Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

22 Agustus, 2019

Menuju Citarum Harum


CANDI, BANJIR, DAN TRAGEDY OF THE COMMONS

Oleh: Nanang Saptono


Bulan Januari hingga pertengahan Februari merupakan puncak musim hujan yang biasanya akan berlangsung hingga Maret. Karena tingginya curah hujan, kawasan Bandung selatan dan beberapa kawasan lain di hulu Citarum mengalami musibah banjir. Daerah seperti Kecamatan Rancaekek, Tegalluar, dan Bojongsoang walaupun berada di daerah ketinggian tidak luput dari genangan banjir. Peristiwa seperti ini selalu terulang dari tahun ke tahun. Ada yang mengatakan bahwa daerah itu memang wilayah genangan, jadi wajar kalau selalu mendapat kiriman banjir yang sebetulnya tidak layak untuk dihuni. Mungkin pernyataan ini benar karena memang kenyataan setiap tahunnya seperti itu, tapi mungkin banyak yang tidak tahu kalau di kawasan itu dahulu pernah menjadi daerah permukiman. Adanya runtuhan candi Bojongmenje dan Bojongmas merupakan bukti kehadiran masyarakat yang bermukim di sana. Asumsinya, masyarakat tinggal di sana karena kondisi geografisnya cocok untuk permukiman. Berdasarkan analisis pertanggalan, hal itu terjadi pada sekitar abad ke-8 yang lalu. Sekarang di abad ke-21 ini, keadaannya sudah jauh berbeda. Banjir tiap tahun menjadi langganan masyarakat yang tinggal di situ. Mengapa musibah ini selalu terjadi? Lalu bagaimana jalan keluarnya?  

Candi
Jauh sebelum kota Bandung berdiri, bahkan sebelum Kerajaan Sunda ada, di Jawa Barat dikenal adanya Kerajaan Tarumanegara yang berpusat di sekitar pantai utara Karawang. Masyarakat ketika itu mayoritas beragama Hindu. Pada sekitar tahun 686 M, Sriwijaya menguasai wilayah Tarumanegara. Sejak Sriwijaya berkuasa, agama Buddha berkembang. Masyarakat pemeluk Hindu yang tetap mempertahankan kepercayaannya pindah ke pedalaman dan bermukim di kawasan timur Danau Bandung Purba yang mulai mengering. Mereka mendirikan bangunan candi sebagai tempat ibadah. Beberapa reruntuhan candi yang pernah ditemukan adalah Candi Cangkuang di Garut, Candi Tenjolaya di sebelah utara Cicalengka, Candi Bojongmenje di Rancaekek, dan Candi Bojongmas di Solokan Jaya, Bandung selatan.
Candi-candi tersebut umumnya berada di tepi sungai. Dalam telaah ini dua candi yang perlu diperhatikan adalah Candi Bojongmenje dan Bojongmas karena berada di wilayah hulu Citarum. Selain itu ada satu tinggalan lagi yaitu yoni Tanggulun. Candi Bojongmenje yang ditemukan pada 18 Agustus 2002 dan marak diberitakan pada sekitar bulan September 2002, berada pada kelokan Ci Mande. Lokasi lahan berupa daerah yang menjorok (bojong) ke Ci Mande. Sungai ini berhulu di kawasan perbukitan yang berada di sebelah timur laut Rancaekek. Aliran Ci Mande kemudian bertemu dengan Ci Tarik dan kemudian masuk ke aliran Ci Tarum.

Candi Bojongmenje
  
Lokasi pada kelokan sungai tampaknya juga menjadi pilihan pada pendirian candi Bojongmas. Tidak lama berselang setelah penemuan candi Bojongmenje, masyarakat melaporkan bahwa di Bojongmas juga pernah ditemukan batu-batu yang merupakan runtuhan bangunan candi. Batu-batu itu terangkat ketika dilakukan proyek normalisasi Sungai Citarum. Sebelum aliran sungai diluruskan, lokasi candi berada di sebelah barat sungai, sekarang berada di sisi utara sungai baru. Ke arah hilir berjarak sekitar 2 km merupakan pertemuan antara Ci Tarik dengan Ci Tarum, ke arah hilirnya lagi berjarak sekitar 200 m terdapat pertemuan antara Ci Keruh dengan Ci Tarum. 

Runtuhan Candi Bojongmas (dok. Balar Jabar, 2006)

Yoni Tanggulun berada di Kampung Talun Candi, Desa Tanggulun, Kecamatan Ibun. Lokasi berada pada lahan pemakaman keluarga, sekitar 130 m sebelah timur pertemuan Ci Gandok dengan Ci Tarum. Kondisi yoni mengalami sedikit pecah pada bagian sudut. Jejak pecahannya sangat rapi, sehingga diperkirakan akibat dari aktivitas warga menggali lubang kubur yang mengenai yoni tersebut. Yoni sekarang ini tersimpan di sisi lahan pemakaman.

Yoni Tanggulun

Mendengarkan cerita seputar Candi Tanggulun

Baik candi Bojongmenje, Bojongmas, maupun yoni Tanggulun merupakan tinggalan yang berlatarkan agama Hindu. Ketiga objek ini berada di tepi sungai. Mengapa demikian? Robert von Heine Geldern pernah menelaah konsep kosmogoni kerajaan kuna di Asia Tenggara. Pada umumnya terdapat kepercayaan akan adanya keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos) dengan alam semesta (makrokosmos). Konsep kosmogoni ini didasarkan pada doktrin ajaran Brahma, bahwa jagad merupakan benua berbentuk lingkaran yang disebut Jambudwipa. Di tengah Jambudwipa berdiri kokoh Gunung Meru. Jambudwipa dikelilingi tujuh samodera dan tujuh benua lainnya. Di luar samodera terakhir terdapat jajaran pegunungan. Gunung Meru atau kadang-kadang juga disebut Mahameru sebagai pusat makrokosmos merupakan tempat bersemayamnya para dewa.
Dalam dunia manusia (alam mikrokosmos) Gunung Meru diekspresikan dengan gunung, bukit, atau sekedar lahan yang lebih tinggi dari daerah sekitar. Raja atau tokoh penting lain yang sudah meninggal dunia dianggap sudah memasuki alam kedewaan. Sebagai tempat bersemayamnya dewa maka dibuatkanlah bangunan candi. Dengan demikian bangunan candi juga merupakan lambang Gunung Meru. Agar sesuai dengan konsep kosmogoni, maka bangunan candi didirikan dekat dengan aliran sungai yang merupakan lambang samodera. Dalam konsep kosmogoni Hindu, candi dan sungai merupakan unsur penting.
Sungai dan objek lain yang berkaitan dengan air seperti mata air, danau, atau telaga dalam religi Hindu merupakan unsur yang dianggap suci dan bisa mensucikan. Karena sungai merupakan objek suci dan mensucikan maka suatu lahan yang berada di dekat sungai atau dikelilingi sungai merupakan lahan suci. Dengan dilandasi konsep seperti itu, masyarakat pada waktu itu secara sadar dan bersama-sama selalu menjaga keberadaan sungai. Hal ini juga terjadi pada masyarakat pendukung budaya candi Bojongmenje, Bojongmas, dan yoni Tanggulun pada waktu itu.
Waktu berjalan zaman pun berganti, pada sekitar awal abad ke-20 kawasan itu mengalami perubahan total. Pemeliharaan dan penanganan sungai sesuai dengan konsep kosmogoni Hindu sudah tidak dijalankan lagi. Kawasan yang sebelumnya mungkin berupa hutan diubah menjadi kebun karet. Perubahan lahan ini sangat berdampak pada terjadinya erosi walaupun secara perlahan. Sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat pada saat sekarang ini menambah pesatnya penurunan kualitas lahan. Perubahan pandangan terhadap sungai inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana.

Tragedy of the commons
Sungai dalam pandangan masyarakat sekarang difahami sebagai the commons, yaitu sesuatu yang dianggap milik semua orang atau bukan milik siapa-siapa sehingga setiap orang bebas mengakses untuk memanfaatkan. Garrett Hardin, di dalam Jurnal Science Vol. 162, Desember 1968 telah mengingatkan bahwa apabila masyarakat salah dalam mengelola the commons akibatnya akan terjadi suatu bencana besar. Tragedy of the commons terjadi karena jumlah penduduk terus meningkat sementara sumberdaya alam terbatas. Kondisi demikian ini pada gilirannya akan terjadi situasi di mana sumberdaya alam tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan manusia. Sementara itu, manusia terjebak pada konsep untuk mengakses sumberdaya alam secara tanpa batas. Mengakses dalam hal ini tidak hanya terbatas pada mengambil dari sumberdaya alam yang ada, tetapi juga membuang ke lingkungan. Agar kerusakan tidak terjadi, Hardin mengusulkan supaya the commons property diubah menjadi private property atau state property sehingga ada institusi yang dapat bertanggung jawab.
Kenyataan yang dapat dilihat sekarang bahwa sungai dan seluruh unsur tangkapan air seperti parit di kawasan hulu Ci Tarum merupakan sumberdaya alam yang diartikan sebagai the commons property. Semua orang bebas mengakses sumberdaya alam tersebut yang secara khusus diartikan boleh membuang sampah ke parit atau sungai. Akibatnya banjir yang terjadi sekarang banyak disebabkan karena sedimentasi sampah khususnya sampah rumah tangga berupa plastik. Ci Tarum dan anak-anak sungainya di daerah hulu bagaikan tempat sampah nan panjang. Kalau sudah begini, Dinas Pengairan dan Dinas Kebersihan jadi tumpahan keluhan masyarakat yang terkena musibah.
Sesuai dengan model yang dikemukakan Hardin, sungai di kawasan hulu Ci Tarum merupakan state property, artinya sungai tersebut merupakan objek yang berada di bawah kontrol Dinas Pengairan. Beberapa kebijakan diberlakukan dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai dan lingkungannya seperti misalnya Perda K3. Meskipun perda diberlakukan, kenyataannya kondisi sungai dan daerah tangkapan di hulu Citarum tetap memprihatinkan. Apakah hal ini merupakan indikator kegagalan? Memang salah satu penyebab terjadinya tragedy of the commons adalah gagalnya negara (state) dalam melindungi the commons. Benarkah demikian?
Di sinilah, model Hardin diuji. Pada beberapa kelompok masyarakat terdapat sumberdaya alam yang tergolong sebagai the commons ternyata bisa tetap berkualitas. Nelayan di Great Lake, Ontario, Kanada selama bertahun-tahun tetap dapat menggantungkan kehidupannya pada ikan di danau. Para peternak pastoral di gurun pasir Afrika tetap dapat berternak walaupun padang penggembalaan sangat terbatas. Masyarakat Baduy tetap bisa berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan dan banyak lagi contoh serupa. Pengelolaan the commons menurut model Hardin dengan cara privatisasi atau menjadikan milik negara ternyata bukan merupakan jaminan kelangsungan sumberdaya alam. Beberapa contoh di depan memperlihatkan bahwa banyak masyarakat yang secara kolektif mampu mengelola sumberdaya alam. Terhadap model Hardin ini, D.W. Bromley memberi catatan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini the commons property, harus berlandaskan pada konsep community based. Masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada.
Kalau ditengok ke masa silam di kawasan hulu Ci Tarum yaitu sekitar 1200 tahun yang lalu, sudah ada kelompok masyarakat yang bermukim. Candi Bojongmenje di Rancaekek, Bojongmas di Tegalluar, dan yoni Tanggulun menunjukkan bahwa mereka nyaman tinggal di situ. Masyarakat secara kolektif mengelola sumberdaya alam berupa sungai dan unsur tangkapan air lainnya. Konsep kosmogoni yang dianut masyarakat pada waktu itu menjadikan mereka secara bersama-sama secara sadar melindungi sungai. Bagaimana dengan sekarang? Agar tidak terjadi tragedi, masyarakatlah yang harus mengelolanya secara kolektif.
Banjir adalah masalah air sehingga juga merupakan masalah sungai dan parit. Peninggian jalan seperti yang dilakukan di beberapa ruas jalan di Bandung selatan, bukan merupakan jalan keluar untuk jangka panjang. Demikian pula pengerukan sungai, normalisasi sungai beserta anak-anak sungainya, serta penghijauan lahan di kawasan hulu Citarum juga bukan merupakan solusi untuk jangka panjang. Dengan keluarnya Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, persepsi dan sikap masyarakat terhadap sungai dan parit juga harus dibenahi untuk mencegah banjir datang kembali. Persepsi tentang sungai dan parit sebagai tempat sampah umum harus diubah. Masyarakat harus diberi kesadaran untuk memahami bahwa sungai merupakan sumberdaya alam pemberi kehidupan. Masyarakat yang tinggal di perbukitan kawasan hulu boleh tidak merasakan banjir, tetapi dampak dari musibah banjir tetap mereka rasakan.
Tindakan mudah yang perlu dilakukan adalah tidak membuang sampah sembarangan yang akhirnya dapat menumpuk di sungai. Pembiasaan ini perlu diajarkan kepada anak-anak tunas bangsa melalui pemberian contoh oleh generasi muda dan tua. Dengan demikian secara serentak setiap elemen masyarakat ikut menjaga kualitas sumberdaya alam. Semangat untuk menjaga parit dan sungai perlu dikobarkan. Tumbuhkan sangsi sosial kepada anggota masyarakat yang melakukan tindakan berdampak negatif terhadap sumberdaya alam sehingga timbul rasa kaisinan bila melakukannya. Pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah berupa normalisasi sungai, pengerukan sungai, dan rehabilitasi lahan di kawasan hulu tidak akan ada artinya bila masyarakat tidak mendukung dengan aktifitas pengelolaan sumberdaya alam. Dengan gerakan seperti ini, musibah banjir akan hanya menjadi kenangan masa lalu bagi masyarakat kini dan mendatang. (*)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda