Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

06 Februari, 2017

Awal Mula Pemakaian Gelar



H A J I


Nanang Saptono


Sari

Sebutan “Haji” bagi seseorang yang sudah melaksanakan rukun Islam kelima, pada zaman Nabi Muhammad tidak dikenal. Pada masa awal masuknya Islam di Indonesia, sebutan tersebut juga tidak dipakai. Pada beberapa naskah kuna, seperti Kronika Pasai dan Sajarah Banten, mula-mula gelar tersebut tidak dipakai bagi tokoh yang sudah melaksanakan ibadah haji. Munculnya gelar “haji” mungkin merupakan gejala retradisionalisasi. Pada masa pra-Islam, istilah haji sudah sering dipakai. Pada beberapa prasasti sebutan ini sering dijumpai. Sebutan haji pada masa itu dipakai untuk hal-hal yang bersifat terhormat. Gejala retradisionalisasi pada sebutan “haji”, dimaksudkan untuk memberi penghormatan.

Abstract

Predicate “Haji” for someone has been pilgrim, at era Muhammad prophet not to be familiar. At the early Islam in Indonesia, the predicate “haji” was unknown. In the some old manuscript like Kronika Pasai and Sajarah Banten, the title first not in used. Maybe the title of “haji” is a re traditional phenomena. At the pre Islam the title often in used. In some old inscription the title often in used too. The “haji” terminology at the era pre Islam used for the respect.

*****

 “Haji” adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dijalankan oleh kaum muslimin bila sudah mampu melaksanakannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 97 yang artinya: “Dan Allah mewajibkan atas manusia melakukan haji ke Baitullah, bagi siapa yang kuasa perjalanannya. Dan siapa kafir tidak mempercayai kewajiban haji maka Allah terkaya dan tidak berhajat pada sekalian makhluk seisi alam.” Menurut hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a. yang disampaikan oleh Muslim, dalam salah satu khutbah Nabi Muhammad berkata: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kamu berhaji, maka berhajilah kamu...” (Bahreisy, 1987: 269 – 270).
Secara harfiah “haji” berarti menyengaja sesuatu, dalam arti menyengaja mengunjungi ka’bah untuk melakukan beberapa amal ibadat dengan syarat-syarat tertentu (Rasjid, 1992: 234). Beberapa amalan haji adalah ihram, wuquf di Padang Arafah, thawaf, sa’i, dan tahalul (Rasjid, 1992: 239 – 243; Gibb, 1955: 57). Dalam pengertian sehari-hari, “haji” diartikan dalam dua makna. Hal ini terlihat dari dua istilah yang sedikit berbeda dan juga sedikit membingungkan, yaitu calon jamaah haji dan jamaah calon haji.
Kedua istilah di atas, jelas berintikan pada istilah “haji”. Pada istilah pertama, calon jamaah haji, mengandung makna sesuatu yang akan menjadi jamaah haji. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata jamaah berarti kumpulan atau rombongan orang beribadah, berjamaah berarti bersama-sama misalnya dalam melaksanakan shalat. Sedangkan jamaah haji berarti rombongan yang menunaikan ibadah haji (ke Mekah). Dengan demikian calon jamaah haji dapat diartikan sekumpulan orang yang akan melaksanakan ibadah haji secara bersama-sama. Ketika masih di tanah air atau ketika sedang berangkat dan sebelum melaksanakan wajib dan rukun haji, masih dapat disebut calon jamaah haji. Begitu sudah mulai melaksanakan wajib dan rukun haji maka disebut jamaah haji.
Istilah kedua yaitu jamaah calon haji. Sebutan calon haji di sini dapat disetarakan dengan istiah calon bupati, yaitu seseorang yang akan menjadi bupati. Sehingga istilah jamaah calon haji dapat diartikan kumpulan atau rombongan orang yang akan menjadi haji. Dengan demikian terdapat perbedaan pengertian makna “haji” pada kedua istilah tersebut.
KBBI memberi dua makna pada kata “haji”. Makna haji yang pertama adalah rukun Islam yang kelima (kewajiban ibadah yang harus dilakukan oleh orang Islam yang mampu dengan mengunjungi Kabah pada bulan Haji dan mengerjakan amalan-amalan haji seperti ihram, tawwaf, sai, dan wukuf). Haji juga diberi makna sebutan untuk orang yang sudah melakukan ziarah ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Dalam makna tersebut haji merupakan suatu gelar atau sebutan. Selanjutnya tulisan ini akan sedikit mengulas tentang latar pemakaian gelar haji (termasuk hajah tentunya) terhadap kaum muslimin di Indonesia, apakah hal tersebut merupakan suatu fenomena retradisionalisasi.

Haji Pada Masa Awal Islam

Bila dirunut pada sejarah Islam, pada masa Rasulullah gelar haji tidak dijumpai. Para sahabat Nabi Muhammad tidak ada yang bergelar haji atau mempunyai sebutan haji di depan namanya. Abu Bakar, Ali bin Abu Thalib, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan tidak pernah disebut sebagai Haji Abu Bakar dan seterusnya. Begitu pula yang terjadi pada imam-imam besar ahli hadits seperti Imam Bukhari, Muslim, Attirmidzi, Abu Dawud, dan sebagainya tidak pernah disebut dengan Haji Imam Bukhari. Dapat dipastikan bahwa beliau-beliau tersebut sudah melaksanakan ibadah haji bahkan tidak hanya sekali dalam hayatnya.
Tokoh-tokoh penyebar Islam di Indonesia juga tidak ada yang disebut dengan gelar haji. Di dalam Kronika Pasai disebutkan bahwa islamisasi di Samodra Pasai dilakukan oleh tokoh dari Mekah yang bernama Fakir Muhammad dan Syekh Ismail (Alfian, 1973: 23). Di Jawa tokoh penyebar Islam juga banyak yang bergelar syekh seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim sesepuh walisanga, Syekh Siti Jenar tokoh penyebar Islam yang kontroversial, Syekh Datuk Khapi penyebar Islam di Cirebon hingga Karawang. Dan masih banyak lagi syekh-syekh penyebar Islam yang bersifat lokal.
Memang tokoh-tokoh tersebut boleh jadi belum melaksanakan ibadah haji, namun dalam salah satu kepercayaan masyarakat, Ja’far Shadiq atau Raden Ngundung yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus juga bergelar Amirul Hajj karena pernah menjadi pemimpin rombongan jamah haji. Nama Sunan Kudus diberikan karena bertempat tinggal dan menjadi imam di kota Kudus (Saksono, 1996: 43). Walaupun demikian Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq tidak pernah disebut Haji Ja’far Shadiq.
Dengan demikian pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia, gelar haji belum dipakai bagi seorang muslim yang telah melaksanakan ibadah haji. Untuk menelusuri sejak kapan gelar haji dilekatkan pada nama seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji memang agak sulit. Dalam Sajarah Banten diceritakan bahwa Maulana Hasanuddin sebelum menjadi Sultan Banten pada tahun 1450-an mengadakan perjalanan ibadah haji bersama Sunan Gunungjati (Djajadiningrat, 1983: 34), namun sekembalinya dari Mekah gelar haji tidak melekat pada namanya.
Gelar haji baru dapat dijumpai pada masa Sultan Abdulkadir (tahun 1600-an). Ketika itu Sultan memerintahkan Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja untuk pergi ke Mekah (haji) sekalian mencari keterangan tentang isi kitab Markum, Muntahi, dan Wujudiyah kepada sultan di Mekah. Ketiga kitab tersebut berisi tentang ajaran tasawuf yang menunjukkan bahwa Islam di Banten sudah sangat tinggi ajaran filsafatnya. Sekembalinya dari Mekah, Sultan mendapat surat yang berisi penjelasan tentang ketiga kitab yang ditanyakan. Selain itu Sultan mendapat gelar Abulmafakhir Mahmud, sehingga sebutan sultan menjadi Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Tisnajaya kemudian diberi nama Haji Jayasanta dan Wangsaraja diberi gelar Haji Wangsaraja (Djajadiningrat, 1983: 56), sedangkan Lebe Panji tidak diceritakan. Dilihat dari episode cerita yang terdapat di dalam Sajarah Banten di atas, dapat ditarik simpulan bahwa gelar haji diperoleh setelah para jamaah haji tiba di Banten.
Pada episode selanjutnya juga terdapat cerita tentang pelaksanaan ibadah haji. Dalam suasana duka atas mangkatnya Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, Pangeran Ratu mengutus Santri Betot disertai tujuh pengikut untuk berangkat ke Mekah. Maksud keberangkatannya untuk menyampaikan berita atas mangkatnya Sultan kepada Sultan Mekah sekalian menunaikan ibadah haji. Sekembalinya dari Mekah, Santri Betot membawa pesan dari Sultan Mekah, bahwa Pangeran Ratu diberi gelar oleh Sultan Mekah dengan sebutan Sultan Abulfath Abdulfattah, sedangkan Santri Betot mempunyai nama baru Haji Fatah (Djajadiningrat, 1983: 72). Selanjutnya Sajarah Banten memuat beberapa nama haji antara lain Haji Wangsaraja dan Ki Haji Abas. Dalam episode ini terlihat bahwa gelar haji didapatkan di tanah suci (Mekah) setelah menunaikan ibadah haji.
Dalam masyarakat sekarang terdapat suatu anggapan yang dilandasi pada salah satu hadis bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji seluruh dosanya akan diampuni Allah dan orang tersebut suci kembali bagaikan bayi baru lahir. Dengan demikian orang merasa terlahir kembali dan akan memulai hidup baru, oleh karena itu mendapat nama baru dengan gelar haji di depannya.

Asimilasi Dalam Budaya Islam

Sekarang yang menjadi persoalan mengapa gelar haji sangat populer dipakai oleh orang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dalam kaitannya dengan haji, diketahui bahwa Islam masuk di Indonesia mengalami proses asimilasi. Unsur budaya yang sudah ada pada masyarakat Indonesia tidak serta-merta digilas oleh Islam. Hal yang mudah dilihat bahwa bentuk arsitektur masjid-masjid kuna di Indonesia, pada suatu daerah akan berbeda dengan daerah lain. Bangunan masjid tetap mempertahankan gaya arsitektur lokal yang sudah ada. Masjid kuna di Jawa gaya arsitekturnya akan berbeda dengan masjid kuna di Aceh meskipun dua daerah tersebut merupakan yang mula-mula mendapat pengaruh Islam. Di Jawa bahkan beberapa masjid kunanya masih dilengkapi pintu gerbang yang bersifat Hinduistik.
Budaya Islam Indonesia yang toleranistik ini dalam perkembangannya memunculkan beberapa fenomena retradisionalisasi. Hal yang sangat mencolok misalnya praktik pemujaan kubur. Praktik pemujaan kubur ini merupakan suatu distorsi anjuran ziarah. Dalam salah satu hadis disebutkan bahwa maka ziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan akhirat” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Ziarah kubur dalam ajaran Islam dimaksudkan untuk mendoakan si mati agar mendapat ampunan dari Allah. Dengan begitu si peziarah akan ingat bahwa dia kelak juga akan mati.
Yang terjadi dalam masyarakat, praktik ziarah kubur telah mengalami pembalutan aktifitas pemujaan kubur. Kehidupan religi ini mendapat suatu reduksi dengan masa pra-Islam. Makam atau kubur para tokoh terkenal (raja, wali, pemuka agama) mendapat perlakuan tertentu dari sebagian masyarakat. Makam seperti berada dalam konteks sistem perilaku, yaitu sebagai objek peziarahan. Akibatnya terdapat sejumlah makam yang dikeramatkan dan secara keliru dijadikan media meminta sesuatu (Ambary, 1991: 2-3). Pada hari-hari tertentu masyarakat mengadakan upacara dengan membersihkan makam, menaburi bunga, memberi wewangian, serta perlengkapan upacara lainnya. Pada saat ini terjalin kontak langsung dengan sang tokoh. Masyarakat yang datang, meminta atau mohon ijin sesuatu. Mereka memohon kepada Allah dengan perantara sesuatu (Sudewo, 1990: 118-121).
Pada hari-hari dan bulan-bulan tertentu, makam tokoh banyak dikunjungi peziarah. Pada saat itu terjadi kontak batin antara peziarah dengan si mati. Peziarah mohon izin untuk melaksanakan niat misalnya pernikahan, bepergian, memulai usaha, atau mengadukan tekanan hidup dan kesulitan ekonomi. Peziarah berharap mendapat jalan keluar dari arwah si mati. Ketika perjudian masal dilegalkan misalnya lewat Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB), banyak penjudi berharap mendapatkan nomor tebakan dengan berziarah ke kubur tokoh yang dianggap sakti. Mereka berharap arwah sang tokoh memberikan nomor jitu. Demikianlah, ziarah kubur banyak dibelokkan untuk niat yang lain. Hal ini karena jauh sebelum Islam masuk, “ziarah” sudah dikenal masyarakat dalam bentuk pemujaan kubur.
Meskipun berbeda secara materi dengan ziarah, sebelum Islam datang, “haji” juga sudah dikenal masyarakat. Ketika itu haji tidak berarti ibadah di tanah suci, melainkan untuk menyebut sesuatu yang dianggap terhormat. Gelar haji muncul pada beberapa prasasti dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, serta Jawa Barat.

“Haji” Dalam Beberapa Prasasti

Prasasti Gondosuli I (Prasasti Sang Hyang Wintang) berbahasa Melayu Kuna, yang terdapat di Desa Gondosuli memberitakan bahwa Rakai Patapan mendirikan candi yang disebut dengan istilah sang hyang haji (Sumadio, 1990: 114). Rakai adalah gelar bagi kepala wilayah watak, mungkin setingkat dengan gubernur sekarang. Sayang prasasti ini tidak berangka tahun. Menurut prasasti ini istilah haji untuk menyebut bangunan suci.
Prasasti Munduan (728 Ś) menyebutkan bahwa Rakai Patapan yang bernama Pu Manuku menetapkan Haji Huma menjadi sima (Sumadio, 1990: 115). Haji di sini untuk menyebut nama daerah yang dijadikan tanah perdikan. Selanjutnya dalam prasasti Panunggalan (818 Ś) menyebutkan bahwa Rakai Watuhumalang bergelar haji (Sumadio, 1990: 135). Masih dari zaman Mataram, prasasti Rukam menyebut istilah buñcang haji yang berarti kerja bakti untuk pengelolaan kamulan atau bangunan suci (Sumadio, 1990: 141). Kerja bakti untuk keperluan pengelolaan bangunan suci dianggap merupakan pekerjaan suci dan sangat terhormat.
Dari masa yang lebih muda, misalnya Prasasti Pucangan (963 Ś) menyebutkan bahwa Dharmawangsa yang berkuasa (di Jawa Timur) pada tahun 939 Ś mendapat serangan dari Haji Wura Wari yang merupakan penguasa dari Lwaram (Sumadio, 1990: 171 – 175). Pada prasasti itu antara lain disebutkan ...  ri kalanin pralaya rin yawadwípa i rikan sakakâla 939 ri prahara haji wura-wari masö mijil sanke lwarâm .... Baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, pada beberapa prasasti yang berkaitan dengan penetapan sima terdapat daftar pejabat yang disebut Mangilala Drawya Haji. Para pejabat ini bertugas untuk memungut pajak. Apabila suatu daerah ditetapkan sebagai sima, maka Mangilala Drawya Haji dilarang melakukan aktifitas di daerah tersebut.
Di Jawa Barat, prasasti tertua dari kerajaan Sunda yaitu prasasti Kebon Kopi berangka tahun 854 Ś menyebutkan ... bar pulihkan haji sunda... Kalimat ini diartikan kembali berkuasanya raja Sunda yang oleh para ahli ditafsirkan bahwa sebelumnya kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Sriwijaya (Sumadio, 1990: 356). Prasasti Sanghyang Tapak menyebutkan bahwa Sri Jayabhupati adalah haji ri Sunda (Raja Sunda) dan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda (Sumadio, 1990: 360).
Bila ditelisik dari berbagai prasasti baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat istilah haji berkaitan dengan sesuatu yang sangat dihormati (terhormat). Objek yang dihormati tersebut dapat berupa wilayah, bangunan, jabatan, bahkan aktifitas misalnya buñcang haji  yaitu kerja bakti untuk mengelola bangunan suci.
Di sini terlihat bahwa pemberian gelar haji berkaitan dengan penghormatan. Tampaknya hal ini merupakan suatu fenomena retradisionalisasi. Istilah “haji” muncul kembali karena haji dalam Islam sebagai ibadah yang pelaksanaannya ada persyaratan tertentu. Dengan demikian orang yang sudah berhaji mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat. Karena secara substansial sama, maka sebutan haji yang pernah ada jauh sebelum Islam, muncul kembali.

“Haji” Sebagai Ungkapan Penghormatan

Suatu ekspresi penghormatan dalam budaya Islam di Indonesia, khususnya Jawa, kadang-kadang memang aneh. Misalnya gelar “Kiai” yang ditujukan untuk menghormati orang yang banyak memahami ilmu agama, ternyata juga diterapkan untuk menghormati kerbau bertuah di Kraton Kasunanan Surakarta yaitu kerbau Kiai Slamet. Demikian juga keris, tumbak, dan gamelan juga mendapat gelar kiai. Di daerah Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah pernah dikenal tokoh kharismatik bernama Kiai Sadrach. Di Desa Karangjasa, Sadrah  memperistri saudara sepupu Ki Pringgo, lurah desa setempat. Status ini menempatkan Sadrach dalam posisi sosial kelas terhormat. Sebagai orang yang dihormati Sadrach mendapatkan atribut di depan namanya dengan panggilan “kiai”. Tokoh ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kegiatan syiar Islam, karena Sadrach adalah seorang penginjil (Guillot, 1985: 82; Prayoga, 1990: 58). Sebutan “kiai” di sini jelas-jelas mencerminkan penghormatan dalam budaya Jawa tanpa memandang latar agamanya.
Akhir kata, tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, tampak jelas diketahui bahwa gelar “haji” bukan merupakan sebutan yang harus disandang bagi kaum muslim yang sudah melaksanakan rukun Islam kelima. Gelar “haji” cenderung merupakan penghormatan kepada kaum muslim yang sudah melaksanakan rukun Islam kelima.



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda