Akhir-akhir ini Jakarta
sering dilanda banjir. Musibah tersebut disinyalir sebagai akibat dalam
pengelolaan daerah resapan air di kawasan Puncak yang kurang memperhatikan
kearifan lingkungan. Untuk mengatasi dan mencegah terulangnya banjir di
Jakarta, Presiden Soeharto meminta seluruh pihak berupaya mengembalikan kawasan
Puncak ke fungsi semula. Pemerintah bahkan akan membongkar bangunan yang berada
di kawasan penyangga atau yang tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang.
Rencana usaha lainnya untuk menanggulangi banjir adalah akan dilakukan
pembuatan saluran (sodetan) yang menghubungkan sungai Ciliwung dengan sungai
Cisadane (Republika, 27 Februari 1996).
Pemerintah tampak serius menangani banjir di Jakarta.
Mengingat Jakarta selalu
dilanda banjir dan ditambah lagi juga sering dirundung kemacetan lalu-lintas
sebagai akibat perkembangan kota, maka boleh dikatakan Jakarta sudah tidak
mampu lagi memenuhi fungsinya sebagai kota nomor satu. Dengan demikian layak
apabila ibukota RI dipindahkan dari Jakarta. Demikian ini antara lain yang
dikemukakan oleh Prof. Ir. Johan Silas (Republika,
12 Mei 1986). Jakarta sebagai ibukota RI memang sedang dihadapkan persoalan
banjir, kemacetan lalu-lintas, serta persoalan lainnya. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa peristiwa masa lampau tentang permasalahan yang dihadapi
ibukota hingga mengharuskan untuk pindah.
zaman Mataram Kuna
Meskipun para pakar
perkotaan berpendapat bahwa pada zaman Mataram kuna belum dikenal adanya kota
sebagaimana mestinya, namun berdasarkan bukti arkeologis pada zaman itu sudah
ada suatu institusi berupa ibukota negara (kerajaan). Di Indonesia, kota baru
muncul pada zaman Majapahit yang bukti peninggalannya terdapat di Trowulan,
Mojokerto. Jauh sebelum zaman Majapahit, sejarah kuna tanah Jawa, menyebutkan
bahwa pada abad VIII telah berdiri kerajaan besar. Menurut berita Cina dari
dinasti T'ang yaitu Ch'iu-T'ang shu dan Hsing
T'ang shu di Jawa sekitar tahun 640 (abad VII) terdapat kerajaan bernama
Ho-ling yang beribukota di She-p’o-tch’eng. Entah karena sebab apa ibukota
tersebut dipindahkan ke P’o-lu-chia-sse. Tentang kerajaan ini, keterangan yang
dapat mengungkapkan seluk beluk kerajaannya masih sangat sedikit.
Prasasti Canggal (654 Ç)
yang berasal dari halaman percandian Gunung Wukir, Kecamatan Salam memberitakan
bahwa pada tanggal 6 Oktober 732 Raja Sanjaya telah mendirikan lingga di atas
bukit. Pendirian lingga dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Raja Sanjaya
atas musuh-musuhnya. Sebelum Raja Sanjaya berkuasa, yang bertahta ialah Raja
Sanna. Prasasti tersebut juga menceritakan bahwa pada masa pemerintahan Sanna,
negara dalam keadaan sejahtera. Sanna memerintah dalam waktu yang lama dan
menjunjung tinggi keadilan. Setelah Sanna wafat, dunia digambarkan seperti
kehilangan pelindung. Tindak kriminalitas terjadi di mana-mana. Akhirnya negara
terpecah-pecah. Sanjaya kemudian berhasil mengatasi keadaan dan pada tahun 717
mendirikan negara baru bernama Mataram dengan ibukotanya bernama Mdang yang
terletak di Poh Pitu. Di mana letak Poh Pitu itu hingga sekarang belum dapat
ditentukan.
Sanjaya suatu ketika
menderita sakit dan akhirnya meninggal dunia setelah menderita selama delapan
hari karena ingin mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Anaknya yang
bernama Rakai Panangkaran Dyah Sankhara Sri Sanggramadhananjaya yang kemudian
berkuasa, karena takut kepada Sang Guru yang dianggap salah, meninggalkan agama
Çiwa kemudian beralih ke agama Buddha Mahayana. Sebagai
raja yang berkuasa ia memindahkan pusat kerajaannya ke timur sekitar Bengawan
Sala.
Berpindahnya agama Rakai
Panangkaran sebagai anggota wangsa Sanjaya yang menganut agama Hindu ke agama
Budha nampaknya tidak diikuti oleh semua keluarga wangsa Sanjaya. Pada masa ini
muncul tokoh yang bernama Dapunta Sailendra yang beragama Budha. Tokoh ini
rupa-rupanya merupakan cikal bakal wangsa Sailendra. Pada masa-masa berikutnya
antara wangsa Sanjaya sebagai penganut agama Hindu dan wangsa Sailendra
penganut Buddha, bergantian memerintah di Mataram. Pada masa pemerintahan
Samarattungga terjadi perkawinan antar wangsa. Pramodhawardani anak
Samarattungga dari wangsa Sailendra kawin dengan Rakai Pikatan dari wangsa
Sanjaya. Pramodhawardani merupakan pewaris tahta kerajaan, karena perkawinan
tersebut akhirnya yang naik tahta adalah Rakai Pikatan. Menurut prasasti Çiwagrha (856 M), ibukota Mataram pada masa Rakai Pikatan
terletak di Mamratipura. Tampaknya pemindahan ibukota ini untuk menunjukkan
kekuasaannya. Sejarah Mataram di Jawa Tengah berakhir hingga masa pemerintahan
Wawa. Di Jawa Timur pada tahun 929 M muncul wangsa Isana yang didirikan oleh Pu
Sindhok. Pada masa Wawa di Jawa Tengah, Pu Sindhok bergelar Rakryan Mapatih i
Hino. Lenyapnya Mataram di Jawa Tengah yang disebabkan oleh sesuatu hal, kemudian dilanjutkan oleh Pu Sindhok di Jawa
Timur. Menurut prasasti Turyyan (851 Ç atau 929 M), kerajaan Mataram di Jawa
Timur berpusat di Tamwlang. Pusat kerajaan ini juga disebut Mdang i Watu Galuh.
zaman Sunda Kuna
Sejarah kuna Jawa Barat
pada abad ke-4 hingga ke-7 M telah mencatat adanya Kerajaan Tarumanagara.
Runtuhnya Tarumanagara kemudian digantikan oleh Kerajaan Sunda. Berita Portugis
dari Tomé Pires menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat bernama regño de çumda telah mengadakan hubungan
dagang dengan Portugis. Berita Cina dari dinasti Ming menyebut-nyebut kerajaan
Sun-la. Prasasti Kebon Kopi (854 Ç / 932 M), Bogor menyebut adanya ba(r) pulihkan haji sunda. Naskah kuna
Carita Parahyangan menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Sebagaimana kerajaan
yang lain, ibukota Kerajaan Sunda mengalami beberapa kali perpindahan, dimulai
dari Galuh dan berakhir di Pakwan Pajajaran.
Di
dalam Carita Parahyangan disebut nama
Sañjaya yang juga terdapat pada prasasti Canggal (732 M). Di dalam prasasti
tersebut, Sañjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama
Sanna. Antara Sañjaya dengan Sanna masih ada hubungan darah. Carita Parahyangan menghubungkan tokoh
Sañjaya dengan pusat Kerajaan Galuh, karena
di situ dikatakan bahwa Sëna, berkuasa di Galuh. Sañjaya juga disebut
sebagai menantu Raja Sunda yang bernama Tarusbawa. Karena perkawinan tersebut,
Sañjaya dapat berkuasa atas Kerajaan Sunda. Sejak itu Kerajaan Sunda berpusat
di Galuh yang terletak di sebelah barat Citarum.
Prasasti lebih muda yang
menyebut Kerajaan Sunda yaitu prasasti Sanghyang
Tapak berangka tahun 952 Ç atau 1030 M. Dalam prasasti ini disebut tokoh
yang bernama Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya
Sakalabhu-wanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Daerah
kekuasa-annya disebut Prahajyan Sunda.
Sri Jayabhupati, dalam naskah Carita Parahyangan dapat disejajarkan dengan Sang
Rakeyan Darmasiksa. Apabila hal ini benar, maka dapat diduga pada masa ini
pusat kerajaan terletak di Pakwan Pajajaran.
Entah pada masa
pemerintahan siapa, ibukota kerajaan pindah ke Kawali. Yang jelas, prasasti
Kawali menyebutkan pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu ibukota telah berada
di Kawali. Keterangan tentang ibukota kerajaan di Kawali juga terdapat di dalam
naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
yang berasal dari tahun 1518 M.
Dari prasasti Kebantenan
dapat diperoleh mengenai raja-raja pengganti Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal
Wastu Kañcana digantikan oleh Rahyang Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan
Susuhunan ayöna di Pakwan Pajajaran.
Pada prasasti Batutulis disebutkan bahwa Maharaja penguasa Pakwan Pajajaran
adalah cucu Niskala Wastu Kañcana, putra Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga
memuat tempat moksa (surup) Niskala
Wastu Kañcana yaitu di Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di Gunungtiga.
Carita Parahyangan juga menyebutkan bahwa Prabu Niskala Wastu Kañcana surup di nusalarang ring giri wanakusumah
sedangkan penggantinya, yaitu Rahyang Dewaniskala, nu surup di gunungtilu. Dalam Carita Parahyangan, nama Rahyang
Dewaniskala tidak disebutkan, hanya disebut Tohaan di Galuh. Dengan demikian melalui Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa sampai pada masa pemerintahannya,
pusat kerajaan Sunda masih terletak di Galuh, tepatnya di sekitar Kawali
sekarang.
Di depan sudah dijelaskan bahwa sepeninggal Wastu Kañcana, pemerintahan di Kerajaan Sunda
digantikan oleh Tohaan di Galuh atau
Ningrat Kañcana. Pada masa pemerintahannya ternyata tidak begitu banyak berita
yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian
digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti
Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan
ayöna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu
Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (yang membangun
parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa
pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan
Pajajaran. Sayang hingga sekarang keterangan akurat yang menjelaskan
sebab-sebab perpinaan ibukota tersebut belum diketahui. Namun demikian
sebagaimana zaman Mataram Kuna, ibukota zaman Sunda Kuna juga seringkali
mengalami perpindahan.
Pralaya
Peristiwa sejarah
Mataram dari masa Raja Sanjaya hingga Raja Pu Sindhok, terlihat sering
mengalami perpindahan pusat pemerintahan. Dari data sejarah dapat diketahui ada
tiga nama tempat sebagai ibukota Mataram yaitu Mdang ri Poh Pitu (jaman Sanjaya), Mdang ri Mamratipura (jaman Rakai Pikatan), dan Mdang
ri Watu Galuh (jaman Pu Sindhok). Sejarah kuna Sunda pun juga mencatat
adanya beberapa kali terjadi perpindahan ibukota sejak dari Galuh hingga di
Pakwan Pajajaran. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dikarenakan adanya pralaya (bencana). Sebab-sebab
terjadinya pralaya dapat karena
serangan musuh atau karena sebab lain. Sesuai dengan landasan kosmologis
kerajaan-kerajaan kuna, ibukota yang pernah mengalami pralaya akan kehilangan tuah. Akibatnya harus dibangun kembali
ibukota baru. Selain itu, munculnya penguasa (raja) baru juga sering ditandai
dengan pemindahan ibukota. Dalam kasus ini kemungkinan berlandaskan pada motif
kekuasaan.
Bila peristiwa sejarah
ini secara substansial, dikembalikan pada persoalan ibukota RI yaitu Jakarta,
mungkin dapat dijadikan pegangan. Pralaya yang dialami oleh kota masa lalu
diakibatkan oleh serangan musuh atau bencana alam. Bencana alam pada masa lalu
diartikan bencana sebagaimana
mestinya. Tetapi untuk persoalan sekarang “bencana” tersebut bisa diartikan
bermacam-macam. Banjir yang sering dialami Jakarta mungkin bisa dikatakan bukan bencana karena dengan kemajuan
teknologi dapat diatasi. Tetapi secara lebih mendasar yang dipentingkan bukan
bencananya, melainkan akibat dari bencana tersebut yaitu sudah tidak dapat
memenuhi fungsinya sebagai ibukota. Sebagaimana dikatakan Prof. Ir. Johan Silas
bahwa Jakarta dinilai sudah tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai kota nomor
satu, maka perlu ditandaskan lagi bahwa
membicarakan pemindahan ibukota bukan merupakan hal yang tabu. ***
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda