AKTIVITAS KEMARITIMAN MASA
KERAJAAN SUNDA
Nanang
Saptono
Balai
Arkeologi Jawa Barat
Jalan
Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623
Abstrak
Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan di Jawa Barat yang berlangsung pada kurun waktu abad ke-10 – 16.
Kondisi geomorfologis kawasan Kerajaan Sunda berada pada pegunungan dan
pedataran bergelombang. Kondisi seperti ini berpengaruh pada sistem mata
pencaharian masyarakat yaitu sebagai peladang. Kerajaan dengan latar agraris
(perladangan) biasanya tidak bisa bertahan lama. Permasalahan yang dibahas
dalam kajian ini adalah mengapa Kerajaan Sunda dapat bertahan lama. Dalam
mengupas permasalahan tersebut dilakukan kajian deskriptif. Data yang dipakai
untuk mengkaji berupa data dari sumber pustaka dan data hasil penelitian. Hasil
kajian menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan Kerajaan Sunda bisa bertahan
lama adalah adanya aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler. Aktivitas kemaritiman Kerajaan Sunda didukung oleh
adanya enam pelabuhan dagang di pesisir utara. Ketika pelabuhan dagang tidak
dapat memenuhi fungsi bagi Kerajaan Sunda karena perebutan kekuasaan oleh
masyarakat muslim dan karena faktor alamiah berupa pendangkalan, maka Kerajaan
Sunda mengalami kemunduran.
Kata
kunci: peladang, kemaritiman, perdagangan, perebutan,
kehancuran
Pendahuluan
Kerajaan Sunda merupakan salah
satu kerajaan di Jawa Barat yang berlangsung dari sekitar abad ke-10 hingga
abad ke-16. Berdasarkan beberapa sumber sejarah, Kerajaan Sunda merupakan
penerus Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh itu sendiri merupakan kelanjutan
kerajaan Kendan. Penguasa pertama kerajaan Galuh adalah Wretikandayun yang
diangkat menjadi raja Galuh menggantikan
ayahnya, Sang Kandiawan Rahiyangta ri Medangjati. Wretikandayun diangkat
menjadi raja pada 14 Suklapaksa bulan Caitra tahun 534 Saka atau 612 M, saat
berumur 21 tahun. Wretikandayun memilih pusat pemerintahannya di daerah yang
disebut Galuh. Ketika Wretikandayun naik tahta, Galuh masih berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. Penguasa Kerajaan Tarumanegara ketika
itu adalah Sri Maharaja Kretawarman (Iskandar,
1997, hal. 107 - 123).
Pada masa Kerajaan Tarumanegara,
pusat pemerintahan diperkirakan di kawasan pantai utara Jawa Barat.
Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tugu menyiratkan bahwa ibukota Kerajaan
Tarumanegara berada di sekitar Bekasi sekarang. Pada prasasti Tugu disebutkan
dua sungai yaitu Candrabhaga dan Gomati.
Pada tanggal 8 paro-petang bulan Phalguna dimulai penggalian sungai
Gomati yang mengalir di lahan tempat tinggal Sang Pendeta nenek Sang
Purnawarman. Melalui studi etimologi, Poerbatjaraka berpendapat bahwa
Candrabhaga sekarang dikenal dengan nama Bekasi yang diduga sebagai pusat
Kerajaan Tarumanegara (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a, hal.
52 - 53).
Dugaan ini juga diperkuat dengan
adanya beberapa
temuan arkeologis di kawasan Karawang – Bekasi. Temuan tersebut adalah Arca
Wisnu Cibuaya 1 dan 2 yang ditemukan di Cibuaya, Karawang; kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang berada
di pantai utara Karawang; dan kompleks situs Buni (Djafar, 2010; Poesponegoro & Notosusanto, 2009,
hal. 56).
Kompleks Buni berada di pantai utara Jawa Barat terbentang dari Jakarta hingga
Subang.
Pada masa akhir Kerajaan
Tarumanegara terjadi
penetrasi dari Sriwijaya melalui Lampung. Prasasti
Palas Pasemah yang ditemukan
di tepi Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung
oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut termuat catatan tentang bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada
Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti tersebut diduga berasal dari
abad ke-7 (Boechari, 1979, hal. 19 - 20). Keterangan tentang
bhûmi jawa juga terdapat di
dalam prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Ś yang ditemukan di Pulau
Bangka. Pembacaan
yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952) pada bagian akhir menyebutkan “..... Sriwijaya, kaliwat manapik yam bhumijawa
tida bhakti ka Sriwijaya” yang artinya bahwa Sriwijaya sangat berusaha menaklukkan
Bhumijawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Yang dimaksud dengan
Bhumijawa adalah Tarumanegara (Djafar, 2010, hal. 108). Pengaruh kuat Sriwijaya terhadap Tarumanegara tampak
pada bangunan-bangunan keagamaan Budhistis di kawasan Batujaya, Karawang. Berdasarkan
temuan arkeologis di kawasan Batujaya, percandian Batujaya dibangun dalam dua
masa. Pertama, masa Tarumanegara yang berlangsung pada abad ke-5 – 7 dan kedua
masa pengaruh Sriwjaya yang berlangsung pada abad ke-7 – 10 (Djafar, 2001, hal. 3 - 4). Sementara itu, di
pedalaman Jawa Barat ditemukan beberapa candi yang diperkirakan berasal dari
sekitar abad ke-7 – 8.
Kondisi demikian memberikan
petunjuk bahwa ketika Tarumanegara mendapat pengaruh kuat Budhis dari
Sriwijaya, masyarakat Hindu di pedalaman mengalami perkembangan. Pusat
peradaban Hindu di pedalaman terutama berada di sekitar lereng gunung api
kuarter zona Bandung. Beberapa bangunan (dan unsur bangunan) candi yang
terdapat di kawasan itu adalah Candi Cangkuang di Garut, Candi Bojongmenje dan
Bojongmas di Bandung, serta unsur bangunan candi di Tenjolaya, Bandung timur (Saptono, 2012, hal. 34). Selain itu di
kawasan bagian barat juga terdapat pusat-pusat peradaban Hindu. Pada abad ke-10
terdapat sumber sejarah yaitu Prasasti Kebon Kopi II berisi tentang pulihnya
kembali kedaulatan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebon Kopi II berbahasa Melayu
Kuna, hal ini sejalan dengan Prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah sehingga
menunjukkan bahwa Tarumanegara runtuh karena tekanan Sriwijaya. Selanjutnya
Sriwijaya menyerahkan kembali kekuasaan tanah Jawa (Bhumijawa) kepada penguasa
setempat yaitu Raja Sunda (Munandar, Fahrudin, Sujai, &
Rahayu, 2011, hal. 15).
Selama Kerajaan Sunda berdiri,
diketahui setidak-tidaknya mengalami empat kali perpindahan pusat kerajaan
yaitu di Galuh, Prahjjan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Secara geografis,
keempat pusat kerajaan tersebut berada di pedalaman. Matapencaharian masyarakat
Kerajaan Sunda cenderung sebagai peladang, walaupun dijumpai pula masyarakat
yang bermatapencaharian lainnya. Menurut Geertz (1976)
wilayah dengan ekosistem perladangan masyarakatnya akan memiliki kecenderungan
meniru mekanisme alamiah. Ekosistem tersebut tidak perlu membutuhkan
keterlibatan tenaga manusia dalam proses memperoleh produk. Hasil yang dipanen
dari usaha perladangan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat.
Pada aspek organisasi sosial, menurut Harris (1972) masyarakat peladang hanya
berupa kelompok kecil sebagai komunitas terpisah secara otonom dalam
pemukiman-pemukiman kecil yang terpencar. Sifat ekosistem perladangan seperti
itulah yang kiranya dapat menerangkan mengapa pusat-pusat pemerintahan
sebagaimana Tarumanegara tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo,
2007, hal. 115 - 116). Kelangsungan suatu Negara memerlukan pasokan surplus
barang. Biasanya kerajaan dengan pola agraris akan susah mempertahankan
kelangsungannya. Dalam kenyataannya, Kerajaan Sunda dapat bertahan lama.
Apabila berlandaskan pada teori tersebut, terdapat permasalahan yang perlu
dibahas yaitu mengapa
Kerajaan Sunda dapat bertahan lama.
Masyarakat
Kerajaan Sunda
Kondisi
geomorfologis Kerajaan Sunda berupa pedataran bergelombang yang memberikan
kecenderungan pada masyarakat dengan pola matapencaharian sebagai peladang.
Interaksi antara manusia dengan lingkungannya dapat mempengaruhi budayanya. Para
penganut environmental determinism
berpendapat bahwa kebudayaan manusia dibentuk oleh kondisi lingkungan tempat
tinggalnya. Sementara itu penganut environmental
possibilism berpendapat bahwa faktor lingkungan tidak serta merta membentuk
budaya masyarakat tetapi membatasi kebudayaan (Iskandar J. , 2009, hal. 43 - 46). Demikian halnya
dengan masyarakat Kerajaan Sunda yang hidup di lingkungan dengan geomorfologi
pebukitan dan pegunungan. Antara kondisi lingkungan dengan budaya masyarakat
terjadi saling pengaruh. Lahan pebukitan menjadikan masyarakat Sunda dekat
dengan kehidupan berladang. Meskipun demikian tidak berarti tidak ada aktivitas
lain di luar berladang.
Kegiatan
masyarakat Sunda yang berhubungan dengan bercocok tanam terlihat pada beberapa
naskah. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yaitu salah satu naskah yang
menggambarkan kehidupan masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-16 di antaranya
berisi mengenai pedoman moral untuk kehidupan bermasyarakat, termasuk berbagai
ilmu yang harus dikuasai untuk bekal kehidupan. Di dalam naskah tersebut
diuraikan mengenai berbagai profesi yang dilakukan oleh masyarakat Sunda pada
waktu itu, diantaranya yaitu pangalasan,
peladang, panyadap, panyawah, penangkap ikan, juru selam, dan lain-lain (Danasasmita,
1987, hal. 103).
Prasasti
masa Kerajaan Sunda yang berdasarkan keletakannya dapat dikaitkan dengan aktivitas
masyarakat pada waktu itu yaitu prasasti Sanghyang Tapak II, prasasti Kawali,
prasasti Batu Tulis, dan prasasti Huludayeuh. Ketiga prasasti tersebut
keletakannya memperlihatkan pada ekosistem yang berbeda. Lokasi-lokasi di mana
prasasti itu ditemukan, meskipun tidak berada pada tepian sungai besar namun
tetap memberikan alternatif dalam bercocok tanam yaitu sebagai ekosistem
perladangan dan persawahan. Dengan demikian terlihat bahwa masyarakat Sunda
sudah mengenal rekayasa bercocok tanam yang sesuai dengan lingkungan
masing-masing di mana mereka bertempat tinggal (Saptono, 2013, hal. 14). Walaupun sawah juga
sudah dikenal namun ladang merupakan sistem pertanian yang banyak dijumpai.
Bukti
mengenai kegiatan perladangan ini dapat dilihat dalam naskah. Salah satu naskah
yang menyinggung mengenai hal ini adalah naskah Carita Parahyangan. Dalam naskah Carita Parahyangan dijumpai istilah-istilah yang menunjukkan
pekerjaan di ladang. Naskah ini menyebutkan lahirnya lima orang titisan Panca Kusika, yaitu Sang Mangukuhan, Sang
Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandajun.
“...
Sang Mangukuhan njieun
maneh pa(ng)huma, Sang
Karungkalah njieun maneh panggerek, Sang Katu(ng)maralah njieun maneh panjadap, Sang Sandanggreba
njieun maneh padagang” (Atja, 1968, hal. 17)
Terjemahannya
:
“...
Sang Mangukuhan menjadi tukang ngahuma
(peladang), Sang Karungkalah menjadi tukang berburu (pemburu), Sang Katungmaralah
menjadi tukang sadap (pembuat gula merah dari nira enau), Sang Sandanggreba
menjadi pedagang”.
Kutipan
ini menunjukkan, bahwa ngahuma,
berburu, dan nyadap adalah jenis-jenis pekerjaan di ladang. Selain dalam naskah
Carita Parahyangan, naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian juga
menyinggung mengenai kegiatan perladangan. Dalam naskah tersebut disinggung
beberapa peralatan yang digunakan untuk bekerja di ladang, seperti kujang, patik, kored, baliung, dan sadap (Poesponegoro & Notosusanto, 2009, hal. 387 -
418; Danasasmita, 1987, hal. 108). Selain itu dalam
naskah Sanghyang Siksakandang Karesian
juga diuraikan mengenai rumusan kriteria kesejahteraan masyarakat (Danasasmita,
1987, hal. 73).
Kriteria kesejahteraan masyarakat menurut naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian adalah sebagai berikut:
... Ini pakeun urang
ngretakuen bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir,
caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma
kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras ...
Terjemahannya
:
...
Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur
tanaman, cukup sandang, bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila
berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus,
sadapan terpelihara, lama hidup, selalu sehat ...) (Danasasmita, 1987, hal. 94).
Berdasarkan
uraian dalam naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian terlihat bahwa kehidupan masyarakat Sunda bertumpu
pada kegiatan pertanian ladang. Masyarakat Sunda digolongkan sebagai sejahtera
bila tercukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Meskipun pola pertanian
ladang merupakan sumber utama kegiatan produksi pertanian, namun kegiatan
pertanian yang berupa persawahan juga sudah dikenal. Dalam naskah, baik Carita Parahyangan maupun Sanghyang Siksakandang Karesian
masing-masing hanya menyebut sedikit sekali tentang panyawah ini. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa kegiatan
persawahan tidak begitu populer di kalangan masyarakat Kerajaan Sunda.
Salah
satu cerita pantun yang menceritakan tentang kegiatan bertani huma adalah
cerita pantun Lutung Kasarung yang
dianggap suci (Ekadjati, 2005, hal. 148 - 149). Dalam cerita pantun
tersebut diterangkan mengenai cara-cara berladang yang baik dan benar serta
cara berladang yang buruk dan salah. Menurut cerita pantun tersebut cara
berladang yang baik harus memperhatikan pergantian musim. Penggarapan ladang
sebaiknya dimulai dan diakhiri pada musim kemarau. Sedangkan penanaman benih
dan sampai selesai pemeliharaan tanaman dilaksanakan selama musim penghujan.
Dalam naskah pantun tersebut juga diuraikan mengenai tatacara pembukaan hutan
untuk dijadikan ladang, pembuatan pupuk, cara pemanfaatan lahan, cara
membersihkan dan menjaga ladang, tatacara memanen, dan upacara yang berhubungan
dengan pemujaan kepada Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci Sanghiyang Sri (Ekadjati, 1995, hal. 364 - 365). Berdasarkan
keterangan dari berbagai sumber tersebut, masyarakat Sunda pada umumnya
merupakan masyarakat peladang. Kerajaan Sunda dapat digolongkan dalam kerajaan
yang menyandarkan hidupnya pada pertanian. Bentuk pertanian yang berlangsung di
Kerajaan Sunda terutama adalah perladangan (Poesponegoro & Notosusanto, 2009, hal. 417).
Sistem
organisasi sosial masyarakat peladang biasanya merupakan kelompok masyarakat
sederhana (tribe) yang pemukimannya
terpisah dan terpencar. Pada pemukiman masyarakat yang terpencar akan menentang
munculnya wewenang terpusat. Sifat ekosistem perladangan seperti itulah yang menyebabkan
pusat-pusat pemerintahan dan kerajaan yang mengandalkan ekonomi perladangan
sebagai tulang punggung tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo, 2007, hal. 116). Dalam kenyataannya
Kerajaan Sunda dapat berkembang dan berlangsung lama karena di samping
berlandaskan pada ekonomi perladangan juga sudah menjalankan aktivitas
kemaritiman.
Aktivitas Kemaritiman dan Kelangsungan
Kerajaan Sunda
Kemaritiman
dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut. Lebih spesifik
lagi, segala sesuatu itu adalah perdagangan dan pelayaran. Salah satu petunjuk
mengenai adanya aktivitas perdagangan di Kerajaan Sunda adalah adanya petugas pangurang dasa calagra yaitu petugas
pemungut pajak di pelabuhan (Poesponegoro
& Notosusanto, 2009, hal. 416). Aktivitas
kemaritiman Kerajaan Sunda dalam bentuk perdagangan dan pelayaran tidak hanya
bersifat lokal (insuler) tetapi sudah
mencapai perdagangan regional dan internasional (interinsuler). Dalam menunjang
perdagangan insuler dan interinsuler ini Kerajaan Sunda
mempunyai beberapa kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa bagian
barat. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai melakukan perdagangan dengan
masyarakat pedalaman. Masyarakat pesisir juga sudah melakukan hubungan dagang
dengan masyarakat luar. Kapal-kapal niaga luar negeri terutama dari Cina banyak
melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Sunda.
Sementara itu pedagang dalamnegeri melakukan pelayaran dagang hingga ke Malaka.
Untuk mencapai Malaka digunakan lanchara
kargo berdaya angkut 150 ton. Di Kerajaan Sunda terdapat lebih dari 6 jung dan lanchara-lanchara dengan tiang berbentuk
bangau dan dilengkapi anak tangga sehingga mudah dikemudikan.
Selain kota-kota yang berada di pesisir, menurut
catatan de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan
Bantam (Djajadiningrat, 1983, hal. 83). Selain de Barros, Tomé
Pires juga memberitakan bahwa Çumda
mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam,
Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cotesao, 1967, hal. 166). Keterangan
antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau
Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya
dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros
disebutnya Xacatra atau Caravam (Saptono, 1998, hal. 241).
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan
masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967, hal. 170 - 173). Bantam merupakan pelabuhan besar
terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga
Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain
beras dan lada. Pomdam juga merupakan
pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang
dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar.
Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas,
Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa
beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus.
Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat
penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas
yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue,
Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan
Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano
merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh
di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga
seluruh Jawa.
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah
lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per
tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan
buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal. Kerajaan
Sunda selain menyediakan barang-barang komoditas juga menyediakan tenaga kerja
(budak yang diperjual-belikan) baik pria maupun wanita. Ketersediaan tenaga
kerja ini selain dari lokal juga dipasok dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan
dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas
perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak
dengan 8 mate, yaitu semacam goresan
atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao,
1967, hal. 172).
Hubungan
dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut
pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di
pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan. Berlangsungnya
perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di
Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta
tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak
yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob,
1992).
Hubungan
antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan
raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke
pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan
jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan
Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan
Cibarusah. Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang
kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di
Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke
arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari
Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau
Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke
Rangkasbitung dan berakhir di Banten. Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke
arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan
menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana
transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari
luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan
di pesisir (Poesponegoro
& Notosusanto, 2009, hal. 420).
Berdasarkan
beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan
kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara
teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat
berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu
antara abad ke-10 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata
didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler.
Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu
terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran.
Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur,
daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas.
Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran.
Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau
Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di
Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue,
dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan
Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa
lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.
Kerajaan
Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai peladang sangat bergantung pada
aktivitas kemaritiman untuk kelangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan
dagang sangat vital. Pelabuhan bukan
sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu
sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta
terlindung dari angin dan arus yang kuat. Tempat ideal untuk pelabuhan adalah
muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai
penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara
pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat
mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro
& Notosusanto, 2009 a, hal. 141). Pelabuhan sebagai
kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai
faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia,
dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi,
1995, hal. 87).
Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran
pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran. Dalam perkembangannya
ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya
sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada tahun 1775 – 1778 di Jawa Barat
hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale,
1995, hal. 193).
Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang
umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan. Salah satu contoh misalnya yang
terjadi pada pelabuhan Cheguide. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis berpotensi
munculnya ancaman orang-orang Islam di pesisir terhadap Kerajaan Sunda. Pada
1512 Kerajaan Sunda menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf &
Pigeaud, 1985, hal. 146 - 147).
Ketika itu Jayadewata mengirim
utusan yang dipimpin Ratu Samiam meminta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque.
Sebagai balasan pada ahun 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi
gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé
untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah
Samiam (Poesponegoro & Notosusanto, 2009, hal. 394).
Perjanjian berlangsung pada tanggal
21 Agustus 1522. Isi perjanjian pada intinya raja Sunda memberikan ijin kepada
Portugis untuk membangun benteng. Raja akan menyediakan lada sebanyak-banyaknya
sebagai penukar barang-barang yang diperlukan. Sebagai pernyataan persahabatan
raja Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap tahun sejak Portugis
membangun benteng (Djajadiningrat, 1983, hal. 79 - 80). Dalam perjanjian
itu pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan Raja Sunda didampingi oleh
tiga orang menteri yaitu Mandari Tadam,
Tamungo Sague de Pate, dan Bengar.
Menurut Guillot, perjanjian antara Leme dan pihak Raja Sunda dilakukan di Banten
dan selanjutnya pihak Portugis akan mendirikan benteng di Cidigy atau Cheguide.
Lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran dapat ditentukan terletak di
antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane.
Akhirnya Guillot menarik hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan padrao sebagai tanda lokasi akan
dibangunnya benteng berada di muara Ci Sadane, tepi Kali Kramat sekarang.
Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa
menuju Sunda, armadanya terserang badai. Duarto Coelho salah seorang kapten
armada tersebut berhasil sampai di pelabuhan tetapi kapalnya tengelam di situ.
Semua pasukannya diserang oleh orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya
telah merebut kota itu dari Samiam (Guillot, 1992; Saptono, 1998,
hal. 246 - 248).
Perebutan kekuasaan selain terjadi di
Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan
Islam. Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan
pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda
satu persatu jatuh ke tangan pasukan Islam, sehingga raja hanya dapat bertahan
di pedalaman (Poesponegoro
& Notosusanto, 2009, hal. 395).
Selain karena perebutan kekuasaan, tidak
berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah
pelabuhan Chemanuk (Indramayu). Pengkajian terhadap sedimentasi yang terjadi di
sekitar Ci Manuk, khususnya daerah delta, sudah pernah dilakukan oleh beberapa
ahli misalnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (PPPGL, 2016). Ci Manuk
merupakan gabungan dari anak-anak sungai yang lebih kecil, yaitu Ci Lutung, Ci
Pelas dan Ci Keruh. Ketiga anak sungai Ci Manuk tersebut mengalir pada
daerah-daerah endapan volkanik muda berumur Kuarter. Debit air Ci Manuk
mencapai 1200 m3/detik di kala musim hujan, yaitu pada bulan Oktober
hingga Maret. Pada musim kering debit sungai ini hanya mencapai 5 m3/detik.
Dengan debit sungai yang sedemikian besar, di kala musim hujan, mengakibatkan
alur sungai yang ada tidak mampu menampung jumlah air sungai, air akan meluap
keluar menggenangi lingkungan sekitar. Dalam situasi tersebut kecepatan aliran
air luapan (banjir) Ci Manuk akan mengalami penurunan karena terhambat oleh
berbagai pematang-pematang, arus dan gelombang laut.
Kadar lumpur
air Ci Manuk tergolong tinggi yaitu rata-rata 2.850 mg/liter, sementara kadar
maksimum adalah 8.840 mg/liter, karena memiliki kadar lumpur yang cukup tinggi
maka pertumbuhan daratan baru (akrasi)
di kawasan muara berlangsung dengan kecepatan kurang lebih 200 meter/tahun. Dua
faktor penting yang mempengaruhi dinamika alur Ci Manuk yaitu perubahan yang
drastis debit sungai dan kandungan lumpur yang cukup tinggi. Ci Lutung sebagai
salah satu anak sungai Ci Manuk juga mempunyai arti penting, sungai ini juga
memiliki kadar lumpur lebih dari 2.850 mg/liter. Dari kandungan lumpur yang
demikian tinggi tersebut ditambah dengan kandungan lumpur Ci Manuk dapat
mencapai 27 juta ton/tahun. Akibatnya kawasan muara Ci Manuk akan mengalami
proses pendangkalan (akrasi) yang
sangat luas dan cepat. Material sedimen terangkut aliran Ci Manuk memiliki
beragam ukuran butir, gosong pasir terkadang terbentuk pada tengah alur sungai
(mid stream bar) yang terdiri dari
pasir ukuran sedang. Pembentukan gosong pasir tersebut dapat menghambat dan
menyumbat aliran alur-alur sungai mengakibatkan proses pengendapan tidak
seimbang antara satu alur dengan alur-alur lainnya. Pendangkalan yang sangat intens menyebabkan pelabuhan Indramayu tidak
dapat berfungsi.
Simpulan
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan di Jawa Barat yang eksis berdiri pada
kurun abad ke-10 hingga ke-16. Kerajaan Sunda dapat dikatakan sebagai pengganti
Kerajaan Tarumanegara. Pusat pemerintahan Kerajaan Sunda berpindah-pindah yang
semuanya berada di pedalaman yaitu di sekitar Ciamis dan Bogor. Sesuai dengan
kondisi geomorfologi wilayahnya, pola mata pencaharian masyarakat Sunda
mayoritas sebagai peladang. Sebagai masyarakat peladang, pemukimannya cenderung
berupa pemukiman kecil (tribe) yang
berpindah-pindah. Suatu kerajaan dengan pola semacam ini akan sulit berkembang
dan bertahan. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda dapat bertahan hingga sekitar
600 tahun. Hal ini ternyata ditunjang aktivitas kemaritiman.
Dalam menjalankan aktivitas kemaritiman, Kerajaan Sunda didukung oleh
adanya enam pelabuhan dagang di sepanjang pantai utara Pulau Jawa bagian barat.
Dengan adanya pelabuhan tersebut, terjadi hubungan dagang secara insuler dan interinsuler. Perdagangan insuler
terjadi antara kawasan pedalaman dengan pesisir dan antar kota pelabuhan di
Pulau Jawa. Hubungan dagang antara kawasan pesisir dengan pedalaman ditunjang
oleh adanya jaringan jalan yang menghubungkan antara pusat pemerintahan dengan
beberapa permukiman baik di pedalaman maupun di pesisir. Perdagangan
interinsuler terjalin dengan beberapa daerah di Sumatera, Sulawesi, Malaka,
Maladewa, dan Cina. Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada, beras,
dan bahan makanan. Barang komoditas dari luar antara lain tekstil, akar-akaran,
dan tenaga kerja (budak). Perebutan kota-kota pelabuhan yang dilakukan oleh
masyarakat muslim di pesisir menjadikan pusat kerajaan terisolir. Kemunduran
fungsi kota pelabuhan juga disebabkan faktor alam berupa pendangkalan. Dengan semakin
terbatasnya aktivitas kemaritiman yang dilakukan Kerajaan Sunda menjadikan
mengalami keruntuhan.
Daftar Pustaka
Atja. (1968). Tjarita Parahijangan Naskah Titilar Karuhun
Urang Sunda Abad ke-16 Masehi. Bandung: Jajasan Kebudajaan Nusalarang.
Boechari. (1979). An Old Malay Inscription of Srivijaya at
Palas Pasemah (South Lampong). Praseminar Penelitian Sriwijaya (hal. 19
- 42). Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Cotesao, A. (1967). The Suma Oiental of Tome Pires.
Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Danasasmita, S. (1987). Sewaka Darma, Sanghyang
Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan.
Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Budaya Sunda (Sundanologi)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djafar, H. (2001). Percandian di Situs Batujaya, Karawang:
Kajian Arsitektural, Kronologi, dan Sistemnya. Semiloka Potensi dan Prospek
Situs Percandian Batujaya Karawang, Jawa barat. Depok: Universitas
Indonesia.
Djafar, H. (2010). Kompleks Percandian Batujaya.
Bandung: Kiblat.
Djajadiningrat, H. (1983). Tinjauan Kritis Tentang Sajarah
Banten. Jakarta: Djambatan.
Ekadjati, E. S. (1995). Carita Pantun Lutung Kasarung:
Eksistensi, Fungsi, dan Pandangan Msyarakat Sunda Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam Kirana. Jakarta: Intermasa.
Ekadjati, E. S. (2005). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran.
Bandung: Pustaka Jaya.
Graaf, H.J. de, & Pigeaud, T. (1985). Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafitipers.
Guillot, C. (1992). Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara
Portugis dan Sunda Tahun 1522. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13.
Iskandar, J. (2009). Ekologi Manusia dan Pembangunan
Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas
Padjadjaran.
Iskandar, Y. (1997). Sejarah Jawa Barat (Yuganing
Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.
Michrob, H. (1992). Temuan Perahu Kuno Tradisi Jawa Barat
di Kabupaten Indramayu. Serang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Jawa Barat, DKI Jaya, dan Lampung.
Munandar, A. A., Fahrudin, D., Sujai, A., & Rahayu, A.
(2011). Bangunan Suci Sunda Kuna. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Nurhadi. (1995). Pasang Naik dan Surut Kota-kota Pantai Utara
Jawa, Sebuah Model Kajian. Berkala Arkeologi Tahun XV - Edisi Khusus, 87
- 91.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009 a). Sejarah
Nasional Indonesia III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009). Sejarah
Nasional Indonesia II, Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
PPPGL. (2016, Maret 4). Proses Pertumbuhan Delta Baru
Sungai Cimanuk Hingga Tahun 2002, di Pantai Timur Kabupaten Indramayu.
Dipetik Juni 17, 2017, dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan:
http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten
Rahardjo, S. (2007). Kota-kota Prakolonial Indonesia.
Pertumbuhan dan Keruntuhan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia.
Saptono, N. (1998). Cheguide. Dalam T. Djubiantono, L.
Yondri, Y. Arbi, & N. Saptono, Dinamika Budaya Asia Tenggara - Pasifik
Dalam Perjalanan Sejarah (hal. 241 - 250). Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat.
Saptono, N. (2012). Penelitian Puncak-puncak Peradaban di
Pantai Utara Jawa Barat dan Proses Perjalanan Masyarakat Hindu. Kalpataru
21(1), 30 - 38.
Saptono, N. (2013). Rekayasa Untuk Menghasilkan Pangan Pada
Masyarakat Kerajaan Sunda Abad ke-14 - 16. Dalam A. A. Munandar, Widyadwara:
Kajian Arkeologis Pangan dan Papan Warisan Leluhur (hal. 1 - 18). Bandung:
Alqa Print.
Stockdale, J. J. (1995). Island of Java. Singapore:
Periplus Editions Ltd.
Catatan:
Artikel ini terbit di dalam buku “Warisan
Budaya Maritim Nusantara”, Editor Supratikno Rahardjo, Nies Anggraeni, Titi
Surti Nastiti, Wiwin Djuwita Ramelan. Jakarta: Ditjen Kebudayaan, Dit. PCBM – IAAI,
2018. Hln. 26 – 37.