dalam daerah yang kecil. Hal ini juga menjadi
alasan mengapa pemukiman, dan sesudahnya suku, mulai bermunculan di Bulan Sabit
Subur pada sekitar 13.000 tahun silam, ketika perubahan iklim dan teknologi
yang lebih baik berkombinasi sehingga memungkinkan panen melimpah (Diamond,
2013: 334 – 335). Suatu peradaban yang hanya sedikit mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi akan
menggantungkan perolehan sumber-sumber energi dalam tingkat yang cukup tinggi
pada lingkungan alamnya, dan begitu sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, peradaban
berkembang pada dua ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem ladang dan ekosistem
sawah (Rahardjo, 2007: 114). Menurut Clifford Geertz (Geertz, 1976 dalam
Rahardjo, 2007: 114 – 119), ekosistem perladangan merupakan bentuk strategi
adaptasi manusia untuk meniru mekanisme alamiah. Proses perolehan hasil tanaman
pada ekosistem perladangan tidak membutuhkan keterlibatan banyak tenaga
manusia. Hasil yang didapat dari ladang pada umumnya hanya cukup untuk konsumsi
jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak. Ekosistem sawah, dari segi produktifitas
dan kestabilannya mempunyai keuntungan lebih besar bila dibandingkan dengan
ekosistem ladang. Pada ekosistem sawah memerlukan kompensasi yang cukup tinggi.
Ketergantungan yang tinggi kepada air sebagai media yang membawa zat hara untuk
makanannya, mensyaratkan disediakannya rekayasa keairan. Adanya sarana fisik
berupa waduk dan sistem irigasi beserta sistem organisasi sosialnya menjadikan
ekosistem sawah merupakan jenis adaptasi yang mahal.
Masyarakat peladang
menurut David R. Harris (1972) sering mengalami kegagalan untuk berkembang ke
tingkat masyarakat yang biasa dikaitkan dengan “peradaban”. Kegagalan ini tidak
hanya berdasarkan faktor ekologi tetapi juga faktor sosial. Organisasi sosial
pada masyarakat peladang merupakan kelompok masyarakat sederhana (tribe) yang hidup sebagai komunitas
terpisah secara otonom dalam pemukiman-pemukiman kecil yang terpencar-pencar. Pola
pemukiman yang terpencar akan menentang munculnya wewenang terpusat, terutama
bila sistem komunikasi dan transportasi antar desa tidak menunjang. Berdasarkan
teori ini, Supratikno Rahardjo berpendapat bahwa sifat ekosistem perladangan
seperti itulah kiranya dapat menerangkan mengapa pusat-pusat pemerintahan dan
kerajaan-kerajaan seperti Kutei dan Tarumanāgara tidak bisa tumbuh menjadi besar
(Harris, 1972 dalam Rahardjo, 2007: 115 – 116). Tarumanāgara adalah kerajaan
yang pernah berkembang di Jawa bagian barat. Sesudah Tarumanegara runtuh muncul
Kerajaan Sunda. Secara geografis, wilayah kerajaan ini juga berada pada
ekosistem perladangan. Bila dibandingkan dengan Tarumanegara berdasarkan pada
prasasti yang dikeluarkan, Kerajaan Sunda lebih berkembang. Menurut teori,
sebagai kerajaan yang berada pada ekosistem perladangan, Kerajaan Sunda akan
sulit berkembang karena kurang ketersediaan bahan pangan. Namun dalam
kenyataannya Kerajaan Sunda dapat berkembang. Permasalahan yang menarik untuk
dibahas adalah bagaimana masyarakat Kerajaan Sunda dapat menghasilkan bahan
makanan yang cukup sehingga kerajaan dapat berkembang.
SEJARAH SINGKAT KERAJAAN SUNDA
Sejarah
kuna Jawa Barat mencatat adanya Kerajaan Tarumanāgara. Menjelang akhir abad ke-7 Tarumanāgara mengalami keruntuhan
dan kemudian pada abad ke-10 muncul
Kerajaan Sunda. Sebagaimana kerajaan yang lain, ibukota Kerajaan Sunda
mengalami beberapa kali perpindahan, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan
Pajajaran. Berita Portugis dari Tomé Pires (1513) menyebutkan adanya kerajaan
di Jawa Barat bernama regño de çumda
telah mengadakan hubungan dagang dengan Portugis (Cortesao, 1944: 412-416).
Berita Cina dari dinasti Ming menyebut-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt,
1960: 44). Prasasti Kebon Kopi (854 Ś / 932 M), Bogor menyebut adanya ba [r] pulihkan haji sunda. Naskah kuna Carita Parahyangan menyebut Sunda sebagai nama kawasan (Hardiati,
2009: 381).
1. Kerajaan Sunda di Galuh
Di dalam Carita Parahyangan
disebut nama Sañjaya. Tokoh ini juga terdapat pada prasasti Canggal (732 M). Di
dalam prasasti tersebut, Sañjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya
yang bernama Sanna. Antara Sañjaya dengan Sanna masih ada hubungan darah. Carita Parahyangan menghubungkan tokoh
Sañjaya dengan pusat Kerajaan Galuh, karena
di situ dikatakan bahwa Sena, berkuasa di Galuh. Sañjaya juga disebut
sebagai menantu Raja Sunda yang bernama Tarusbawa. Karena perkawinan tersebut,
Sañjaya dapat berkuasa atas Kerajaan Sunda. Sejak itu Kerajaan Sunda berpusat
di Galuh yang terletak di sebelah barat Citarum. Ketika Sañjaya naik tahta, di
Jawa Barat juga ada kerajaan lain yang diperintah oleh Sang Seuweukarma,
berkedudukan di Kuningan (Hardiati, 2009: 382 - 384).
2. Kerajaan Sunda di Prahajyan
Suṇḍa
Prasasti
lebih muda yang menyebut Kerajaan Sunda yaitu prasasti Sanghyang Tapak berangka tahun 952 Ś atau 1030 M. Dalam prasasti ini disebut tokoh yang bernama Mahāraja Śrȋ Jayabhūpati Jayamanahěn Wiṣṇumurtti Samarawijaya
Sakalabhuwanamaṇḍaleśwarānindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Daerah kekuasaannya
disebut Prahajyan Suṇḍa. Śrȋ Jayabhūpati, dalam naskah Carita
Parahyangan dapat disejajarkan dengan Sang Rakeyan Darmasiksa. Apabila hal
ini benar maka dapat diduga pada masa ini pusat kerajaan terletak di Pakwan
Pajajaran (Hardiati, 2009: 384 - 387).
3. Kerajaan Sunda di Kawali
Pada
masa salah satu pemerintahan, ibukota kerajaan pindah ke Kawali. Prasasti
Kawali menyebutkan pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu ibukota telah berada
di Kawali. Keterangan tentang ibukota kerajaan di Kawali juga terdapat di dalam
naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang
berasal dari tahun 1518 M. Nama Prabu Raja Wastu juga terdapat pada prasasti
lainnya yaitu di prasasti Batutulis dan prasasti Kebantenan. Pada kedua
prasasti itu disebut Rahyang Niskala Wastu Kañcana.
Berdasarkan
catatan pada prasasti Kebantenan dapat diperoleh mengenai raja-raja pengganti
Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal Wastu Kañcana digantikan oleh Rahyang
Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan Susuhunan
ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis disebutkan bahwa
Maharaja penguasa Pakwan Pajajaran adalah cucu Niskala Wastu Kañcana, putra
Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga memuat tempat moksa (surup) Niskala Wastu Kañcana, yaitu di
Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di Gunungtiga.
Carita Parahyangan juga menyebutkan bahwa Prabu
Niskala Wastu Kañcana surup di nusalarang ring giri wanakusumah sedangkan
penggantinya, yaitu Rahyang Dewaniskala, nu
surup di gunungtilu. Di dalam Carita
Parahyangan, nama Rahyang Dewaniskala tidak disebutkan, hanya disebut Tohaan di Galuh. Dengan demikian melalui
Carita Parahyangan dapat diketahui
bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Sunda masih terletak di
Galuh, tepatnya di sekitar Kawali sekarang (Hardiati, 2009: 390 - 391).
Dari
ketiga raja Sunda Kawali, yang paling banyak mendapat perhatian adalah Prabu
Niskala Wastu Kañcana. Pemberitaan dimulai dari peristiwa Bubat. Secara syah,
ketika itu ia sudah naik tahta tapi karena masih kecil, maka pemerintahan
Kerajaan Sunda dipegang oleh Hyang Bunisora. Setelah Hyang Bunisora meninggal
dunia pada tahun 1371, ia memegang pemerintahan. Menurut Carita Parahyangan, Wastu Kañcana memerintah selama 104 tahun
(1371 - 1475 M). Pada masa pemerintahannya berhasil membawa suasana yang sangat
positif. Kesejahteraan dan kemakmuran tergambarkan sebagai berikut.
“... nya mana sang rama e(na)k mangan, sang rêsi enak ngaresisana,
ngawakan na purbatisti, purbajati, sang dis(r)i enak masini ngawakan na
manusasana, ngaduman alas pari-alas, ku beet hamo diukih, ku gêde hamo diukih.
nya mana sang tarahan enak lalayaran ngawakan manurâjasasana. sanghyang apa(h),
teja, bayu, akasa, sangbu enak-enak ngalu(ng)guh di sanghyang jagat-palaka.
ngawakan sanghyang rajasasana, angadêg di sanghyang linggawêsi, brata siya puja
tanpa lum. sang wiku e(na)k ngadewasasana ngawakan sanghyang watangageung,
enak ngadêg manu.raja.sunya ...”
Artinya...
itulah sebabnya para tetua di dusun nikmat makan, para pendeta dengan tenteram
menjalankan peraturan kependetaan, mengamalkan purbatisti purbajati (adat dan tradisi leluhur). Para dukun dengan
tenteram membuat perjanjian-perjanjian dengan mempergunakan aturan yang
berkenaan dengan kehidupan, membagi-bagi hutan dan kitarannya, baik oleh si
kecil maupun si besar tak akan terjadi kerewelan, bahkan para bajak laut pun
merasa aman berlayar sesuai dengan peraturan raja. Air, cahaya, angin, langit,
dan bumi pun merasa senang berada dalam genggaman pelindung dunia. Berpegang
kepada pedoman raja, berdiri pada Sanghyang
Linggawesi, berpuasa, memuja (dewa) tanpa batas. Para pendeta dengan tenang
menjalankan ajaran dewa, mengamalkan Sanghyang
Watangageung. Mereka melepaskan kedudukan berdasarkan keyakinan ...
(Hardiati, 2009: 392 - 393, Ayatrohaédi, 1986: 28 - 29). Kebesaran Wastu
Kañcana selain dibeberkan di dalam Carita
Parahyangan, ternyata juga terdapat di dalam carita pantun, yang
hidup di masyarakat Jawa Barat sebagai cerita tutur. Dalam cerita tutur
tersebut, Wastu Kañcana dianggap sebagai tokoh Prabu Siliwangi (Ayatrohaédi
1986: 34).
4. Kerajaan Sunda di Pakwan Pajajaran
Sepeninggal Wastu Kañcana, pemerintahan di Kerajaan Sunda
digantikan oleh Tohaan di Galuh atau
Ningrat Kañcana. Pada masa pemerintahannya ternyata tidak begitu banyak berita
yang terdapat pada prasasti maupun Carita
Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama
Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayöna di Pakwan Pajajaran.
Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut,
tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna
pakwan (Yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke
Pakwan Pajajaran (Hardiati, 2009: 393). Menurut berita Portugis dari Tomé
Pires, pada masa ini sudah mulai ada penetrasi dari masyarakat Islam (Cortesâo,
1944: 1973). Sejak itulah Kerajaan Sunda mulai memasuki masa kemundurannya.
KONDISI
GEOGRAFI PERMUKIMAN MASYARAKAT SUNDA
Manusia dalam bermukim
akan memilih lokasi-lokasi yang dianggap sesuai untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Bentuk-bentuk lahan tertentu
memiliki lingkungan biotik maupun abiotik yang menguntungkan bagi kehidupan
manusia. Faktor-faktor yang menguntungkan tersebut antara lain ialah topografi
yang rata, keadaan tanah yang subur, mudah memperoleh air permukaan atau air
tanah, mudah berkomunikasi dengan luar, serta terhindar dari serangan musuh.
Pada masa prasejarah, ketika sistem bercocok tanam mulai dikenal, manusia mulai
bermukim secara menetap di suatu tempat. Mereka bermukim secara mengelompok
di tempat-tempat yang keadaan alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di
gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir
pantai (Soejono, 1990: 155 - 156). Pada masa-masa yang lebih kemudian, manusia
bermukim dalam suatu kota yang lebih kompleks. Meskipun demikian, permukiman
dalam bentuk kota sering pula mengalami perpindahan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat penghuninya.
Kerajaan Sunda dengan
ibukotanya yang berpindah-pindah mempunyai wilayah sangat luas, berada di Jawa
bagian Barat. Geomorfologis kawasan Kerajaan Sunda pada umumnya berbukit. Tidak
ada sungai besar kecuali Ci Tarum yang berhulu di daerah Bandung selatan dan
bermuara di Laut Jawa di daerah Bekasi. Berdasarkan tinggalan arkeologis,
lokasi permukiman pada masa Kerajaan Sunda dapat diketahui. Banyak situs-situs
permukiman yang diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Sunda. Secara pasti,
lokasi permukiman masyarakat pada masa Kerajaan Sunda dapat dilacak melalui
keberadaan temuan prasasti. Berdasarkan asumsi bahwa prasasti ditempatkan pada
lokasi permukiman, permukiman masyarakat Kerajaan Sunda dapat diidentifikasi
letaknya berdasarkan tinggalan prasasti. Selain itu, lokasi permukiman juga
dapat diidentifikasi berdasarkan keterangan pada naskah. Berdasarkan
identifikasi lokasi permukiman dapat diketahui geomorfologis daerah.
Selanjutnya melalui naskah dan perbandingan dengan kehidupan masyarakat Sunda
sekarang yang masih memegang tradisi lama, dapat diketahui bagaimana rekayasa
dalam menghasilkan bahan pangan.
Prasasti Kerajaan Sunda
tertua adalah prasasti Rakryān Juru Pangambat (Kebon Kopi II) berangka tahun
854 Śaka (932 M). Prasasti ini ditemukan di Kebon Kopi, Bogor (Hardiati, 2009:
381). Tulisan dipahatkan pada batu dalam empat baris menggunakan huruf Jawa
Kuna berbahasa Melayu Kuna. Prasasti dikeluarkan oleh Rakryān Juru Pangambat.
Isi berkenaan dengan pemulihan kekuasaan haji Sunda (Djafar, 1991: 24). Kebon
Kopi pada saat sekarang secara administratif berada di Kampung Muara Jaya, Desa
Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor. Kampung Muara berada di
daerah pedataran dengan ketinggian berkisar 100 – 200 meter di atas permukaan
laut. Geomorfologis kawasan merupakan lahan datar yang dialiri tiga sungai. Ci
Sadane sebagai sungai utama mengalir di sebelah utara, Ci Anten di sebelah
barat, dan Ci Aruteun di sebelah timur (Widyastuti, 2010: 48).
Prasasti selanjutnya
adalah prasasti Kawali I – VI. Prasasti ini ditemukan di Situs Astana Gede,
Dusun Indrayasa, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis. Situs berada
di bagian timur kaki Gunung Sawal. Seluruh situs berupa hutan lindung dengan
luas sekitar 5 hektar dikelilingi aliran sungai dan parit. Di sebelah selatan
situs terdapat aliran Ci Bulan yang mengalir dari barat ke timur. Di sebelah
timur terdapat parit yang mengalir ke Ci Muntur. Di sebelah utara terdapat
aliran Ci Kadongdong dan di sebelah barat terdapat aliran Ci Garunggang. Pada bagian
barat situs terdapat sisa benteng tanah. Jejak benteng tanah ini mengelilingi
kawasan situs (Prijono, 1994/1995: 6; Djafar, 1991: 5-8; Nastiti, 1996).
Prasasti Kawali I dipahatkan pada batu berbentuk persegi empat tidak
beraturan dengan ukuran panjang kanan 125 cm, panjang kiri 120 cm, lebar atas
46 cm, lebar bawah 57 cm, serta tebal 10 cm dalam posisi tidur. Tulisan pada
sisi depan berjumlah 10 baris dan setiap barisnya diberi garis lurus; sedangkan
tulisan selanjutnya ditulis pada keempat sisinya. Prasasti tersebut isinya
sebagai berikut.
alih
aksara
Ia. 1.Å nihan tapak wa
2. lar nu siya mulia tapa[k] i
3.
ña parbu raja wastu
4.
manadĕg di kuta kawa
5.
li nu mahayu na kadatuan
6.
surawisesa nu marigi sa
7. kuliliŋ dayeuh nu najur sakala
8. desa aya ma nu
pa[n]deuri pakena
9. gawe rahhayu pakeun heubeul ja
10. ya dina buana
Ib.
1. hayua diponah ponah
2. hayua dicawuh cawuh
3. ia neker iña ager
4. iña ni[n]cak iña rĕ [m]pag
alih bahasa
(artinya)
Ia. 1. Inilah tanda
be-
2. kas beliau
yang mulia
3. Prabu Raja
Wastu
4. [yang]
berkuasa di kota Kawa-
5. li, yang
memperindah kedaton
6. Surawisesa,
yang membuat parit [di] se-
7. keliling
ibukota, yang memakmurkan seluruh
8. desa. Semoga
ada penerus yang melaksanakan
9. berbuat
kebajikan agar lama ja
10. ya di dunia.
Ib. 1. Janganlah
dirintangi
2. janganlah
diganggu
3. yang memotong
akan ager
(= hancur?)
4. yang menginjak
akan roboh
Prasasti Kawali II dipahatkan pada batu, bagian atas berbentuk akolade yang tidak simetris, dengan ukuran
tinggi 125 cm dan lebar 80 cm diletakkan dalam posisi berdiri. Tulisan terdiri
tujuh baris, diakhiri dengan garis horisontal. Prasasti tersebut berisi
sebagai berikut.
alih
aksara
1. aya ma
2. nu neusi i
3. ña kawali i
4. ni pakena kĕ
5. rta bĕnĕr
6. pakeun na[n]jeur
7. na juritan
alih
bahasa (artinya)
1. Semoga ada
2. yang menghuni
3. di Kawali i-
4. ni yang
melaksanakan ke-
5. makmuran dan
keadilan
6. agar unggul
7. dalam perang
Di
sebelah utara Prasasti Kawali I terdapat Prasasti Kawali VI. Prasasti dipahatkan pada batu dengan ukuran: panjang 72
cm dan lebar 62 cm, ditemukan dalam posisi tidur. Tulisan terdiri 6 baris.
Prasasti tersebut berisi sebagai berikut.
alih aksara:
1. Å ini perti[ŋ]
2. gal nu atis
3. ti rasa aya ma
nu
4. neusi dayeuh iweu
5. ulah botoh bisi
6. kokoro
alih bahasa (artinya):
1. ini pening-
2. galan dari
[yang] asti-
3. ti
[dari] rasa yang ada, yang
4. menghuni kota
ini
5. jangan berjudi
bisa
6. Sengsara
Di sebelah utara
kelompok prasasti tersebut terdapat batu pelinggih (altar). Pada tengah-tengah
halaman sisi utara terdapat Prasasti Kawali V yang memuat gambar telapak
tangan, telapak kaki, dan goresan membentuk kotak-kotak. Prasasti Kawali V
berbunyi añana Pada bagian halaman
ini terdapat sebaran batu berdiri (menhir) dan beberapa makam.
Pada halaman ketiga,
yaitu halaman paling bawah dan paling luar, terdapat beberapa batu berdiri. Dua
buah batu berdiri di antaranya berinskripsi Saŋ
hiyaŋ liŋ ga hyaŋ (Prasasti Kawali III) dan Saŋ hiyaŋ liŋ ga biŋba (Prasasti Kawali IV). Kedua prasasti
tersebut terletak di bagian barat sisi utara. Di sebelah timur kedua prasasti
itu terdapat batu berdiri dan yoni yang disebut Batu Pangentengan. Berdasarkan
prasasti yang ada, dapat disimpulkan bahwa situs Kawali merupakan salah satu bagian
bekas ibukota Kerajaan Sunda. Melalui perbandingan huruf yang dipakai dalam
penulisan prasasti, diperkirakan berlangsung pada sekitar abad ke-14 (Nastiti,
1996). Berdasarkan isi prasasti, dapat diketahui bahwa Kawali merupakan bekas
kota pada masa Kerajaan Sunda di bawah pemerintahan Prabu Raja Wastu. Pada
prasasti Kawali 1a tersirat adanya usaha pertanian yaitu pembuatan parit di
sekeliling kota. Parit di sekeliling kota cenderung untuk keperluan pertahanan,
meskipun demikian parit dapat juga dimaksudkan untuk saluran irigasi.
Situs arkeologi yang
berhubungan dengan prasasti selanjutnya adalah Batu Tulis. Prasasti
Batu Tulis berada pada bangunan di tepi Jalan Raya Batu Tulis, Kelurahan Batu
Tulis, Kecamatan Bogor Selatan. Secara geografis terletak pada koordinat 106º
48’ 32” BT dan 06º 37’ 25” LS, dan berada pada
ketinggian 510 meter dari permukaan laut. Areal prasasti seluas 255 m². Di
sekitar areal situs terdapat batu tegak, batu datar, batu relief, batu
berlubang dan lain-lain. Lingkungan prasasti Batu tulis kini cukup padat oleh
perumahan penduduk, yaitu pada batas utara, timur dan selatan, sedang batas
barat Jalan raya Batu Tulis dan Istana Batu Tulis. Prasasti Batu Tulis
berisi sebagai berikut (Djafar, 1991: 4-5).
Alih aksara:
1. Oo wan na pun/. iti sakakala, prěbu
ratu purane pun/ diwas/tu
2. diya wiŋaran/ prěbu guru dewata prana. Diwas/tu diya
diŋaran sri
3. baduga maharaja ratu haji di pakwan/
pajajaran/. sri saṅ ratu de
4. wata pun/ ya nu ñusuk/na pakwan/.
diya anak/ rahhyaṅ dewa nis/
5. kala sa(ṅ) sida mok/ta di guna tiga.
i(n/) cu rahiyaṅ nis/kala was/tu
6. ka(n) cana sa(ṅ) sida mok/ta ka nusa
lara(ṅ), ya siya nu ŋiyan/ sakaka
7. la gugunuŋan/ ŋabalay/ ñiyan/ samida
ñiyan/ sa(ṅ)
hiyaṅ talaga
8. ṛna
mahawijaya, ya siya pun 00
i saka, pañcapan/da
9. wa ŋe(m/) ban/
bumi 00
Alih bahasa (artinya)
1. Semoga
selamat. Inilah tanda peringat
an (untuk)
Prebu Ratu yang telah mang
kat.
Dinobatkan
2. beliau dengan
nama Prebu Guru Dewata-
Prana.
Dinobatkan lagi beliau dengan
Nama Sri
3. Baduga
Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pa-
Jajaran
Sri Sang Ratu De-
4. wata.
Beliaulah yang membuat parit (per-
tahanan)
Pakuan. Beliau putra Rahiyang
Dewa Nis-
5. kala yang
mendiang di Gunungtiga, cucu
Rahiyang
Niskala Wastu
6. Kancana
yang mendiang di Nusalarang.
Beliaulah
yang membuat tanda peringatan
7. (berupa)
gunung-gunungan, memperkeras
jalan,
membuat samida, membuat Sang
Hiyang
Talaga
8. Rena
Mahawijaya. Beliaulah itu. Pada
Tahun Saka
panca panda
9. wa ngemban
bumi (1455).
C.M. Pleyte yang
mengkaji prasasti Batu Tulis yang hasilnya dipublikasikan dalam “Het Jaartal op et Batoe Toelis nabij Buitenzorg”
menyimpulkan bahwa Kampung Batutulis merupakan bekas lokasi keraton. Kajian
yang dilakukan Ten Dam menghasilkan dugaan bekas lokasi keraton di Kampung
Lawang Gintung. Penelitian-penelitian yang lebih mendalam membuktikan bahwa
benteng kota Pakuan meliputi daerah Lawang Seketeng. Benteng pada tempat ini
terletak pada tebing Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci
Pakancilan. Benteng kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton dan setelah
menyilang Jalan Suryakencana membelok ke tenggara. Selanjutnya benteng tersebut
mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Di bagian ini benteng tersebut bertemu
dengan benteng kota dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan
Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung kemudian
membelok ke barat daya melintasi Jalan Siliwangi dan memanjang sampai Kampung
Lawang Gintung. Di sini benteng bersambung dengan puncak tebing Ci Paku yang
curam hingga lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis sekarang. Dari sini batas kota
Pakuan membentang sepanjang rel kereta api sampai tebing Ci Pakancilan setelah
melewati jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan ujung benteng
dengan pangkal benteng pada tebing Kampung Cincaw (Danasasmita, 1983: 24-27).
Berdasarkan kajian-kajian terhadap prasasti Batu Tulis dan lokasi bekas keraton
Pakuan Pajajaran dapat diketahui bahwa geomorfologi kota Pakuan merupakan
daerah pedataran bergelombang yang dialiri sungai (Ci Liwung dan beberapa anak
sungainya).
Prasasti yang
berhubungan dengan lokasi permukiman selanjutnya adalah prasasti Huludayeuh. Situs
Huludayeuh secara administratif berada di Kampung Huludayeuh, Desa Bobos,
Kecamatan Sumber, dengan ketinggian ± 73 m dari permuakaan air laut.
Sungai yang mengalir di daerah ini adalah Ci Manggung.Wilayah ini merupakan
daerah pegunungan, sedang sekitar prasasti berupa pesawahan rakyat yang subur
dan produktif, dengan menggunakan sistem terasering. Prasasti Huludayeuh adalah
sebagai berikut (Djafar, 1994: 198).
Alih aksara:
1. ...(ra)tu purana ...
2. ... sri maḥ haraja ra(tu)
3. (ha) ji ri pakwan/ sya saṅ, ra(tu)
4. (de)wata pun/. Masa sya ...
5. ... ŋ rětakeun/ bumi ŋaha ...
6. ... lipukeun/ na bwan/ na ...
7. ... ñaraḥ saṅ dwi sisuk/ laja ...
8. ... -i ŋa rbahkeun/ ikaṅ, ka ...
9.... susipadakaḥ. ŋalasan/ ...
10.. na udubasu. Mipatā...
11.. is/ nikan, kala...
Berdasarkan transkripsi
yang berhasil dibaca, sangat sulit untuk dapat menerjemahkan dan mengetahui isi
keseluruhan prasati. Pada baris ke-4 dan seterusnya dapat diketahui bahwa
prasasti ini sebagai tanda peringatan atas usaha-usaha kebajikan yang telah dilakukan
oleh Sri Baduga Maharaja (Djafar, 1994: 199).
PERTANIAN
PADA MASA KERAJAAN SUNDA
Kehidupan sehari-hari manusia
dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungannya. Hubungan timbal balik antara
manusia dan lingkungan alam sekitarnya dipengaruhi oleh sistem budaya yang
dimilikinya. Faktor budaya inilah yang sangat penting bagi manusia untuk
melakukan proses adaptasi dengan lingkungannya (Ingold, 1992: 39). Budaya,
menurut Koentjaraningrat (1990: 180) adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dalam kehidupan sehari-hari,
sistem budaya terwujud nyata dalam sistem budaya yang ideal dan faktual. Sistem
budaya ideal adalah pedoman bagi orang untuk berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan, sedang sistem budaya faktual hanyalah berbentuk hal-hal yang
dianggap sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi sehari-hari.
Manusia mengolah tanah untuk bercocok
tanam dan menghasilkan bahan pangan merupakan salah satu contoh dalam
mengaktualisasikan sistem budaya ideal. Manusia berinteraksi dengan lingkungan
untuk menciptakan produk pangan. Lingkungan dapat didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang berada di sekeliling manusia yang berpengaruh kepada kehidupan
manusia itu sendiri. Faktor-faktor biofisik di sekitar manusia sangat berragam
bergantung pada di mana manusia itu tinggal, termasuk di dalamnya iklim, udara,
air, tanah, tanaman, dan binatang. Jadi kehidupan manusia sehari-hari tidak
pernah lepas dari lingkungannya. Di dalam kehidupan manusia senantiasa terjadi
interaksi antara sistem sosial dengan biofisik. Hubungan timbal balik yang erat
antara dua subsistem itu dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya
arus energi, materi, dan informasi (Iskandar, 2001).
Prasasti yang masa
Kerajaan Sunda yang secara langsung dapat dikaitkan dengan permukiman
masyarakat yaitu prasasti Sanghyang Tapak II, prasasti Kawali, prasasti Batu
Tulis, dan prasasti Huludayeuh memperlihatkan ekosistem yang berbeda.
Lokasi-lokasi di mana prasasti itu ditemukan, meskipun tidak berada pada tepian
sungai besar namun tetap memberikan alternatif dalam bercocok tanam yaitu
sebagai ekosistem perladangan dan persawahan. Dengan demikian terlihat bahwa
masyarakat Sunda sudah mengenal rekayasa bercocok tanam yang sesuai dengan
lingkungan masing-masing di mana mereka bertempat tinggal.
Kegiatan masyarakat
Sunda yang berhubungan dengan bercocok tanam terlihat pada beberapa
naskah. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yaitu salah satu naskah yang
menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-16 di antaranya
berisi mengenai pedoman moral untuk kehidupan bermasyarakat, termasuk berbagai
ilmu yang harus dikuasai untuk bekal kehidupan. Di dalam naskah tersebut
diuraikan mengenai berbagai profesi yang dilakukan oleh masyarakat Sunda pada
waktu itu, diantaranya yaitu pangalasan,
peladang, panyadap, panyawah, penangkap ikan, juru selam, dan lain-lain
(Danasasmita,1987: 103).
Kerajaan Sunda dapat
digolongkan dalam kerajaan yang menyandarkan hidupnya pada pertanian. Bentuk
pertanian yang berlangsung di Kerajaan Sunda terutama adalah perladangan (Hardiati,
2009: 417). Bukti mengenai kegiatan perladangan ini dapat dilihat dalam naskah.
Salah satu naskah yang menyinggung mengenai hal ini adalah naskah Carita Parahyangan. Dalam naskah Carita
Parahyangan dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan pekerjaan di ladang. Naskah
ini menyebutkan lahirnya lima orang titisan Panca
Kusika, yaitu Sang Mangukuhan, Sang
Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandajun.
“... Sang Mangukuhan
njieun maneh pa(ng)huma,
Sang Karungkalah njieun maneh
panggerek, Sang Katu(ng)maralah njieun
maneh panjadap, Sang Sandanggreba njieun maneh padagang” (Atja, 1968 : 17)
Terjemahannya :
“... Sang Mangukuhan
menjadi tukang ngahuma (peladang),
Sang Karungkalah menjadi tukang berburu (pemburu), Sang Katungmaralah menjadi
tukang sadap (pembuat gula merah dari nira enau), Sang Sandanggreba menjadi
pedagang”.
Kutipan ini
menunjukkan, bahwa ngahuma, berburu,
dan nyadap adalah jenis-jenis pekerjaan di ladang. Selain dalam naskah Carita Parahyangan, naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian juga
menyinggung mengenai kegiatan perladangan. Dalam naskah tersebut disinggung
beberapa peralatan yang digunakan untuk bekerja di ladang, seperti kujang, patik, kored, baliung, dan sadap (Hardiati, 2009: 418: 387,
Danasasmita, 1987: 108). Selain itu dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian juga diuraikan mengenai rumusan
kriteria kesejahteraan masyarakat (Danasasmita, 1987: 73). Kriteria
kesejahteraan masyarakat menurut naskah Sanghiyang
Siksakandang Karesian adalah sebagai berikut:
...
Ini pakeun urang ngretakuen bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka
pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi,
paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras ...
Yang artinya:
... Ini (jalan) untuk kita
menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang,
bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi,
lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama
hidup, selalu sehat ...) (Danasasmita, 1987: 94).
Berdasarkan uraian
dalam naskah Sanghyang Siksakandang
Karesian terlihat bahwa kehidupan masyarakat Sunda bertumpu pada kegiatan
pertanian ladang. Masyarakat Sunda digolongkan sebagai sejahtera bila tercukupi
kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Meskipun pola pertanian ladang merupakan
sumber utama kegiatan produksi pertanian, namun kegiatan pertanian yang berupa
persawahan juga sudah dikenal. Dalam naskah, baik Carita Parahyangan maupun Sanghyang
Siksakandang Karesian masing-masing hanya menyebut sedikit sekali tentang panyawah ini. Berdasarkan hal itu dapat
disimpulkan bahwa kegiatan persawahan tidak begitu populer di kalangan
masyarakat Kerajaan Sunda.
Salah satu cerita
pantun yang menceritakan tentang kegiatan bertani huma adalah cerita pantun Lutung Kasarung yang dianggap suci
(Ekadjati, 2005: 148 – 149). Dalam cerita pantun tersebut diterangkan mengenai
cara-cara berladang yang baik dan benar serta cara berladang yang buruk dan salah.
Menurut cerita pantun tersebut cara berladang yang baik harus memperhatikan
pergantian musim. Penggarapan ladang sebaiknya dimulai dan diakhiri pada musim
kemarau. Sedangkan penanaman benih dan sampai selesai pemeliharaan tanaman
dilaksanakan selama musim penghujan. Dalam naskah pantun tersebut juga
diuraikan mengenai tatacara pembukaan hutan untuk dijadikan ladang, pembuatan
pupuk, cara pemanfaatan lahan, cara membersihkan dan menjaga ladang, tatacara
memanen, dan upacara yang berhubungan dengan pemujaan kepada Dewi Padi yaitu
Nyi Pohaci Sanghiyang Sri (Ekadjati, 1995: 364 – 365).
Perekayasaan bercocok
tanam masyarakat Sunda dalam memenuhi kebutuhan akan pangan juga diwujudkan
dalam sistem talun-kebun.
Keanekaragaman jenis tanaman yang terdapat pada sistem talun-kebun cukup tinggi. Bagi masyarakat, jenis tanaman di talun-kebun memiliki fungsi utama yang
tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai bumbu masak,
lalap atau sayur, tambahan pangan sumber karbohidrat, buah-buahan, bahan obat
tradisional, serta bahan bangunan atau kayu bakar. Keanekaragaman jenis tanaman
di talun-kebun atau pekarangan
menyebabkan struktur vegetasi di tata guna lahan menyerupai struktur vegetasi
hutan alami. Karena itu tata guna lahan dapat dikategorikan sebagai sistem agroforestry (Iskandar, 2001: 122).
SIMPULAN
Kerajaan Sunda yang
berada di kawasan Jawa bagian barat menempati area yang secara geomorfologis
merupakan kawasan bergelombang, kecuali di kawasan pantai utara yang merupakan
daerah pedataran rendah. Kondisi kawasan bergelombang seperti itu sulit menerapkan
sistem bercocok tanam dalam bentuk persawahan. Menurut teori perkembangan
peradaban, suatu kelompok masyarakat yang berada pada ekosistem bukan
persawahan sangat sulit untuk mengembangkan kebudayaan hingga mencapai bentuk
pemerintahan kerajaan. Kerajaan Sunda yang bertumpu pada sistem perladangan
ternyata mampu mengembangkan diri. Berdasarkan prasasti dan sumber tertulis
lainnya, sistem pertanian masyarakat Sunda walaupun secara dominan merupakan
peladang, tetapi juga mengembangkan sistem persawahan. Dalam mengusahakan
sistem perladangan juga dikembangkan sistem talun-kebun
sehingga kebutuhan akan pangan dapat tercukupi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ayatrohaèdi.
1986. Niskalawastukancana (1348-1475): Raja Sunda Terbesar ? Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV Buku IIa, hlm. 25 – 36. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Atja.
1968. Tjarita
Parahijangan Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi. Bandung:
Jajasan Kabudajaan Nusalarang.
Carneiro, Robert L. 1970. A Theory of the Origin of the State. In Science,
21 August 1970, Vol. 169, 733-738.
Childe,
V. Gordon. 1979. The Urban Revolution. Dalam Gregory L. Possehl (Ed.) Ancient Cities of the Indus. Durham:
Carolina Academic Press.
Cortessao, Armando. 1944. The Suma Oriental
of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah
Bogor. Bogor: Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bogor.
Danasasmita, Saleh. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang
Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung:
Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Diamond,
Jared. 2013. Guns, Germs & Steel (Bedil, Kuman, dan Baja) Rangkuman Riwayat
Masyarakat Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Djafar,
Hasan. 1991. Prasasti-prasasti dari Masa Kerajaan-Kerajaan Sunda. Makalah pada
Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor 11 – 13 November
1991.
Djafar,
Hasan. 1994. Prasasti Huludayeuh. Berkala Arkeologi Edisi Khusus Tahun XIV,
hlm. 197 – 202.
Ekadjati,
Edi S. 1995. Carita Pantun Lutung Kasarung: Eksistensi, Fungsi, dan Pandangan
Masyarakat Sunda tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Kirana: Persembahan untuk Prof. Dr. Haryati
Soebadio. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Intermasa.
Ekadjati,
Edi S. 2005. Kebudayaan sunda, Zaman Pajajaran Jilid 2. Bandung: Pustaka Jaya.
Groeneveldt,
W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia
& Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: C.V. Bhratara.
Hardiati,
Endang Sri (ed.). 2009. Zaman Kuno,
Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Ingold,
T. 1992. “Culture and Perception of the Environment”, dalam Croll, E and D.
Parkins (eds.). In Bush Base: Forest Farm.
London and New York: Routledge.
Iskandar,
Johan. 2001. Manusia, Budaya, dan
Lingkungan: Ekologi Manusia. Bandung: Humaniora Utama Press.
Prijono,
Sudarti. 1994/1995. Identitas Data Untuk Memperoleh Gambaran Transformasi
Budaya di Situs Astana Gede, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis.
Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Bandung.
Rahardjo,
Supratikno. 2007. Kota-kota Prakolonial Indonesia, Pertumbuhan dan Keruntuhan.
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Soejono,
R.P. 1976. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala
dan Peninggalan Nasional.
Soejono, R. P. (Ed.). 1990. Jaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah
Nasional Indonesia I. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, P.N. Balai Pustaka.
Widyastuti,
Endang. 2010. Aktivitas Perekonomian Masyarakat di Muara Ciaruteun Pada Masa
Klasik. Dalam Naniek Th. Harkantiningsih (Ed.), Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah – Kolonial, hlm. 43-52.
Jatinangor: Alqa Print.
Wittfogel, Karl. 1957. Oriental Despotism. New Haven:
Yale Univ. Press.
*) Catatan: Artikel ini diterbitkan di buku "Widyadwara: Kajian Arkeologis Pangan dan Papan Warisan Leluhur", Editor: Agus Aris Munandar. Bandung: Alqaprint. 2013. Hln. 1 - 18.
Label: Pangan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda