CHEGUIDE
Nanang Saptono
I. Pendahuluan
Pada akhir masa klasik menjelang masa Islam, di Jawa Barat berdiri kerajaan
Sunda. Sepanjang sejarahnya kerajaan ini telah beberapa kali mengalami
perpindahan ibukota antara lain di Galuh, Prahajyan
Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Sebagaimana kerajaan lainnya di Jawa,
Kerajaan Sunda dapat berlangsung karena ditopang sektor agraris. Selain itu
sektor perdagangan juga banyak menunjang kelangsungan hidup kerajaan.
Perdagangan yang berlangsung ketika itu tidak hanya bersifat lokal tetapi sudah
mencapai regional bahkan internasional. Dalam menunjang perdagangan tingkat
regional dan internasional ini kerajaan Sunda mempunyai beberapa kota pelabuhan
yang terdapat di pantai utara Jawa. Menurut Barros Kerajaan Sunda mempunyai
enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau
Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan
Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83).
Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda
mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam,
Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano
(Cortesão, 1967: 166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan
adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat,
sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain
ucapannya ialah bahwa Calapa yang
disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra
atau Caravam.
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan
tersebut (Cortesão, 1967: 170-173). Bantam
merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini
perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang
yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara
sungai. Kapal besar (junk) dapat
berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada.
Cheguide merupakan pelabuhan bagus
yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa
dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang
dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan
kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling
bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan
perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat
lain. Chemano merupakan pelabuhan
yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini
sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.
Dalam perkembangannya pelabuhan-pelabuhan tersebut ada yang terus
berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai
pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada tahun 1775 – 1778 di Jawa Barat hanya ada
tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995: 193). Pada
saat ini pelabuhan besar pada masa kerajaan Sunda tersebut di antaranya dapat
dikenali lokasinya. Bantam adalah
Banten, Pomdam sekarang dikenal
dengan Pontang suatu kota kecil di daerah teluk Banten, Tamgaram adalah Tangerang, Calapa
adalah Sunda Kelapa sekarang. Calapa tidak disebut oleh Barros. Tetapi Xacatra atau Caravam yang disebut Barros tidak disebut Pires. Kemungkinan dua
nama ini yaitu Calapa dan Xactra adalah sama-sama untuk menyebut
satu lokasi yaitu Sunda Kelapa di Daerah Jakarta. Chemano sekarang bernama Indramayu yaitu kota yang terdapat di tepi
S. Cimanuk. Dari enam pelabuhan tersebut Cheguide
belum dapat diketahui secara pasti. Melalui kajian sejarah dan arkeologi dalam
makalah ini akan mencoba merekonstruksi letak pelabuhan Cheguide.
II.
Cheguide Dalam Kajian Sejarah
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511
berakibat juga terhadap semakin pesatnya perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan Sunda yang merasa mendapat ancaman dari orang-orang Islam, menjalin
hubungan dengan Portugis (Graaf dan Pigeaud, 1985: 146-147). Hubungan antara
Portugis (Malaka) dengan Sunda sudah berlangsung sejak 1512. Ketika itu
Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam meminta bantuan kepada
Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada ahun 1522 pihak Portugis di Malaka
ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang
dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika
yang bertahta adalah Samiam (Sumadio, 1990: 373).
Perjanjian berlangsung pada tanggal 21 Agustus
1522. Isi perjanjian pada intinya raja Sunda memberikan ijin kepada Portugis
untuk membangun benteng. Raja akan menyediakan lada sebanyak-banyaknya sebagai
penukar barang-barang yang diperlukan. Sebagai pernyataan persahabatan raja
Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap tahun sejak Portugis
membangun benteng (Djajadiningrat, 1983: 79-80). Menurut banyak ahli perjanjian
itu dilaksanakan di Sunda Kelapa. Guillot dalam telaahnya mendapatkan
kesimpulan yang berbeda.
Pertama-tama Guillot (1992) mendasarkan telaahnya
pada kronik Barros dan Couto. Menurut Joao de Barros perjanjian antara Portugis
dan Sunda berlangsung pada tahun 1522. Isi perjanjian sebagaimana di atas.
Pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan raja Sunda didampingi oleh tiga
orang menteri yaitu Mandari Tadam,
Tamungo Sague de Pate, dan Bengar.
Setelah perjanjian berlangsung tiga orang menteri tersebut mengantarkan Leme ke
lokasi akan dibangunnya benteng. Lokasi itu berada di sebelah kanan muara
sungai pada kawasan yang dinamai Calapa. Di situ Leme mendirikan sebuah padrao. Pembangunan benteng dilaksanakan
oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang
badai. Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di
Calapa tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang oleh
orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari
Samiam.
Kronik versi Diogo do Couto menceritakan ketika
Francisco de Sa menuju Sunda diserang badai sehingga kapal-kapalnya terpencar.
Sebuah kapal besar yang dipimpin Duarto Coelho dan dua kapal lainnya dengan
susah payah berhasil mencapai “Pelabuhan Sunda”. Ketika mencapai pantai
diserang orang-orang Islam. Raja yang memberi ijin pendirian benteng sudah
meninggal dan musuh yang diperanginya telah merebut daerahnya.
Dari dua versi ini terdapat suatu perbedaan.
Barros menyebutkan bahwa lokasi yang akan dibangun benteng adalah Calapa.
Coelho setelah diserang badai berhasil sampai di Calapa dan diserang
orang-orang Islam. Sedangkan Couto menyebutkan bahwa Coelho berhasil mencapai
“Pelabuhan Sunda”. Secara umum penyebutan Calapa dan Pelabuhan Sunda ini
disimpulkan adalah Sunda Kelapa.
Dalam mencari penjelasan selanjutnya Guillot
menelaah sumber lainnya. Dalam teks asli perjanjian didapakan keterangan bahwa
perjanjian diadakan di “pelabuhan Sunda” (neste
porto de Çumda), lokasi benteng pada tepi kanan sebuah muara sungai di
kawasan yang bernama Calapa (na boca do
rio a mao direita de fromte da barra a qual terra se chama Calapa), setelah
selesai perjanjian kedua belah pihak berangkat menuju ke lokasi rencana
pembangunan benteng untuk mendirikan padrao.
Telaah terhadap teks asli ini menghasilkan dua
hipotesis. Hipotesis pertama lokasi perjanjian bukan di Sunda Kelapa. Alasannya
dalam teks menyebutkan bahwa setelah perjanjian di “pelabuhan Sunda” kemudian
berangkat menuju lokasi yang disebut Calapa. Dengan demikian “pelabuhan Sunda”
(porto de Çumda) dan Calapa merupakan
dua lokasi yang berbeda. Jika ketika itu Leme berada di Sunda Kelapa maka tidak
akan menyebutkan pergi ke suatu tempat yang bernama Kelapa. Hipotesis kedua
lokasi benteng Portugis dimana Leme mendirikan padrao bukan di pelabuhan Sunda Kelapa – Jakarta.
Peta dari Portugis sekitar tahun 1540 menyebut
beberapa tempat di Jawa Barat dari barat ke timur yaitu Çumda, aguada do padra, dan Calupu.
Buku pedoman pelayaran (roteiro) yang
disusun oleh penulis yang mengikuti ekspedisi Francisco de Sa menyebutkan bahwa
pelayaran dari arah barat. Dalam buku itu disebutkan nama Sumdabata,
Sumdabamta, dan Bamta ke arah timur terdapat tanjung (hua pomta). Di situ terdapat sungai yang mengalir ke laut dan di
situlah Francisco de Sa mendirikan padrao
lain. Sungai itu diberinya nama Santo
Yorge yang oleh orang-orang hitam disebutnya Cidigy. Semakin jauh ke timur
terdapat pelabuhan Sumda-calapa.
Berdasarkan telaah atas beberapa teks akhirnya
disimpulkan bahwa Leme mengadakan perjanjian di Banten dan akan mendirikan
benteng di Cidigy. Nama Cidigy ini dapat disamakan dengan Cheguide lokasi yang
sudah dikenal oleh penulis Portugis masa sebelumnya. Pires menyebut pelabuhan
Sunda dari barat ke timur yaitu Bantam, Pontang, Cheguide, Tamgara, Calapa, dan
Chemanu sedangkan Barros dari timur ke barat yaitu Chemanu, Xacatara atau
Caravam, Tamgara, Cheguide, Pondang, dan Bintam.
Di mana lokasi Cheguide menurut buku pedoman
pelayaran dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya
antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane. Akhirnya Guillot menarik hipotesis
bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan padrao sebagai tanda lokasi akan
dibangunnya benteng berada di tepi kali Kramat sekarang.
III.
Bukti-bukti Arkeologis
Kawasan antara Tanjung Kait hingga muara Cisedane
cukup luas yaitu berjarak sekitar 10 km atau tepatnya pada posisi 106°32’10”
hingga 106°37’54” BT. Geomorfologi
daerah berupa pedataran dengan ketinggian antara 0 - 1 m dpl. Keadaan lahan
selain dimanfaatkan untuk perumahan juga untuk lahan pertanian berupa sawah.
Lahan pekarangan rumah kebanyakan dimanfaatkan untuk tanaman kelapa. Pada
daerah pantai banyak dimanfaatkan untuk tambak ikan dan udang. Di kawasan ini terdapat beberapa situs arkeologi
antara lain situs Rawakidang, Sugri, dan Kramat (Djubiantono dan Saptono,
1997/1998).
1.
Situs Rawakidang
Situs Rawakidang terdapat di Desa
Rawakidang, Kecamatan Sukadiri. Situs ini dari pantai berjarak lurus sekitar
4,5 km tepatnya pada posisi 6°04’19” LS dan 106°33’47” BT (berdasarkan peta
topografi daerah Mauk lembar 4324-IV). Keadaan situs berupa kebun di sebelah
selatan jalan kampung dengan luas sekitar 50 X 25 m. Lahan situs ini sekarang
banyak terdapat pohon kelapa. Pada bagian barat daya lahan terdapat beberapa
makam keluarga penghuni pertama kampung itu. Sisi utara lahan, pada tepi jalan
kampung, terdapat beberapa rumah penduduk. Data arkeologis yang ditemukan di
situs ini berupa artefak beberapa fragmen keramik asing.
2.
Situs Sugri
Situs Sugri terdapat di tengah permukiman
penduduk Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji. Desa ini berada di sebelah
timur laut situs Rawakidang berjarak lurus sekitar 2,5 km, dari pantai berjarak
sekitar 2 km, atau pada posisi 6°03’06” LS dan 106°34’11” BT. Lahan di
sekeliling desa berupa sawah.
Objek arkeologis yang ada berupa makam
yang dikeramatkan. Menurut keterangan juru kunci, tokoh yang dimakamkan bernama
Wali Riman. Tokoh ini dipercaya sebagai pemimpin umat Islam di desa itu.
Menurut cerita Wali Riman tidak mau disebut sebagai wali sebelum mendapat
pengakuan dari Sultan Banten ketika itu. Namun karena jasa-jasanya dalam
mengembangkan agama Islam masyarakat memberi gelar wali. Tokoh ini juga
berkaitan dengan nama kampung Sugri. Dahulu kampung itu bernama Pulau Tegal.
Ketika itu sering terjadi bencana. Berkat upaya yang dilakukan Wali Riman
akhirnya tidak pernah lagi ada bencana. Untuk mengingat jasa-jasanya nama Pulau
Tegal diubah menjadi Sugri yaitu nama Wali Riman ketika masih kecil.
Komplek makam Wali Riman dilengkapi dengan
bangunan cungkup baru yang dibangun oleh masyarakat sekitar. Jiratnya pun juga
baru dengan bahan keramik berwarna putih. Sampai sekarang masyarakat sekitar
bila akan menyelenggarakan sesuatu, misalnya mengkhitankan anak, berziarah dulu
ke makam Wali Riman. Pengamatan di sekitar lokasi ditemukan beberapa benda
arkeologis yaitu artefak fragmen keramik asing.
3.
Situs Kramat
Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali,
Kecamatan Pakuhaji. Situs ini berada di pantai sebelah timur laut situs Sugri
berjarak lurus sekitar 2 km. Kawasan situs Kramat berada pada posisi 6°02’09”
LS dan 106°34’51” BT. Di kawasan situs ini terdapat beberapa objek arkeologis
antara lain makam, fragmen komponen bangunan, kapal, serta fragmen keramik,
gerabah, dan besi.
Makam yang terdapat di situs ini berupa
makam panjang. Menurut keterangan juru kunci, tokoh yang dimakamkan bernama
Syekh Daud bin Said pendatang dari Hadramaut. Komplek makam terletak di sebelah
utara jalan desa, dilengkapi bangunan cungkup. Jirat yang ada di dalam cungkup
sepanjang 9 m lebar 0,5 m. Baik cungkup maupun jirat merupakan bangunan baru
hasil renovasi masyarakat. Sampai sekarang masyarakat masih mengkeramatkan
makam tersebut, sehingga lokasinya disebut Kampung Kramat.
Berdasarkan pengamatan pada singkapan
hasil penggalian masyarakat banyak ditemukan artefak berupa fragmen keramik
baik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca, dan fragmen besi. Artefak
tersebut kebanyakan ditemukan pada kedalaman sekitar 0,5 m. Berdasarkan sebaran
artefak yang terdapat dipermukaan, luas situs diduga sekitar 10 hektar. Lahan
seluas itu berupa perumahan penduduk, kebun, komplek makam, dan empang.
Aktivitas penduduk setempat saat ini, misalnya penggalian pasir, sering juga
menemukan artefak di antaranya benda-benda keramik berupa piring kecil,
mangkuk, dan botol. Berdasarkan keterangan penduduk setempat juga pernah
ditemukan beberapa keping mata uang.
Fragmen komponen bangunan yang ditemukan
berupa ubin terakota. Ubin-ubin ini dimanfaatkan penduduk untuk memperkuat
teras rumah. Komponen bangunan yang lain berupa struktur bekas sumur berbentuk
lingkaran dengan diameter sekitar 1 m. Struktur bekas sumur itu dari bahan
bata. Di dekat struktur sumur terdapat struktur fondasi bangunan yang juga dari
bahan bata. Kedua komponen struktur bangunan ini ditemukan pada empang di
belakang perkampungan penduduk (sebelah utara jalan desa).
Pada empang di sebelah utara perkampungan,
berjarak sekitar 0,5 km atau 0,5 km dari pantai terdapat fragmen kapal dengan
posisi membentang arah timur-barat (sejajar dengan garis pantai). Fragmen kapal
yang terlihat merupakan bagian sisi lambung sepanjang sekitar 2 m. Bagian yang
lain masih tertimbun tanah. Ujung kapal selanjutnya terlihat pada empang di
sebelahnya. Secara keseluruhan dari ujung ke ujung yang masih ada panjangnya
sekitar 6 m. Kapal ini terbuat dari bahan besi.
IV. Situs Kramat Sebagai Bekas Pelabuhan Cheguide
 |
Lokasi Cheguide |
Kajian sejarah mengenai Cheguide yang dilakukan
Guillot menyimpulkan bahwa Cheguide berada di antara Tanjung Kait dan Muara
Cisadane di sekitar Kali Kramat. Penelitian arkeologis di kawasan itu berhasil
mengidentifikasi tiga situs yaitu situs Rawakidang, Sugri, dan Kramat. Ketiga
situs tersebut mepunyai ragam tinggalan dan besaran berbeda sebagaimana tabel
berikut.
Tabel 1: Ragam peninggalan dan besaran situs
Keterangan
Mkm : makam
Bng : komponen bangunan
Krm : fragmen keramik
Grb : fragmen gerabah
Kpl : kapal
v : ada
x :
tidak ada
Berdasarkan ragam tinggalan yang ada
mengindikasikan bahwa kawasan tersebut merupakan bekas pemukiman. Artefak
keramik yang ditemukan semuanya berjumlah 131 fragmen. Di situs Kramat
ditemukan 121 keping (92,37 %), situs Rawakidang 6 keping (4,58 %), dan di
situs Sugri ditemukan 4 keping (3,05 %). Secara tipologis fragmen keramik
tersebut berasal dari tipe mangkuk, piring, sendok, vas, botol, dan kendi atau
teko. Tipe mangkuk yang dimaksud di sini mulai dari bentuknya kecil yaitu
diameter dasar 2 cm dan diameter atas 4 cm hingga yang berukuran besar yaitu
diameter dasar 12 cm dan diameter atas 24 cm. Begitu juga tipe piring yaitu
yang berukuran kecil (lepek) hingga
yang berukuran besar (julang). Secara
tipologis sebaran keramik tersebut sebagai berikut.
Tabel 2: Tipologi keramik
Sedangkan fragmen gerabah yang ditemukan berjumlah
12 semuanya dari situs Kramat. Gerabah-gerabah tersebut berasal dari bentuk
kendi, tempayan, periuk, dan wadah terbuka tanpa tutup.
Berdasarkan tipologis artefak tersebut dapat
menunjukkan keragaman aktifitas yang terjadi. Situs Kramat yang mempunyai
keragaman paling tinggi menunjukkan sebagai pusat pemukiman, sedangkan situs
Rawakidang dan Sugri sebagai pemukiman yang lebih kecil. Adanya fragmen kapal
di situs Kramat memberikan arah dugaan kuat sebagai kota pelabuhan. Kapal
tersebut sekarang terdapat pada empang berjarak sekitar 0,5 km dari pantai.
Penelitian geologis di kawasan ini menunjukkan adanya perubahan muka laut.
Hasil penelitian geologis ini dapat dipakai untuk menelusuri permukiman masa
lalu berdasarkan data arkeologis yang dikaitkan dengan keadaan alam tersebut (Zaim
et al., 1998).
Pada sekitar 40.000 tahun yang lalu permukaan laut
berada pada daerah-daerah yang sekarang terletak pada ketinggian 25-35 m di
atas permukaan laut. Hal ini dibuktikan dengan adanya undak sungai purba di
daerah Cileungsi. Analisis C14 terhadap sampel arang kayu
menunjukkan umur 40.690 ± 3220 BP. Pada saat 40.000 tahun yang lalu garis
pantai berada di selatan Tangerang.
Perubahan pertama terjadi pada saat terbentuknya
endapan undak sungai Cisadane yang sekarang berada pada ketinggian 4-5 meter di
atas muka air sungai Cisadane. Perubahan pertama tersebut pada saat terjadi
naiknya muka laut (transgresi) pada waktu sekitar 4500 tahun yang lalu, di mana
muka laut berada pada ketinggian sekitar 4-5 meter di atas muka laut sekarang.
Garis pantai berikutnya terjadi pada saat
terbentuknya endapan pematang purba yang sekarang berada pada ketinggian 2-3
meter di atas permukaan laut. Pada pematang purba tersebut dijumpai banyak
sekali cangkang moluska yang didominasi kelompok Potamididae, (Terebralia)
dan Telescopium. Hasil pertanggalan
terhadap moluska Telecopium sp
(Gastropoda) menunjukkan umur 1680 ± 120 BP.
Perubahan muka laut selanjutnya terjadi pada 500
tahun yang lalu saat pembentukan endapan pantai purba yang sekarang didapatkan
pada ketinggian 1 meter di atas permukaan laut. Endapan pantai/interdial
terdapat di sekitar muara sungai Cisadane di daerah Kohod serta pantai Dadap.
Dengan demikian daerah di kawasan tersebut yang berketinggian 1 m pada 500
tahun yang lalu merupakan garis pantai. Bila dikaitkan dengan bukti-bukti
geologis dapat disimpulkan bahwa Situs Kramat pada 500 tahun yang lalu berada
di garis pantai.
Temuan fragmen keramik secara relatif menunjukkan
kronologi situs. Analisis secara kronologis terhadap fragmen keramik terlihat
sebagaimana tabel berikut:
Tabel 3: Kronologi keramik
Keseluruhan temuan fragmen keramik, yang tertua
berasal dari masa dinasti T’ang (abad VII – X) dan yang termuda keramik Eropa
(abad XIX – XX). Dari tabel di atas terlihat bahwa pemukiman di situs Kramat
berlangsung paling lama yaitu sejak abad VII hingga XX. Namun karena tidak
ditemukannya keramik dari masa dinasti Yuan (abad XIII – XIV) dapat diduga pada
masa-masa tersebut mengalami pasang surut. Aktifitas meningkat secara pesat
pada masa dinasti Ming (abad XIV - XVII) dan mencapai puncaknya pada masa
dinasti Qing (abad XVII – XX) dan selanjutnya surut lagi.
Bila dihubungkan dengan hasil kajian geologis di
atas, pada sekitar abad XVII tersebut situs Kramat mengalami masa keemasan.
Kajian sejarah menyimpulkan bahwa Chigeude sebagai pelabuhan penting
berlangsung pada abad XVII pula. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa situs
Kramat adalah bekas kota pelabuhan Chigeude.
Beberapa makam keramat di situs ini karena tidak
adanya unsur banunan yang menunjukkan kuna maka disangsikan validitasnya.
Sedangkan terdapatnya komponen bangunan di situs Kramat berupa ubin terakota,
struktur sumur, dan struktur fondasi bangunan dari bata dapat diperkirakan
bangunan tersebut berdiri pada masa kolonial (abad XIX - XX). Adanya kapal yang
terdapat di situs ini kemungkinan juga berasal dari masa sekitar abad XIX atau
XX. Dugaan ini didasarkan pada bahan dasar kapal yaitu dari besi. Namun hal ini
kiranya perlu pengkajian lebih lanjut dengan demikian akan dapat diketahui
kapan Chigeude mengalami kemunduran dan akhirnya tidak dapat berfungsi sama
sekali sebagai kota pelabuhan.
KEPUSTAKAAN
Cortesão, Armando
1967 The
Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Djajadiningrat, Hoesein
1983 Tinjauan
Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan
Djubiantono, Tony dan Nanang Saptono
1997/1998 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Penanggulangan
Kasus Kepurbakalaan di Pantai Utara Kabupaten Tangerang Propinsi Jawa Barat.
Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan)
Graaf, H.J. de dan Th. G. Th.
Pigeaud
1985 Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram.
Jakarta: Grafitipers.
Guillot, C
1992 “Perjanjian dan Masalah
Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522”. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Stockdale, John Joseph
1995 Island of Java. Singapore: Periplus Editions Ltd.
Sumadio, Bambang (ed.)
1990 “Jaman Kuna” Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta:
Balai Pustaka
Zaim, Yahdi; M. Haris
Pindratmo, dan Aswan
1998 “Perkembangan Perubahan Garis
Pantai Utara Jakarta Kala Plestosen Atas – Resen: Data Baru Geologi Untuk
Penelitian Arkeologi Jakarta.” Makalah disampaikan pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi. Cipayung, 16-20 Februari
(belum diterbitkan).
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku Tony Djubiantono, et al. (Ed.). 1998. Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam
Perjalanan Sejarah, hlm. 241 – 250. Bandung: Ikatan
Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat.
Label: cheguide