PERUBAHAN KEBUDAYAAN PADA MASA
TRANSISI PRAISLAM KE ISLAM DI SUMEDANG
CULTURAL CHANGES IN TRANSITION
PREISLAM TO ISLAM IN
SUMEDANG
Nanang Saptono
nangsap@yahoo.co.id
Balai Arkeologi Bandung
Jalan Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung
ABSTRACT
Culture is dynamic and always changing. In Indonesia, the culture generally
evolved from prehistoric, classical (Hindu-Buddhist), Islamic, and Colonial cultures.
Sumedang cultures are also developing as normally as people in Indonesia. Forms
of cultural change among Sumedang society can be observed through the building
of the kings’ tomb. The discovery is done through a research study which is
qualitative with descriptive method. The change in Sumedang society’s cultures
in the pre-Islam to Islam which is seen in the tombs of kings is to show that there
is still an element of prehistoric culture in the form of a staircase structure
and elements of Islamic culture in the form of flattened headstones shape.
Keywords: cultural
change, tombs, terraced structures,
headstone
ABSTRAK
Kebudayaan
bersifat dinamis dan selalu berubah. Di Indonesia pada umumnya, kebudayaan
masyarakat berkembang dari kebudayaan masa prasejarah, klasik (Hindu-Buddha),
Islam, dan Kolonial. Kebudayaan masyarakat Sumedang juga berkembang sebagaimana
umumnya masyarakat di Indonesia. Bentuk perubahan kebudayaan masyarakat
Sumedang antara lain dapat diamati melalui bangunan makam para raja. Untuk
mengetahui hal itu dilakukan kajian melalui penelitian bersifat kualitatif
dengan metode deskriptif. Perubahan kebudyaan masyarakat Sumedang pada masa pra-Islam
ke Islam yang terlihat pada makam raja-raja adalah menunjukkan masih ada unsur
kebudayaan prasejarah berupa struktur berundak dan unsur kebudayaan Islam
berupa bentuk nisan pipih.
Kata kunci: perubahan
kebudayaan, makam, struktur berundak, nisan
PENDAHULUAN
Pada kehidupan manusia terdapat
kelompok-kelompok individu yang membentuk suatu masyarakat, namun demikian tidak
semua kelompok individu dapat disebut sebagai masyarakat. Masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat-istiadat tertentu yang
bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990:
146). Melalui interaksi tersebut seringkali terjadi proses belajar. Semua
tindakan manusia yang terjadi karena proses belajar disebut kebudayaan.
Koentjaraningrat (1990: 180) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sangat sedikit
tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakannya
dengan belajar. Kesemuanya itu bukan merupakan kebudayaan melainkan naluri,
refleks, tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila sedang membabi
buta. Proses belajar dalam melahirkan kebudayaan dapat terjadi secara antar
generasi dan dapat juga melalui antar individu atau antar masyarakat.
Kebudayaan bersifat dinamis dan selalu
mengalami perubahan. Proses perkembangan kebudayaan manusia pada umumnya
mengalami evolusi dari bentuk-bentuk kebudayaan sederhana menjadi semakin
kompleks. Kebudayaan juga mengalami proses penyebaran secara geografis terbawa
oleh perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi. Dari penyebaran tersebut terkadang
terjadi pula proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu
masyarakat sehingga terjadi akulturasi dan asimilasi (Koentjaraningrat, 1990:
227-228).
Kebudayaan masyarakat Indonesia pada
umumnya mengalami perkembangan dari kebudayaan prasejarah, klasik
(Hindu-Buddha), Islam, dan selanjutnya kebudayaan yang dipengaruhi kebudayaan
masyarakat kolonial. Pada beberapa masyarakat ada yang mengalami
loncatan-loncatan misalnya dari kebudayaan prasejarah langsung berkembang menjadi
kebudayaan Islam. Selain itu sering pula dijumpai unsur-unsur kebudayaan
prasejarah yang terus bertahan pada kebudayaan klasik, Islam, hingga sekarang.
Pada kajian arkeologi, bentuk-bentuk perubahan kebudayaan dapat diamati melalui
benda-benda peninggalan manusia termasuk di antaranya adalah bangunan. Perubahan
kebudayaan tidak hanya terjadi pada pusat-pusat peradaban seperti pada
kerajaan/kesultanan besar tetapi dapat pula terjadi pada kerajaan/kesultanan
kecil. Di Jawa Barat pada masa Islam dikenal ada dua kesultanan besar yaitu
Kesultanan Cirebon dan Banten yang berpusat di pesisir. Di daerah pedalaman
juga ada kesultanan/kerajaan seperti misalnya Sumedang.
Penelitian
terhadap kebudayaan masa lampau masyarakat Sumedang sudah beberapa kali
dilakukan. N.J. Krom pada tahun 1914 pernah mencatat adanya tinggalan
arkeologis di Gunung Tampomas. Dalam laporannya disebutkan terdapat bangunan
berundak dari batu-batu terdiri empat teras. Untuk mencapainya melalui sebuah
tangga batu, dipuncaknya berdiri patung Ganesa, bekas kaki dan enam benda kecil
antara lain sebuah berbentuk genta (kolotok) dan sebuah lagi berbentuk
landasan (Krom, 1915).
Pada bulan Januari 1987,
Lucas Partanda Koestoro dari Laboratorium Paleoekologi dan Radiometri, Bandung
(sekarang Balai Arkeologi Bandung) mengadakan penelitian deskriptif terhadap
peninggalan di puncak Gunung Tampomas yang dikenal dengan sebutan Sanghiang
Taraje. Uraian hasil penelitiannya menguraikan kondisi dan dimensi bangunan
berundak. Beberapa objek penting yang dicatatnya adalah arca menhir dari batuan
andesit di halaman pertama, batu tatapakan (umpak), batu ajeg
(batu yang didirikan tegak), dan batu kasur yang terdapat di halaman ketiga
(Koestoro, 1987: 38 – 39).
Balai Arkeologi Bandung
pada tahun 1998 kembali mengadakan penelitian di Gunung Tampomas. Dalam
laporannya, selain kepurbakalaan di puncak Gunung Tampomas (Sanghyang Taraje) juga dideskripsi
sejumlah tinggalan arkeologis di Puncak Manik. Benda-benda arkeologis tersebut
adalah arca Ganesa, arca binatang, dan batu berbentuk tumpeng (kerucut). Arca Ganesa
digambarkan secara sederhana. Arca binatang menggambarkan harimau dengan kuku
yang tajam. Batu berbentuk tumpeng merupakan tiruan terbuat dari semen, batu
yang asli dihancurkan. Selain itu juga dicatat adanya batu kasur (Yondri,
1998).
Pada 2005 Balai Arkeologi Bandung
mendapat informasi dari masyarakat bahwa di Desa Narimbang, Kecamatan Congeang
terdapat beberapa objek purbakala yang selama ini sudah sering dikunjungi
masyarakat. Objek tersebut berupa tempat-tempat yang dikeramatkan (kabuyutan
dan makam keramat). Pendataan yang dilakukan mencatat adanya kabuyutan yang
dipercaya sebagai makam Sutawijaya. Objek dikelilingi pagar terbentuk dari
susunan batu. Pagar keliling ini merupakan hasil buatan masyarakat setempat.
Pada sisi timur terdapat jalan. Di dalam lahan yang berpagar terdapat tatanan
batu yang terhampar. Di antara tatanan batu terdapat dua batu berdiri
menyerupai nisan beroerientasi utara – selatan. Tatanan hamparan batu berada di
bagian utara batu berdiri.
Selain kabuyutan juga terdapat kompleks
makam keramat Sawah Kalapa. Tokoh utama yang dimakamkan adalah Embah Secapati.
Tokoh ini merupakan cikal bakal masyarakat kampung Narimbang. Makam Embah
Secapati berada pada bangunan cungkup. Selain makam Embah Secagati juga
terdapat makam isterinya. Kedua makam tidak dilengkapi jirat. Nisan sebagai
tanda makam berupa batu panjang yang ditancapkan. Di luar cungkup terdapat
makam baik lama maupun baru. Makam-makam tersebut terkonsentrasi di sebelah
barat cungkup makam Embah Secagati. Kebanyakan makam tidak dilengkapi jirat,
namun ada yang dibatasi dengan susunan batu berdenah empat persegi panjang.
Salah satu makam yang berada di sebelah barat cungkup makam utama, susunan batu
keliling berpola swastika. Nisan kebanyakan berupa batu panjang yang
diberdirikan.
Di lereng timur Gunung Tampomas terdapat lokasi yang disebut Blok Candi. Pada
tahun 1998 di lokasi itu telah ditemukan arca. Arca tersebut kemudian disimpan
oleh Ifan, tokoh pemuda penggerak pariwisata Desa Narimbang. Arca terbuat dari
bahan batuan tufa berwarna kemerahan. Kondisi arca sudah tidak lengkap, pada
bagian kepala patah. Ukuran tinggi 45 cm, lebar 25 cm, dan tebal 15 cm.
Penggambaran sangat sederhana. Kedua tangan digambarkan dalam sikap menyilang
di dada. Tangan kiri berada di atas tangan kanan. Bagian perut hingga kaki
tidak digambarkan. Tepat di atas persilangan dua tangan terdapat tonjolan
melengkung ke arah kanan. Pada tahun yang sama, Balai Arkeologi Bandung
mengadakan penelitian tentang perkembangan kota-kota pusat pemerintahan dan
arsitektur di Kabupaten Sumedang (Boedi, 2006).
Berdasarkan fakta sejarah, kebudayaan
masyarakat Sumedang mengalami perkembangan dari masa prasejarah, masa awal
pemerintahan yaitu masa “Kerajaan” Tembong Agung, masa Kerajaan Sumedanglarang,
selanjutnya masa pemerintahan Kabupaten Sumedang. Jejak perubahan
kebudayaan tersebut dapat diamati melalui peninggalan makam-makam para penguasa
pada zamannya masing-masing. Objek makam para penguasa dinilai penting karena
penguasa merupakan pusat peradaban, sehingga bentuk-bentuk kebudayaan yang
bersifat bendawi yang berkaitan dengan penguasa akan dapat memperlihatkan
ciri-ciri kebudayaan yang berkembang pada masa itu.
Dalam membahas permasalahan tersebut
akan diterapkan tipe penelitian kualitatif. Pemecahan masalah dilakukan dengan
metode deskriptif terhadap objek kajian melalui penalaran induktif. Fokus
kajian dibatasi pada perubahan kebudayaan masa pra-Islam (Hindu) ke masa Islam
yang terlihat pada bentuk-bentuk bangunan makam.
DATA DAN PEMBAHASAN
Latar Sejarah
Pengkajian
terhadap sejarah Sumedang sudah sering dilakukan oleh para sejarawan dan
budayawan. Karena minimnya sumber sejarah tentang Sumedang, penyusunan sejarah
masih banyak memanfaatkan cerita dan legenda. Nina H. Lubis (2000: 71 - 90)
mengkaji berdasarkan legenda rakyat Sumedang mengemukakan bahwa sejarah
Sumedang diawali dari Prabu Guru Aji Putih sebagai penguasa Tembong Agung.
Prabu Guru Aji Putih kemudian menyerahkan kekuasaan Tembong Agung kepada
putranya yang bernama Batara Tuntang Buana. Setelah berkuasa, Batara Tuntang
Buana mengganti nama menjadi Prabu Tajimalela dan mengganti nama kerajaan
menjadi Sumedanglarang.
Di
awal kekuasaan Prabu Tajimalela mengangkat pejabat-pejabat kerajaan dari
lingkungan keluarga. Kedudukan patih dijabat oleh pamannya sendiri yaitu
Astajiwa dan sejumlah menterinya terdiri dari saudara-saudaranya. Sokawayana
menjadi penghulu daerah sekitar Gunung Tampomas, Harisdarma menjadi penghulu
daerah sekitar Gunung Haruman (Garut). Sedangkan Langlangbuana menjadi penghulu
di daerah Lemah Putih kemudian menjadi pengabdi Kerajaan Galuh.
Pernikahannya
dengan Kencana Wulung melahirkan tiga putera, yaitu Jayabrata, Atmabrata, dan
Mariajaya. Menjelang akhir pemerintahan, Prabu Tajimalela menjadi resi dengan gelar Resi Bratakusumah, Resi
Darmawisesa, atau Resi Pancarbuana dan menyerahkan kekuasaan kepada Jayabrata. Ketika
Prabu Tajimalela menyerahkan tahta kerajaan kepada Jayabrata, selama tiga hari
tiga malam melihat keajaiban di sekitar Tembong Agung. Langit tiba-tiba menjadi
terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela). Melihat keajaiban ini Prabu Tajimalela
mengucapkan “ingsun medal ingsun madangan”
(aku lahir untuk memberi penerangan). Prabu Tajimalela meninggal dunia dan dimakamkan
di Paniis Desa Cieunteung Kecamatan Darmaraja.
Jayabrata
dinobatkan sebagai penguasa Tembong Agung mendapat gelar Prabu Lembu Agung. Pada
masa pemerintahannya banyak dibangun sarana peribadatan. Prabu Lembu Agung
menyerahkan tahta kerajaan kepada Atmabrata. Setelah itu menjadi resi dan menyebarkan agama di daerah
sekitar Gunung Sanghyang, Rengganis; Gunung Nurmala dan berakhir di Mandala
Kawikan (Karang Kawitan). Prabu Lembu Agung dimakamkan di Astanagede Cipeueut.
Atmabrata
sebagai pengganti Prabu Lembu Agung ketika naik tahta bergelar Prabu Gajah
Agung. Sebagaimana raja-raja terdahulu, Prabu Gajah Agung juga mengakhiri
kekuasaannya dengan memasuki dunia karesian.
Kekuasaan Sumedanglarang diteruskan oleh Sunan Pagulingan. Prabu Gajah Agung
wafat dan dimakamkan di Cicanting, Desa Cisurat, Kecamatan Wado.
Sunan
Pagulingan selanjutnya digantikan oleh Ratu Rajamantri. Ratu ini menikah dengan
Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Sejak ini Kerajaan Sumedanglarang berada di
bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Ratu Rajamantri digantikan oleh Sunan
Guling dan selanjutnya secara berturut-turut digantikan oleh Sunan Tuakan, Nyi
Mas Ratu Patuakan, Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata atau lebih dikenal dengan
nama Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri. Pada masa
ini pusat kerajaan dipindahkan ke Kutamaya. Wilayahnya meliputi Karawang,
Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura, Bandung, dan Parakanmuncang (Lubis,
2000).
Pada
tahun 1551, Pangeran Santri bersama santri-santrinya pergi ke Sumedanglarang
dengan tujuan menyebarkan agama Islam. Kemudian menikah dengan Ratu Pucuk Umun.
Sejak itulah Islam berkembang di lingkungan keluarga dan kerabat Ratu
Sumedanglarang. Perkawinan Pangeran Santri dengan Ratu Pucuk Umun melahirkan 6
orang putera, yakni:
- Pangeran Angkawijaya (prabu Geusan Ulun), penerus tahta
kerajaan Sumedanglarang
- Kyai Rangga Haji. Beliau mengalahkan Aria Kuda Panjalu
dari Narimbang supaya masuk Islam
- Kyai Demang Watang di Walakung
- Santoan Wirakusumah yang keturunannya berada di Pagaden
dan Pamanukan, Subang
- Santoan Cikeruh
- Santoan Awi Luar
Pangeran
Santri mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan
budaya, secara perlahan-lahan prinsip-prinsip Islam menyusup ke dalam
tradisi-tradisi ritual, tetapi tidak menghancurkan nilai-nilai budaya aslinya,
sehingga ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan.
Sejak
masa pemerintahan Pangeran Santri, Sumedanglarang mengalami kemajuan yang
pesat, terutama dalam bidang sastra, agama dan budaya. Selain itu, kekuasaan
dan kekuatan Pajajaran sudah tidak tampak lagi di Sumedanglarang juga di
kerajaan-kerajaan daerah lainnya, sehingga pada saat itu Sumedanglarang
merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat penuh secara ‘de facto’ dan benar-benar berdaulat
penuh bahkan disebut-sebut sebagai penerus kerajaan Pajajaran di masa
kepemimpinan Pangeran Angkawijaya, putera tertua Ratu Pucuk Umun dan Pangeran
Santri yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun.
Pada
sekitar tahun 1575 terjadi peristiwa Burak
Pajajaran yaitu malapetaka yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Sunda
Pajajaran. Dalam Carita Parahyangan, Burak Pajajaran terjadi karena adanya
serangan Banten ke Pakuan Pajajaran. Menurut Babad Cirebon, Burak Pajajaran adalah peristiwa kedatangan Sunan
Gunung Jati dan Pangeran Walangsungsang sebagai anak dan cucu Prabu Siliwangi
untuk menghadap dan meminta Prabu Siliwangi supaya memeluk Islam (Jubaedah,
2005). Runtuhnya Pajajaran tersebut pada tanggal 14 Shafar tahun Jim Akhir 1579
bertepatan dengan tanggal 22 April 1579.
Setelah
Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun tahta kerajaan diteruskan oleh Pangeran
Angkawijaya dengan gelar Prabu Geusan Ulun. Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun
dimakamkan di Gunung Ciung, Pasarean Gede, Kelurahan Kota Kulon, Sumedang
Selatan.
Pada
22 April 1578 Pangeran Geusan Ulum menerima kedatangan empat orang kandagalante dari Kerajaan Sunda
Pajajaran. Empat orang kandagalante
itu adalah Embah Jayaperkosa (Sayanghawu), Terong Peot, Kondanghapa, dan
Nangganan. Mereka datang menyerahkan mahkota Binokasri (Binokasih) dan beberapa
atribut kebesaran kerajaan antara lain berupa kujang kepada Pangeran Geusan
Ulun (Wiriaatmadja, 2012).
Keempat kandagalante diceritakan
dalam naskah Pustaka Kertabhumi I/2. "Sira paniwi dening Prabu
Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang
salwirnya" (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka
membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga
peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda
Pajajaran dan Raja Sumedanglarang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah
Parahyangan yang terdiri dari 26 Kandagalante, Kandagalante adalah semacam
Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul
dengan cacah sebanyak 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti penguasa
Pajajaran yang telah sirna.
Akhirnya, pada sekitar tahun 1579
Kerajaan Sunda Pajajaran runtuh dan Kerajaan Sumedanglarang menjadi kerajaan
yang berdaulat penuh. Prabu Geusan Ulun selaku penguasa Sumedanglarang
mengklaim bahwa wilayah bekas Kerajaan Sunda yang berada di antara Kali
Cisedane hingga Kali Cipamali kecuali Banten, Jayakarta, dan Cirebon menjadi
wilayah Sumedanglarang. Prabu Geusan Ulun memindahkan pusat kerajaan dari
Kutamaya ke Dayeuh Luhur, sekarang masuk wilayah Kecamatan Ganeas.
Dalam naskah Pustaka Kertabhumi I/2
disebutkan bahwa: "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran
kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu
Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah
wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Selanjutnya
diberitakan "Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira
Pangeran Ghesan Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui
Pangeran Geusan Ulun).
Pada
tahun 1610 Pangeran Geusan Ulun wafat, kekuasaan diturunkan ke Aria
Suriadiwangsa. Aria Suradiwangsa sebenarnya bukan anak kandung Pangeran Geusan
Ulun. Pangeran Geusan Ulun merebut Ratu Harisbaya isteri Panembahan Ratu dari
Cirebon. Ketika diambil oleh Pangeran Geusan Ulun dalam keadaan mengandung anak
Panembahan Ratu, sehingga Aria Suradiwangsa adalah anak Panembahan Ratu.
Pangeran Geusan Ulun juga menikah dengan Nyai Mas Gedeng Waru dan mempunyai
anak Rangga Gede. Menurut sumber sejarah lain, ketika Aria Suradiwangsa naik
tahta menggantikan Pangeran Geusan Ulun, Rangga Gede juga dinobatkan sebagai
pengganti Pangeran Geusan Ulun tetapi berkedudukan di Canukur. Pada masa ini
pemerintahan Sumedanglarang terbagi dua yaitu di bawah kepemimpinan Aria
Suradiwangsa dan Rangga Gede.
Pada
masa pemerintahan Aria Suradiwangsa, beberapa nagari bawahan Sumedanglarang
seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan, dan Indramayu menyatakan melepaskan diri
dari kekuasaan Sumedanglarang. Wilayah Sumedanglarang hanya tinggal di kawasan
pedalaman seperti Sumedang, Parakanmuncang. Bandung, dan Sukapura. Pusat
pemerintahan yang semula di Dayeuh Luhur dipindahkan ke Tegalkalong.
Ekspansi
Kesultanan Mataram ke berbagai wilayah berdampak besar pada perubahan di
berbagai sektor kehidupan. Pada sekitar tahun 1620, Aria Suradiwangsa yang
kesulitan menahan ekspansi Mataram akhirnya menyatakan diri berada di bawah
kekuasaan Mataram. Sistem pemerintahan kerajaan Sumedanglarang yang semula keprabuan berubah menjadi kebupatian (kabupaten). Pangkat raja
turun menjadi bupati/wedana. Prabu Geusan Ulun adalah raja terakhir yang
bergelar prabu, setelah itu Sumedanglarang berada di bawah kekuasaan Mataram
dengan pemimpinnya berpangkat bupati/wedana.
Menurut
kajian Yoseph Iskandar, Kerajaan Sumedanglarang berdiri pada sekitar tahun 1340
(Iskandar, 1997: 294). Pusat Kerajaan Sumedanglarang mengalami beberapa kali
perpindahan. Pada awal ketika berdiri hingga masa pemerintahan Prabu Tajimalela
pusat pemerintahan berada di Tembong Agung. Ketika Prabu Gajah Agung naik
tahta, pusat kerajaan dipindahkan ke Ciguling, sekarang termasuk wilayah Desa
Pasangrahan, Kecamatan Sumedang Selatan, dan pada masa pemerintahan Pangeran
Santri dipindahkan ke Kutamaya. Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun
berpusat di Dayeuh Luhur kemudian pindah lagi ke Tegalkalong pada masa
pemerintahan Aria Suradiwangsa (Lubis, 2000; Wiriaatmadja, 2012).
Beberapa Tinggalan Arkeologis
Perubahan
kebudayaan secara fisik dapat dilihat melalui beberapa tinggalan hasil budaya.
Wujud kebudayaan yang terdiri dari ide, tingkah laku, dan benda secara hakiki
tidak bisa dipisah-pisahkan. Pada suatu benda akan terkandung ide dan tingkah
laku yang mengawalinya sehingga benda itu terbentuk. Makam merupakan merupakan
salah satu tinggalan yang dapat mencerminkan adanya proses perubahan budaya.
Makam dalam hal ini difahami tidak sekedar kuburan tetapi merupakan suatu
kompleks yang terdiri dari beberapa unsur meliputi halaman, jirat, dan nisan.
Di Sumedang terdapat beberapa kompleks makam raja-raja atau penguasa dari masa
pra-Islam hingga penguasa masa Islam.
1. Kawasan Situs
Keramat Aji Putih
Kawasan situs Keramat Aji Putih secara
administratif berada di ujung barat kampung yang berada di sebelah timur Desa
Cipaku. Lokasi kawasan situs Keramat Aji Putih dari ujung kampung kemudian
melalui jalan setapak di area persawahan ke arah selatan berjarak sekitar 200
m. Di kawasan situs ini terdapat tiga objek yaitu makam Prabu Guru Aji Putih,
makam Resi Agung, dan makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan.
a.
Makam Prabu Guru Aji Putih
Prabu Guru Aji Putih adalah perintis
berdirinya Kerajaan Sumedanglarang yang pada waktu itu masih berkedudukan di Tembong
Agung. Makam Prabu Guru Aji Putih berada di lahan pinggir sungai Cibayawak,
tepatnya berada pada posisi 06° 53’ 41,8” LS
dan 108° 04’ 54,9” BT.
Lahan tersebut dikelilingi parit alam sehingga lahan makam seakan-akan berada
pada puncak bukit. Jalan menuju makam dari arah barat daya bukit kemudian lurus
ke arah timur. Pada sudut tenggara makam terdapat jalan berundak ke puncak
bukit. Bukit terbagi dalam tiga teras dengan susunan batu sebagai pembatas
teras dan tangga batu. Di teras pertama bagian selatan terdapat dua bangunan
kayu yang sering dipakai untuk beristirahat dan tidur oleh para peziarah. Teras
kedua berupa lahan kosong. Teras ketiga yang terletak di puncak bukit merupakan
bagian yang paling dikeramatkan. Lahan pada bagian ini berpagar bambu,
diselubungi kain berwarna merah putih. Di dalam halaman berpagar bambu tersebut
terdapat makam berbentuk punden berundak tiga teras dengan satu batu tegak
(menhir) di puncaknya. Pundek berundak tersebut terbentuk dari struktur batu
alam berorientasi utara-selatan. Makam Prabu Aji Putih sampai sekarang masih
dikeramatkan dan diziarahi oleh masyarakat setempat dan dari daerah lain. Di
sebelah timur laut makam, terdapat sumur berdiameter 1 meter dengan kedalaman
permukaan air sekitar 1 m.
 |
Foto kondisi makam Prabu Guru Aji Putih (Dok. Nanang Saptono, 2011) | |
|
b.
Makam Resi Agung
Resi Agung dipercaya masyarakat sebagai
guru spiritual Prabu Guru Aji Putih. Makam Resi Agung terletak di sebelah timur
laut makam Prabu Guru Aji Putih, tepatnya berada pada posisi 06° 53’ 40,3” LS dan 108° 04’ 59,3” BT. Menuju ke makam
ini dengan melewati jalan yang berada di sebelah timur makam Prabu Guru Aji
Putih, ke arah utara kemudian belok ke arah timur laut. Jarak antara ke dua
makam ini sekitar 200 m.
Makam berpagar bambu dilapisi kain warna
merah putih. Di sebelah barat daya makam terdapat bangunan tidak permanen yang
dipakai untuk bermukim para peziarah. Untuk memasuki makam melalui pintu
gerbang yang berada di sudut barat daya. Objek makam terdiri dari jirat dan
nisan. Jirat terdiri dari struktur batu alam berdenah segi empat berukuran 3 x
4,5 m dengan orientasi utara-selatan. Nisan berupa batu alam tegak (menhir)
setinggi 40 cm yang terletak di bagian utara makam.
 |
Foto makam Resi Agung (Dok. Nanang Saptono, 2011) |
c.
Makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan
Lokasi objek terletak di tengah
persawahan, pada ordinat 06° 53’ 34,85” LS
dan 108° 04’ 50,02” BT.
Lahan makam berupa semacam hutan kecil berukuran sekitar 15 x 30 m memanjang
utara-selatan. Di sisi timur lahan terdapat jalan setapak dan parit kecil untuk
keperluan irigasi sawah. Untuk memasuki lahan melalui jalan masuk yang berada
di sisi timur bagian utara. Halaman yang terdapat objek makam berada di bagian
utara lahan berpagar bambu. Halaman ini berukuran sekitar 11 x 10 m. Pintu
masuk berada di sisi selatan. Di sebelah selatan halaman ini terdapat bangunan
tidak permanen sebagai tempat istirahat para peziarah.
 |
Foto makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan (Dok. Nanang Saptono, 2011) |
Makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan
terdiri dari jirat dan nisan dengan orientasi utara-selatan. Jirat berupa
tatanan batu alam dengan denah persegi empat berukuran 4,7 x 2,6 m, dan batu
alam berfungsi sebagai nisan terletak di bagian utara makam. Nisan berbentuk
oval berukuran tinggi 45 cm, dengan bagian terlebar 25 cm dan ketebalan 10 cm.
Makam ini sampai sekarang masih dikeramatkan oleh penduduk dan masih diziarahi
oleh masyarakat baik lokal maupun dari daerah lain dengan berbagi keperluan.
2. Situs Astana
Gede Cipeueut
Situs Astana Gede secara administratif
terletak di Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja dan pada ordinat
06° 53’ 24,4” LS
dan 108° 04’ 20,8” BT.
Lokasi situs terletak di pinggir sebelah utara jalan masuk ke Kampung Cipeueut
dan menjadi satu dengan pemakaman umum warga setempat. Di situs ini terdapat
tiga objek berupa makam, yaitu makam Nyi Mas Siti Sujiah (istri Prabu Lembu
Agung), Embah Jalul, dan Prabu Lembu Agung. Ketiga makam tersebut sampai
sekarang masih dikeramatkan oleh masyarakat baik setempat maupun luar daerah.
a. Makam Nyi Mas Siti Sujiah
Makam Nyi Mas Siti Sujiah berada pada
bagian paling selatan kompleks makam yang dikeramatkan. Bagian makam ini dikelilingi
pagar dari susunan batu setinggi sekitar 80 cm hingga 1 m, dengan ketebalan 80
cm. Bagian halaman yang berpagar ini berdenah empat persegi berukuran sekitar 7
x 8 m. Pintu/jalan masuk berada di sisi selatan. Tepat di sebelah dalam jalan
masuk terdapat batu datar.
Makam terdiri dari jirat dan nisan.
Jirat berupa struktur batu alam berdenah segi empat berorientasi utara-selatan
sedikit menyerong ke arah timur laut – barat daya. Nisan bagian selatan
berukuran lebih besar bila dibandingkan dengan nisan bagian utara. Kedua nisan terbuat
dari batu yang dipangkas sehingga berbentuk papan batu.
b. Makam Embah Jalul
Makam Embah Jalul berada di sebelah
utara makam Nyi Mas Siti Sujiah. Makam terdiri dari jirat berupa struktur batu
alam dan nisan berupa batu berdiri. Makam berorientasi utara-selatan.
 |
Makam Embah Jalul (Dok. Nanang Saptono, 2011) |
c.
Makam Prabu Lembu Agung
Prabu Lembu Agung adalah salah satu raja
Kerajaan Sumedanglarang. Makam Prabu Lembu Agung berada di bagian paling dalam
atau paling utara lahan yang dikeramatkan. Makam dikelelingi pagar kayu dengan
pintu masuk di bagian selatan pagar. Makam berupa struktur batu berteras dua
dengan batu tegak di puncaknya sebagi nisan. Makam berorientasi utara-selatan.
 |
Foto Makam Prabu Lembu Agung (Dok. Nanang Saptono, 2011) |
3. Pasarean Gede
Kompleks makam Pasarean Gede berada di
RT 02 RW 12 Kelurahan Kota Kulon. Lahan kompleks pemakaman berupa bukit kecil
luasnya sekitar 1 ha yang disebut Gunung Ciung. Secara geografis lokasi ini
berada pada posisi 06° 51’ 10,99” LS
dan 107° 55’ 18,18” BT. Untuk
menuju makam dapat dicapai dari jalan utama (Jalan Pangeran Geusan Ulun) ke
arah barat melalui jalan kampung sekitar 50 m. Pintu gerbang kompleks makam
berada di sisi timur.
 |
Peta Keletakan Situs Pasarean Gede, Sumedang |
Pada dasarnya kompleks makam terbagi dua
bagian halaman yaitu halaman bagian timur berupa bukit dan bagian barat berupa lahan
datar. Pada bagian bukit terdiri dari tujuh teras halaman. Teras terendah
berada di sebelah barat dan teras tertinggi berada di sebelah timur. Pada
setiap teras terdapat beberapa makam. Makam utama berada di teras tertinggi.
Makam pada bagian ini dilengkapi dengan bangunan cungkup terbuka. Tokoh utama
yang dimakamkan adalah Pangeran Kusumadinata I atau Pangeran Santri, Ratu Dewi
Inten Dewata atau Ratu Pucuk Umun, dan Dalem Isteri Raja Ningrat. Kesemua makam
itu pada dasarnya berbentuk sama. Jirat berbentuk persegi dengan nisan
berbentuk pipih pada bagian atas berbentuk kurawal.
 |
Foto nisan makam Ratu Pucuk Umun (Dok. Nanang Saptono, 2012) |
Beberapa makam yang berada di teras
bawahnya tidak dilengkapi jirat. Makam hanya ditandai dengan nisan batu pipih.
Nisan-nisan tersebut berbentuk persegi ada pula yang berbentuk pipih.
Di halaman bawah terdapat tiga jalur
kelompok makam berorientasi barat – timur. Deretan makam yang terdapat pada
bagian utara berjumlah 42 makam. Makam-makam ini ada yang dilengkapi jirat dan
ada pula yang tidak dilengkapi jirat. Nisan pada umumnya terbuat dari bahan
batuan pasir kompak. Pada bagian ini ada 12 makam yang berada di dalam bangunan
cungkup terbuka. Tokoh utama yang dimakamkan di dalam bangunan cungkup adalah
Pangeran Kornel dan istrinya yang bernama Nyi Mas Ayu Lenggang Kusumah.
 |
Foto beberapa makam yang terdapat di halaman bawah kompleks makam Gunung Ciung (Dok. Nanang Saptono, 2012) |
Di sebelah selatan deretan makam
terdapat deretan makam berjumlah 22 makam. Di sebelah selatannya lagi terdapat
deretan 33 makam. Pada umumnya makam tidak dilengkapi jirat. Nisan terbuat dari
bahan batu berbentuk kurawal. Beberapa nisan dibuat agak tebal.
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT
SUMEDANG
Kawasan Sumedang dalam sejarah budaya
berada pada masa transisi antara masa Hindu-Buddha ke masa Islam dan
berlangsung terus hingga masa kemerdekaan. Pada akhir masa Hindu-Buddha di Jawa
pada umumnya dan di Tatar Sunda khususnya terdapat bentuk budaya masa prasejarah
(budaya lokal) yang muncul kembali serta berakulturasi dengan budaya
Hindu-Buddha dan Islam. Berdasarkan berbagai sumber etnosejarah berupa naskah
kuna dan prasasti dapat terlihat bagaimana perkembangan budaya masyarakat Sunda
terutama dari aspek religi. Naskah Carita
Parahyangan banyak memberikan gambaran tentang keadaan keagamaan pada zaman
itu. Di dalam naskah terlihat bahwa Raja Sanjaya adalah penganut Hindu. Selain
itu, juga disebutkan bahwa Sanghyang Darmasiksa adalah pemeluk agama Wisnu.
Berdasarkan sumber lainnya yaitu Prasasti Sanghyang Tapak, memperlihatkan
kuatnya pengaruh agama Hindu. Pengaruh Hindu juga tampak kuat pada naskah kuna Sawakadarma. Di dalam naskah ini
terdapat nama-nama dewa dari agama Hindu antara lain Brahma, Wisnu, Maheswara,
Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kuwera, Indra, Besrawáka, dan lain-lain. Di
dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng
Karêsian, pengaruh agama Hindu juga masih terlihat. Namun demikian juga
tampak adanya pengaruh agama Buddha. Dalam naskah itu disebutkan bahwa Mangkubumi
berbakti kepada Ratu, Ratu berbakti kepada Dewata, Dewata berbakti kepada Hyang.
Berdasarkan berbagai keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya,
keagamaan yang melatari kehidupan masyarakat Sunda adalah Hindu. Dalam
perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya
unsur kepercayaan asli muncul. Kemunculan kepercayaan asli dari para leluhur
terlihat dari keterangan dalam naskah Sanghyang
Siksakanda ng Karêsian yang menurunkan derajat Dewata berada di bawah Hyang
(Hardiati, 209: 409).
Menurut historiografi lokal, sejarah
Sumedang diawali dengan berdirinya Tembong Agung yang dirintis oleh Sanghyang
Resi Agung kemudian diteruskan oleh Prabu Guru Aji Putih. Prabu Tajimalela
sebagai pengganti Prabu Guru Aji Putih mengganti nama Tembong Agung menjadi Kerajaan
Sumedanglarang. Salah satu penguasa Kerajaan Sumedanglarang adalah Prabu Lembu
Agung. Pada masa ini sistem religi yang berkembang di Sumedanglarang masih
Hindu/Buddha yang bercampur dengan kepercayaan lokal.
Bentuk religi yang berkembang pada masa
akhir klasik di Sumedang mempengaruhi bentuk budaya masyarakat. Apabila
dibandingkan dengan kebudayaan pada akhir masa klasik di Jawa Tengah dan Jawa
Timur pada umumnya, tinggalan berupa makam tidak ditemukan. Raja atau penguasa didharmakan pada bangunan candi.
Beberapa makam penguasa di Sumedang pada masa pra-Islam memperlihatkan mirip
dengan kubur berundak pada masa prasejarah. Kubur berundak dibuat di atas
bangunan berundak biasanya terdiri dari satu atau lebih undakan tanah. Pada
sisi undakan diperkuat dengan batu kali. Undakan berdenah empat persegi panjang
semakin ke atas semakin kecil. Pada bagian dataran terdapat batu berdiri
(menhir) (Bintarti, 2009: 257). Bentuk bangunan berundak juga terlihat pada
beberapa bangunan candi yang berasal dari masa klasik akhir. Candi Jago yang terdapat
di Malang dan merupakan tempat pendharmaan Wisnuwardhana sebagai Buddha,
berbentuk dasar bangunan berundak. Candi ini didirikan pada akhir abad ke-13.
Wisnuwardhana meninggal pada 1268, Candi Jago mungkin didirikan pada 1280 Saka
(Bernet Kempers, 1959: 84). Candi Sukuh yang terdapat di lereng barat Gunung
Lawu, Jawa Tengah juga berbentuk dasar bangunan berundak. Berdasarkan beberapa
candrasengkala yang ada, Candi Sukuh dibangun pada sekitar abad ke-15 (Bernet Kempers,
1959: 101). Bangunan makam dari masa pra-Islam di Sumedang bila dibandinkan
dengan bangunan candi dari masa klasik akhir dan bangunan kubur berundak dari
masa prasejarah terdapat kesamaan.
Makam Prabu Guru Aji Putih juga berupa
bangunan berundak yang pada bagian atasnya datar. Pada bagian yang datar itulah
terdapat jirat dan nisan makam Prabu Guru Aji Putih. Jirat juga berbentuk
berundak, sedangkan nisan berupa batu alam berdiri yang berbentuk memanjang.
Makam-makam lain di kompleks Keramat Aji Putih seperti makam Resi Agung dan
makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan juga memperlihatkan adanya anasir
bangunan pra-Islam. Jirat yang berbentuk empat persegi panjang berupa susunan
batu kali dengan nisan berupa batu panjang yang didirikan merupakan prototipe
bangunan kubur berundak.
Bangunan makam berbentuk berundak juga
terdapat pada kompleks Astana Gede Cipeueut. Makam Lembu Agung berupa bangunan
berundak yang pada bagian sisi terutama sisi depan (utara) serta sisi samping
barat dan timur diperkuat dengan tatanan batu. Jirat berbentuk empat persegi
panjang dari susunan batu. Nisan juga dari bahan batu panjang yang didirikan.
Makam lainnya di kompleks Astana Gede seperti misalnya makam Nyi Mas Siti
Sujiyah dan Embah Jalul juga berupa bangunan berundak dari susunan batu.
Memasuki masa Islam, Pada masa
pemerintahan Ratu Pucuk Umun mulailah ada sentuhan Islam dengan adanya tokoh
Pangeran Santri. Di Jawa pada umumnya dikenal tokoh Walisanga sebagai penyebar
Islam. Ajaran Islam dari para wali ini kemudian diteruskan oleh para muridnya
kepada masyarakat yang lebih luas lagi. Pangeran Santri adalah murid Sunan
Gunung Jati yang kemudian meneruskan penyebaran Islam melalui sistem pondok pesantren.
Pesantren merupakan lembaga penting dalam penyebaran agama Islam. Pembinaan
calon guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama dilakukan di
pesantren-pesantren. Pesantren beserta kiai-kiai berperan penting dalam proses
pendidikan masyarakat. Raja beserta keluarganya dan kaum bangsawan biasanya
mendatangkan kiai-kiai sebagai guru atau penasehat agama. Ajaran disampaikan
melalui pendekatan dan penyesuaian dengan unsur-unsur kepercayaan yang telah
ada sebelumnya. Saluran islamisasi ada yang melalui cabang-cabang kesenian
seperti seni bangunan, seni ukir, seni tari, seni musik, dan seni sastra (Tjandrasasmita,
2009: 168 – 173).
Pada seni bangun, perubahan kebudayaan di
Sumedang terlihat pada tinggalan makam. Kalau pada masa prasejarah makam
berundak juga berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada arwah leluhur dan candi
pada masa klasik sebagai tempat pendharmaan
raja, maka pada masa Islam pembangunan makam juga mengandung maksud
monumentalisasi kekuasaan dalam bentuk bangunan. Ketika peradaban Islam mengambil
alih orientasi dan praktek spiritual, gambaran dan peran candi sebagai monumen
kekuasaan tidak hilang begitu saja. Kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri
yang berada di atas bukit, mendukung monumentalitas serta mengingatkan orang
pada daerah-daerah di mana candi biasa dibangun (Wiryomartono, 1995: 10).
Pemilihan lokasi makam di puncak bukit
juga dapat dijumpai di kompleks makam Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara,
Cirebon. Di sini terdapat dua kompleks makam di atas bukit yang dipisahkan
jalan raya Cirebon – Indramayu. Kompleks makam Sunan Gunung Jati di Gunung
Sembung dan kompleks makam Syekh Datu Kahfi di Gunung Jati. Kedua kompleks
makam ini berundak-undak. Makam utama berada di bagian atas (Ambary, 1982: 85).
Makam dalam pengertian budaya Islam adalah penguburan untuk orang muslim, di
mana di atas permukaan tanah dari tokoh yang dikuburkan biasanya dibuat
bangunan yang pada umumnya persegi panjang dengan orientasi utara-selatan.
Dilihat dari sudut ilmu bangunan, makam memiliki tiga unsur yang menjadi
kelengkapan satu dengan lainnya yaitu kijing
atau jirat, nisan, dan cungkup
(Ambary, 1998: 199).
Penguasa Sumedang yang sudah menganut
Islam dimulai sejak Pangeran Santri. Makam Pangeran Santri berada di kompleks
Pasarean Gede, Gunung Ciung. Bila dibandingkan dengan kompleks makam raja-raja
Islam seperti di Mataram dan Cirebon, terdapat kesamaan dalam pemilihan lokasi
yaitu di atas bukit. Pemilihan bukit/gunung sebagai lokasi makam berkaitan
dengan pandangan konsep gunung sebagai tempat suci. Pada kepercayaan Hindu, gunung
seringkali dianggap sebagai lambang Mahameru. Quarith Wales mengkaitkan konsep
Gunung Mahameru dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai Girisa, yang memperoleh gelar sebagai penguasa gunung. Hubungan
antara tanah (bumi) yang memberi kekuatan (kesuburan) dengan gunung suci adalah
jelas. Hal itu disebabkan karena sakti
Siwa yaitu Uma Haimawati anak perempuan dari Raja Gunung Himalaya, sebenarnya dipuja
juga sebagai Dewi Gunung (Wales, 1953: 88). Pandangan tentang gunung sebagai
tempat suci yang mengarah pada pemujaan gunung itu sendiri sangat jelas
menunjukkan ada kaitannya dengan ajaran Siwa.
Pembagian halaman makam secara berundak
dengan makam tokoh utama berada di bagian atas juga memperlihatkan adanya
pengaruh dari masa pra-Islam. Beberapa kompleks candi seperti Candi Panataran
dan Candi Sukuh terbagi dalam tiga halaman. Pembagian halaman juga dapat
ditemui pada kompleks keraton seperti Keraton Yogyakarta dan Keraton Kasepuhan
Cirebon. Halaman paling luar merupakan halaman yang bersifat profan, halaman
selanjutnya merupakan halaman semi sakral, dan halaman paling dalam merupakan
halaman sakral. Penempatan makam tokoh utama di Gunung Ciung menyiratkan bahwa
tokoh utama tersebut merupakan tokoh suci. Pembagian halaman juga menggambarkan
suatu hierarki. Pada ajaran Islam hierarki tidak dikenal dalam struktur
masyarakat seperti sistem kasta, tetapi terdapat pada ajaran. Islam di
Indonesia banyak disebarkan melalui ajaran tasawuf melalui tarekat (thariqah), yaitu jalan yang ditempuh
oleh kaum sufi dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Kronik berbahasa Jawa dari
Cirebon dan Banten menceritakan bagaimana pendiri dinasti raja mengunjungi
Tanah Arab dan berbaiat menjadi pengikut sejumlah tarekat. Tarekat dipandang
sebagai sumber kekuatan spiritual, sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan
posisi raja (Bruinessen, 1995 dalam Tjandrasasmita, 2009: 190-191).
Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang
berkembang pula di Jawa, dianggap sebagai tarekat paling awal di Jawa yang
mempunyai ajaran martabat tujuh. Kaum
sufi Jawa mempunyai keyakinan bahwa semua manusia mempunyai benih-benih untuk
menjadi manusia sempurna dan oleh karena itu manusia harus berusaha untuk melaksanakan
kesempurnaan itu (Tjandrasasmita, 2009: 192). Jenjang mencapai manusia sempurna
merupakan puncak dalam kehidupan manusia. Hal ini terlihat disimbulkan pada
penempatan makam tokoh utama pada halaman yang paling suci.
Hal yang membedakan dengan makam-makam
pra-Islam adalah bentuk nisan. Nisan-nisan makam pada kompleks Pasarean Gede di
Gunung Ciung, terutama nisan makam tokoh utama, berbentuk pipih bagian puncak
berbentuk kurawal. Nisan tersebut juga dihias dengan motif sulur-suluran.
Dengan demikian terlihat bahwa perkembangan kebudayaan masa Islam di Sumedang
yang terlihat pada makam selain masih mempertahankan budaya pra-Islam juga
menyerap budaya Islam sebagaimana yang dicontohkan pada makam-makam penguasa
kerajaan Islam di Mataram dan Cirebon.
Sistem religi yang berkembang di
masyarakat pada masa sebelum Islam hingga awal Islam terlihat dari bentuk
tinggalan arkeologis berupa makam-makam para penguasa ketika itu. Makam Resi
Agung, Prabu Guru Aji Putih, dan Prabu Lembu Agung serta makam-makam lain di
Kampung Cipeueut, Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja menunjukkan ciri-ciri
bangunan berundak yang merupakan budaya masa prasejarah. Ciri-ciri demikian
juga terlihat pada konsep penempatan dan pembagian halaman pada kompleks makam
Gunung Ciung dengan tokoh utama yang dimakamkan adalah Pangeran Santri. Di
kompleks makam ini sentuhan Islam tampak pada beberapa bentuk nisan. Pada
bagian lain yaitu di halaman bawah kompleks makam Gunung Ciung dengan tokoh
utama yang dimakamkan Pangeran Kornel dan Nyi Mas Ayu Lenggang Kusumah tidak
terlihat adanya pembagian halaman secara berundak. Makam-makam pada bagian ini
ada yang dilengkapi jirat ada pula yang tidak berjirat. Jirat berbentuk
persegi. Nisan berbentuk pipih pada bagian atas berbentuk kurawal. Bentuk jirat
dan nisan menunjukkan ciri-ciri makam masa Islam. Unsur perubahan kebudayaan di
Sumedang yang terlihat pada makam dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel: Unsur perubahan kebudayaan di Sumedang yang terlihat pada makam
SIMPULAN
Kebudayaan masyarakat Sumedang
berkembang sejak masa prasejarah dan berlangsung terus hingga sekarang. Pada
masa pra-Islam memasuki masa Islam berlangsung proses perubahan budaya secara
asimilasi yang terlihat pada makam-makam. Beberapa makam tokoh dari masa
pra-Islam di Sumedang memperlihatkan dengan jelas ciri-ciri budaya megalitik. Secara
fisik terlihat bahwa unsur-unsur budaya prasejarah masih melekat kuat pada
bangunan makam berupa struktur berundak. Masyarakat megalitik pada umumnya
membangun punden berundak bukan untuk makam (kubur). Punden berundak merupakan
sarana untuk pemujaan kepada arwah leluhur. Bentuk fisik beberapa makam tokoh
pra-Islam di Sumdeng mengambil bentuk bangunan punden berundak. Berdasarkan hal
itu terlihat bahwa kebudayaan masyarakat Sumedang ketika belum mendapat
pengaruh Islam masih memperlihatkan unsur-unsur kebudayaan megalitik.
Memasuki masa Islam, proses perubahan
secara asimilasi terlihat pada pemilihan lokasi makam di puncak bukit serta
pembagian halaman kompleks makam. Bentuk jirat persegi dan nisan pipih bagian
atas berbentuk kurawal merupakan salah satu ciri kebudayaan Islam. Penempatan
pada puncak bukit dan pembagian halaman menjadi tiga memperlihatkan adanya
pengaruh kebudayaan masa klasik. Pada masa awal pengaruh Islam di Sumedang,
kebudayaan Islam diterima tetapi kebudayaan sebelumnya juga masih bertahan.
Pada masa Islam proses perubahan secara
asimilasi terjadi pada bentuk nisan yang semula berupa batu bulat berdiri
menjadi nisan berbentuk pipih dengan ragam hias motif daun. Nisan pipih dengan
bagian atas berbentuk kurawal lazim dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Ketika Islam sudah kuat, kebudayaan masyarakat Sumedang pun semakin
memperlihatkan unsur-unsur kebudayaan Islam. Sumedang mendapat pengaruh Islam
dari Cirebon, dengan demikian wajar bila kebudayaan Islam di Sumedang memperlihatkan
unsur-unsur kebudayaan Islam dari Jawa Tengah/Jawa Timur karena Islam di
Cirebon juga mendapat pengaruh kuat dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif. 1985. Historical
Monuments. Dalam Paramita R. Abdurachman (Ed.). Cerbon: 68 – 91. Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia – Sinar
Harapan.
Ambary, Hasan Muarif, 1998. Menemukan Peradaban, Arkeologi dan Islam di
Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press.
Bintarti, DD (Ed.). 2009. Zaman Prasejarah di Indonesia, Sejarah
Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Boedi, Oerip Bramantyo. 2006.
Perkembangan Kota-kota Pusat Pemerintahan dan Arsitektur di Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat. Makalah pada Evaluasi Hasil
Penelitian Arkeologi. Garut, April 2006.
Hardiati, Endang Sri (Ed.).
2009. Zaman Kuno, Sejarah Nasional
Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa).
Bandung: Geger Sunten.
Jubaedah, Edah. 2005. Titilar Karuhun: Perubahan
Budaya di Sumedang Abad XVI – XVII. Bandung: Paragraf.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Koestoro, Lucas Partanda. 1987. Sanghiang Taraje,
Tinggalan Tradisi Megalitik di Gunung Tampomas. Berkala Arkeologi VIII (2): 36 – 46.
Krom,
N.J. 1915. Rapporten van den
Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914. Batavia: Albrecht &
Co.
Lubis, Nina H. 2000. Sumedang. Dalam Nina H Lubis, dkk. Sejarah
Kota-kota Lama di Jawa Barat: 71 – 90. Bandung: Alqaprint.
Tjandrasasmita, Uka (Ed.). 2009. Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Wales,
H.G. Quaritch. 1953. The Mountain of God:
A Study in Early Religion and Kingship.
London: Bernard Quaritch, Ltd.
Wiriaatmadja, R.
Moch. Achmad. 2012. Sejarah Sumedang.
Sumedang: Yayasan Pangeran Sumedang.
Wiryomartono, A. Bagoes P.
1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yondri, Lutfi. 1988. Kepurbakalaan di Kecamatan Buahdua,
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian Penanggulangan
Kasus Arkeologi. Balai Arkeologi
Bandung.
Catatan: artikel ini diterbitkan di Purbawidya: Jurnal Hasil Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Volume 2 Nomor 2, November 2013, hln. 182 - 197.
Label: Jurnal