CANDI, BANJIR, DAN
TRAGEDY OF THE COMMONS
Oleh: Nanang Saptono
Bulan
Januari hingga pertengahan Februari merupakan puncak musim hujan
yang biasanya akan berlangsung hingga Maret. Karena
tingginya curah hujan, kawasan Bandung selatan dan beberapa kawasan lain di hulu
Citarum mengalami musibah banjir. Daerah seperti Kecamatan
Rancaekek, Tegalluar,
dan Bojongsoang walaupun berada di daerah ketinggian tidak luput dari genangan
banjir. Peristiwa
seperti ini selalu terulang dari tahun ke tahun. Ada yang mengatakan bahwa
daerah itu memang wilayah genangan, jadi wajar kalau selalu mendapat kiriman
banjir yang sebetulnya tidak layak untuk dihuni. Mungkin pernyataan ini benar
karena memang kenyataan setiap tahunnya seperti itu, tapi mungkin banyak yang tidak tahu kalau di kawasan itu dahulu pernah menjadi daerah
permukiman. Adanya runtuhan candi Bojongmenje dan Bojongmas merupakan bukti
kehadiran masyarakat yang bermukim di sana. Asumsinya, masyarakat tinggal di
sana karena kondisi geografisnya cocok untuk permukiman. Berdasarkan analisis
pertanggalan, hal itu terjadi pada sekitar abad ke-8 yang lalu. Sekarang di
abad ke-21 ini, keadaannya sudah jauh berbeda. Banjir tiap tahun menjadi
langganan masyarakat yang tinggal di situ. Mengapa musibah ini
selalu terjadi? Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Candi
Jauh sebelum kota Bandung berdiri, bahkan sebelum Kerajaan Sunda ada, di
Jawa Barat dikenal adanya Kerajaan Tarumanegara yang berpusat di sekitar pantai
utara Karawang. Masyarakat ketika itu mayoritas beragama Hindu. Pada sekitar
tahun 686 M, Sriwijaya menguasai wilayah Tarumanegara. Sejak Sriwijaya
berkuasa, agama Buddha berkembang. Masyarakat pemeluk Hindu yang tetap
mempertahankan kepercayaannya pindah ke pedalaman dan bermukim di kawasan timur
Danau Bandung Purba yang mulai mengering. Mereka mendirikan bangunan candi
sebagai tempat ibadah. Beberapa reruntuhan candi yang pernah ditemukan adalah
Candi Cangkuang di Garut, Candi Tenjolaya di sebelah utara Cicalengka, Candi
Bojongmenje di Rancaekek, dan Candi Bojongmas di Solokan Jaya, Bandung selatan.
Candi-candi tersebut umumnya berada di tepi sungai. Dalam
telaah ini dua candi yang perlu diperhatikan adalah Candi Bojongmenje dan
Bojongmas karena berada di wilayah hulu Citarum. Selain itu ada satu tinggalan
lagi yaitu yoni Tanggulun. Candi Bojongmenje yang ditemukan
pada 18 Agustus 2002 dan marak diberitakan pada sekitar bulan September 2002, berada
pada kelokan Ci Mande. Lokasi lahan berupa daerah yang menjorok (bojong) ke Ci Mande. Sungai ini berhulu di kawasan perbukitan yang berada di
sebelah timur laut Rancaekek. Aliran Ci Mande kemudian bertemu dengan Ci Tarik
dan kemudian masuk ke aliran Ci Tarum.
 |
Candi Bojongmenje |
Lokasi pada kelokan sungai tampaknya juga menjadi pilihan pada pendirian
candi Bojongmas. Tidak lama berselang setelah penemuan candi Bojongmenje,
masyarakat melaporkan bahwa di Bojongmas juga pernah ditemukan batu-batu yang
merupakan runtuhan bangunan candi. Batu-batu itu terangkat ketika dilakukan
proyek normalisasi Sungai Citarum. Sebelum aliran sungai diluruskan, lokasi
candi berada di sebelah barat sungai, sekarang berada di sisi utara sungai
baru. Ke arah hilir berjarak sekitar 2 km merupakan pertemuan antara Ci Tarik dengan
Ci Tarum, ke arah hilirnya lagi berjarak sekitar 200 m terdapat pertemuan antara Ci Keruh dengan Ci Tarum.
 |
Runtuhan Candi Bojongmas (dok. Balar Jabar, 2006) |
Yoni
Tanggulun berada di Kampung Talun Candi, Desa Tanggulun, Kecamatan Ibun. Lokasi
berada pada lahan pemakaman keluarga, sekitar 130 m sebelah timur pertemuan Ci
Gandok dengan Ci Tarum. Kondisi yoni mengalami sedikit pecah pada bagian sudut.
Jejak pecahannya sangat rapi, sehingga diperkirakan akibat dari aktivitas warga
menggali lubang kubur yang mengenai yoni tersebut. Yoni sekarang ini tersimpan
di sisi lahan pemakaman.
 |
Yoni Tanggulun |
 |
Mendengarkan cerita seputar Candi Tanggulun |
Baik candi
Bojongmenje, Bojongmas, maupun yoni Tanggulun merupakan tinggalan yang berlatarkan
agama Hindu. Ketiga objek ini berada di tepi sungai. Mengapa demikian? Robert von Heine Geldern pernah menelaah konsep kosmogoni kerajaan kuna di Asia Tenggara. Pada umumnya terdapat kepercayaan akan adanya keserasian
antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Konsep
kosmogoni ini didasarkan pada doktrin ajaran Brahma,
bahwa jagad merupakan benua berbentuk lingkaran yang disebut Jambudwipa. Di
tengah Jambudwipa berdiri kokoh Gunung Meru. Jambudwipa
dikelilingi tujuh samodera dan tujuh benua
lainnya. Di luar samodera terakhir terdapat
jajaran pegunungan. Gunung Meru atau kadang-kadang juga disebut Mahameru sebagai
pusat makrokosmos merupakan tempat bersemayamnya para dewa.
Dalam
dunia manusia (alam mikrokosmos) Gunung Meru diekspresikan dengan gunung,
bukit, atau sekedar lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitar. Raja atau
tokoh penting lain yang sudah meninggal dunia dianggap sudah memasuki alam
kedewaan. Sebagai tempat bersemayamnya dewa maka dibuatkanlah bangunan candi. Dengan
demikian bangunan candi juga merupakan lambang Gunung Meru. Agar sesuai dengan
konsep kosmogoni, maka bangunan candi didirikan dekat dengan aliran sungai yang
merupakan lambang samodera. Dalam konsep kosmogoni Hindu, candi dan sungai
merupakan unsur penting.
Sungai dan
objek lain yang berkaitan dengan air seperti mata air, danau, atau telaga dalam
religi Hindu merupakan unsur yang dianggap suci dan bisa mensucikan. Karena
sungai merupakan objek suci dan mensucikan maka suatu lahan yang berada di
dekat sungai atau dikelilingi sungai merupakan lahan suci. Dengan dilandasi
konsep seperti itu, masyarakat pada waktu itu secara sadar dan bersama-sama
selalu menjaga keberadaan sungai. Hal ini juga terjadi pada masyarakat
pendukung budaya candi Bojongmenje, Bojongmas, dan yoni Tanggulun pada waktu
itu.
Waktu
berjalan zaman pun berganti, pada sekitar awal abad ke-20 kawasan itu mengalami
perubahan total. Pemeliharaan dan penanganan sungai sesuai dengan konsep
kosmogoni Hindu sudah tidak dijalankan lagi. Kawasan yang sebelumnya mungkin
berupa hutan diubah menjadi kebun karet. Perubahan lahan ini sangat berdampak
pada terjadinya erosi walaupun secara perlahan. Sungai mengalami pendangkalan
dan penyempitan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat pada saat sekarang
ini menambah pesatnya penurunan kualitas lahan. Perubahan pandangan terhadap
sungai inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana.
Tragedy of the
commons
Sungai
dalam pandangan masyarakat sekarang difahami sebagai the commons, yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau
bukan milik siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk
memanfaatkan. Garrett Hardin, di dalam Jurnal
Science Vol. 162, Desember 1968 telah mengingatkan bahwa apabila masyarakat
salah dalam mengelola the commons
akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy
of the commons terjadi karena jumlah penduduk terus meningkat sementara
sumberdaya alam terbatas. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi
situasi di mana sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia.
Sementara itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam
secara tanpa batas. Mengakses dalam hal ini tidak hanya terbatas pada mengambil
dari sumberdaya alam yang ada, tetapi juga membuang ke lingkungan. Agar
kerusakan tidak terjadi, Hardin mengusulkan supaya the commons property
diubah menjadi private property atau state property sehingga ada institusi
yang dapat bertanggung jawab.
Kenyataan
yang dapat dilihat sekarang bahwa sungai dan seluruh unsur tangkapan air
seperti parit di kawasan hulu Ci Tarum merupakan sumberdaya alam yang diartikan
sebagai the commons property. Semua
orang bebas mengakses sumberdaya alam tersebut yang secara khusus diartikan
boleh membuang sampah ke parit atau sungai. Akibatnya banjir yang terjadi
sekarang banyak disebabkan karena sedimentasi sampah khususnya sampah rumah
tangga berupa plastik. Ci Tarum dan anak-anak sungainya di daerah hulu bagaikan
tempat sampah nan panjang. Kalau sudah begini, Dinas Pengairan dan Dinas
Kebersihan jadi tumpahan keluhan masyarakat yang terkena musibah.
Sesuai dengan
model yang dikemukakan Hardin, sungai di kawasan hulu Ci Tarum merupakan state property, artinya sungai tersebut merupakan
objek yang berada di bawah kontrol Dinas Pengairan. Beberapa kebijakan
diberlakukan dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai dan
lingkungannya seperti misalnya Perda K3. Meskipun perda diberlakukan,
kenyataannya kondisi sungai dan daerah tangkapan di hulu Citarum tetap memprihatinkan.
Apakah hal ini merupakan indikator kegagalan? Memang salah satu penyebab
terjadinya tragedy of the commons
adalah gagalnya negara (state) dalam
melindungi the commons. Benarkah
demikian?
Di
sinilah, model Hardin diuji. Pada beberapa kelompok masyarakat terdapat
sumberdaya alam yang tergolong sebagai the
commons ternyata bisa tetap berkualitas. Nelayan di Great Lake, Ontario,
Kanada selama bertahun-tahun tetap dapat menggantungkan kehidupannya pada ikan
di danau. Para peternak pastoral di gurun pasir Afrika tetap dapat berternak
walaupun padang penggembalaan sangat terbatas. Masyarakat Baduy tetap bisa
berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan dan banyak lagi contoh serupa.
Pengelolaan the commons menurut model
Hardin dengan cara privatisasi atau menjadikan milik negara ternyata bukan
merupakan jaminan kelangsungan sumberdaya alam. Beberapa contoh di depan
memperlihatkan bahwa banyak masyarakat yang secara kolektif mampu mengelola
sumberdaya alam. Terhadap model Hardin ini, D.W. Bromley memberi catatan bahwa
pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini the
commons property, harus berlandaskan pada konsep community based. Masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaan
sumberdaya alam yang ada.
Kalau
ditengok ke masa silam di kawasan hulu Ci Tarum yaitu sekitar 1200 tahun yang
lalu, sudah ada kelompok masyarakat yang bermukim. Candi Bojongmenje di
Rancaekek, Bojongmas di Tegalluar, dan yoni Tanggulun menunjukkan bahwa mereka nyaman tinggal di
situ. Masyarakat secara kolektif mengelola sumberdaya alam berupa sungai dan unsur
tangkapan air lainnya. Konsep kosmogoni yang dianut masyarakat pada waktu itu menjadikan
mereka secara bersama-sama secara sadar melindungi sungai. Bagaimana dengan
sekarang? Agar tidak terjadi tragedi, masyarakatlah yang harus mengelolanya
secara kolektif.
Banjir
adalah masalah air sehingga juga merupakan masalah sungai dan parit. Peninggian
jalan seperti yang dilakukan di beberapa ruas jalan di Bandung selatan, bukan
merupakan jalan keluar untuk jangka panjang. Demikian pula pengerukan sungai,
normalisasi sungai beserta anak-anak sungainya, serta penghijauan lahan di
kawasan hulu Citarum juga bukan merupakan solusi untuk jangka panjang. Dengan
keluarnya Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, persepsi dan sikap
masyarakat terhadap sungai dan parit juga harus dibenahi untuk mencegah banjir
datang kembali. Persepsi tentang sungai dan parit sebagai tempat sampah umum
harus diubah. Masyarakat harus diberi kesadaran untuk memahami bahwa sungai
merupakan sumberdaya alam pemberi kehidupan. Masyarakat yang tinggal di
perbukitan kawasan hulu boleh tidak merasakan banjir, tetapi dampak dari
musibah banjir tetap mereka rasakan.
Tindakan
mudah yang perlu dilakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan yang
akhirnya dapat menumpuk di sungai. Pembiasaan ini perlu diajarkan kepada anak-anak
tunas bangsa melalui pemberian contoh oleh generasi muda dan tua. Dengan
demikian secara serentak setiap elemen masyarakat ikut menjaga kualitas
sumberdaya alam. Semangat untuk menjaga parit dan sungai perlu dikobarkan.
Tumbuhkan sangsi sosial kepada anggota masyarakat yang melakukan tindakan
berdampak negatif terhadap sumberdaya alam sehingga timbul rasa kaisinan bila melakukannya. Pembangunan
fisik yang dilakukan pemerintah berupa normalisasi sungai, pengerukan sungai,
dan rehabilitasi lahan di kawasan hulu tidak akan ada artinya bila masyarakat
tidak mendukung dengan aktifitas pengelolaan sumberdaya alam. Dengan gerakan
seperti ini, musibah banjir akan hanya menjadi kenangan masa lalu bagi masyarakat
kini dan mendatang. (*)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda