MENGUNJUNGI MAKAM SYECH H. ALALUDIN
Catatan perjalanan: Nanang Saptono
Jejak Karuhun di Bandung Selatan
Kawasan Bandung secara
geologis merupakan daratan yang di tengahnya terdapat bekas Danau Purba. Di
sekeliling danau telah ditemukan perkakas yang digunakan manusia prasejarah. Penemuan
artefak di sekitar danau purba, pertama-tama dilaporkan oleh A.C. de Jong dan
von Koeningswald (1930), selanjutnya oleh J. Krebs (1932-1933), W. Rothpletz
dan W. Mohler (1942-1945). Artefak yang pernah ditemukan berupa alat serpih obsidian,
beliung, batu asah, pecahan gerabah, pecahan keramik, dan beberapa logam. Bukti
terkuat adanya manusia prasejarah di kawasan ini adalah temuan rangka manusia
prasejarah di Gua Pawon.
Memasuki masa sejarah,
sekitar Bandung terutama sepanjang aliran Ci Tarum merupakan perbatasan
dua kerajaan yaitu Kerajaan Galuh dan Pajajaran. Di wilayah ini telah tercatat
beberapa temuan arkeologis yang merupakan tinggalan dari masa klasik. Rapporten
van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914 (Laporan Dinas
Purbakala Hindia-Belanda tahun 1914) yang disusun oleh N.J. Krom mencatat
adanya runtuhan candi di Tenjolaya, Cicalengka. Unsur bangunan candi yang
dilaporkan antara lain patung bergaya Polinesia, kala, patung Durga, dan
beberapa balok-balok batu. Selain itu di daerah Cibodas pernah juga dilaporkan
adanya temuan patung Çiwa-Mahãdewa. Di Cibeeut ditemukan patung Ganeśa. Pleyte
pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa di Desa Citaman, 200 m sebelah utara
stasiun kereta api Nagreg, terdapat objek purbakala yang oleh masyarakat
setempat disebut pamujan. Di situs ini pernah ditemukan patung Durga
(Krom, 1915). Pada Agustus 2002 di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang,
Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung ditemukan runtuhan candi (Saptono,
2003).
Di Kampung
Sukapada, Kalurahan Bojong Emas, Kecamatan Solokan Jaya ditemukan beberapa batu
yang merupakan bagian dari bangunan candi. Runtuhan bangunan candi tersebut
tersingkap akibat proyek normalisasi Ci Tarum. Bagian bangunan yang tersisa
adalah baatu bagian pipi tangga, ambang pintu, dan beberapa balok batu.
Berdasarkan beberapa tinggalan arkeologi masa klasik yang telah ditemukan,
memunculkan permasalahan tentang kehidupan masa klasik di sekitar Cekungan
Bandung. Selain itu juga didapatkan informasi dan beberapa benda arkeologis
masa klasik. Di Desa Rancamanyar, Kecamatan Bale Endah didapatkan informasi
bahwa dahulu di tepi rawa terdapat beberapa arca, tetapi sekarang sudah
tertimbun tanah. Informasi ini sesuai dengan laporan Krom (1915: 44) yang
menyebutkan bahwa di dataran Cupu yang berpaya-paya dekat pertemuan antara Ci
Sangkuy dengan Ci Tarum terdapat arca banteng, sapi, dan alas arca. Di Kampung
Gajah Eretan, Desa Gajah Mekar, Kecamatan Soreang pada kompleks makam Dalem
Gajah Palembang terdapat fragmen arca bagian kaki dengan sikap duduk utkutikasana. Sikap duduk seperti ini
biasa dijumpai pada arca ganeśa (Widyastuti, 2006: 72 – 73). Selain data
tersebut di Kampung Talun Candi, Desa Tanggulun,
Kecamatan Ibun, Kab. Bandung pada kompleks pemakaman keluarga, dekat pertemuan
antara Ci Gandok dengan Ci Tarum terdapat yoni. Berdasarkan tinggalan-tinggalan
tersebut terlihat bahwa kawasan Ci Tarum sekitar Bandung merupakan wilayah yang
intensif dihuni pada masa klasik.
Pada masa Islam, di Kabupaten Bandung terdapat beberapa makam
kuna tokoh penyebar Islam. Menurut cerita tradisi, di Bandung selatan terdapat
lokasi tempat berkumpulnya para syech yang kemudian dikenal dengan nama Paseh.
Salah satu tinggalan masa Islam yang masih kokoh misalnya Masjid Agung Majalaya.
Sehubungan dengan sejarah penyebaran Islam di Bandung, di Kampung Ranca, Desa
Mandalahaji, Kecamatan Pacet terdapat makam/petilasan Syech Alaludin. Selain itu,
di rumah juru kunci makam (kuncen), M. Oyo tersimpan beberapa benda yang berkaitan
dengan keberadaan makam Syech Alaludin.
Riwayat
Syech H. Alaludin
Kecamatan
Pacet berada di wilayah selatan Kabupaten Bandung. Kecamatan Pacet berada di
sebelah timur Soreang, ibukota Kabupaten Bandung, sebelah selatan Majalaya.
Topografis kawasan berupa pedataran bergelombang di daerah hulu Ci Tarum. Desa
Mandalahaji berada di bagian timur Kecamatan Pacet. Desa ini berada di sebelah
timur aliran Ci Tarum. Kampung Ranca berada pada lereng pebukitan. Lokasi
makam/petilasan Syech Alaludin berada pada puncak bukit di sebelah barat
kampung. Di sebelah barat lokasi makam terdapat aliran Ci Tarum dan di sebelah
selatan terdapat Gunung Mandalahaji.
 |
Peta keletakan makam/petilasan Syech H. Alaludin |
Sumber sejarah mengenai Syech H.
Alaludin yang mempunyai validitas tinggi belum ditemukan. Riwayat Syech H.
Alaludin bersumber dari cerita tutur. Menurut keterangan M. Oyo (Juru Kunci),
Syech H. Alaludin adalah ulama dari Mekah, lahir pada 1 Muharam 1100 H.
Sementara itu di dalam buku Sejarah Syeh
H. Alaludin yang dikeluarkan oleh Pengurus Makam Syeh H. Alaludin (2014)
hanya disebutkan lahir di Mekah pada hari Kamis 1 Muharam Tahun ..... H dan
wafat pada 9 Rajab 1009 H.
Syech H. Alaludin pertama kali
datang menyebarkan Islam di Mataram (Yogyakarta) selama 9 tahun. Selanjutnya
pindah ke Cirebon. Di Cirebon dikenal dengan nama Syech Bayanilah. Syech
Bayanilah menyebarkan Islam di Cirebon juga selama 9 tahun. Setelah di Cirebon,
penyebaran Islam dilanjutkan ke Cidamar, Cidaun. Di Cidamar selama 9 tahun, beliau
kembali dikenal dengan nama Syech H. Jalaludin. Tugas penyebaran Islam kemudian
dilanjutkan ke Banten. Di Banten juga dilakukan selama 9 tahun. Nama Syech
Bayanilah kembali dipakai ketika berada di Banten. Selanjutnya kembali ke
Mataram untuk mencari pengikut (murid) yang akan membantu dalam melaksanakan
penyebaran Islam.
Murid Syech H. Jalaludin dari
Mataram yang ikut sebanyak tiga orang yaitu Mbah Lenjah, Mbah Kalis, dan Mbah
Nerah. Mbah Lenjah ditugaskan di Selakaso, Sukamanah, dan Cibogo. Mbah Lenjah
berputrakan Mbah Calang yang merupakan buyut Haji Ali Imron. Mbah Kalis
ditugaskan di Loa, Ranca, Cibatur, dan Seuseureu. Mbah Kalis berputra Eteh
Gede. Selanjutnya Mbah Nerah ditugaskan di Cipadaulun, Cimaranceur, dan Sadang.
Mbah Nerah berputrakan Mbah Abdul yang merupakan buyut Mama Ajengan Dahroji.
Menurut keterangan pengurus makam, selain murid-murid (pembantu) tersebut,
Syech H. Alaludin juga mempunyai pengawal jin Islam yaitu Syech Abdul Malik dan
Syech Azis Maulana Ibrahim. Kendaraan (tunggangan) Syech H. Alaludin adalah
harimau putih. Pada saat tawasul, apabila ada orang yang akan berbuat tidak
benar di wilayah makam maka dia akan kawenehan.
 |
Peta situasi makam/petilasan Syech H. Alaludin |
Makam Syech H. Alaludin
Makam Syech H. Alaludin
berada di kompleks makam Kawung Luwuk, Kampung Ranca RT 052 RW 016, Desa
Mandalahaji, Kecamatan Pacet. Secara geografis berada pada posisi 7°
6'12.33"LS dan 107°42'54.35" BT pada ketinggian 884 m dpl. Keberadaan
makam sebetulnya sudah diketahui sejak jaman kolonial Belanda namun tidak
pernah diperhatikan keberadaannya. Keberadaan makam karomah muncul lagi pada
tahun 1983. Ketika itu setelah dilakukan tawasul M. Oyo mendapat petunjuk Mama
Nur, ajengan di Walangsanga. Di katakan bahwa di atas kampung Ranca ada karomah
para wali. M. Oyo membuktikan petunjuk Mama Nur bahwa di sebelah atas (barat)
Kampung Ranca ada makam kuna. Ketika ditemukan, lokasi itu berupa hutan penuh
dengan pepohonan. Karena memang ada tanda-tanda petilasan kemudian dibuka,
tetapi banyak yang tidak percaya. Pada tahun 1991 dilakukan pembenahan dan
pemugaran bangunan cungkup makam utama.
Kompleks makam Kawung
Luwuk berada pada puncak bukit di sebelah barat kampung Ranca. Akses menuju
makam berupa jalan setapak dari Kampung Ranca. Batas antara kompleks makam
dengan perumahan penduduk berupa kebun bambu. Pada areal kompleks makam,
sebagian digarap masyarakat untuk kebun sayur dan palawija, sebagian yang lain
yaitu di bagian barat berupa padang rumput. Hasil kebun sayur dan palawija
untuk biaya pemeliharaan kompleks makam.
Di area makam terdapat
beberapa makam buyut yang posisinya tersebar. Selain itu, di tengah area
terdapat kumpulan makam yang tertata sangat rapi. Pada bagian sudut timur laut
terdapat bangunan cungkup makam tokoh utama yaitu Syech H. Alaludin. Bangunan
cungkup makam merupakan bangunan baru berdinding tembok. Atap bangunan
berbentuk piramida dengan penutup atap dari bahan genting. Pada puncak atap
terdapat angka tahun 20 – 8 – 1991. Pintu berada di sisi selatan bagian timur.
Ruang dalam bangunan cungkup pada dasarnya merupakan ruangan untuk para
peziarah dalam melakukan aktivitas ziarah.
 |
Cungkup makam Syech H. Alaludin |
Di sebelah utara
ruangan terdapat halaman tidak beratap. Pada halaman ini terdapat dua makam. Kedua
makam berorientasi utara – selatan, dengan jirat berbentuk empat persegi
panjang berlapis keramik berwarna putih. Pada ujung selatan dan utara jirat
dibuat agak tinggi. Nisan sebagai tanda berupa pohon hanjuang merah (Cordyline fruticosa).
Makam di sebelah barat dipercaya sebagai makam Syech H. Alaludin sedangkan
makam yang di sebelah timur merupakan makam Syech Bayanilah.
 |
Jirad makam Syech H. Alaludin |
Di sekeliling cungkup
terdapat makam-makam para pembantu dan keturunannya. Makam-makam tersebut
adalah makam Mbah Abdul Gopur Nasihin, Mbah Arjasan, Eteh Gede, Mbah Nawiksan,
Syech Abdul Malik, Eyang Kalis, Mbah Lenjah, Mbah Calang, R. Anggawira Kusumah,
Eyang Wali Tunggal, Eyang Salam Nunggal, Eyang Balung Tunggal, dan Syech Azis
Maulana Ibrahim. Secara umum bentuk makam sama. Beberapa makam pembantu utama
Syech H. Alaludin berpagar bambu.
 |
Peta persebaran makam di kompleks makam Kawung Luwuk |
Tanda makam berupa
jirat dari tatanan batu andesit membentuk denah empat persegi panjang,
berorientasi utara – selatan. Pada kedua ujung (utara dan selatan) terdapat
nisan dari batu andesit. Selain nisan batu juga terdapat pohon hanjuang merah.
Bentuk nisan bervariasi ada yang berupa batu berbentuk bulat panjang, ada pula
yang berbentuk pipih, pada bagian atas terdapat tonjolan. Nisan berbentuk pipih
dengan bagian atas menonjol misalnya nisan pada makam Eteh Gede. Nisan
berbentuk bulat panjang misalnya terdapat pada makam Mbah Lenjah dan R.
Anggawira Kusumah. Di bagian tengah lahan terdapat sekumpulan makam yang
disusun secara rapih dengan ukuran relatif sama.
 |
Jirad dan nisan makam Eteh Edeh |
 |
Nisan makam Mbah Lenjeh |
 |
Kumpulan makam di bagian tengah lahan yang tersusun rapi |
Kompleks makam Kawung
Luwuk ramai dikunjungi peziarah pada hari Jumat Kliwon dan pada hari-hari besar
agama Islam. Kepada para peziarah terdapat peraturan yang harus diikuti yaitu
sebelum memasuki kompleks makam harus berwudhu terlebih dahulu. Ketika memasuki
kompleks makam diharuskan mengucapkan salam. Di dalam ruang cungkup makam Syech
H. Alaludin tidak diperbolehkan merokok.
Benda-benda
di Rumah M. Oyo
Di rumah M. Oyo yang
terletak di sebelah timur kompleks makam Kawung Luwuk tersimpan beberapa benda
yang dipercaya ada kaitannya dengan Syech H. Alaludin. Menurut keterangan M.
Oyo dan beberapa pengurus makam yang lain, benda-benda tersebut ditemukan
secara tiba-tiba di lokasi kompleks makam. Saat penemuan tidak bersamaan dan
waktunya pun berbeda-beda. Salah satu benda yang dinilai paling istimewa adalah
pedang yang dinamakan “pedang asmaul husna”.
Pedang asmaul husna
muncul diawali dengan prosesi puasa mutih selama 40 hari. Setelah itu kemudian
dilakukan tawasul. Tidak lama kemudian benteng rumah juru kunci roboh dan
pedang asmaul husna muncul. Menurut keterangan pengurus makam sebagaimana yang
terdapat di dalam buku Sejarah Syech H. Alaludin, pada hari Senin tanggal 14
Jumadil Awal 115 H dilakukan pembuatan ornamen asmaul husna. Selanjutnya, pembuatan
pedang dimulai pada hari Rabu tanggal 09 Silih Mulud 117 H dan selesai dibuat
pada tanggal 09 Rajab 118 H. Menilik dari kronologi tersebut, pembuatan pedang
justru tidak diawali dengan pembentukan bilah tetapi dari pembuatan ornamen.
 |
Benda-benda yang tersimpan di rumah Juru Kunci |
Kondisi fisik pedang
asmaul husna sangat sempurna tidak ada kerusakan. Menurut keterangan juru
kunci, ketika muncul hanya berupa bilah. Sarung (warangka) dibuat setelah ditemukan. Ukuran pedang yaitu, panjang keseluruhan
69 cm terdiri panjang bilah 50 cm dan panjang pegangan 19 cm. Lebar bilah
bagian pangkal 5 cm. Pegangan terbuat dari bahan tanduk, bilah pedang terbuat
dari bahan besi. Warangka terbuat dari bahan rapak penyu dikombinasi dengan
bahan kuningan dan besi.
Pada bilah pedang
terdapat ukiran kalimat dalam aksara Arab berupa ukiran timbul. Pada satu
bidang terdapat kalimat-kalimat doa keselamatan, mohon mendapat kesehatan,
rizki, tambahan ilmu; doa mohon dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut dan
sesudah maut. Selain itu juga ada gambar rajah berupa susunan kombinasi
huruf-huruf Arab, lafal Muhammad.
 |
Ukiran doa pada pedang Asmaul Husna |
 |
Ukiran doa mohon keselamatan di dunia dan akhirat pada pedang Asmaul Husna |
 |
Ukiran semacam "rajah" |
Pada bidang yang
satunya lagi terdapat lafal Allah, kalimat Ayat Kursi (QS Al-Baqarah: 255),
doa-doa keselamatan, dan di bagian tengah terdapat nama-nama empat khalifah
yang pertama.
 |
Ukiran Ayat Kursi (QS Al Baqarah: 255) dan lafal Allah |
 |
Ukiran nama-nama khalifah |
Selain pedang Asmaul Husna
tersimpan juga Al Quran Stambul, beberapa keris kecil dan kujang; bambu buta,
yaitu bambu yang di bagian tengah tidak berlubang; bambu bercabang; buah/biji
kelapa sawit; cetakan moluska, beberapa batu akik, batu berbentuk manggis, batu
berbentuk jagung, batu berbentuk kacang, dan batu berbentuk salak. Batu
berbentuk biji dan buah itu merupakan benda buatan dari bahan resin. Pada
beberapa bagian batu berbentuk jagung dan manggis terlihat adanya jejak alur
cetakan.
Gambaran Budaya Masa
Lalu di Kampung Ranca
Berdasarkan cerita
tutur yang berkembang di masyarakat Kampung Ranca, islamisasi di wilayah itu
berkaitan dengan penguasaan wilayah oleh Kesultanan Mataram. Kawasan Jawa Barat
mula-mula merupakan wilayah Kerajaan Sunda. Menjelang berakhir, Kerajaan Sunda
terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Wilayah Bandung termasuk dalam
wilayah Kerajaan Sumedang Larang. Pada tahun 1620, ketika Kerajaan Sumedang
Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram. Pada 1628/1629 Dipati Ukur mendapat
perintah Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Pada saat inilah terjadi
perpindahan penduduk dari Mataram ke Priangan (Graaf, 2002). Perpindahan ini
tidak hanya dilakukan oleh para petani yang bertujuan mencetak persawahan untuk
keperluan logistik pasukan Mataram, tetapi juga disertai para ulama penyebar
agama Islam.
Pada akhir masa
kerajaan Sunda, religi yang berkembang di masyarakat merupakan percampuran
antara agama asli (Sunda Wiwitan), Hindu, dan Buddha. Di dalam naskah kuna Sanghyang Siksakanda ng Karêsian,
disebutkan bahwa mangkubumi berbakti
kepada ratu, ratu berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang.
Berdasarkan keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada perkembangan religi pada
masa akhir Kerajaan Sunda terjadi percampuran antara agama Hindu dengan agama
Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Kemunculan kepercayaan
asli dari para leluhur terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karêsian yang
menurunkan derajat Dewata berada di
bawah Hyang (Hardiati, 2009: 409).
Ketika ajaran Islam
masuk, unsur-unsur ajaran lama masih terlihat. Pada beberapa makam kuna di
Sumedang - yaitu keramat, kompleks Astana Gede Cipeueut, dan makam Pangeran
Santri - terlihat bahwa unsur-unsur pra-Islam pada makam terdapat pada
pemilihan lokasi dan struktur makam (Saptono, 2013). Pembandingan dengan budaya
di daerah Sumedang dengan pertimbangan karena pada awal masa Islam, daerah
Bandung merupakan wilayah Kerajaan Sumedang Larang. Kompleks makam Kawung Luwuk
berada di puncak bukit. Struktur makam yang terlihat sekarang berupa jirat dari
tatanan batu membentuk denah segi empat bernisan batu. Pada bagian tengah
kompleks terdapat beberapa makam yang tersusun sangat rapi. Kondisi demikian
diduga merupakan hasil renovasi pada 1991.
Makam Prabu Guru Aji
Putih berupa bangunan berundak pada bagian atas datar. Pada bagian yang datar
itulah terdapat jirat dan nisan makam Prabu Guru Aji Putih. Jirat juga
berbentuk berundak, sedangkan nisan berupa batu alam berdiri yang berbentuk
memanjang. Makam-makam lain di kompleks Keramat Aji Putih seperti makam Resi
Agung dan makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan memperlihatkan adanya anasir
bangunan pra-Islam. Jirat yang berbentuk empat persegi panjang berupa susunan
batu kali dengan nisan berupa batu panjang yang didirikan merupakan prototipe
bangunan kubur berundak.
Bangunan makam
berbentuk berundak juga terdapat pada kompleks Astana Gede Cipeueut. Makam
Lembu Agung berupa bangunan berundak yang pada bagian sisi terutama sisi depan
(utara) serta sisi samping barat dan timur diperkuat dengan tatanan batu. Jirat
berbentuk empat persegi panjang dari susunan batu. Nisan juga dari bahan batu
panjang yang didirikan. Makam lainnya di kompleks Astana Gede seperti misalnya
makam Nyi Mas Siti Sujiyah dan Embah Jalul juga berupa bangunan berundak dari
susunan batu.
Memasuki masa Islam, Pada
masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun mulailah ada sentuhan Islam dengan adanya
tokoh Pangeran Santri. Perubahan kebudayaan terlihat pula pada tinggalan makam.
Kalau pada masa prasejarah makam berundak juga berfungsi sebagai sarana
pemujaan kepada arwah leluhur dan candi pada masa klasik sebagai tempat
pendharmaan raja, maka pada masa Islam pembangunan makam juga mengandung maksud
monumentalisasi kekuasaan dalam bentuk bangunan. Ketika peradaban Islam
mengambil alih orientasi dan praktek spiritual, gambaran dan peran candi
sebagai monumen kekuasaan tidak hilang begitu saja (Saptono, 2013). Kompleks
makam raja-raja Mataram di Imogiri yang berada di atas bukit, mendukung
monumentalitas serta mengingatkan orang pada daerah-daerah di mana candi biasa
dibangun (Wiryomartono, 1995: 10).
Secara historis,
kronologis kedatangan tokoh utama Syech H. Alaludin di Kampung Ranca sulit
diketahui. Hal ini karena sumber sejarah yang valid belum tersedia. Cerita
tutur yang hidup di masyarakat belum bisa dipakai untuk menyusun kronologis
tersebut. Keterangan secara lisan yang disampaikan M. Oyo, Syech H. Alaludin
dilahirkan pada 1 Muharam 1100 H, sementara itu dalam buku Sejarah Syech H.
Alaludin yang dikeluarkan oleh pengurus makam tertulis bahwa Syech H. Alaludin
wafat pada 9 Rajab 1009 H. Tahun-tahun tersebut bila dikonversikan ke tarikh
Masehi adalah sekitar tahun 1600-an bertepatan dengan tahun kedatangan Mataram
di tatar Sunda.
Secara kultural, dengan
membandingkan antara kompleks makam Kawung Luwuk dengan makam-makam kuna di
Sumedang terlihat ada kesamaan. Lokasi kompleks makam Kawung Luwuk di puncak
bukit menunjukkan adanya kesinambungan konsep bahwa tempat tinggi merupakan
tempat sakral. Banyaknya material batu andesit di lokasi kompleks makam
menyiratkan bahwa dahulu terdapat struktur bangunan yang kemudian
ditransformasi menjadi bentuk-bentuk jirat makam yang tersusun sangat rapi.
Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa kompleks makam Kawung Luwuk
merupakan refleksi perkembangan budaya dari masa Kerajaan Sunda, Sumedang
Larang, hingga masa masuknya Islam di Kabupaten Bandung. Mengenai beberapa
benda yang tersimpan di rumah M. Oyo sulit diketahui kaitannya karena konteks
arkeologis antara benda dengan makam sudah tidak ada. Hal yang perlu ditekankan
adalah pedang yang dinamakan Asmaul Husna pada bilahnya tidak terdapat ukiran
Al Asmaul Husna.
Simpulan dan
Harapan
Syech H. Alaludin dikenal sebagai
penyebar Islam yang berasal dari Mataram. Berdasar pada cerita tutur bahwa
Syech H. Alaludin berkiprah pada sekitar tahun 1000 atau 1100 H maka
tahun-tahun tersebut memang merupakan masa awal masuknya Islam di pedalaman Jawa
Barat. Namun demikian karena tidak adanya sumber sejarah yang valid, maka
kronologis aktivitas Syech H. Alaludin di kawasan Kabupaten Bandung tidak dapat
dipastikan.
Secara kultural, keberadaan objek di
kompleks makam Kawung Luwuk dapat memberikan gambaran perkembangan budaya
khususnya yang berkaitan dengan sistem religi. Objek yang berada di kompleks
makam keramat Kawung Luwuk memberikan indikasi terjadi adanya proses
transformasi. Bahan berupa batuan andesit mengingatkan pada struktur bangunan
berundak. Struktur yang tampak sekarang diduga merupakan hasil transformasi
pada waktu pemugaran pada tahun 1991. Material bangunan tersebut memberikan
pula gambaran mengenai perubahan budaya yang terjadi pada masa akhir Kerajaan
Sunda yaitu munculnya kembali kepercayaan lama beradaptasi dengan kepercayaan
baru.
Beberapa benda yang tersimpan di
rumah M. Oyo, sulit diidentifikasi dalam kaitannya dengan tokoh Syech H.
Alaludin. Beberapa benda menunjukkan ciri-ciri
sebagai benda modifikasi baru dari bahan moderen. Tidak adanya konteks
arkeologis antara benda dengan objek kompleks keramat Kawung Luwuk menyulitkan
dalam interpretasi.
Kompleks makam keramat Kawung Luwuk
merupakan objek arkeologis yang perlu diperhatikan. Mengingat objek tersebut
belum ditetapkan sebagai cagar budaya, maka dalam pengelolaannya harus
diperlakukan sebagaimana cagar budaya. Oleh karena itu perlu dijaga keasliannya.
Pemugaran objek yang tidak sesuai dengan kaidah pemugaran justru akan menambah
banyak kerusakan.
Secara geomorfologis, lokasi
kompleks makam keramat Kawung Luwuk berada pada puncak bukit. Lokasi ini belum
begitu banyak teraduk, oleh karena itu masih dimungkinkan berpotensi menyimpan
data arkeologis. Agar latar belakang dan proses perkembangan budaya di kawasan
itu dapat terungkap, maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam lagi.
Penelitian tidak melulu pada aspek arkeologis tetapi juga menyangkut aspek
historis. Penelusuran dan pengkajian sumber sejarah perlu dilakukan untuk
mengetahui latar belakang sejarah secara ilmiah.
Kepustakaan
Graaf, H.J. de. 2002. Puncak
Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti.
Hardiati, Endang
Sri (Ed.). 2009. Zaman Kuno, Sejarah
Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Krom,
N.J. 1915. Rapporten van de
Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door
het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Albrecht & Co, Batavia.
Pengurus Makam Syeh H. Alaludin. 2014. Sejarah
Syeh H. Alaludin.
Saptono, Nanang.
2003. The Bojongmenje Temple: The
Treasure that Comes to Light at East Bandung. Ministry of Culture and
Tourism, Jakarta.
Saptono, Nanang.
2013. Perubahan Kebudayaan pada Masa Transisi Pra-Islam ke Islam di Sumedang. Purbawidya Vol. 2 No. 2, hlm. 182 – 197.
Widyastuti, Endang. 2006. Bukti-bukti Masa
Klasik (Hindu-Buddha) di Sekitar Cekungan Bandung. Dalam Widyasancaya, hlm. 72 – 81. Bandung: Alqa Print.
Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni
Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.