H A J I
Nanang Saptono
Sari
Sebutan “Haji” bagi seseorang yang sudah melaksanakan
rukun Islam kelima, pada zaman Nabi Muhammad tidak dikenal. Pada masa awal
masuknya Islam di Indonesia, sebutan tersebut juga tidak dipakai. Pada beberapa
naskah kuna, seperti Kronika Pasai dan Sajarah Banten, mula-mula
gelar tersebut tidak dipakai bagi tokoh yang sudah melaksanakan ibadah haji.
Munculnya gelar “haji” mungkin merupakan gejala retradisionalisasi. Pada masa
pra-Islam, istilah haji sudah sering dipakai. Pada beberapa prasasti sebutan
ini sering dijumpai. Sebutan haji pada masa itu dipakai untuk hal-hal yang
bersifat terhormat. Gejala retradisionalisasi pada sebutan “haji”, dimaksudkan
untuk memberi penghormatan.
Abstract
Predicate “Haji” for someone has been pilgrim, at era
Muhammad prophet not to be familiar. At the early Islam in Indonesia, the
predicate “haji” was unknown. In the some old manuscript like Kronika
Pasai and Sajarah Banten, the title first not in used. Maybe the
title of “haji” is a re traditional phenomena. At the pre Islam the
title often in used. In some old inscription the title often in used too. The “haji”
terminology at the era pre Islam used for the respect.
*****
“Haji” adalah
salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dijalankan oleh kaum muslimin bila
sudah mampu melaksanakannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat
Ali Imran ayat 97 yang artinya: “Dan Allah mewajibkan atas manusia melakukan
haji ke Baitullah, bagi siapa yang kuasa perjalanannya. Dan siapa kafir tidak
mempercayai kewajiban haji maka Allah terkaya dan tidak berhajat pada sekalian
makhluk seisi alam.” Menurut hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a.
yang disampaikan oleh Muslim, dalam salah satu khutbah Nabi Muhammad berkata: “Hai
sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu berhaji, maka
berhajilah kamu...” (Bahreisy, 1987: 269 – 270).
Secara harfiah “haji” berarti menyengaja sesuatu, dalam
arti menyengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan beberapa amal ibadat dengan
syarat-syarat tertentu (Rasjid, 1992: 234). Beberapa amalan haji adalah ihram,
wuquf di Padang Arafah, thawaf, sa’i, dan tahalul (Rasjid, 1992: 239
– 243; Gibb, 1955: 57). Dalam pengertian sehari-hari, “haji” diartikan dalam
dua makna. Hal ini terlihat dari dua istilah yang sedikit berbeda dan juga
sedikit membingungkan, yaitu calon jamaah
haji dan jamaah calon haji.
Kedua istilah di atas, jelas berintikan pada istilah
“haji”. Pada istilah pertama, calon jamaah
haji, mengandung makna sesuatu yang akan menjadi jamaah haji. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata jamaah berarti kumpulan atau rombongan
orang beribadah, berjamaah berarti
bersama-sama misalnya dalam melaksanakan shalat. Sedangkan jamaah haji berarti rombongan yang menunaikan ibadah haji (ke
Mekah). Dengan demikian calon jamaah haji
dapat diartikan sekumpulan orang yang akan melaksanakan ibadah haji secara
bersama-sama. Ketika masih di tanah air atau ketika sedang berangkat dan
sebelum melaksanakan wajib dan rukun haji, masih dapat disebut calon jamaah
haji. Begitu sudah mulai melaksanakan wajib dan rukun haji maka disebut jamaah
haji.
Istilah kedua yaitu jamaah
calon haji. Sebutan calon haji di
sini dapat disetarakan dengan istiah calon
bupati, yaitu seseorang yang akan menjadi bupati. Sehingga istilah jamaah calon haji dapat diartikan
kumpulan atau rombongan orang yang akan menjadi haji. Dengan demikian terdapat
perbedaan pengertian makna “haji” pada kedua istilah tersebut.
KBBI memberi dua makna pada kata “haji”. Makna haji yang
pertama adalah rukun Islam yang kelima (kewajiban ibadah yang harus dilakukan
oleh orang Islam yang mampu dengan mengunjungi Kabah pada bulan Haji dan
mengerjakan amalan-amalan haji seperti ihram, tawwaf, sai, dan wukuf). Haji
juga diberi makna sebutan untuk orang yang sudah melakukan ziarah ke Mekah
untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Dalam makna tersebut haji merupakan
suatu gelar atau sebutan. Selanjutnya tulisan ini akan sedikit mengulas tentang
latar pemakaian gelar haji (termasuk hajah tentunya) terhadap kaum muslimin di
Indonesia, apakah hal tersebut merupakan suatu fenomena retradisionalisasi.
Haji
Pada Masa Awal Islam
Bila dirunut pada sejarah Islam, pada masa Rasulullah
gelar haji tidak dijumpai. Para sahabat Nabi Muhammad tidak ada yang bergelar
haji atau mempunyai sebutan haji di depan namanya. Abu Bakar, Ali bin Abu
Thalib, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan tidak pernah disebut sebagai
Haji Abu Bakar dan seterusnya. Begitu pula yang terjadi pada imam-imam besar
ahli hadits seperti Imam Bukhari, Muslim, Attirmidzi, Abu Dawud, dan sebagainya
tidak pernah disebut dengan Haji Imam Bukhari. Dapat dipastikan bahwa
beliau-beliau tersebut sudah melaksanakan ibadah haji bahkan tidak hanya sekali
dalam hayatnya.
Tokoh-tokoh penyebar Islam di Indonesia juga tidak ada
yang disebut dengan gelar haji. Di dalam Kronika
Pasai disebutkan bahwa islamisasi di Samodra Pasai dilakukan oleh tokoh
dari Mekah yang bernama Fakir Muhammad dan Syekh Ismail (Alfian, 1973: 23). Di
Jawa tokoh penyebar Islam juga banyak yang bergelar syekh seperti Syekh Maulana
Malik Ibrahim sesepuh walisanga, Syekh Siti Jenar tokoh penyebar Islam yang
kontroversial, Syekh Datuk Khapi penyebar Islam di Cirebon hingga Karawang. Dan
masih banyak lagi syekh-syekh penyebar Islam yang bersifat lokal.
Memang tokoh-tokoh tersebut boleh jadi belum melaksanakan
ibadah haji, namun dalam salah satu kepercayaan masyarakat, Ja’far Shadiq atau
Raden Ngundung yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus juga bergelar Amirul
Hajj karena pernah menjadi pemimpin rombongan jamah haji. Nama Sunan Kudus
diberikan karena bertempat tinggal dan menjadi imam di kota Kudus (Saksono,
1996: 43). Walaupun demikian Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq tidak pernah
disebut Haji Ja’far Shadiq.
Dengan demikian pada masa awal perkembangan Islam di
Indonesia, gelar haji belum dipakai bagi seorang muslim yang telah melaksanakan
ibadah haji. Untuk menelusuri sejak kapan gelar haji dilekatkan pada nama
seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji memang agak sulit. Dalam Sajarah Banten diceritakan bahwa Maulana
Hasanuddin sebelum menjadi Sultan Banten pada tahun 1450-an mengadakan
perjalanan ibadah haji bersama Sunan Gunungjati (Djajadiningrat, 1983: 34),
namun sekembalinya dari Mekah gelar haji tidak melekat pada namanya.
Gelar haji baru dapat dijumpai pada masa Sultan
Abdulkadir (tahun 1600-an). Ketika itu Sultan memerintahkan Lebe Panji,
Tisnajaya, dan Wangsaraja untuk pergi ke Mekah (haji) sekalian mencari
keterangan tentang isi kitab Markum, Muntahi, dan Wujudiyah kepada sultan di Mekah. Ketiga kitab tersebut berisi
tentang ajaran tasawuf yang menunjukkan bahwa Islam di Banten sudah sangat
tinggi ajaran filsafatnya. Sekembalinya dari Mekah, Sultan mendapat surat yang
berisi penjelasan tentang ketiga kitab yang ditanyakan. Selain itu Sultan
mendapat gelar Abulmafakhir Mahmud, sehingga sebutan sultan menjadi Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Tisnajaya kemudian diberi
nama Haji Jayasanta dan Wangsaraja diberi gelar Haji Wangsaraja (Djajadiningrat,
1983: 56), sedangkan Lebe Panji tidak diceritakan. Dilihat dari episode cerita
yang terdapat di dalam Sajarah Banten
di atas, dapat ditarik simpulan bahwa gelar haji diperoleh setelah para jamaah
haji tiba di Banten.
Pada episode selanjutnya juga terdapat cerita tentang
pelaksanaan ibadah haji. Dalam suasana duka atas mangkatnya Sultan Abulmafakhir
Mahmud Abdulkadir, Pangeran Ratu mengutus Santri Betot disertai tujuh pengikut
untuk berangkat ke Mekah. Maksud keberangkatannya untuk menyampaikan berita
atas mangkatnya Sultan kepada Sultan Mekah sekalian menunaikan ibadah haji.
Sekembalinya dari Mekah, Santri Betot membawa pesan dari Sultan Mekah, bahwa
Pangeran Ratu diberi gelar oleh Sultan Mekah dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfattah, sedangkan Santri
Betot mempunyai nama baru Haji Fatah (Djajadiningrat, 1983: 72).
Selanjutnya Sajarah Banten memuat
beberapa nama haji antara lain Haji Wangsaraja dan Ki Haji Abas. Dalam episode
ini terlihat bahwa gelar haji didapatkan di tanah suci (Mekah) setelah menunaikan
ibadah haji.
Dalam masyarakat sekarang terdapat suatu anggapan yang
dilandasi pada salah satu hadis bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji
seluruh dosanya akan diampuni Allah dan orang tersebut suci kembali bagaikan
bayi baru lahir. Dengan demikian orang merasa terlahir kembali dan akan memulai
hidup baru, oleh karena itu mendapat nama baru dengan gelar haji di depannya.
Asimilasi
Dalam Budaya Islam
Sekarang yang menjadi persoalan mengapa gelar haji sangat
populer dipakai oleh orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dalam kaitannya
dengan haji, diketahui bahwa Islam masuk di Indonesia mengalami proses
asimilasi. Unsur budaya yang sudah ada pada masyarakat Indonesia tidak
serta-merta digilas oleh Islam. Hal yang mudah dilihat bahwa bentuk arsitektur
masjid-masjid kuna di Indonesia, pada suatu daerah akan berbeda dengan daerah
lain. Bangunan masjid tetap mempertahankan gaya arsitektur lokal yang sudah
ada. Masjid kuna di Jawa gaya arsitekturnya akan berbeda dengan masjid kuna di
Aceh meskipun dua daerah tersebut merupakan yang mula-mula mendapat pengaruh
Islam. Di Jawa bahkan beberapa masjid kunanya masih dilengkapi pintu gerbang
yang bersifat Hinduistik.
Budaya Islam Indonesia yang toleranistik ini dalam
perkembangannya memunculkan beberapa fenomena retradisionalisasi. Hal yang
sangat mencolok misalnya praktik pemujaan kubur. Praktik pemujaan kubur ini
merupakan suatu distorsi anjuran ziarah. Dalam salah satu hadis disebutkan
bahwa “… maka ziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu
mengingatkan akhirat” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Ziarah kubur dalam ajaran Islam
dimaksudkan untuk mendoakan si mati agar mendapat ampunan dari Allah. Dengan
begitu si peziarah akan ingat bahwa dia kelak juga akan mati.
Yang terjadi dalam masyarakat, praktik ziarah kubur telah
mengalami pembalutan aktifitas pemujaan kubur. Kehidupan religi ini mendapat suatu reduksi dengan masa
pra-Islam. Makam atau kubur para tokoh terkenal (raja, wali, pemuka agama)
mendapat perlakuan tertentu dari sebagian masyarakat. Makam seperti berada
dalam konteks sistem perilaku, yaitu sebagai objek peziarahan. Akibatnya
terdapat sejumlah makam yang dikeramatkan dan secara keliru dijadikan media
meminta sesuatu (Ambary, 1991: 2-3). Pada hari-hari tertentu masyarakat mengadakan
upacara dengan membersihkan makam, menaburi bunga, memberi wewangian, serta
perlengkapan upacara lainnya. Pada saat ini terjalin kontak langsung dengan
sang tokoh. Masyarakat yang datang, meminta atau mohon ijin sesuatu. Mereka
memohon kepada Allah dengan perantara sesuatu (Sudewo, 1990: 118-121).
Pada hari-hari dan bulan-bulan tertentu, makam tokoh
banyak dikunjungi peziarah. Pada saat itu terjadi kontak batin antara peziarah
dengan si mati. Peziarah mohon izin untuk melaksanakan niat misalnya pernikahan,
bepergian, memulai usaha, atau mengadukan tekanan hidup dan kesulitan ekonomi.
Peziarah berharap mendapat jalan keluar dari arwah si mati. Ketika perjudian
masal dilegalkan misalnya lewat Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB),
banyak penjudi berharap mendapatkan nomor tebakan dengan berziarah ke kubur
tokoh yang dianggap sakti. Mereka berharap arwah sang tokoh memberikan nomor
jitu. Demikianlah, ziarah kubur banyak dibelokkan untuk niat yang lain. Hal ini
karena jauh sebelum Islam masuk, “ziarah” sudah dikenal masyarakat dalam bentuk
pemujaan kubur.
Meskipun berbeda secara materi dengan ziarah, sebelum
Islam datang, “haji” juga sudah dikenal masyarakat. Ketika itu haji tidak
berarti ibadah di tanah suci, melainkan untuk menyebut sesuatu yang dianggap
terhormat. Gelar haji muncul pada beberapa prasasti dari Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, serta Jawa Barat.
“Haji”
Dalam Beberapa Prasasti
Prasasti Gondosuli I (Prasasti Sang Hyang Wintang)
berbahasa Melayu Kuna, yang terdapat di Desa Gondosuli memberitakan bahwa Rakai
Patapan mendirikan candi yang disebut dengan istilah sang hyang haji (Sumadio,
1990: 114). Rakai adalah gelar bagi kepala wilayah watak, mungkin
setingkat dengan gubernur sekarang. Sayang prasasti ini tidak berangka tahun.
Menurut prasasti ini istilah haji untuk menyebut bangunan suci.
Prasasti Munduan (728 Ś) menyebutkan bahwa Rakai Patapan
yang bernama Pu Manuku menetapkan Haji Huma menjadi sima (Sumadio, 1990:
115). Haji di sini untuk menyebut nama daerah yang dijadikan tanah perdikan.
Selanjutnya dalam prasasti Panunggalan (818 Ś) menyebutkan bahwa Rakai
Watuhumalang bergelar haji (Sumadio, 1990: 135). Masih dari zaman Mataram,
prasasti Rukam menyebut istilah buñcang haji yang berarti kerja bakti
untuk pengelolaan kamulan atau bangunan suci (Sumadio, 1990: 141). Kerja
bakti untuk keperluan pengelolaan bangunan suci dianggap merupakan pekerjaan
suci dan sangat terhormat.
Dari masa yang lebih muda, misalnya Prasasti Pucangan (963 Ś) menyebutkan bahwa Dharmawangsa yang berkuasa (di Jawa
Timur) pada tahun 939 Ś mendapat serangan dari Haji Wura Wari yang merupakan
penguasa dari Lwaram (Sumadio, 1990: 171 – 175). Pada prasasti itu antara lain
disebutkan ... ri kalanin pralaya rin yawadwípa i rikan
sakakâla 939 ri prahara haji wura-wari masö mijil sanke lwarâm .... Baik di Jawa Tengah maupun Jawa
Timur, pada beberapa prasasti yang berkaitan dengan penetapan sima terdapat
daftar pejabat yang disebut Mangilala Drawya Haji. Para pejabat ini bertugas
untuk memungut pajak. Apabila suatu daerah ditetapkan sebagai sima, maka
Mangilala Drawya Haji dilarang melakukan aktifitas di daerah tersebut.
Di Jawa Barat, prasasti tertua dari kerajaan Sunda yaitu
prasasti Kebon Kopi berangka tahun 854 Ś menyebutkan ... bar pulihkan haji
sunda... Kalimat ini diartikan kembali berkuasanya raja Sunda yang oleh
para ahli ditafsirkan bahwa sebelumnya kerajaan Sunda di bawah kekuasaan
Sriwijaya (Sumadio, 1990: 356). Prasasti Sanghyang Tapak menyebutkan bahwa Sri
Jayabhupati adalah haji ri Sunda (Raja Sunda) dan daerah kekuasaannya
disebut Prahajyan Sunda (Sumadio, 1990: 360).
Bila ditelisik dari berbagai prasasti baik di Jawa
Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat istilah haji berkaitan dengan sesuatu
yang sangat dihormati (terhormat). Objek yang dihormati tersebut dapat berupa
wilayah, bangunan, jabatan, bahkan aktifitas misalnya buñcang haji yaitu kerja bakti untuk mengelola bangunan
suci.
Di sini terlihat bahwa pemberian gelar haji berkaitan
dengan penghormatan. Tampaknya hal ini merupakan suatu fenomena
retradisionalisasi. Istilah “haji” muncul kembali karena haji dalam Islam
sebagai ibadah yang pelaksanaannya ada persyaratan tertentu. Dengan demikian
orang yang sudah berhaji mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat.
Karena secara substansial sama, maka sebutan haji yang pernah ada jauh sebelum
Islam, muncul kembali.
“Haji”
Sebagai Ungkapan Penghormatan
Suatu ekspresi penghormatan dalam budaya
Islam di Indonesia, khususnya Jawa, kadang-kadang memang aneh. Misalnya gelar
“Kiai” yang ditujukan untuk menghormati orang yang banyak memahami ilmu agama,
ternyata juga diterapkan untuk menghormati kerbau bertuah di Kraton Kasunanan
Surakarta yaitu kerbau Kiai Slamet. Demikian juga keris, tumbak, dan gamelan
juga mendapat gelar kiai. Di daerah Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah pernah
dikenal tokoh kharismatik bernama Kiai Sadrach. Di Desa Karangjasa, Sadrah memperistri saudara sepupu Ki Pringgo, lurah
desa setempat. Status ini menempatkan Sadrach dalam posisi sosial kelas
terhormat. Sebagai orang yang dihormati Sadrach mendapatkan atribut di depan
namanya dengan panggilan “kiai”. Tokoh ini tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kegiatan syiar Islam, karena Sadrach adalah seorang penginjil (Guillot,
1985: 82; Prayoga, 1990: 58). Sebutan “kiai” di sini jelas-jelas mencerminkan
penghormatan dalam budaya Jawa tanpa memandang latar agamanya.
Akhir kata, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat,
tampak jelas diketahui bahwa gelar “haji” bukan merupakan sebutan yang harus
disandang bagi kaum muslim yang sudah melaksanakan rukun Islam kelima. Gelar
“haji” cenderung merupakan penghormatan kepada kaum muslim yang sudah
melaksanakan rukun Islam kelima.
Label: PIA 2002
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda