Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

24 Februari, 2009

Peninggalan Arkeologi Klasik di Ciamis


PENELITIAN ARCA-ARCA DI CIAMIS
KAITANNYA DENGAN RAGAM PENGARCAAN

Endang Widyastuti



Sari

Penelitian tentang ikonografi yang dilaksanakan di Kabupaten Ciamis telah mendata sejumlah arca. Berdasarkan ciri-cirinya arca-arca tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok. Ketiga kelompok tersebut yaitu arca tipe Polinesia, arca bercorak Hindu-Buddha, dan arca tipe Pajajaran.



Abstract

Iconography research in the Ciamis area had been collected data from a number of statues. Based on its characteristics, the statues can be divided into three groups. Which are Polynesians, Hindu-Buddha pattern, and Pajajaran types.


Kata Kunci: arca, tipe Polinesia, tipe Pajajaran



PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kawasan Ciamis banyak mengandung potensi arkeologis. Tinggalan-tinggalan tersebut meliputi kurun waktu yang cukup panjang, yaitu dari masa prasejarah sampai masa pengaruh Islam. Berdasarkan beberapa penelitian tercatat bahwa situs prasejarah di kawasan Ciamis berada di beberapa aliran sungai yang terdapat di daerah tersebut, di antaranya yaitu Sungai Cipasang dan Sungai Cisanca (Agus, 1994: 4; 1998/1999; Yondri, 1999: 4). Situs yang berasal dari masa Klasik di antaranya tercatat situs Karangkamulyan (Saptono, 2002), dan situs Kertabumi (Widyastuti, 2002a). Sementara itu dari masa Islam tercatat tinggalan berupa makam-makam Islam, di antaranya makam para bupati Ciamis dan Kompleks Makam Singaperbangsa (Widyastuti, 2000: 96). Tulisan ini akan membahas masa klasik di Kawasan Ciamis, khususnya mengenai arca-arca yang ditemukan tersebar di beberapa situs di Ciamis.

Di kawasan Sunda banyak ditemukan arca-arca yang berbeda bentuknya dengan arca di daerah lain, misalnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatra. Arca-arca ini sering disebut dengan arca tipe Pajajaran. Penggambaran arca demikian berkaitan erat dengan perkembangan religi masa klasik Jawa Barat. Berdasarkan beberapa naskah seperti misalnya Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian dan Carita Parahyangan, menunjukkan bahwa pada awalnya, keagamaan yang melatari masyarakat Sunda adalah Hindu. Dalam perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul (Sumadio, 1990). Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Danasasmita, 1987: 96; Ayatrohaedi, 1982: 338). Fenomena yang terdapat di dalam naskah dan pada tinggalan arkeologis terlihat terdapat korelasi. Berdasarkan fenomena ini dilakukan penelitian ikonografi.

Penelitian tentang ikonografi di daerah Jawa Barat pernah dilakukan oleh J.F.G. Brumund dan N.J. Krom. Brumund dalam penelitiannya di daerah Bogor dan Priangan menemukan arca-arca yang kemudian disebut arca tipe Pajajaran (Mulia, 1980). Oleh Brumund istilah arca tipe Pajajaran hanya digunakan untuk menyebut arca Polinesia yang menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha, sedangkan arca yang tidak menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha tidak diberikan istilah tersendiri (Mulia, 1980: 600). Sementara itu, Krom menyatakan bahwa setiap arca yang tidak mempunyai ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha yang menonjol adalah arca Polinesia dan berfungsi sebagai arca pemujaan leluhur. Menurut Krom arca Polinesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
  1. arca yang berasal dari masa sebelum zaman klasik
  2. yang dilanjutkan sesudah mulai pengaruh Hindu-Buddha dan tetap berfungsi; terdapat di daerah terpencil
  3. yang sudah terpengaruh oleh kebudayaan Hindu-Buddha tetapi disesuaikan dengan konsepsi baru (Mulia, 1980: 602).
Berdasarkan pendapat Brumund dan Krom dapat ditarik kesimpulan bahwa di daerah Jawa Barat terdapat beberapa tipe arca, yaitu arca yang berasal dari masa sebelum klasik dan awal masa klasik yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Arca semacam ini biasa disebut dengan arca tipe Polinesia atau arca megalitik. Tipe arca yang kedua adalah yang telah mendapat pengaruh Hindu-Buddha tetapi telah mengalami percampuran dengan kepercayaan asli. Arca sejenis ini biasa disebut dengan arca tipe Pajajaran. Di samping kedua tipe arca tersebut terdapat pula arca yang mengandung ciri-ciri sebagai pantheon Hindu atau Buddha.

Balai Arkeologi Bandung pada penelitian tahun 2000 di daerah Cirebon telah mendata beberapa arca tipe Pajajaran ini (Widyastuti, 2002b). Arca-arca tersebut digambarkan dengan sangat sederhana. Bentuk tangan dan kaki semuanya digambarkan melekat ke badan yang ditampilkan dengan memberikan batas goresan saja. Selain itu bentuk wajah sangat sederhana hanya berupa goresan-goresan yang membentuk mata, hidung, dan bibir. Berdasarkan pengamatan terhadap atribut yang ada dapat diketahui bahwa sekumpulan arca tersebut di antaranya menggambarkan Ganeça, Siwa, Lingga, dan arca-arca tipe Polinesia. Sementara itu, penelitian tahun 2003 yang dilaksanakan di daerah Kuningan juga mencatat adanya arca-arca sejenis. Arca-arca dari daerah Kuningan tersebut di antaranya menggambarkan Ganeça, Nandi, Lingga, Yoni, dan arca-arca Polinesia (Widyastuti, 2003).

Objek yang akan dibahas dalam makalah ini adalah arca-arca yang ditemukan di Kabupaten Ciamis. Ciamis pada masa klasik sering dihubungkan dengan keberadaan Kerajaan Galuh. Menurut Van der Meulen terdapat tiga Kerajaan Galuh, yaitu Galuh Purba yang berpusat di daerah Ciamis, Galuh Utara (Galuh Lor, Galuh Luar) yang berpusat di daerah Dieng, dan Galuh yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya) (Iskandar, 1997: 97). Menurut Carita Parahyangan, Kerajaan Galuh mula-mula diperintah oleh Raja Séna. Pada suatu ketika Galuh diserang oleh Rahyang Purbasora. Ketika Sanjaya dewasa dapat merebut kembali dan berkuasa di Galuh (Danasasmita, 1983/1984: 61; Iskandar, 1997: 126 - 134). Nama Galuh (Galoeh) pada zaman Hindia-Belanda dijadikan nama kabupaten (afdeeling) yang termasuk dalam wilayah Residentie Cheribon. Wilayah afdeeling Galoeh di antaranya district Ciamis, Ranca, Kawali, dan Panjalu.

Masalah
Berdasarkan pendapat Brumund dan Krom diketahui bahwa terdapat 3 jenis arca yang terdapat di Jawa Barat yaitu arca tipe Polinesia, arca tipe Pajajaran, dan arca bercorak Hindu-Buddha. Arca tipe Polinesia yaitu arca sederhana yang tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai arca Hindu-Buddha. Arca demikian ini biasanya berhubungan dengan pemujaan terhadap nenek moyang. Arca tipe Pajajaran yaitu arca sederhana tetapi menunjukkan ciri-ciri Hindu-Buddha, misalnya terdapat mahkota, senjata, sikap tangan, sikap duduk, dan atribut lain yang menunjukkan kedewaan. Sedang arca bercorak Hindu-Buddha yaitu arca yang penggambarannya sesuai dengan aturan ikonografi Hindu-Buddha. Berdasarkan hal tersebut timbul pertanyaan yaitu bagaimanakah penggambaran arca di daerah Ciamis.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai atribut-atribut pada arca-arca yang terdapat di Kabupaten Ciamis. Berdasarkan atribut yang ada diharapkan dapat diungkapkan mengenai unsur spesifik dan penyimpangannya. Dengan demikian dapat dikelompokkan arca-arca tersebut berdasarkan tipenya.

Metode Penelitian
Penelitian tentang ikonografi masa Kerajaan Sunda, menerapkan penelitian deskriptif. Strategi penelitian melalui observasi lapangan yaitu pendeskripsian dan pengukuran terhadap tinggalan arkeologis di daerah penelitian. Berdasarkan hasil pendeskripsian dapat diketahui atribut yang terdapat pada masing-masing arca. Selanjutnya dari atribut yang ada dapat diperoleh suatu kesimpulan mengenai tokoh yang diarcakan.

Pelaksanaan observasi tidak hanya berupa pendeskripsian dan pengukuran, tetapi juga dilaksanakan wawancara dengan masyarakat setempat. Wawancara ini dimaksudkan untuk melacak latar belakang keberadaan arca.

Ruang lingkup penelitian meliputi keseluruhan arca, baik berupa arca berbentuk manusia, dewa, binatang, ataupun arca-arca yang menggambarkan simbol-simbol tertentu seperti lingga dan yoni.



DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Penelitian di Kabupaten Ciamis dilaksanakan di 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Ciamis, Kecamatan Lakbok, Kecamatan Mangunjaya, Kecamatan Pamarican, Kecamatan Pangandaran, dan Kecamatan Cijeungjing.


Kecamatan Ciamis

Gambaran Lokasi

Penelitian di Kecamatan Ciamis dilaksanakan di situs Jambansari. Situs Jambansari secara administratif termasuk lingkungan Rancapetir, Kelurahan Linggasari. Situs Jambansari berada pada ketinggian 233 m di atas permukaan laut dan pada koordinat 0719'48,7'' LS dan 10820'54,2'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Situs ini merupakan kompleks makam Raden Adipati Aria Kusumadiningrat, Bupati Ciamis ke-16, yang berkuasa dari tahun 1839-1886. Situs berada di sebuah lahan seluas 4 hektar. Pada lahan tersebut selain terdapat kompleks makam juga terdapat tanah persawahan. Kompleks makam R.A.A Kusumadiningrat berada pada lokasi tersebut dengan dibatasi pagar tembok. Di lokasi ini terdapat 13 buah arca. Menurut keterangan juru kunci makam, arca-arca yang terdapat di lokasi ini dikumpulkan oleh R.A.A Kusumadiningrat. Pengumpulan ini dilakukan dalam rangka dakwah agama Islam sehingga bagi yang mempunyai arca atau berhala diharuskan untuk dikumpulkan di lokasi tersebut. Untuk mempermudah pendeskripsian maka masing-masing arca tersebut diberi kode dengan huruf JBSR 1 sampai dengan JBSR 13. Berikut ini pemerian masing-masing arca tersebut:

Kode : JBSR 1

Uraian bentuk : Bahan arca berupa batuan sedimen. Arca digambarkan berupa manusia tanpa kaki. Tangan digoreskan bersilangan di dada. Muka arca berbentuk oval. Bagian-bagian muka digambarkan secara lengkap dengan mata, hidung dan mulut. Sebagian rambut disanggul di bagian atas kepala, dan sisa rambut terurai di bagian belakang. Jenis kelamin arca tidak jelas.



Kode : JBSR 2
Uraian bentuk : Arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk dengan bahan batuan sedimen. Kaki depan dilipat ke belakang dan kaki belakang dilipat ke depan. Kedua kaki bertemu di bagian perut. Bagian muka arca sudah sangat aus, tapi masih terlihat adanya mata berjumlah 2 buah. Mulut digambarkan berupa cekungan tipis. Lubang hidung berupa 2 cekungan berbentuk bulat berada di atas mulut. Pada bagian kepala terdapat 2 buah tanduk yang sudah patah sebagian. Pada bagian punggung terdapat tonjolan (punuk). Ekor digambarkan melengkung ke kiri dengan ujungnya berada di punggung.


Kode : JBSR 3
Uraian bentuk : Arca berbahan tufa dengan warna putih. Arca berupa manusia yang digambarkan setengah badan. Posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Sandaran ini pada ujung atasnya meruncing. Kedua tangan di samping badan. Kedua tangan dilipat mengarah ke depan dan memegang sebuah benda berbentuk persegi. Muka arca digambarkan secara lengkap dengan mata terbuka lebar, hidung besar, mulut menyeringai sehingga terlihat giginya, dan telinga. Pada sisi kanan belakang terdapat goresan seperti jubah.




Kode : JBSR 4
Uraian bentuk : Merupakan arca manusia yang digambarkan sedang duduk dengan kaki terlipat (jongkok). Tangan ditekuk berada di depan dada. Bagian-bagian muka hanya berupa goresan-goresan yang membentuk mata, mulut, dan telinga. Sedang hidung tidak ada. Bahan arca ini berupa batuan sedimen.



Kode : JBSR 5

Uraian bentuk : Bahan yang digunakan berupa batuan sedimen. Kondisi arca sudah sangat aus. Arca digambarkan sebagai manusia berkepala gajah. Mata dan gading tidak ada. Belalai menjuntai menyentuh tangan kiri. Tangan kanan terpotong sebatas siku. Arca digambarkan memakai upawita di bahu kiri. Di bagian belakang kepala terdapat bulatan yang kemungkinan sebagai prabha. Bagian bawah arca hilang.



Kode : JBSR 6

Uraian bentuk : Arca digambarkan sebagai manusia berperut buncit, berbahan batuan sedimen. Bagian muka tidak ada lagi karena telah dipangkas. Tangan bersedakap di dada. Pada bagian bawah perut terdapat tonjolan.



Kode : JBSR 7

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang dengan bahan batuan sedimen. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat.


Kode : JBSR 8

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang dengan bahan batuan sedimen. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat.



Kode : JBSR 9

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu setinggi 48 cm, dari bahan batuan sedimen. Bagian dasar berdenah persegi dengan ukuran 36 x 30 cm. Pada bagian tengah melekuk ke dalam. Sebagian batu ini telah hilang.

Kode : JBSR 10

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu bulat dengan bagian atas rata. Batu ini merupakan batuan sedimen


Kode : JBSR 11
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu dengan bagian tengah berlubang. Bahan yang digunakan adalah batuan sedimen.

Kode : JBSR 12

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang, yang terbuat dari batuan sedimen. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat.


Kode : JBSR 13

Uraian bentuk : Arca ini menggunakan bahan tufa. Merupakan arca manusia yang digambarkan setengah badan. Posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Tangan kiri memegang perut, sedangkan tangan kanan di samping badan. Arca ini bagian kepala dan sebagian sandaran hilang.



Kecamatan Lakbok


Gambaran lokasi

Penelitian di Kecamatan Lakbok dilaksanakan di Dusun Kelapa Kuning, Desa Sukanegara. Secara geografis wilayah ini berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian 26 m di atas permukaan laut. Situs Kelapa Kuning berada pada koordinat 07
24’076” LS dan 10809’22,1” BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin). Situs berada di kebun milik penduduk. Sekarang ini arca-arca yang terdapat di lokasi ini telah dikumpulkan di sebuah bangunan. Menurut keterangan Bapak Marjono (juru pelihara) arca-arca tersebut sebagian besar telah dirusak oleh masyarakat pada tahun 1965.

Di lokasi ini terdapat 6 arca. Untuk mempermudah pendeskripsian maka masing-masing arca tersebut diberi kode dengan huruf LKB 1 sampai dengan LKB 6. Berikut ini pemerian masing-masing arca tersebut:


Kode : LKB 1
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berdenah bujur sangkar. Bahan yang digunakan merupakan batuan sedimen. Pada salah satu sisi terdapat tonjolan. Di bagian tengah terdapat lubang. Di permukaan bagian atas batu terdapat pelipit, sedangkan sisi batu berbentuk sisi genta. Keadaan sekarang salah satu sudutnya telah hilang.


Kode : LKB 2

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu yang memanjang. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat. Bahan yang digunakan adalah batuan sedimen. Keadaan sekarang telah patah menjadi 3 bagian.


Kode : LKB 3

Uraian bentuk : Arca terbuat dari batuan sedimen. Arca digambarkan sebagai manusia dengan badan ramping. Bagian kepala dan tangan sudah hilang. Kaki hanya tersisa sebelah kiri sebatas lutut, sedangkan kaki kanan sudah hilang. Arca digambarkan duduk di atas lapik berbentuk balok. Di bagian belakang arca terdapat sandaran. Kondisi arca sudah sangat aus sehingga tidak terlihat lagi adanya hiasan atau atribut lain.


Kode : LKB 4

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berdenah bujur sangkar. Sisi bagian bawah bertingkat-tingkat makin ke atas makin menyempit. Bagian atas batu ini telah hilang. Bahan yang digunakan berupa batuan sedimen.

Kode : LKB 5

Uraian bentuk : Bahan yang digunakan berupa batuan sedimen. Kondisi arca sudah sangat aus, sehingga goresan yang ada sudah sangat tipis. arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Penggambaran sapi disini hanya separuh bagian depan saja. Sedangkan bagian perut belakang dan kaki belakang tidak ada. Pada bagian samping kiri terdapat goresan yang menggambarkan kaki depan yang dilipat ke belakang. Sedang pada bagian samping kanan polos. Muka arca sudah tidak jelas lagi, tapi masih terlihat bagian menonjol yang merupakan moncongnya.


Kode : LKB 6
Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berdenah bujur sangkar, dengan bahan batuan sedimen. Pada bagian permukaan atas batu ini terdapat bagian yang menonjol. Bagian yang menonjol ini sebagian telah hilang. Di samping bagian tengah batu terdapat lekukan mengelilingi badan batu.


Kecamatan Mangunjaya


Gambaran Lokasi

Situs Mangunjaya secara administratif berada di Dusun Pasirlaya desa Mangunjaya. Lokasi temuan tepat berada di depan kantor kecamatan Mangunjaya. Situs Mangunjaya berada pada koordinat 0729'13,6'' LS dan 10841 '47,1'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 29 m di atas permukaan laut.

Lokasi temuan berada di puncak sebuah bukit. Sisi timur bukit tersebut sekarang sudah dipangkas untuk dibangun masjid. Pada sisi barat masih tampak adanya teras berundak yang dibentuk dengan batu pasir tufaan. Di sebelah utara situs terdapat Sungai Ciputrahaji, sedangkan di sebelah selatan terdapat Sungai Ciseel. Di lokasi tersebut terdapat dua buah batu bulat dan sebuah yoni. Pemerian yoni tersebut adalah sebagai berikut.


Kode : MGJ

Uraian bentuk : Berupa sebongkah batu berbentuk balok dengan bahan batuan sedimen. Pada waktu ditemukan tinggalan tersebut dalam posisi terbalik dan terbelah menjadi dua. Pada bagian permukaan atas batu terdapat lubang berbentuk bulat. Pada salah satu sisi bagian atas terdapat tonjolan yang berfungsi sebagai cerat. Bagian tonjolan ini sebagian telah patah. Pada bagian yang menonjol tersebut terdapat saluran yang menghubungkan lubang dengan sisi luar. Bagian badan batu tersebut terdapat pelipit. Pelipit tersebut dibuat secara simetris antara bagian atas dan bagian bawah, yaitu pelipit lebar dan pelipit tipis yang diseling dengan sisi genta.



Kecamatan Pamarican


Gambaran Lokasi
Penelitian di Kecamatan Pamarican dilaksanakan di situs Candi Ronggeng. Situs tersebut secara administratif berada di Kampung Kedung Bangkong, Dusun Sukamaju, Desa Sukajaya. Situs Candi Ronggeng berada pada koordinat 0725'46,9'' LS dan 10829'36,7'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 34 m di atas permukaan laut.

Situs berada pada lahan datar yang digunakan sebagai kebun oleh penduduk. Tanaman yang terdapat di lahan tersebut di antaranya adalah kelapa, bungur, sengon, mahoni, dan pisang. Di sebelah utara situs berjarak sekitar 50 m terdapat aliran Sungai Ciseel. Di antara situs dengan sungai terdapat tanggul tanah dengan lebar sekitar 4 m.


Sekarang pada lahan situs tidak terdapat adanya tinggalan. Menurut informasi di lahan tersebut pada kedalaman sekitar 1,5 m terdapat susunan batu-batu candi. Di lokasi ini juga pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang disimpan di Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Pamarican. Berikut pemerian arca tersebut.


Kode : CRG
Uraian bentuk : Kondisi arca terbelah dua pada bagian perut. Arca berupa seekor sapi dengan posisi duduk di atas naga sehingga badan naga seolah menjadi alas badan sapi. Keempat kaki sapi terlipat. Kaki depan terlipat ke belakang, sedangkan kaki belakang terlipat ke depan. Sisi samping kanan arca, pada bagian perut terdapat bidang datar berbentuk segi lima. Ekor sapi melingkar ke samping kiri badan lalu ke atas dan ujungnya berada di punggung. Di punggung arca terdapat tonjolan seperti punuk. Pada bagian belakang terdapat goresan yang menggambarkan buah zakar sapi dengan ukuran yang besar. Pada bagian kepala arca tidak terdapat goresan yang membentuk mata, hidung, mulut, dan telinga. Di bawah kepala arca terdapat pahatan yang membentuk kepala naga. Kepala naga digambarkan menyeringai sehingga terlihat giginya. Pada masing-masing sisi terlihat 4 gigi atas dan 4 gigi bawah. Pada bagian depan mulut naga tersebut terdapat hiasan seperti kalung.



Kecamatan Pangandaran


Gambaran Lokasi
Di Kecamatan Pangandaran penelitian dilaksanakan di situs Batu Kalde. Situs Batu Kalde terletak di kawasan Taman Nasional Pangandaran yang dikelola oleh Perhutani Unit III Jawa Barat. Secara administratif wilayah ini termasuk Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Situs ini berada pada koordinat 0742'21,5'' LS dan 10839'27,1'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 54 m di atas permukaan laut. Wilayah ini di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pananjung, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Pananjung, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Parigi. Situs Batu Kalde menempati lahan datar seluas 75 x 15 m.

Di lokasi ini terdapat 8 batu bulat, sebaran batu-batu bekas candi dan 2 buah arca. Untuk mempermudah pendeskripsian maka kedua arca tersebut masing-masing diberi kode dengan huruf BKL 1 dan BKL 2. Berikut ini pemerian masing-masing arca tersebut.

Kode : BKL 1

Uraian bentuk : Berupa batu berdenah bujur sangkar, berbahan batuan sedimen. Batu tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian atas terbelah menjadi tiga. Pada permukaan atas terdapat pelipit. Pada bagian tengah permukaan atas terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang menembus sampai batu bagian bawah. Pada salah satu sisi terdapat bagian tonjolan, tetapi sekarang sudah terpangkas. Pada tonjolan tersebut terdapat cekungan sebagai saluran yang menghubungkan lubang dengan sisi luar. Bagian badan batu tersebut terdapat pelipit-pelipit. Bagian bawah batu sebagian sudah terpendam dalam tanah. Bagian luar dari batu bagian bawah ini bertingkat-tingkat makin ke atas makin sempit.



Kode : BKL 2

Uraian bentuk : Arca terbuat dari batuan sedimen. Arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Kaki kanan depan dilipat kebelakang, sedangkan kaki kiri depan dilipat ke depan. Kedua kaki belakang dilipat ke depan. Bagian muka arca sudah terpangkas sehingga tidak tampak lagi mata dan mulutnya. Pada bagian kepala masih terlihat adanya sepasang telinga. Di bawah bagian mulut yang hilang terdapat gelambir yang memanjang sampai dada. Di sepanjang badan sapi terdapat alur-alur sejajar yang merupakan proses pelapukan. Pada bagian punggung sapi terdapat tonjolan berbentuk persegi yang merupakan (punuk). Bagian punuk ini sebagian telah hilang. Ekor digambarkan melengkung ke kanan dengan ujungnya berada di punggung. Di antara kedua kaki belakang terlihat adanya buah zakar yang besar.


Kecamatan Cijeungjing

Gambaran Lokasi
Penelitian di Kecamatan Cijeungjing dilaksanakan di Kompleks Karangkamulyan. Kompleks Karangkamulyan secara administratif berada di Kampung Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing. Situs tersebut berada pada koordinat 0720'54,05'' LS dan 10829'26,3'' BT (berdasarkan pembacaan GPS Garmin) dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut.

Keadaan situs berupa hutan seluas sekitar 25,5 hektar pada pertemuan antara Sungai Cimuntur dan Citanduy. Pada saat ini komplek situs di sebelah utara dibatasi jalan raya, sebelah timur Sungai Cimuntur, sebelah selatan Sungai Citanduy, dan sebelah barat komplek rest area. Sungai Cimuntur di sebelah timur situs merupakan kelanjutan yang sebelumnya mengalir di sebelah utara kemudian berbelok ke arah selatan dan bersatu dengan Sungai Citanduy.


Situs Karangkamulyan merupakan kompleks situs yang sekarang sudah dijadikan obyek wisata budaya. Kompleks dilengkapi dengan tempat parkir, warung, dan masjid. Untuk memasuki situs Karangkamulyan melalui pintu masuk yang terdapat di sisi timur halaman belakang tempat parkir. Situs-situs yang terdapat di kompleks ini adalah Pangcalikan, Sipatahunan, Sanghyang Bedil, Panyabungan Hayam, Lambang Peribadatan, Cikahuripan, Panyandaan, Makam Sri Bhagawat Pohaci, Pamangkonan, Makam Adipati Panaekan. Situs-situs tersebut dikelilingi fetur parit dan benteng


Dari sejumlah situs di kompleks Karangkamulyan tinggalan ikonografi ditemukan di situs Pangcalikan. Selain itu di lokasi yang sekarang digunakan sebagai lahan parkir, pernah ditemukan sebuah arca Ganesha. Arca tersebut sekarang disimpan di Museum “Sri Baduga” Bandung. Berikut pemerian temuan yang terdapat di situs Pangcalikan dan arca ganesha yang disimpan di Museum Sri Baduga.


Kode : KRKM
Uraian bentuk : Berupa batu dengan datar berdenah bujur sangkar. Bagian samping batu tersebut terdapat pelipit. Salah satu sudut batu ini telah hilang.

Ganesha di Museum Sri Baduga

Arca digambarkan duduk di atas lapik berbentuk bulat. Sikap duduk yaitu dengan posisi satu kaki bersila dan kaki yang lain dilipat ke atas. Pada bagian atas kepala arca terdapat semacam tutup kepala. Belalai menjuntai ke kiri. Perut digambarkan buncit. Di bagian dada terdapat upavita berupa tali polos.Tangan berjumlah empat, dua tangan yang belakang patah, sedangkan dua tangan yang lain masing-masing memegang lutut. Tinggi arca 46 cm. Arca Ganesha yang berasal dari Karangkamulyan ini mempunyai bentuk sederhana.




Penutup
Penelitian tentang ikonografi masa Kerajaan Sunda di Kabupaten Ciamis. Di Kabupaten Ciamis dilaksanakan di 6 kecamatan yaitu Kecamatan Ciamis, Lakbok, Mangunjaya, Pamarican, Pangandaran, dan Cijeungjing. Penelitian kali ini berhasil mendata 25 batu yang menunjukkan ciri-ciri pengerjaan oleh manusia. Dari ke 25 batu tersebut terdapat 21 batu yang merupakan arca. Sedang 4 batu yang lain bukan merupakan arca. Ke 4 batu tersebut adalah JBSR 9 (tidak diketahui), JBSR 10 (lapik), JBSR 11 (lumpang batu), dan LKB 6 (umpak). Sedang 21 batu yang merupakan arca adalah sebagai berikut.


JBSR 1 menggambarkan arca manusia dengan sangat sederhana. Arca ini belum dapat diketahui tokoh yang diarcakan karena tidak terdapat atribut kuat lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi. Arca dengan bentuk demikian merupakan arca tipe Polinesia.


JBSR 2 menggambarkan seekor sapi dalam posisi duduk dengan kaki terlipat. Arca demikian disebut dengan Nandi. Dalam mitologi Hindu, dewa digambarkan mempunyai binatang kendaraan (wahana). Kendaraan Dewa Brahma adalah angsa, Dewa Wisnu mempunyai kendaraan berupa garuda, sedang Nandi merupakan kendaraan dewa Siwa. Nandi yang terdapat di situs Jambansari ini digambarkan dengan sangat sederhana sehingga termasuk arca Nandi tipe Pajajaran.


JBSR 3 menggambarkan arca manusia setengah badan dengan posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Kedua tangan dilipat mengarah ke depan dan memegang sebuah benda berbentuk persegi. Tidak terdapat atribut lain pada arca ini sehingga tidak dapat diketahui tokoh yang diarcakan. Arca dengan bentuk demikian dapat digolongkan sebagai arca tipe Polinesia
.

JBSR 4 merupakan arca manusia yang digambarkan sedang duduk dengan kaki terlipat (jongkok). Bagian-bagian muka dan badan arca ini hanya merupakan goresan-goresan saja. Tidak ada atribut yang dapat digunakan untuk mengenali tokoh yang diarcakan. Arca dengan bentuk demikian merupakan arca tipe Polinesia.


JBSR 5 Kondisi arca sudah sangat aus Arca digambarkan sebagai manusia berkepala gajah dengan belalai menjuntai menyentuh tangan kiri. Arca demikian ini merupakan penggambaran Ganesha. Ganesha adalah salah satu dewa dalam pantheon Hindu. Ganesha dikenal sebagai anak dari Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang disembah sebagai dewa kebijaksanaan dan penyingkir halangan. Di Indonesia, Ganesha merupakan salah satu dari tiga dewa pendamping utama dewa Siwa. Pada sebuah candi, biasanya Ganesha ditempatkan pada bilik yang menghadap ke barat atau timur. Meskipun demikian, di Indonesia arca Ganesha seringkali ditemukan berdiri sendiri (Sedyawati, 1994: 5-6). Arca Ganesha ini digambarkan dengan sederhana, dengan demikian termasuk arca dengan tipe Pajajaran.


JBSR 6 Arca digambarkan sebagai manusia berperut buncit. Tangan bersedakap di dada. Arca dengan bentuk yang serupa pernah ditemukan di daerah Cikapundung Kabupaten Bandung. Menurut Eriawati arca demikian ini termasuk sebagai arca tipe Polinesia ( Eriawati 1995/1996: 74 - 78).

JBSR 7, JBSR 8 dan JBSR 12 berupa sebongkah batu yang memanjang. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat. Bentuk demikian ini menggambarkan lingga. Bagian-bagian lingga mempunyai penyebutan tersendiri yaitu bagian dasar berupa segi empat disebut brahmabhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut wisnubhaga, dan bagian puncak berbentuk bulat panjang disebut siwabhaga (Atmodjo, 1999: 23). Lingga merupakan salah satu perwujudan Siwa. Dengan demikian ketiga arca tersebut merupakan arca bercorak Hindu.

JBSR 13 merupakan arca manusia yang digambarkan setengah badan. Posisi sedang duduk dengan sandaran di belakangnya. Tangan kiri memegang perut, sedangkan tangan kanan di samping badan. Tidak terdapat atribut lain pada arca ini sehingga tidak dapat diketahui tokoh yang diarcakan. Arca dengan bentuk demikian dapat digolongkan sebagai arca tipe Polinesia.

LKB 1 dan LKB 4 sebenarnya merupakan satu kesatuan yang disebut yoni. Ciri-ciri yoni yaitu berdenah bujur sangkar, terdapat tonjolan yang berfungsi sebagai cerat, dan terdapat lubang di permukaan bagian atas yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Dalam mitologi Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan (Atmojo, 1999: 23).


LKB 2 Berupa sebongkah batu yang memanjang. Penampang lintang batu ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat, tengah berbentuk segi delapan, dan bagian atas bulat. Bentuk demikian ini menggambarkan lingga.

LKB 3 Arca digambarkan sebagai manusia dengan badan ramping. Adanya sandaran atau stela memunculkan dugaan bahwa arca tersebut merupakan arca bercorak Hindu-Buddha. Kondisi arca sudah sangat aus sehingga tidak dapat diketahui tokoh yang diarcakan.


LKB 5 arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Dalam mitologi Hindu arca demikian ini disebut dengan Nandi. Nandi di LKB 5 ini digambarkan dengan sangat sederhana sehingga termasuk arca tipe Pajajaran.


MGJ berupa sebongkah batu berbentuk balok dengan cerat pada salah satu sisinya. Pada bagian permukaan atas batu terdapat lubang berbentuk bulat. Bentuk demikian ini menggambarkan yoni. Di Indonesia, yoni seringkali ditemukan bersama dengan lingga. Persatuan antara lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan.


CRG Arca berupa seekor sapi dengan posisi duduk di atas naga, sehingga badan naga seolah menjadi alas badan sapi. Penggambaran sapi disini mungkin dimaksudkan sebagai nandi. Bentuk naga yang berada di bawah nandi terlihat seperti makara yang sering ditemui pada pipi tangga masuk suatu bangunan. Adanya bidang datar pada sisi kanan perut nandi menunjukkan bahwa kemungkinan arca ini dahulu merupakan bagian suatu bangunan candi Hindu. Arca nandi ini digambarkan dengan sederhana, sehingga termasuk dalam arca tipe Pajajaran.


BKL 1 berupa batu berdenah bujur sangkar dengan lubang di permukaan atasnya. Meskipun cerat sudah tidak ada lagi, tetapi masih terlihat adanya saluran untuk mengalirkan air. Dalam mitologi Hindu bentuk demikan ini dikenal sebagai yoni.

BKL 2 arca digambarkan berupa sapi yang sedang duduk. Arca demikian disebut dengan nandi. Meskipun arca nandi ini pada beberapa bagian telah hilang tetapi masih terlihat bahwa arca tersebut digambarkan dengan lengkap sehingga termasuk dalam arca masa klasik.

KRKM Berupa batu dengan datar berdenah bujur sangkar. Bagian samping batu tersebut terdapat pelipit. Batu dengan bentuk demikian kemungkinan merupakan bagian dasar yoni yang diletakkan secara terbalik.

Ganesha dari Karang Kamulyan digambarkan dengan sangat sederhana, sehingga termasuk arca tipe Pajajaran.


Berdasarkan ciri-cirinya ke 21 buah arca tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama yaitu arca tipe Polinesia yang terdiri dari 5 arca. Ke lima arca tersebut yaitu JBSR 1, JBSR 3, JBSR 4, JBSR 6, dan JBSR 13. Arca-arca ini merupakan tinggalan hasil budaya tradisi megalitik dari masa prasejarah. Kelompok kedua yaitu arca yang bercorak Hindu-Buddha. Arca-arca yang termasuk kelompok kedua ini terdiri dari 11 arca. Ke 11 arca bercorak Hindu-Buddha tersebut terdiri dari bentuk Lingga (JBSR 7, JBSR 8, JBSR 12, dan LKB 2), Yoni ( LKB 1, LKB 4, MGJ, BKL 1, dan KRKM), Nandi (BKL 2). Sedangkan arca LKB 3 meskipun tidak jelas tokoh yang diarcakan, tetapi adanya stella menunjukkan ciri-ciri sebagai arca klasik. Dilihat dari konteks temuan lain yang ada di tempat tersebut kemungkinan arca tersebut berlatarbelakang religi Hindu. Arca kelompok ketiga yaitu yang termasuk arca tipe Pajajaran terdiri dari 5 arca. Termasuk dalam kelompok ini yaitu Nandi (JBSR 2, LKB 5, dan CRG) dan Ganesha (JBSR 5 dan Ganesha Karang Kamulyan). Arca-arca tersebut menunjukkan ciri-ciri sebagai arca klasik, tetapi dengan penggambaran yang sederhana.


Berdasarkan uraian terdahulu terlihat bahwa lingga dan yoni dibuat sesuai dengan aturan ikonografi. Ganesha Jambansari dan Karang Kamulyan keduanya dibuat dengan sangat sederhana. Bagian-bagian tubuh Ganesha Jambansari hanya dibuat dengan pahatan yang dangkal. Sedang Ganesha Karang Kamulyan dibuat dengan sederhana, tetapi penggambarannya telah mendekati aturan ikonografi. Sementara itu, Nandi dari Jambansari, Lakbok dan Candi Ronggeng bagian-bagian tubuhnya hanya digoreskan dengan pahatan yang dangkal, sedangkan Nandi dari Batu Kalde tidak mengalami modifikasi. Laporan Bujangga Manik (abad ke-15 M) dalam perjalanannya sepulang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutkan tentang adanya runtuhan candi di Pananjung (Ferdinandus 1990: 297). Dengan demikian diperkirakan bahwa situs Batu Kalde tersebut berasal dari masa pra Sunda.


Daftar Pustaka

Agus. 1994. “Stratigrafi dan Paleontologi Daerah Urug Kasang, Ciamis, Jawa Barat”. Dalam Jurnal Balai Arkeologi Bandung Edisi Perdana. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

-------. 1998/1999. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Penelitian Arkeometri di Daerah Kaso Kabupaten Ciamis (Aspek Stratigrafi & Paleontologi). Balai Arkeologi Bandung. (tidak diterbitkan)


Atmodjo, Junus Satrio.
1999. Vademekum Benda Cagar Budaya. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Ayatrohaedi. 1982. “Masyarakat Sunda Sebelum Islam”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm.333–346.

Danasasmita, Saleh
. 1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid Kedua. Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

-------, 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakanda ng Karêsian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).


Eriawati, Yusmaini.
1995/1996. “Arca Megalitik Cikapundung”. Dalam Kebudayaan Nomor 10 Th V 1995/1996. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 74– 79.

Ferdinandus, P.E.J.
1990 “Situs Batu Kalde di Pangandaran, Jawa Barat”. Dalam Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hlm. 285–301.

Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.

Mulia, Rumbi.
1980. “Beberapa Catatan Tentang Arca-arca Yang Disebut Arca Tipe Polinesia”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 599–646.

Saptono, Nanang
. 2002. Karang Kamulyan a Historical Event and an Archaeological Site. Jakarta: Culture Developing Policy Program Ministry of Culture and Tourism.

Sedyawati, Edi. 1994. Pengarcaan Ganeça Masa Kadiri dan Singasari, Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rijksuniversiteit Te Leiden, EFEO.

Sumadio, Bambang.
1990. “Jaman Kuno”, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.

Widyastuti, Endang
. 2000. “Tinggalan Arkeologis di Ciamis Bagian Timur”. Dalam Kronik Arkeologi: Perspektif Hasil Penelitian Arkeologi di Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Lampung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

-------, 2002a. “Tembikar dan Keramik dari Kawasan Kertabumi”. Dalam Tapak-Tapak Budaya. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten.

-------, 2002b. “Arca-Arca Tipe Pajajaran di Pejambon, Cirebon”. Dalam Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten.

-------, 2003. “Penelitian Arca-Arca Di Kuningan Dalam Rangka Pengungkapan Perkembangan Religi”. Dalam Mosaik Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat – Banten.

Yondri, Lutfi. 1999. “Mungkinkah Manusia Purba Pernah Hidup di Kawasan Jawa Barat?” Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 5/Maret/1999. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.


Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku “Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan”, hlm. 55 – 72. Editor Prof. Dr. Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2006.

Label:

Menelusuri Tepian Danau Bandung Purba

JEJAK PENDUKUNG BUDAYA OBSIDIAN DI SEKITAR DANAU BANDUNG

Analisis Pendahuluan





Nurul Laili



Sari

Danau Bandung purba berada di sekitar Kota Bandung sekarang. Indikasi adanya aktivitas manusia banyak diperoleh di daerah-dlaerah yang diyakini sebagai tepian danau. Temuan artefak antara lain berupa beliung, alat obsidian, gerabah, keramik asing, batu asah, dan beberapa logam. Fokus tulisan ini adalah sebaran obsidian dan faktor yang melatarbelakanginya. Aktivitas manusia pendukung obsidian sangat dipengaruhi oleh muka pantai Danau Bandung. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air dalam kehidupan manusia.


Abstract

Artifacts as a indication of human activities had been discovered around the Bandung Basin area. The artifacts were obtained around lake, consist of obsidian tools, stone adzes (polished stone tools), fragment of earthenware as well as axes cast forms bronze or iron. This paper focused in the distribution of obsidian and its background. The human activity that supported obsidians culture are heavily influences by water level of the lake. Considering it, obsidians are interesting to be analysis as a partial study about water and its roles in the human living in Bandung basin area.

Kata Kunci
: obsidian, Danau Bandung, serpih, alat serpih, serpih beretus



Latar Belakang
Tinggalan obsidian merupakan temuan yang paling banyak diperoleh di sekitar Danau Bandung (Koesoemadinata, 2001). Oleh karena itu, artefak obisidian paling banyak meyita perhatian beberapa peneliti. Penemuan artefak dan penelitian di sekitar danau Bandung, pertama-tama oleh A.C de Jong (1930), yang kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian oleh von Koeningswald dan dipublikasikan tahun 1935. Penelitian Koeningswald memperoleh artefak alat obsidian, beliung dari bahan kwarsit dan kalsedon, pisau penyerut, dan anak panah (Koeningswald, 1935: 393 -- 419). Masih dalam tahun penelitian yang sama, Koeningswald juga telah berhasil memetakan sebaran situs obsidian yang keseluruhannya berada pada ketinggian 725 meter di atas permukaan air laut. Pemerhati budaya danau Bandung purba yang lain adalah J. Krebs (1932-1933), W Mohler (1942-1945), dan Rothpletz (Heekeren, 1972).

Rothpletz (1951) mencoba untuk menguak budaya danau Bandung purba dengan berkonsentrasi pada daerah timur laut Bandung yang disebut dengan Blok Pulasari. Artefak yang diperoleh beragam bahan dan teknologi, antara lain berupa beliung, obsidian, keramik, dan cetakan untuk pengecoran perunggu dan besi. Secara umum, artefak yang diperoleh berupa obsidian, beliung, batu asah, gerabah, keramik asing, dan beberapa logam.

Beberapa tahun belakangan (70-an), penelitian di daerah sekitar Danau Bandung telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada tahun 1978, tim penelitian Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N) sekarang Pusat Penelitian Arkeologi, Jakarta melakukan survei di daerah Sindangkerta, Kabupaten Bandung. Lokasi yang diteliti adalah Pasir (bukit) Tampian, Pasir Suje, Pasir Monggor, Pasir Kawung, Pasir Suramenggala, Pasir Asep Roke, dan Pasir Kadut. Artefak yang diperoleh berupa alat serpih, batu berupa serut, pecahan keramik asing, pahat batu, dan beliung persegi (Anggraeni, et al, 1986).


Selanjutnya, pada tahun 1992, tim dari Bidang Arkeometri, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di wilayah sekitar Saguling, Desa Baranangsiang, Cipongkor, Kabupaten Bandung. Situs yang diteliti adalah Pasir Asep Roke, Pasir Citiis dan Jajawei, Pasir Kadut, Pasir Kawung, Pasir Lengo, Pasir Monggor, Pasir Suje, Pasir Suramenggala, dan Pasir Tampian. Temuan yang diperoleh adalah tembikar, terak besi, cangkang kerang, serut, dan beliung persegi (Tim Peneliti, 1992).


Pada tahun 2001 tim penelitian dari Balai Arkeologi Bandung melakukan penelitian yang berupa survei di daerah Cililin dan Cipongkor. Hasil penelitian adalah sebagai berikut makam Rangga Malela, makam K.H Syafei, makam Syeh Abdul Manaf, makam Sangga Wadana, beliung persegi, mata tombak, dan fosil fragmen tulang (Boedi, 2001).

Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah temuan khususnya obsidian, para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von Koeningswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, yaitu menggolongkan alat obsidian yang disebut sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934, Koeningswald, 1935, Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).

Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian Bandung digolongkan dari tradisi yang lebih tua. Pendapat senada dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang mengemuka adalah unsur bercocok tanam berasal dari masa-masa kemudian dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi yang menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi temuan di Jambi dan Leles menduga alat obsidian merupakan alat yang berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam (Soejono, 1984).


Permasalahan, Tujuan, dan Sasaran
Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, menunjukkan bahwa secara kuantitas merupakan perkakas terbanyak dipergunakan oleh manusia pendukung danau Bandung. Sebagai artefak yang menonjol, tentunya artefak obsidian mempunyai wilayah sebaran yang cukup luas.

Keberadaan situs obsidian menurut penelitian Koenigswald dan Rothpletz adalah di atas 725 meter dpal. Penelitian geologi menunjukkan bahwasurutnya muka air danau tidaklah sekaligus. Demikian juga dengan sedimentasi yang terjadi di Danau Bandung, tidak sama. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat permasalahan yang dapat dirumuskan, yaitu:
  1. Apakah aktivitas pendukung obsidian Danau Bandung hanya dilakukan pada lokasi di atas 725 m dpal?
  2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilihan lokasi oleh manusia pendukung obsidian?
Penelitian ini akan dapat memberi petunjuk tentang perilaku manusia dalam memanfaatkan alam lingkungan bagi kegiatannya. Adapun sasaran yang akan dicapai adalah memberikan gambaran mengenai penghunian oleh manusia masa lampau dalam kaitannya dengan eksploitasi bumi.


Kerangka Pikir dan Metode
Permukiman menetap mulai muncul ketika masa tradisi bercocok tanam berkembang. Masyarakat pada masa itu untuk memenuhi kebutuhannya, sudah tidak lagi hidup secara mengembara tetapi bermukim menetap di suatu tempat. Mereka bermukim secara mengelompok di tempat-tempat yang keadaannya alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir sungai. Kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungan sekitar. Manusia akan berusaha memilih lingkungan yang sesuai untuk aktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal (Herkovits, 1952: 3 -- 8).

Perilaku manusia dalam menentukan lokasi tinggalnya tidak akan berperilaku acak tetapi akan mengikuti zona-zona tertentu (Parson, 1972; Hodder, 1976). Demikian halnya dalam pembagian ruang untuk hunian pun tidak acak dan teratur. Keteraturan itu juga mencerminkan pola pembagian ruang, sehingga hubungan antara manusia dan ruang dimana mereka berinteraksi, dapat terungkapkan (Watson et. al, 1971; Fagan, 1981; Eriawati, 1997).


Beberapa telaah mengenai temuan di Danau Bandung telah dilakukan oleh para ahli terdahulu. Telaah temuan khususnya obsidian, para ahli saling berbeda pendapat. Ketiga ahli van Stein Callenfels, von Koenigswald dan van der Hoop, dalam tulisan yang berbeda, berkesimpulan sama, yaitu menggolongkan alat obsidian yang disebut sebagai alat mikrolit berasal dari masa bercocok tanam. Hal tersebut didasarkan dari temuan sertanya, yaitu pecahan gerabah, fragmen beliung persegi, dan cetakan-cetakan logam (Callenfels, 1934; Koenigswald, 1935; Hoop, 1940, vide Soejono, 1984).

Hal lain dikemukaan oleh Geldern (Soejono, 1984), alat obsidian Bandung digolongkan dari tradisi yang lebih tua. Pendapat senada dikeluarkan oleh Bandi dan Rothpletz, yaitu alat obsidian Bandung merupakan alat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Alasan yang mengemuka adalah unsur bercocok tanam berasal dari masa-masa kemudian, dan temuan obsidian tumpang tindih dengan tradisi yang menghasilkan beliung persegi. Soejono dengan menggunakan anologi temuan di Jambi dan Leles menduga alat obsidian merupakan alat yang berkembang secara lokal pada masa bercocok tanam (Soejono, 1984).

Penelitian ini menerapkan tipe penelitian eksploratif dan deskriptif. Metode eksploratif dilakukan berlandaskan pada seluruh data guna mempertajam permasalahan. Setelah permasalahan muncul secara jelas diterapkan metode deskriptif. Pelaksanaan penelitian tidak hanya terbatas pada pengumpulan data melainkan meliputi analisis dan interpretasi data (Gibbon, 1984: 80; Sharer dan Ashmore, 1979: 486).

Pola penalaran yang digunakan adalah pola induktif. Dengan demikian analisis melalui pendeskripsian yang sistematis dan terklasifikasinya data yang diperoleh maka jawaban permasalahan akan diperoleh dalam bentuk kesimpulan atau generalisasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui survei. Penentuan lokasi ditentukan berdasarkan studi pustaka dan peta topografi.


Sesuai dengan permasalahan yang diajukan maka akan dilakukan pencuplikan sampel, mengingat luasnya wilayah. Untuk itu akan dicuplik lokasi situs yang berada pada ketinggian di atas 725 m dpal dan yang di bawah 725 m dpal. Pencuplikan tersebut juga mempertimbangkan wilayah yang dibagi sesuai dengan arah mata angin. Hal ini dilakukan untuk terwakilkan semua lokasi, yaitu wilayah utara, timur, selatan, dan barat. Untuk wilayah barat,dalam tulisan ini mencuplik data dari hasil penelitian Gua Pawon (Yondri, 2005).

Sejarah Danau Bandung
Bandung kota dan sekitarnya, pada masa lampau merupakan danau yang dikenal dengan Danau Bandung. Keadaan yang sekarang terlihat merupakan pedataran yang biasa disebut dengan istilah “Cekungan Bandung” (Bandung Basin). Daerah sekitar cekungan tersebut, diperkirakan dahulu merupakan tepian danau sehingga banyak diperoleh sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau (Koesoemadinata, 2001).

Van Bemmelen, 1935, meneliti sejarah geologi Bandung. Pengamatan dilakukan terhadap singkapan batuan dan bentuk morfologi dari gunung api-gunung api di sekitar Bandung. Penelitian yang dilakukan berhasil mengetahui bahwa danau Bandung terbentuk karena pembendungan Sungai Citarum purba. Pembendungan ini disebabkan oleh pengaliran debu gunung api masal dari letusan dasyat Gunung Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya Gunung Sunda Purba di sebelah baratlaut Bandung dan pembentukan kaldera di mana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh.


Van Bemmelen secara rinci menjelaskan, sejarah geologi Bandung dimulai pada zaman Miosen (sekitar 20 juta tahun yang lalu). Saat itu daerah Bandung utara merupakan laut, terbukti dengan banyaknya fosil koral yang membentuk terumbu karang sepanjang punggungan bukit Rajamandala. Kondisi sekarang, terumbu tersebut menjadi batukapur dan ditambang sebagai marmer yang berpolakan fauna purba.


Bukit pegunungan api diyakini masih berada di daerah sekitar Pegunungan Selatan Jawa. Sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu, laut diangkat secara tektonik dan menjadi daerah pegunungan yang kemudian 4 juta tahun yang lalu dilanda dengan aktivitas gunung api yang menghasilkan bukit-bukit yang menjurus utara selatan antara Bandung dan Cimahi, antara lain Pasir Selacau. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas volkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda, yang diperkirakan mencapai ketinggian sekitar 3000 m di atas permukaaan air laut. Sisa gunung purba raksasa ini sekarang adalah punggung bukit.


Sekitar Situ Lembang (salah satu kerucut sampingan sekarang disebut Gunung Sunda) dan Gunung Burangrang diyakini sebagai salah satu kerucut sampingan dari Gunung Sunda Purba ini. Sisa lain dari lereng Gunung Sunda Purba ini terdapat di sebelah utara Bandung, khususnya sebelah timur Sungai Cikapundung sampai Gunung Malangyang, yang oleh van Bemmelen (1935, 1949) disebut sebagai Blok Pulasari. Pada lereng ini terutama ditemukan situs-situs artefak ini, yang diteliti lebih lanjut oleh Rothpletz pada zaman Jepang dan pendudukan Belanda di Masa Perang Kemerdekaaan. Sisa lain dari Gunung Sunda Purba ini adalah Bukit Putri di sebelah timur laut Lembang (Koesoemadinata, 2001).


Gunung Sunda Purba itu kemudian runtuh, dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya lahir Gunung Tangkuban Parahu, yang disebutnya dari Erupsi A dari Tangkuban Parahu, bersamaan pula dengan terjadinya patahan Lembang sampai Gunung Malangyang, dan memisahkan dataran tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung. Kejadian ini diperkirakan van Bemmelen (1949) terjadi sekitar 11.000 tahun yang lalu.

Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6000 tahun yang lalu berupa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sungai Cikapundung samapai sekitar Padalarang di mana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Banjir abu volkanik ini menyebabkan terbendungnya Sungai Citarum Purba, dan terbentuklah Danau Bandung.


Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang dan sedalam 104 m di Sukamanah; melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar.

Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukan Gunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994).


Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996).


Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang, yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus.


Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi anatara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu.


Situs-situs Obsidian Danau Bandung
Penelitian yang dilakukan berhasil mengungkap kembali jejak budaya pendukung obsidian Danau Bandung. Sesuai dengan permasalahan, maka situs-situs yang dicuplik, adalah.


Kawasan Sisi Utara Danau Bandung


Punclut
Secara geografis lokasi ini berada di Dusun Cihanja, Desa Cidadap, Kabupaten Bandung. Menurut GPS Garmin V lokasi Punclut berada pada titik ordinat 06° 51’ 0.72” LS dan 107° 36’ 8.49”BT. Pada umumnya lahan di lokasi ini merupakan kebun, ladang, dan rumah penduduk yang sebagian diperuntukkan untuk warung makan.

Temuan obsidian diperoleh di lahan kosong sebelah selatan pemancar RRI. Lahan ini banyak ditumbuhi oleh semak-semak. Saat ini, lahan digarap untuk diambil pasirnya oleh penduduk sekitar. Akibat pengambilan pasir inilah, temuan obdisian banyak tersingkap.
Temuan yang diperoleh dapat dirinci sebagai berikut: a). Keramik 1 buah, b). serpih 4 buah

Pakar
Situs ini menurut informasi dari beberapa penelitian terdahulu merupakan situs yang potensial. Lokasi yang dimaksud sekarang lebih dikenal sebagai Bukit Kordon. Secara administratif daerah bukit Kordon termasuk wilayah Kampung Sekepicung, Desa Ciburial , Kecamatan Cimenyan. Ordinat situs ini berada pada 06° 51’ 8.21” LS dan 107° 37’ 6.98” BT (menurut pembacaan dari pesawat GPS Garmin V). Ketinggian lokasi Pakar berada pada 800 meter dpal.

Lahan yang ada di kampung Sekepicung terdiri atas lahan tegalan, sawah, sekolah, dan bangunan rumah tinggal. Sebagian besar dari lahan yang ada merupakan lahan rumah tinggal. Lokasi yang diinventaris oleh peneliti pendahulu, saat ini sudah banyak berdiri bangunan rumah tinggal dan sekolah. Menurut keterangan penduduk sekitar, temuan obsidian sering diperoleh, sebelum lahan banyak diubah sebagai rumah tinggal.

Jejak-jejak tinggalan diperoleh pada sebuah lahan yang berada di sisi Barat daya dari SD Inpres Pakar I, II, dan III. Lahan tersebut merupakan lahan yang akan dibangun menjadi rumah tinggal. Lahan ini merupakan lahan milik Pak Alek. Adapun jejak-jejak lain disurvei dengan melakukan penyisiran di ladang-ladang yang baru digarap ataupun ditanami. Beberapa jejak arkeologi berhasil diperoleh di ladang milik Pak Arifin. Ladang tersebut ditanami singkong.
Koleksi survei dari Situs Pakar seluruhnya berjumlah 33 dengan perincian sebagai berikut: a). tembikar bagian badan 1 buah, b). serpih beretus 4 buah, c). alat serpih 12 buah, d). Serpih 16 buah.


Kawasan Sisi Timur Danau Bandung


Jadaria
Situs ini berhasil diperoleh ketika tim penelitian melakukan survei di kawasan kaki Gunung Manglayang. Secara administratif, situs ini berada di Kampung Jadaria, Desa Cibiru Wetan, Kabupaten Bandung. Menurut pembacaan GPS Garmin V lokasi ini berada pada titik ordinat 06° 54’ 9.91” LS dan 107° 43’ 7.32” BT. Ketinggian lokasi situs ini adalah sekitar 800 meter dpal.

Temuan berada di lokasi tegalan yang sedang digarap untuk ditanami. Pemilik lahan tidak diketahui, tetapi ladang ini merupakan tanah garapan Bapak Undang, penduduk setempat. Lokasi ini berada sektar 250 m ke arah barat laut dari jalan desa. Tanaman yang ada berupa nangka, albasia, pisang dan apokat.
Jejak arkeologi yang diperoleh berupa: a). fragmen beliung 1 buah, b). tembikar bagian tepian 4 buah, c). tembikar bagian badan 3 buah, d). keramik bagian badan 2 buah, e). Serpih 72 buah, f). serpih beretus 11 buah, g). alat serpih 51 buah.

Panyawungan
Keberadaan situs ini telah terdata oleh peneliti terdahulu. Beberapa artefak telah diinventaris oleh Museum Geologi Bandung. Secara administratif termasuk wilayah Kampung Panyawungan, Desa Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung. Pembacaan GPS Garmin V, lokasi ini berada pada titik 06° 57’0.92” LS dan 107° 44’ 8.51”BT. Ketinggian lokasi Situs Panyawungan berada pada 663 meter dpal.

Jejak arkeologi diperoleh di sekitar SD Muslimim Panyawungan I dan II. Temuan terbanyak diperoleh di makam dan lahan tegalan singkong belakang SD. Tegalan tersebut milik Pak Endang. Tepatnya, 50 meter belakang SD.
Secara rinci temuan tersebut berupa: a). bungkal batu obsidian 1 buah, b). serpih beretus 8 buah, c). alat serpih 108 buah, d). serpih 16 buah.

Bumi Panyawangan
Lokasi temuan obsidian diperoleh di situs ini secara tidak sengaja. Penemuan obsidian diperoleh ketika dilakukan pengerukan ketika perluasan pembangunan perumahan. Secara administratif lokasi ini berada di Perumahan Bumi Panyawangan Cluster Kamper yang termasuk wilayah Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung. Titik ordinat lokasi ini adalah 06° 56’ 6.10” LS dan 107° 44’ 3.72” BT. Lokasi ini berada pada ketinggian sekitar 671 meter dpal. Secara rinci temuan di Bumi Panyawangan adalah: a). Serpih 33 buah, b). serpih beretus 3 buah, c). alat serpih 9 buah.


Kawasan Sisi Selatan Danau Bandung


Pasir Bongkor
Penelusuran situs di sisi selatan Danau Bandung dilakukan pada bentang lahan yang sama dengan situs lain yang telah diperoleh temuan obsdian. Secara administratif, lokasi ini berada di Desa Cihelang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.Titik ordinat situs ini adalah 107°40’ BT dan 07° 12’ LS. Ketinggian lokasi Pasir Bongkor berada pada 827 meter dpal.

Situs Pasir Bongkor berada lokasi yang banyak ditumbuhi pohon bambu. Lahan situs cenderung menurun ke arah utara dan barat. Di sisi utara situs merupakan areal perumahan Cikahuripan.
Temuan yang diperoleh dapat dirinci sebagai berikut: a). serpih beretus 9 buah, b). alat serpih 35 buah, c). Serpih 78 buah.


Kawasan Sisi Barat Danau Bandung
Keberadaan tinggalan obsidian di sisi barat Danau Bandung, salah satunya diperoleh di Situs Gua Pawon. Keseluruhan temuan diperoleh dari hasil penggalian dari tahun 2003-2004 (Yondri, 2005). Situs Gua Pawon berada di wilayah Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung. Gua tersebut berada pada ketinggian sekitar 716 meter di atas permukaan air laut.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lutfi Yondri dari tahun 2003 -- 2004 menunjukkan temuan obsidian yang ditemukan umumnya lebih banyak berukuran kecil yang lebih cenderung memperlihatkan pada sisa pembuatan (Yondri, 2005: 71 -- 72). Secara kuantitas alat obsidian yang diperoleh di Situs Gua Pawon berjumlah 124 buah.


Pembahasan
Temuan yang diperoleh dari keseluruhan situs yang dicuplik, terdiri atas serpih beretus, serpih, dan alat serpih. Penelitian yang dilakukan pada sisi utara-timur laut Danau Bandung memperoleh berbagai temuan obdisian dan beberapa lainnya. Temuan-temuan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bungkal batu obsidian
Temuan ini termasuk jarang diperoleh di situs-situs yang diteliti. Situs-situs yang terdapat temuan bungkal batu obdisian adalah Tugu dan Panyawungan. Keseluruhan permukaan batu masih tertutup korteks. Warna batuan obsidian adalah hitam

2. Serpih
Temuan serpih diperoleh hampir di keseluruhan situs. Ukuran serpih yang tertipis adalah >1,5 mm, sedangkan yang tertebal adalah <>
3. Serpih beretus
Istilah serpih beretus ini diarahkan pada temuan yang tidak sengaja dibuat tapi cenderung dipergunakan oleh pendukung budayanya.Beberapa temuan menunjukkan adanya penggunaan pada lateral kiri, lateral kanan, distal, bahkan ketiganya.

4. Alat Serpih
Istilah alat serpih mengacu pada temuan yang sengaja dibuat oleh manusia pendukungnya. Dengan demikian temuan yang diperoleh di situs-situs yang diteliti merupakan alat yang terdapat dataran pukul dan bulbus. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya sebaran jejak tinggalan obsidian yang luas. Hampir di keseluruhan wilayah yang termasuk pinggiran danau bandung diperoleh jejak tinggalan manusia pendukung obsidian. Sebaran temuan obsidian dapat dipetakan sebagai berikut.
  1. wilayah timur meliputi Situs Jadaria, Paratag, Panyaungan, dan Panyawangan.
  2. wilayah utara meliputi Situs Pakar, Punclut
  3. wilayah barat meliputi Gua Pawon
  4. wilayah selatan meliputi Pasir Bongkor
Lokasi situs-situs obsidian tersebut berada pada ketinggian yang bervariasi, antara 823 – 663 meter dpal. Dari delapan situs yang dicuplik, maka dua situs yang berlokasi di Panyawungan dan Panyawangan berada pada lokasi yang rendah. Titik ketinggian adalah 663 meter dpal untuk Situs Panyawungan dan 671 m dpal untuk Situs Panyawangan. Adapun lima situs lainnya berada di atas 700 m dpal.

Penelitian Koenigswald (1935) menunjukkan bahwa situs-situs obsidian terletak pada ketinggian 725 m dpal. Oleh beberapa ahli, data Koenigswald dapat disimpulkan bahwa permukaan atau pantai danau Bandung mempunyai ketinggian di atas 725 m dpal. (Koesumadinata, 2001). Data yang menunjukan adanya jejak obsidian di Situs Panyawangan (671 m dpal) dan Panyawungan (663 m dpal), maka manusia pendukung obsidian danau Bandung tidak hanya beraktiitas pada daerah yang tinggi. Akan tetapi lokasi yang merupakan dasar danau Bandung juga dijadikan tempat beraktivitas. Penelitian geologi (Koesoemadinata, 2001) telah menjelaskan bahwa surutnya muka Danau bandung tidak sekaligus, sedimentasi di Danau Bandung eberjalan beransur-angsur.

Bukti geologis tersebut dapat menjelaskan bahwa aktivitas manusia pendukung obsidian antara situs yang berlokasi di atas 725 m dpal dengan lokasi yang lebih rendah berbeda waktu. Pasang-surutnya muka air danau bandung menjadi pertimbangan tersendiri bagi pendukung budaya obsidian dalam pemilihan lahan untuk beraktivitas. Kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkungan sekitar. Manusia akan berusaha memilih lingkungan yang sesuai untuk aktivitasnya dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. (Herkovits, 1952).

Sejalan dengan Butzer (1964) berpendapat bahwa lingkungan dianggap penentu dalam pemilihan lokasi situs, antar lain
  • tersedianya kebutuhan air, adanya tempat berteduh, dan kondisi tanah yang tidak terlalu lembab;
  • tersedianya fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih mudah (pantai, sungai, rawa, lereng);
  • tersedianya sumber makanan baik flora dan fauna serta faktor-faktor yang memberi kemudahan di dalam cara-cara perolehannya (tempat untuk minum binatang, batas-batas topografi, pola vegetasi, dsb.); dan
  • Faktor-faktor yang memberi elemen tambahan binatang laut atau binatang air (dekat pantai, danau, rawa, dsb)

Simpulan
Penelitian yang dilakukan di beberapa situs di kawasan lain juga menunjukkan adanya jejak aktivitas manusia pendukung pengguna obsidian, baik di sisi barat, timur, selatan, dan utara. Data penelitian menunjukkan situs-situs pendukung obsidian berada pada ketinggian 663 hingga 863 meter di atas permukaan air laut.Pergerakan aktivitas manusia pendukung obsidian sangat dipengaruhi oleh muka pantai danau Bandung. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya air dalam kehidupan manusia pendukung.


Penghargaan:
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Truman Simanjuntak yang telah mengijinkan untuk mengambil beberapa hasil penelitian untuk diolah. Juga disampaikan penghargaan kepada Bapak Adman (staff Balai Arkeologi Bandung) yang telah bersusah payah membantu survei ke beberapa situs obsidian di Danau Bandung.



Daftar Pustaka

Anggraeni, Nies et al. 1986. “Survei di Daerah Cililin, Bandung 1978”. BPA No. 36: Laporan Penelitian Arkeologi dan Geology di Jawa Barat. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.

Bemmelen, R.W. van. 1949. Geology of Indonesia; vol. I A. General Geology-The Bandung Zone.


Boedi, Oerip Bramantyo. 2001. “Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kecamatan Cililin dan sekitarnya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”. Bandung: Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan).

Heekeren, HR. Van. 1972. The Stone Age of Indonesia. Rev. 2nd. The Hague: Martinus Nijhoff

Herkovits, Melville J. 1952. “Anthropology and Economics”, The Economic Life of Primitive Peoples. New York: Knopf. Hlm. 3-8


Koesoemadinata, R.P. 2001. “Asal-Usul dan Prasejarah Ki Sunda”. Makalah KIBS. Bandung, 22-25 Agustus 2001


Koeningswald, G.H.R. von. 1935. Das Neolithicum der Umgebung von Bandung. Tidjschrift voor Indiesche Taal-Land, on Volkenkunde, Deel LXXV, Afl.3. Hlm. 394-417.


Rothpletz, W. 1952. Alte siedlungsplatze beim Bandung (Java) und die Entdeckung. Bronzezeitlicher Gussformen: Sudsee Studien, Basel 1951.


Soejono, R.P. 1984. “Jaman Prasejarah di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta : PN. Balai Pustaka
.

Tim Peneliti. 1994. Laporan Penelitian Sumber Bahan Baku Artefak Obsidian di Nagrek, Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung-Puslit Arkenas.


Yondri, Lutfi. 2005. “Kubur Prasejarah Temuan dari Gua Pawon Desa Gunung Masigit, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, Sumbangan Data Bagi Kehidupan Prasejarah di Sekitar Tepian Danau Bandung Purba”. Tesis. Universitas Indonesia.



Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku “Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan”, hlm. 18 – 29. Editor: Prof. Dr. Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten.

Label:

16 Februari, 2009

Religi Dalam Dinamika Masyarakat


MASYARAKAT MASA KLASIK DI KAWASAN LERENG GUNUNGAPI KUARTER ZONA BANDUNG


Nanang Saptono



Pendahuluan

Kawasan Jawa Barat secara fisiografis menurut van Bemmelen terbagi dalam beberapa zona yaitu zona dataran pantai Jakarta, zona Bogor, zona pegunungan Bayah, zona Bandung, dan zona pegunungan selatan. Salah satu zona tersebut yaitu zona Bandung meliputi pedataran tinggi yang membentang dari lembah Cimandiri, dataran Cianjur, dataran Bandung, dataran Garut, hingga dataran Ciamis (Agus, 2005: 2 – 4). Di sebelah utara hingga timur laut dataran Bandung terdapat deretan gunungapi kuarter membentang dari Gunung Tangkuban Parahu hingga Gunung Tampomas. Secara administratif, kawasan tersebut meliputi wilayah Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang. Beberapa tinggalan arkeologis dari masa klasik banyak ditemukan di kawasan ini. Tinggalan tersebut menunjukkan adanya klaster-klaster yang mempunyai latar belakang religi tertentu.



Kabupaten Subang, Bandung, dan Sumedang bila dikaitkan dengan masa klasik merupakan daerah yang jauh dari pusat peradaban/pemerintahan. Kerajaan Tarumanegara tidak meninggalkan jejak di kawasan ini. Beberapa tinggalan yang pernah tercatat terdapat kecenderungan berasal dari masa kerajaan Sunda. Meski demikian, prasasti-prasasti kerajaan Sunda yang pernah ditemukan mengarah pada penunjukan lokasi pusat pemerintahan di sekitar Ciamis dan Bogor.

Di dalam beberapa sumber sejarah tentang Kerajaan Sunda, selain pemberitaan tentang pusat kerajaan, terdapat pula pemberitaan tentang kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa. Menurut Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam. Baik Barros maupun Pires tidak pernah menyebut kota pelabuhan yang dapat dilokalisasikan di daerah Subang.


Di samping memiliki bandar-bandar yang cukup ramai, Kerajaan Sunda juga memiliki jalan lalu lintas darat yang cukup penting. Jalan darat itu berpusat di Pakwan Pajajaran sebagai ibukota kerajaan. Dari Pakwan Pajajaran jalan darat menuju ke arah timur dan barat. Jalan yang menuju ke timur, menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi Citarum, melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari Karangsambung membelok ke arah utara sampai ke Tanjungpura yang terletak di tepi Citarum, Karawang. Selanjutnya dari Tanjungpura menuju Cikao dan Purwakarta, dan berakhir di Karangsambung. Selanjutnya jalan tersebut bercabang ke arah timur dan selatan. Jalan yang ke arah timur sampai Cirebon lalu berbelok ke selatan melalui Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Sedangkan jalan yang ke arah selatan melalui Sindangkasih dan Talaga dan berakhir juga di Kawali (Sumadio, 1990: 390). Meskipun kawasan Subang, Bandung, dan Sumedang tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah klasik, keterangan tentang adanya ruas jalan dari Karangsambung, daerah Purwakarta menuju Cirebon mengarahkan pada asumsi bahwa di kawasan tersebut terdapat klaster pemukiman masyarakat. Hanya saja pada tingkat mana klaster pemukiman tersebut sulit diketahui, apakah setingkat desa (wanua) atau setingkat di atasnya (watak).


Masyarakat yang sudah bermukim dalam satu klaster, dalam kehidupannya selain berpegang pada aturan pemerintahan juga berpedoman pada sistem religi yang dianutnya. Kondisi daerah Subang, Bandung, dan Sumedang pada masa klasik merupakan suatu wilayah marginal. Budaya masyarakat yang tinggal di wilayah marginal dengan yang tinggal di wilayah pusat pemerintahan akan terdapat perbedaan. Biasanya pusat kebudayaan berada di pusat pemerintahan. Namun demikian pada wilayah marginal sering kali dijumpai pula adanya pusat-pusat peradaban. Berdasarkan beberapa asumsi tersebut muncul permasalahan yang perlu dipecahkan yaitu mengenai persoalan permukiman dan latar belakang religi pendukungnya.



Beberapa Tinggalan Arkeologis

Inventarisasi dan penelitian arkeologis di kawasan lereng pegunungan Kabupaten Subang, Bandung, dan Sumedang telah banyak mencatat tinggalan arkeologis. Kawasan lereng gunungapi kuarter di wilayah Kabupaten Subang, berada di daerah selatan. Di Desa Margasari, Kecamatan Kalijati, Subang terdapat situs Patenggeng. Situs ini berada di atas bukit kecil pada pertemuan antara sungai Cibolang dan Ciasem. Lereng bukit yang berhadapan dengan sungai membentuk tebing terjal. Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada tahun pada tahun 2000 di situs ini menemukan pecahan bata, pecahan tembikar, pecahan keramik asing (Cina), kerak besi, artefak batu, dan alat batu serpih. Berbagai temuan tersebut menunjukkan bahwa situs Patenggeng merupakan situs hunian secara berkelanjutan (multicomponent site) sejak masa prasejarah hingga sekitar abad XVI dengan berbagai kegiatan (Djubiantono, 2003: 46).

N.J. Krom dalam Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914 antara lain mencatat adanya beberapa tinggalan dari daerah Sagalaherang. Di Cijengkol pernah ditemukan mangkuk, piring, pinggan, dan baki yang terbuat dari perunggu. Di desa Batu Kapur pernah ditemukan arca Maitreya dari perak. Di Sindangsari pernah ditemukan senjata upacara dari perunggu. Benda-benda arkeologis tersebut sekarang sebagian besar disimpan di Museum Nasional Jakarta (Krom, 1915: 36 – 37).


Di Museum Sri Baduga, Bandung terdapat koleksi dua arca nandi berasal dari Kampung Selaawi, Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang. Arca nandi pertama (di museum bernomor 3) berukuran panjang 90 cm, lebar 30 cm, tinggi 38 cm. Sebagaimana lazimnya arca nandi, sikap dalam posisi kedua kaki dilipat. Hal sedikit yang kurang lazim adalah mulut mengarah ke atas sehingga berkesan seperti babi. Mata digambarkan berupa tonjolan dilengkapi kelopak. Daun telinga terlihat jelas. Pada leher digambarkan terdapat kalung sederhana (polos).




Arca nandi pertama yang ditemukan di Kampung Selaawi,
Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang


Arca nandi kedua (di museum bernomor 4) berukuran panjang 106 cm, lebar 37 cm, tinggi 39 cm. Arca nandi kedua ini dalam posisi kedua kaki terlipat. Bagian kepala digambarkan dengan mulut mengarah ke bawah. Mata digambarkan dilengkapi kelopak. Daun telinga tidak begitu jelas. Pada bagian punggung terdapat tonjolan. Ekor mengarah ke kanan dan ujungnya berada di punggung.



Arca nandi kedua yang ditemukan di Kampung Selaawi,
Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang


Di Kampung Cisalak, Negara Domas, Distrik Pamanukan pada tepi kiri Cigrunjang menurut laporan Krom (1915: 37) terdapat tujuh buah bagian tanah yang lurus masing-masing dikelilingi oleh parit, mungkin sebuah kubu. Di Kampung Mayang, sebelah barat laut kaki Gunung Cagak terdapat lima buah undak-undakan bersegi empat beraturan serta lurus, Di atas tengah-tengah undakan yang ketiga masing-masing terdapat sebuah patung kecil dari batu, sebuah di antaranya tidak berkepala.


Pelacakan lokasi kampung Cisalak, Negara Domas, Pamanukan mengalami kesulitan. Di daerah Negara Domas tidak pernah dikenal adanya kampung Cisalak. Dengan merujuk nama sungai Cigrunjang, dapat terlacak bahwa Cisalak yang dimaksudkan Krom, sekarang merupakan wilayah kecamatan terletak di sebelah tenggara kota Subang. Sungai Cigrunjang yang dilaporkan Krom ternyata yang benar adalah Cikaruncang.


Geomorfologis kawasan Kecamatan Cisalak merupakan daerah pedataran bergelombang dengan ketinggian antara 400 m hingga 1600 m dari permukaan laut. Di bagian selatan kawasan bergunung-gunung dengan puncak tertinggi adalah G. Cangak (1611 m) sedang bagian utara hingga timur laut merupakan pedataran rendah bergelombang. Beberapa sungai kecil mengalir di daerah ini membentuk satu sistem aliran. Sungai-sungai tersebut berhulu di kawasan pegunungan di bagian selatan. Sungai Cikaruncang yang mengalir di bagian barat bersatu dengan sungai Cileat yang mengalir di bagian timur, membentuk aliran sungai Cipunagara. Pemukiman penduduk bersifat mengelompok (clustered). Satu-satunya jalan raya yang terdapat di Cisalak menghubungkan Sumedang dengan Jalan Cagak, Subang.


Sungai Cikaruncang mengalir dari arah selatan ke utara memotong jalan raya. Sedikit ke arah hulu dari jalan raya terdapat beberapa lahan berupa gundukan namun sudah tidak begitu jelas dikenali. Beberapa gundukan tanah atau lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitar memang banyak dijumpai di sepanjang tepi kiri sungai Cigarunjang (penelusuran dari jalan raya menuju arah hulu sungai). Beberapa lahan ada yang sudah menjadi perkampungan. Gundukan tanah atau lahan yang lebih tinggi ini kebanyakan tidak beraturan. Beberapa lahan yang dicurigai sebagaimana yang dilaporkan Krom terdapat pada ujung Desa Gardusayang. Lokasi ini berada pada posisi 6o43’24” LS dan 107o45’57” BT.

Salah satu lahan berada di bagian paling ujung desa di sebelah barat daya jalan desa. Kondisi jalan lebih rendah dari lahan situs. Bagian puncak lahan merupakan tanah datar berdenah hampir persegi dengan luas sekitar 0,5 ha. Sisi lahan yang berhadapan langsung dengan jalan desa, sisi timur dan utara, setinggi sekitar 6 m. Sedang pada sisi barat laut dan barat daya setinggi sekitar 10 m. Pada sisi barat laut dan barat daya ini terdapat sungai kecil. Kondisi permukaan lahan tidak ditemukan artefak. Hal ini karena kondisi lahan dipenuhi rumput dan semak-semak. Sisi barat daya terlihat adanya jejak pelurusan lahan berbentuk parit sepanjang 109 m dengan lebar 6,70 m. Ketinggian dinding tebing (talud) berkisar antara 1,5 hingga 3 m. Lahan ini sekarang dimanfaatkan untuk makam umum.


Krom juga melaporkan bahwa di Desa Mayang, pada sebelah Barat Laut kaki Gunung Cagak terdapat lima undak-undakan bersegi empat beraturan serta lurus. Di atas tengah-tengah undakan yang ketiga masing-masing terdapat sebuah patung kecil dari batu, satu di antaranya tidak berkepala (Krom, 1915: 37). Lokasi yang disebutkan Krom, sekarang termasuk wilayah Desa Gardusayang. Informasi yang disampaikan Kepala Desa menyatakan bahwa di samping rumahnya pada sekitar tahun 1974 – 1975 pernah ditemukan batu semacam patung. Lokasi dimaksud berada di tepi sebelah barat daya jalan desa. Lokasi ini sekarang berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat, berada pada posisi 6o44’32” LS dan 107o45’8” BT.
Di lokasi ini terdapat empat batu monolit dengan ukuran bervariasi membentuk undakan. Masing-masing batu hampir berbentuk persegi. Dua batu yang berada di bagian paling utara (sebelah timur laut jalan) berukuran sekitar 2 X 2 m. Batu di bagian tengah (sebelah barat daya jalan) berukuran sekitar 3 X 3 m dengan tinggi 1,5 m. Batu ketiga merupakan batu terbesar dan tertinggi berukuran sekitar 5 X 5 m dengan tinggi sekitar 3 m. Menurut keterangan masyarakat dahulu di atas batu tersebut terdapat arca batu dan batu berbentuk seperti rumah kecil. Batu-batu tersebut kemudian dibawa ke Bandung. Sampai sekarang masyarakat menyebut deretan batu-batu besar itu batu candi.

Lereng gunungapi kuarter di wilayah Kabupaten Bandung berada di bagian utara kota. Di Bukitunggul dilaporkan pada puncaknya terdapat tembok tanah yang berbentuk undak-undakan persegi empat dengan teras lebih kecil yang mengelilinginya (Krom, 1915: 42). Di situs ini pernah ditemukan arca ganesha yang sekarang tersimpan di museum Sri Baduga, Bandung.



Arca Ganesha yang ditemukan di Bukittunggul, Kabupaten Bandung


Arca digambarkan dengan bentuk yang sangat sederhana dengan tinggi 37 cm. Kepala arca digambarkan dengan kesan kaku, telinga menyudut mengarah bentuk persegi. Mata berupa dua cekungan berbentuk bulat. Belalai menjuntai ke arah kiri sampai menyentuh tangan kiri. Belalai berbentuk pipih menempel pada perutnya yang buncit. Tangan berjumlah dua buah dengan atribut tangan kanan berupa tasbih (aksamala), sedangkan tangan kiri berada di lutut. Sikap duduk utkutikasana yaitu kaki terlipat dengan kedua telapak kaki saling bertemu. Bentuk kaki sangat kaku (bersudut). Penggambaran arca ganesha ini secara statis dan berkesan belum selesai dibuat (Widyastuti, 2004: 32 – 33).


Gunungapi kuarter di wilayah Kabupaten Sumedang antara lain adalah Gunung Tampomas. Peninggalan arkeologis yang terdapat di kawasan Gunung Tampomas pernah beberapa kali diteliti. Krom mencatat adanya tinggalan arkeologis berupa bangunan berundak dari batu-batu terdiri empat teras. Untuk mencapainya melalui sebuah tangga batu, dipuncaknya berdiri sebuah patung Ganesa, bekas kaki dan enam benda kecil antara lain sebuah berbentuk genta (kolotok) dan sebuah lagi berbentuk landasan (Krom, 1915: 65).


Lucas Partanda Koestoro pernah mengadakan penelitian deskriptif terhadap peninggalan di puncak Gunung Tampomas yang dikenal dengan sebutan Sanghiang Taraje. Uraian hasil penelitiannya menguraikan kondisi dan dimensi bangunan berundak. Beberapa objek penting yang dicatatnya adalah arca menhir dari batuan andesit di halaman pertama, batu tatapakan (umpak), batu ajeg (batu yang didirikan tegak), dan batu kasur yang terdapat di halaman ketiga (Koestoro, 1987: 38 – 39).

Di bawah situs Sanghiang Taraje terdapat lokasi yang disebut Puncak Manik. Di situs ini terdapat benda-benda arkeologis berupa arca ganesha, arca binatang, dan batu berbentuk tumpeng. Arca ganesha digambarkan secara sederhana. Arca binatang menggambarkan harimau dengan kuku yang tajam. Batu berbentuk tumpeng merupakan tiruan terbuat dari semen, batu yang asli dihancurkan. Selain itu juga terdapat objek yang oleh masyarakat disebut batu kasur (Yondri, 1998).



Kehidupan dan Religi Masyarakat

Beberapa objek arkeologi di kawasan lereng utara gunungapi kuarter zona Bandung ada yang berwatak sebagai situs profan ada pula yang berwatak situs sakral. Situs Patenggeng dan objek berupa lahan gundukan dikelilingi parit yang terdapat di Desa Gardusayang mempunyai kesamaan dengan beberapa situs benteng tanah di beberapa tempat di Jawa Barat.

Di Jawa Barat situs yang hampir sama dengan kedua situs situs tersebut misalnya situs Kampung Kuta di Desa Ciranjang, Cianjur (Widyastuti, 1998: 191 – 192). Kampung Kuta terletak pada lahan yang dibatasi oleh dua buah sungai, yaitu sungai Cisokan di sebelah barat dan Ciranjang di sebelah timur. Kedua sungai tersebut bertemu disebelah utara kampung. Kepurbakalaan yang terdapat di Kampung Kuta berupa kompleks makam dan benteng. Dengan adanya benteng ini maka terdapat satu lahan yang luasnya 3 hektar dibatasi oleh dua buah sungai dan benteng. Oleh masyarakat lokasi ini disebut Kuta Pinggan.


Kompleks makam terdiri dari empat bagian, masing-masing bagian dibatasi susunan batu. Bagian pertama merupakan bagian yang terendah mengelilingi tiga bagian yang lain. Di sebelah timur laut bagian pertama terdapat makam yang oleh penduduk setempat dikatakan sebagai makam juru kunci. Bagian kedua dari kompleks makam berada di sebelah barat daya makam juru kunci. Pada bagian ini terdapat sebuah batu besar. Bagian ketiga dari kompleks makam terdapat disebelah barat daya bagian kedua. Bagian ketiga merupakan bagian tertinggi, pada bagian ini tidak dijumpai adanya objek arkeologis. Pada bagian ini hanya terdapat sebatang pohon beringin.


Di sebelah barat daya bagian ketiga terdapat bagian keempat. Pada bagian keempat ini terdapat makam utama yang berupa makam panjang. Makam ini berorientasi ke arah tenggara – barat laut. Oleh penduduk dikatakan bahwa tokoh yang bersemayam di makam panjang adalah Ki Srangsangbentang. Di sebelah selatan dari kompleks makam berjarak sekitar 400 m terdapat benteng tanah. Tinggi benteng sekitar 7 m, panjang sekitar 300 m. Benteng ini membentang arah timur – barat dari tepi sungai Ciranjang hingga tepi Cisokan.


Selain di Ciranjang, situs sejenis ini adalah situs Karangkamulyan, di Kampung Karangkamulyan, Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis. Keadaan situs berupa hutan seluas sekitar 25,5 ha yang pada saat ini dijadikan objek wisata. Komplek situs berada pada pertemuan antara sungai Cimuntur dan Citanduy. Sungai Cimuntur mengalir di sebelah utara ke arah timur kemudian berbelok ke arah selatan bersatu dengan sungai Citanduy yang mengalir di sebelah selatan situs ke arah timur. Di sebelah barat komplek situs terdapat benteng tanah dan parit membentang arah utara selatan, menghubungkan sungai Citanduy dan Cimuntur. Di dalam areal situs terdapat beberapa objek arkeologi antara lain fragmen yoni yang oleh masyarakat disebut pangcalikan, beberapa batu datar dan batu berdiri, makam, mata air (Cikahuripan), dan sebaran fragmen artefak berupa keramik dan tembikar. Di situs ini pernah ditemukan arca ganesa, arca ini sekarang disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung (Saptono, 2002: 8 – 14).


Baik situs Kampung Kuta maupun situs Karangkamulyan merupakan situs pemukiman yang dilengkapi unsur bangunan sakral. Membandingkan situs Patenggeng dan Gardusayang dengan situs Kampung Kuta dan Karangkamulyan, menunjukkan bahwa situs Patenggeng dan Gardusayang memiliki ciri-ciri situs pemukiman. Dugaan ini hanya didasarkan adanya kesamaan pola dengan kedua situs di Jawa Barat. Penanggalan secara relatif situs Patenggeng diperkirakan sejak zaman prasejarah hingga sekitar abad ke-16.


Beberapa tinggalan yang bersifat sakral seperti arca nandi dari Kampung Selaawi, Sagalaherang, arca dari Desa Mayang, arca ganesha dan bangunan berundak di Bukitunggul, serta tinggalan yang ada di Gunung Tampomas memperlihatkan kuatnya latar agama Siva. Untuk keperluan pemujaan, kadang-kadang Siva digambarkan dalam bentuk lingga. Penggambarannya dalam bentuk lingga terkandung juga dua dewa yang lain yaitu Brahma dan Wisnu. Sebuah linga yang lengkap adalah terdiri tiga bagian yaitu bagian bawah berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga sebagai lambang Brahma, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnubhaga sebagai lambang Wisnu, dan bagian atas (puncak) disebut Sivabhaga sebagai lambang Siva (Rao, 1916: 79).


Pada suatu bangunan pemujaan, lingga merupakan bagian inti dari bangunan itu. Lingga dan yoni merupakan sentral pemujaan karena merupakan lambang dewa tertinggi Siva dengan saktinya. Di samping itu, adakalanya ditemukan pula penggambaran atau lambang dewa pengiringnya. Salah satu pengiring dewa Siva adalah Nandisvara atau juga disebut Nandikesvara. Penggambaranya ada beberapa macam variasi misalnya sebagai seekor sapi jantan, manusia berkepala sapi atau sebagai duplikat dari Siva. Jika digambarkan dalam bentuk manusia berkepala sapi dan sebagai duplikat Siva, disebut Adhikaranandin (Shukla, 1958: 283). Arca nandi di Selaawi mungkin merupakan kelengkapan bangunan pemujaan.


Ganesha yang ditemukan di Bukitunggul dan Gunung Tampomas juga menunjukkan pernah berkembangnya agama Siva. Ganesha dalam mitologi Hindu disebutkan sebagai anak Dewa Siva dengan Parwati. Tugas utama Ganesha menurut mitologi Hindu adalah sebagai penyingkir semua rintangan bagi orang-orang yang berbuat baik. Dengan tugas demikian maka orang menempatkan arca ganesha tidak hanya di bangunan suci, tetapi juga di tempat-tempat penting lainnya, seperti perempatan jalan dan di bawah pohon. Ganesha juga dianggap sebagai dewa kebijaksanaan.


Pada kasus yang terjadi di Bukitunggul dan Gunung Tampomas, yaitu ditempatkan pada bangunan berundak menunjukkan terjadi adanya sinkritisme dengan kepercayaan lama. Dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian terlihat bahwa religi yang berkembang di Kerajaan Sunda pada awalnya adalah Hindu (Siva). Dalam perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang (Sumadio, 1990: 391 – 392; Ayatrohaedi, 1982: 337 – 338).

Secara ikonografis, nandi yang terdapat di Kampung Selaawi menunjukkan lebih tua bila dibandingkan dengan arca ganesha Bukitunggul dan Gunung Tampomas. J.F.G. Brumund dan N.J. Krom pernah membahas arca-arca yang ditemukan di Jawa Barat. Beberapa arca yang ditemukan memperlihatkan penggambaran secara statis. Arca semacam ini sering disebut dengan istilah arca tipe Polinesia. Pengamatan Brumund terhadap arca tipe Polinesia menemukan beberapa arca mengandung ciri-ciri Hindu-Buddha. Terhadap arca semacam ini, Brumund memberi istilah arca tipe Pajajaran. Kajian Krom terhadap arca Polinesia salah satunya menyimpulkan bahwa arca Polinesia ada yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha tetapi disesuaikan dengan konsepsi baru (Mulia, 1980). Sejalan dengan keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian, arca Polinesia yang mengandung unsur Hindu-Buddha (tipe Pajajaran) merupakan arca yang lebih muda bila dibandingkan dengan arca yang mengikuti aturan ikonografi klasik.

Berkaitan dengan religi dan kehidupan masyarakat, terdapat kasus di Desa Mayang, yang menempatkan arca di atas monolit. Kasus semacam ini seperti yang terdapat di situs Batu Cupu, Desa Susukan, Kabupaten Kuningan. Tinggalan arkeologis di situs tersebut berupa yoni yang terdapat di atas batu. Lubang yoni ditutup semacam batu sungkup dalam keadaan pecah menjadi dua bagian. Batu tersebut berbentuk prisma berundak-undak terdiri 5 undakan. Pada keempat sisinya terdapat hiasan tonjolan berbentuk puncak gunungan (Kosasih, 1986: 32 – 33; Saptono, 1996: 75 – 76). Dilihat dari keletakannya yoni di situs Batu Cupu memperlihatkan sudah tidak in situ. Gejala yang terdapat di situs Batu Cupu dan situs Mayang menunjukkan adanya transformasi. Objek arkeologi yang ada – yoni di situs Batu Cupu dan patung batu di situs Mayang – mendapat perlakukan baru oleh masyarakat baru. Pensakralan terhadap tinggalan arkeologis oleh masyarakat pendukung yang baru telah mengalami penyimpangan.



Simpulan
Kehidupan masyarakat yang mendiami kawasan lereng utara gunungapi kuarter zona Bandung di Kabupaten Subang, Bandung, dan Sumedang pada masa klasik terrekonstruksi dari tinggalan arkeologis yang ada. Situs Patenggeng merupakan situs pemukiman yang memanfaatkan sungai sebagai benteng alam. Berdasarkan keramik asing yang ditemukan di situs Patenggeng dan membandingkannya dengan gaya ikonografis arca nandi di Sagalaherang, tampak berasal dari kurun waktu yang sama, yaitu klasik awal (sebelum Kerajaan Sunda). Kehidupan religi yang melandasi adalah agama Siva.

Situs Gardusayang juga merupakan situs pemukiman yang dikelilingi parit atau sungai. Mengingat masih sedikitnya data arkeologis yang ada maka sangat sulit untuk memperkirakan pertanggalannya. Secara kontekstual situs Gardusayang mungkin berkaitan dengan arca yang pernah ada di Desa Mayang. Situs Gardusayang kemungkinan dari akhir masa klasik atau masa Islam. Belum ditemukannya artefak di lokasi tersebut menjadikan simpulan ini masih bersifat sangat awal, sehingga perlu diperkuat dengan data yang lebih lengkap.

Dilihat dari aspek ikonografis, religi yang berkembang ketika itu sangat kuat dilatari agama Siva. Selain arca nandi di Sagalaherang, arca ganesha dari Bukitunggul dan Gunung Tampomas memperlihatkan hal itu. Arca ganesha baik yang di Bukitunggul maupun di Gunung Tampomas ditemukan berada pada bangunan berundak. Dari segi ikonografisnyapun arca tersebut terlihat ada pengaruh agama asli. Dengan mengacu pada naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian arca ganesha tersebut berasal dari masa klasik akhir di mana pengaruh kepercayaan asli muncul kembali.


Dengan membandingkan gaya ikonografis antara arca nandi Sagalaherang dengan arca ganesha Bukitunggul dan Gunung Tampomas terlihat adanya lintasan perkembangan religi di kawasan itu. Wilayah Sagalaherang menunjukkan masa paling tua, kemudian wilayah Bukitunggul dan termuda wilayah Gunung Tampomas. Lintasan perkembangan tersebut memperlihatkan pula bahwa kawasan lereng utara gunungapi kuarter zona Bandung merupakan kawasan yang tidak pernah terputus perkembangan peradabannya. Adanya jalan darat yang melintasi kawasan itu pada masa Kerajaan Sunda mungkin sudah ada sejak masa sebelum Kerajaan Sunda.


Salah satu unsur dalam tradisi masyarakat sekarang di kawasan itu adalah penempatan pengkeramatan sesuatu. Arca di atas monolit yang terdapat di Desa Mayang menunjukkan telah terjadi transformasi budaya berkaitan dengan pengkeramatan. Arca atau objek lainnya yang pernah dilaporkan berada di atas monolit mungkin berasal dari masa klasik. Namun benda tersebut kemudian diperlakukan dalam konteks religi oleh masyarakat baru yang bukan penciptanya. Karena dianggap keramat, objek yang disakralkan (arca dan batu berbentuk seperti rumah) itu diletakkan pada tempat yang dianggap keramat dalam hal ini batu besar.




Daftar Pustaka


Agus. 2005. “Penelitian Paleoekologi di Pasir Cabe dan Sekitarnya di Kabupaten Subang”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Hastaleleka. Bandung: Alqaprint. Hlm. 1 – 10.

Ayatrohaedi
. 1982. “Masyarakat Sunda Sebelum Islam”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeol¬ogi Nasional.

Cortesão, Armando.
1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.

Djajadiningrat, Hoesein.
1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan

Djubiantono, Tony
. 2003. “Penelitian Geo-arkeologi di Situs Patenggeng, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Mosaik Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 37 – 46.

Kosasih S.A, Nies Anggraeni, D.D. Bintarti
. 1986. “Survei di Daerah Kuningan Tahap I 1981”. Dalam Nies A. Subagus (et al.) Laporan Penelitian Arkeologi dan Geologi di Jawa Barat, Berita Penelitian Arkeologi No. 36. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Koestoro, Lucas Partanda. 1987. “Sanghiang Taraje, Tinggalan Tradisi Megalitik di Gunung Tampomas”. Dalam Berkala Arkeologi VIII (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Krom, N.J.
1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht & Co.

Mulia, Rumbi
. 1980. “Beberapa Catatan Tentang Arca-arca Yang Disebut Arca Tipe Polinesia”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 599 – 646.

Rao, Gopinatha T.A.
1916. Elements of Hindu Iconography Vol. II Part I. Madras: The Law Printing House.

Saptono, Nanang. 1996. “Situs-situs Religi di Daerah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung Nomor: 4/November/1996. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 67 – 86.

-----------, 2002. Karang Kamulyan a Historical Event and an Archaeological Site. Jakarta: Culture Developing Policy Program, Ministry of Culture and Tourism.


Shukla, D.N.
1958. Vastu Sastra Vol. II, Hindu Canons of Iconography & Painting. Gorakhpur: Gorakhpur University.

Sumadio, Bambang (ed.).
1990. “Jaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widyastuti, Endang.
1998. “Keruangan Situs Kampung Kuta”. Dalam Tony Djubiantono et al. (ed.), Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 191 – 196.

-----------, 2004. “Variasi Bentuk Ganesha dan Perkembangan Religi di Jawa Bagian Barat”. Dalam Kresno Yulianto (ed.), Tradisi, Makna, dan Budaya Materi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 28 – 39.


Yondri, Lutfi
1988 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Penanggulangan Kasus Kepurbakalaan di Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. (tidak diterbitkan).



Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku “Religi Dalam Dinamika Masyarakat”, hlm. 72 – 83. Editor Supratikno Rahardjo. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2005.

Label: