Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

26 Agustus, 2019

MEMPERSOALKAN PERPINDAHAN IBUKOTA


Oleh: 
Nanang Saptono




Catatan:
Tulisan ini saya susun pada Mei 1996. Ketika itu persoalan pemindahan ibukota sudah pernah digulirkan. Sehubungan dengan rencana pemindahan ibukota, tulisan yang sempat terbuang ini saya sajikan di sini tanpa ada perubahan.



Akhir-akhir ini Jakarta sering dilanda banjir. Musibah tersebut disinyalir sebagai akibat dalam pengelolaan daerah resapan air di kawasan Puncak yang kurang memperhatikan kearifan lingkungan. Untuk mengatasi dan mencegah terulangnya banjir di Jakarta, Presiden Soeharto meminta seluruh pihak berupaya mengembalikan kawasan Puncak ke fungsi semula. Pemerintah bahkan akan membongkar bangunan yang berada di kawasan penyangga atau yang tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang. Rencana usaha lainnya untuk menanggulangi banjir adalah akan dilakukan pembuatan saluran (sodetan) yang menghubungkan sungai Ciliwung dengan sungai Cisadane (Republika, 27 Februari 1996). Pemerintah tampak serius menangani banjir di Jakarta.
Mengingat Jakarta selalu dilanda banjir dan ditambah lagi juga sering dirundung kemacetan lalu-lintas sebagai akibat perkembangan kota, maka boleh dikatakan Jakarta sudah tidak mampu lagi memenuhi fungsinya sebagai kota nomor satu. Dengan demikian layak apabila ibukota RI dipindahkan dari Jakarta. Demikian ini antara lain yang dikemukakan oleh Prof. Ir. Johan Silas (Republika, 12 Mei 1986). Jakarta sebagai ibukota RI memang sedang dihadapkan persoalan banjir, kemacetan lalu-lintas, serta persoalan lainnya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa peristiwa masa lampau tentang permasalahan yang dihadapi ibukota hingga mengharuskan untuk pindah.

zaman Mataram Kuna

Meskipun para pakar perkotaan berpendapat bahwa pada zaman Mataram kuna belum dikenal adanya kota sebagaimana mestinya, namun berdasarkan bukti arkeologis pada zaman itu sudah ada suatu institusi berupa ibukota negara (kerajaan). Di Indonesia, kota baru muncul pada zaman Majapahit yang bukti peninggalannya terdapat di Trowulan, Mojokerto. Jauh sebelum zaman Majapahit, sejarah kuna tanah Jawa, menyebutkan bahwa pada abad VIII telah berdiri kerajaan besar. Menurut berita Cina dari dinasti T'ang yaitu  Ch'iu-T'ang shu dan Hsing T'ang shu di Jawa sekitar tahun 640 (abad VII) terdapat kerajaan bernama Ho-ling yang beribukota di She-p’o-tch’eng. Entah karena sebab apa ibukota tersebut dipindahkan ke P’o-lu-chia-sse. Tentang kerajaan ini, keterangan yang dapat mengungkapkan seluk beluk kerajaannya masih sangat sedikit.
Prasasti Canggal (654 Ç) yang berasal dari halaman percandian Gunung Wukir, Kecamatan Salam memberitakan bahwa pada tanggal 6 Oktober 732 Raja Sanjaya telah mendirikan lingga di atas bukit. Pendirian lingga dimaksudkan untuk memperingati kemenangan Raja Sanjaya atas musuh-musuhnya. Sebelum Raja Sanjaya berkuasa, yang bertahta ialah Raja Sanna. Prasasti tersebut juga menceritakan bahwa pada masa pemerintahan Sanna, negara dalam keadaan sejahtera. Sanna memerintah dalam waktu yang lama dan menjunjung tinggi keadilan. Setelah Sanna wafat, dunia digambarkan seperti kehilangan pelindung. Tindak kriminalitas terjadi di mana-mana. Akhirnya negara terpecah-pecah. Sanjaya kemudian berhasil mengatasi keadaan dan pada tahun 717 mendirikan negara baru bernama Mataram dengan ibukota­nya bernama Mdang yang terletak di Poh Pitu. Di mana letak Poh Pitu itu hingga sekarang belum dapat ditentukan.
Sanjaya suatu ketika menderita sakit dan akhirnya meninggal dunia setelah menderita selama delapan hari karena ingin mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya. Anaknya yang bernama Rakai Panangkaran Dyah Sankhara Sri Sanggra­madhananjaya yang kemudian berkuasa, karena takut kepada Sang Guru yang dianggap salah, meninggalkan agama Çiwa kemudian beralih ke agama Buddha Mahayana. Sebagai raja yang berkuasa ia memindahkan pusat kerajaannya ke timur sekitar Bengawan Sala.
Berpindahnya agama Rakai Panangkaran sebagai anggota wangsa San­jaya yang menganut agama Hindu ke agama Budha nampaknya tidak diikuti oleh semua keluarga wangsa Sanjaya. Pada masa ini muncul tokoh yang bernama Dapunta Sailendra yang beragama Budha. Tokoh ini rupa-rupanya merupakan cikal bakal wangsa Sailendra. Pada masa-masa berikutnya antara wangsa Sanjaya sebagai penganut agama Hindu dan wangsa Sailendra penganut Buddha, bergantian memerintah di Mataram. Pada masa pemerintahan Samarattungga terjadi perkawinan antar wangsa. Pramodhawardani anak Samarattungga dari wangsa Sailendra kawin dengan Rakai Pikatan dari wangsa Sanjaya. Pramod­hawardani merupakan pewaris tahta kerajaan, karena perkawinan tersebut akhirnya yang naik tahta adalah Rakai Pikatan. Menurut prasasti Çiwagrha (856 M), ibukota Mataram pada masa Rakai Pikatan terletak di Mamratipura. Tampaknya pemindahan ibukota ini untuk menunjukkan kekuasaannya. Sejarah Mataram di Jawa Tengah berakhir hingga masa pemerintahan Wawa. Di Jawa Timur pada tahun 929 M muncul wangsa Isana yang didirikan oleh Pu Sindhok. Pada masa Wawa di Jawa Tengah, Pu Sindhok bergelar Rakryan Mapatih i Hino. Lenyapnya Mataram di Jawa Tengah yang disebab­kan oleh sesuatu hal,  kemudian dilanjutkan oleh Pu Sindhok di Jawa Timur. Menurut prasasti Turyyan (851 Ç atau 929 M), kerajaan Mataram di Jawa Timur berpusat di Tamwlang. Pusat kerajaan ini juga disebut Mdang i Watu Galuh.

zaman Sunda Kuna

Sejarah kuna Jawa Barat pada abad ke-4 hingga ke-7 M telah mencatat adanya Kerajaan Tarumanagara. Runtuhnya Tarumanagara kemudian digantikan oleh Kerajaan Sunda. Berita Portugis dari Tomé Pires menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat bernama regño de çumda telah mengadakan hubungan dagang dengan Portugis. Berita Cina dari dinasti Ming menye­but-nyebut kerajaan Sun-la. Prasasti Kebon Kopi (854 Ç / 932 M), Bogor menyebut adanya ba(r) pulihkan haji sunda. Naskah kuna Carita Parahyangan menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Sebagaimana kerajaan yang lain, ibukota Kerajaan Sunda mengalami beberapa kali perpindahan, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakwan Pajajaran.
Di dalam Carita Parahyangan disebut nama Sañjaya yang juga terdapat pada prasasti Canggal (732 M). Di dalam prasasti tersebut, Sañjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna. Antara Sañjaya dengan Sanna masih ada hubun­gan darah. Carita Parahyangan menghubungkan tokoh Sañjaya dengan pusat Kerajaan Galuh, karena  di situ dikatakan bahwa Sëna, berkuasa di Galuh. Sañjaya juga disebut sebagai menantu Raja Sunda yang bernama Tarusbawa. Karena perkawinan tersebut, Sañjaya dapat berkuasa atas Kerajaan Sunda. Sejak itu Kerajaan Sunda berpusat di Galuh yang terletak di sebelah barat Citarum.
Prasasti lebih muda yang menyebut Kerajaan Sunda yaitu prasasti Sanghyang Tapak berangka tahun 952 Ç atau 1030 M. Dalam prasasti ini disebut tokoh yang bernama Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya Sakalabhu-wanamandaleswara­nindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Daerah kekuasa-annya disebut Prahajyan Sunda. Sri Jayabhupati, dalam naskah Carita Parahyangan dapat disejajarkan dengan Sang Rakeyan Darmasiksa. Apabila hal ini benar, maka dapat diduga pada masa ini pusat kerajaan terletak di Pakwan Pajajaran.
Entah pada masa pemerintahan siapa, ibukota kerajaan pindah ke Kawali. Yang jelas, prasasti Kawali menyebutkan pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu ibukota telah berada di Kawali. Keterangan tentang ibukota kerajaan di Kawali juga terdapat di dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang berasal dari tahun 1518 M.
Dari prasasti Kebantenan dapat diperoleh mengenai raja-raja pengganti Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal Wastu Kañcana digan­tikan oleh Rahyang Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan Susuhunan ayöna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis disebutkan bahwa Maharaja penguasa Pakwan Pajajaran adalah cucu Niskala Wastu Kañcana, putra Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga memuat tempat moksa (surup) Niskala Wastu Kañcana yaitu di Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di Gunungtiga.
Carita Parahyangan juga menyebutkan bahwa Prabu Niskala Wastu Kañcana surup di nusalarang ring giri wanakusumah sedangkan penggantinya, yaitu Rahyang Dewaniskala, nu surup di gunungtilu. Dalam Carita Parahyangan, nama Rahyang Dewaniskala tidak disebut­kan, hanya disebut Tohaan di Galuh. Dengan demikian melalui Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa sampai pada masa pemer­intahannya, pusat kerajaan Sunda masih terletak di Galuh, tepat­nya di sekitar Kawali sekarang.
Di depan sudah  dijelaskan bahwa sepeninggal  Wastu Kañcana, pemerintahan di Kerajaan Sunda digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana. Pada masa pemerintahannya ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayöna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Sayang hingga sekarang keterangan akurat yang menjelaskan sebab-sebab perpinaan ibukota tersebut belum diketahui. Namun demikian sebagaimana zaman Mataram Kuna, ibukota zaman Sunda Kuna juga seringkali mengalami perpindahan.
Pralaya

Peristiwa sejarah Mataram dari masa Raja Sanjaya hingga Raja Pu Sindhok, terlihat sering mengalami perpindahan pusat pemerinta­han. Dari data sejarah dapat diketahui ada tiga nama tempat sebagai ibukota Mataram yaitu Mdang ri Poh Pitu (jaman Sanjaya), Mdang ri Mamratipura (jaman Rakai Pikatan),  dan Mdang ri Watu Galuh (jaman Pu Sindhok). Sejarah kuna Sunda pun juga mencatat adanya beberapa kali terjadi perpindahan ibukota sejak dari Galuh hingga di Pakwan Pajajaran. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dikarenakan adanya pralaya (bencana). Sebab-sebab terjadinya pralaya dapat karena serangan musuh atau karena sebab lain. Sesuai dengan landasan kosmologis kerajaan-kerajaan kuna, ibukota yang pernah mengalami pralaya akan kehilangan tuah. Akibatnya harus dibangun kembali ibukota baru. Selain itu, munculnya penguasa (raja) baru juga sering ditandai dengan pemindahan ibukota. Dalam kasus ini kemungkinan berlandaskan pada motif kekuasaan.
Bila peristiwa sejarah ini secara substansial, dikembalikan pada persoalan ibukota RI yaitu Jakarta, mungkin dapat dijadikan pegangan. Pralaya yang dialami oleh kota masa lalu diakibatkan oleh serangan musuh atau bencana alam. Bencana alam pada masa lalu diartikan bencana sebagaimana mestinya. Tetapi untuk persoalan sekarang “bencana” tersebut bisa diartikan bermacam-macam. Banjir yang sering dialami Jakarta mungkin bisa dikatakan bukan bencana karena dengan kemajuan teknologi dapat diatasi. Tetapi secara lebih mendasar yang dipentingkan bukan bencananya, melainkan akibat dari bencana tersebut yaitu sudah tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai ibukota. Sebagaimana dikatakan Prof. Ir. Johan Silas bahwa Jakarta dinilai sudah tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai kota nomor satu, maka perlu ditandaskan lagi bahwa  membicarakan pemindahan ibukota bukan merupakan hal yang tabu. ***

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda