Melacak Jejak Karuhun Sunda di Kecamatan Sagalaherang, Subang
STRUKTUR BATA DI SITUS TALUN
Nanang Saptono
Kata kunci: struktur bata, pemukiman, lantai, fondasi.
Abstract
Talun site located in south of Subang area. In Sundanesse kingdom that area was an important crossroad between Pakwan Pajajaran with eastern part of the kingdom. Settlements in this area were village (wanua) and district (watak) level, the brick structure remains found at Talun site suggest that there were some settlement cluster in the areas. The brick structure is remains of floor and buildings foundation. Ceramics found at the site dated at about Sundanesse kingdom time. The brick structure function at this time is still unknown.
Pendahuluan
Fakta arkeologis yang teramati berupa sebaran fragmen bata kuna. Pada waktu itu sangat sulit untuk mengetahui strukturnya karena bata yang ditemukan dalam keadaan berserakan. Bata utuh yang ditemukan berukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, dan tebal 8 cm. Aktifitas masyarakat mengakibatkan tersingkapnya struktur bata membujur arah utara – selatan. Berdasarkan data awal tersebut telah dilakukan ekskavasi yang berhasil menampakkan adanya struktur bata yang lebih jelas.
Tinggalan arkeologis berupa struktur bata berkaitan dengan budaya masa klasik atau masa Islam. Kawasan Subang pada masa klasik tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah. Meskipun demikian, beberapa fakta arkeologis pernah juga ditemukan di Subang. N.J. Krom dalam Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914 mencatat adanya tinggalan dari daerah Sagalaherang antara lain berupa mangkuk, piring, pinggan, dan baki perunggu yang ditemukan di Cijengkol. Di Desa Batu Kapur pernah juga ditemukan benda arkeologis berupa arca Maitreya dari perak. Di Sindangsari pernah ditemukan senjata upacara dari perunggu (Krom, 1915: 36 – 37). Di Museum Sri Baduga Bandung terdapat koleksi arca nandi berasal dari Dusun Selaawi, Desa Cipancar, Kecamatan Sagalaherang. Sedangkan dalam kaitannya dengan kebudayaan masa Islam, sekitar situs Talun terdapat perkebunan teh yang telah diusahakan sejak zaman kolonial. Berdasarkan beberapa gejala awal tersebut terdapat permasalahan menyangkut situs Talun yaitu merupakan bangunan apa dan dari masa kapan sisa-sisa struktur bata tersebut.
Di dalam studi arkeologi terdapat tiga tujuan pokok yaitu rekonstruksi sejarah budaya, rekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, dan penggambaran proses perubahan kebudayaan (Binford, 1972: 80 - 81). Kajian terhadap struktur bata di situs Talun ini dapat dikatakan mempunyai tujuan pokok untuk merekonstruksi sejarah budaya. Sejalan dengan tujuan itu, maka diterapkan tipe penelitian eksploratif dan deskriptif. Penelitian tipe eksploratif merupakan langkah awal dalam upaya memperoleh generalisasi empiris. Berdasarkan data yang diperoleh dibuat suatu ikhtisar dan dijajagi adanya kemungkinan hubungan beberapa variabel. Sedangkan tipe deskriptif memberikan gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang hal-hal yang diteliti (Gibbon, 1984: 7; Sharer dan Ashmore, 1979: 486). Untuk memperoleh hasil akhir akan diterapkan metode induktif. Berdasarkan data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dan disintesiskan, akhirnya ditarik suatu kesimpulan atau generalisasi (Mundardjito, 1986: 200).
Gambaran Umum Situs
Menurut folklore lisan masyarakat Talun yang disampaikan Tata (40-an tahun), lokasi tersebut merupakan bekas alun-alun suatu kerajaan. Tata juga menceritakan bahwa dahulu salah seorang leluhur masyarakat Dusun Talun bermimpi mendapat petunjuk bahwa di lokasi yang ditandai dengan bambu kuning yang di dekatnya ada bekas tapak kaki kerbau terpendam bokor emas. Berdasarkan petunjuk ini kemudian lokasi yang dimaksud digali, ternyata hanya ada susunan bata besar. Beberapa kali masyarakat mengambil bata-bata tersebut hingga ada yang dipakai untuk teras rumah dan benteng (talud).
Pada saat sekarang lahan di mana terdapat sebaran bata, merupakan milik beberapa orang. Bagian barat situs merupakan kebun milik Tajudin, bagian timur kebun pisang milik Neni (Yana Hadiyana), dan di bagian barat daya (sebelah selatan kebun Tajudin) adalah sawah milik Machri.
Keberadaan bata besar yang terpendam di Dusun Talun lambat laun menjadi perhatian banyak orang. Pada awal tahun 2006, dilaporkan ada kelompok masyarakat yang menaruh perhatian pada peninggalan purbakala melakukan penggalian di kebun milik Tajudin. Penggalian ini telah menampakkan struktur bata membujur arah utara-selatan. Panjang struktur 6,80 m terdiri dua lajur bata. Pada ujung utara dan selatan merupakan bagian sudut yang bersambung dengan struktur melintang arah timur-barat. Struktur melintang di bagian utara dan selatan masing-masing juga terdiri dua lajur, mengarah ke kebun milik Neni. Pada struktur bagian utara terlihat terdiri lima lapis bata, sedang bagian selatan belum seluruhnya terlihat. Selain struktur bata tersebut, di Dusun Talun terdapat beberapa objek yang berkaitan dengan kepurbakalaan.
Di sebelah utara dusun berjarak sekitar 2 km terdapat kolam alami (telaga) yang luasnya sekitar 1 ha. Keberadaan kolam ini dijadikan acuan nama desa yaitu Desa Talaga Sari. Sekeliling kolam masih banyak ditumbuhi pohon-pohonan. Di pinggir kolam tersebut terdapat makam yang dikeramatkan. Masyarakat setempat percaya bahwa tokoh yang dimakamkan adalah Embah Sanghyang Teteg. Di sebelah timur laut situs atau di sebelah timur kampung terdapat bukit kecil yang dinamakan Gunung Geulis. Di puncak gunung tersebut juga terdapat makam keramat. Tokoh yang dimakamkan dipercaya bernama Ratna Inten Sari.
Struktur Bata dan Artefak Hasil Ekskavasi
Semua kotak digali hingga kedalaman sekitar 1 m. Kondisi tanah relatif sama yaitu pada bagian atas merupakan lempung coklat kehitaman bertekstur halus sampai kasar. Di bawah lapisan lempung terdapat lapisan lapukan tufa pasiran berwarna kuning. Lapisan selanjutnya adalah lempung berwarna coklat. Pada lapisan ini terdapat fragmen bata dan struktur bata.
(dok. Balar Bdg, 2006)
Konsentrasi bata yang terdapat di kotak U5B1 sudah tidak terstruktur. Pada dinding barat kotak dijumpai beberapa bata dalam keadaan tertata secara mendatar. Pada dinding timur juga terdapat beberapa bata dalam posisi mendatar. Temuan struktur bata paling utuh terdapat pada kotak U2B1, U1B1, dan U3B1. Pada kotak U2B1 mulai spit 5 hingga kedalaman spit 7, di bagian timur kotak gali dijumpai struktur bata dalam posisi berdiri (rolak). Struktur ini berlanjut ke arah selatan di kotak U1B1. Pada beberapa bagian terdapat struktur yang terputus sehingga yang tampak terdiri tiga bagian. Bagian paling utara terdiri dua bata, bagian tengah terdiri lima bata dan bagian selatan terdiri tujuh bata.
Di bagian barat kotak U2B1, pada spit 6 dan spit 7 terdapat struktur bata dalam posisi mendatar (lantai). Struktur ini berlanjut ke utara (kotak U3B1). Di kotak U5B1 jejak struktur lantai tersebut masih ditemukan tetapi dalam kondisi sudah tidak utuh. Struktur lantai yang terlihat jelas terdiri tiga lapis. Lapisan paling atas, bata disusunan memanjang barat-timur, lapisan di bawahnya disusun memanjang utara-selatan, dan lapisan bata paling bawah disusun memanjang barat-timur. Teknik penyusunan bata tidak terlihat menggunakan lapisan perekat. Jarak antar bata (nat) sangat sempit. Jejak teknik penyusunan secara digosok tidak dijumpai. Dengan kondisi semacam ini, perekat antar bata mungkin berupa tanah liat halus. Permukaan bata dibuat secara halus sehingga memungkinkan penyusunan secara sempurna. Struktur bata dalam posisi tegak juga disusun dengan jarak sangat sempit. Lapisan perekat antar bata tidak terlihat secara tegas.
Temuan penting lain adalah fragmen keramik. Di kotak U5B1 pada kedalaman sekitar 60 cm, di bawah konsentrasi fragmen bata ditemukan fragmen keramik Cina berwarna putih biru bagian tepian. Fragmen tersebut berasal dari bentuk mangkuk masa dinasti Ming (abad ke-14 – 17). Fragmen keramik lainnya ditemukan di kotak U1B1. Pada dinding sisi timur di kedalaman 77 cm ditemukan fragmen keramik bagian badan berwarna putih. Fragmen keramik ini berasal dari Cina masa dinasti T’ang (abad ke-7 – 10) dari bentuk buli-buli.
Berdasarkan data permukaan dan hasil ekskavasi dapat disimpulkan bahwa bata yang telah tersingkap (di kebun Tajudin) merupakan sisi barat suatu bangunan. Bangunan tersebut berdenah bujur sangkar berukuran sekitar 7 m x 7 m, berbentuk semacam batur (pendapa). Sudut bangunan yang tidak utuh lagi hanya di bagian timur laut.
Di sebelah timur bangunan ini terdapat bagian bangunan lagi. Bagian yang telah berhasil ditemukan hanya sebagian pondasi sisi barat. Bentuk dan ukuran denah bangunan belum dapat diketahui karena belum terlihat bagian-bagian penting lainnya. Susunan bata dalam struktur rolak menunjukkan fondasi suatu bangunan. Dengan membandingkan ketinggian antara lantai pada bangunan di sebelah barat dengan bangunan di sebelah timur, terlihat bahwa bangunan di sebelah timur lebih tinggi. Keletakan bangunan sebelah timur bila dikaitkan dengan batur yang sudah tampak, agak bergeser ke selatan.
Umur bangunan dapat diduga secara relatif. Artefak keramik yang ditemukan menunjukkan berasal dari Cina masa dinasti T’ang dan Ming. Dengan demikian bangunan tersebut berasal dari kurun waktu antara abad ke-8 hingga ke-17.
Subang Selatan Dalam Panggung Sejarah Budaya
Di dalam beberapa sumber sejarah tentang Kerajaan Sunda, selain pemberitaan tentang pusat kerajaan, terdapat pula pemberitaan tentang kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa. Menurut Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166). Baik Barros maupun Pires tidak pernah menyebut kota pelabuhan yang dapat dilokalisasikan di daerah Subang.
Pemberitaan lain tentang Kerajaan Sunda selain kota-kota bandar, adalah jalan lalu lintas darat yang cukup penting. Jalan darat itu berpusat di Pakwan Pajajaran sebagai ibukota kerajaan, menuju ke arah timur dan barat. Jalan yang menuju ke arah timur, menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi Cimanuk, melalui Cileungsi dan Cibarusah. Dari Cibarusah membelok ke arah utara sampai ke Tanjungpura yang terletak di tepi Citarum, Karawang. Selanjutnya dari Tanjungpura ada sambungannya ke arah timur dan selatan. Jalan yang ke arah timur sampai Cirebon lalu berbelok ke selatan melalui Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Sedangkan jalan yang ke arah selatan melalui Sindangkasih dan Talaga dan berakhir juga di Kawali (Sumadio, 1990: 390). Meskipun kawasan Subang tidak pernah disebut-sebut dalam sumber sejarah klasik, keterangan tentang adanya ruas jalan dari Karangsambung, daerah Purwakarta menuju Cirebon mengarahkan pada asumsi bahwa di kawasan tersebut terdapat klaster pemukiman masyarakat. Hanya saja pada tingkat mana klaster pemukiman tersebut sulit diketahui, apakah setingkat desa (wanua) atau setingkat di atasnya (watak).
Keberadaan struktur bata di situs Talun menunjukkan bahwa dahulu di daerah tersebut terdapat klaster pemukiman. Mengenai fungsi bangunan bata di situs Talun sulit diketahui. Kawasan yang banyak mengandung tinggalan arkeologi berupa bangunan bata adalah di kawasan Batujaya (Djafar, 2002: 1 – 4). Beberapa bangunan di Batujaya hanya menyisakan bagian kaki. Denah candi-candi yang ada tersebut ada yang bujur sangkar ada pula yang empat persegi panjang. Beberapa candi yang berdenah bujur sangkar adalah candi Jiwa berukuran 19 x 19 m, candi Blandongan berukuran 25 x 25 m, candi SEG IV berukuran 6,5 x 6,5 m, dan candi TLJ V (unur asem) berukuran 10 x 10 m.
Bata yang digunakan untuk membangun candi di Batujaya berukuran tidak sama. Secara umum bata pada candi-candi Batujaya ukurannya lebih besar dibandingkan denga bata dari situs Talun. Bata di situs Talun berukuran 31 x 22 x 8 cm, sedang bata candi Jiwa berukuran 36 x 21 x 9 cm, bata candi Blandongan berukuran 45 x 22 x 10 cm, dan bata candi Serut 46 x 22 x 9 cm. Berdasarkan perbandingan tersebut terlihat bahwa lebar dan tebal bata Talun dan Batujaya relatif sama. Sedang ukuran panjang, bata Talun lebih pendek daripada bata batujaya.
Teknik penyusunan bata pada candi-candi di Batujaya secara rapat dengan lapisan perekat sangat tipis dari bahan stuco. Pertanggalan candi-candi di Batujaya berdasarkan analisis C14 menunjukkan umur tertua dari abad ke-2 dan yang termuda dari abad ke-12. Sedangkan penentuan umur secara relatif melalui analisis keramik asing menunjukkan keramik Cina dari abad ke-9 – 14.
(Dok. Nanang S, 2007)
Berdasarkan uraian tersebut diperoleh gambaran bahwa struktur bata di situs Talun terdapat kesamaan teknik konstruksi dengan bangunan bata di kawasan Batujaya. Sedikit perbedaan adalah penggunaan lapisan perekat dari bahan stuco yang sangat tipis di Batujaya tidak ditemukan di situs Talun. Masa pendirian bangunan juga berada pada kurun waktu yang sama. Mengenai fungsi bangunan bata situs Talun belum ada gambaran secara jelas.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspectives. New York: Seminar Press.
Cortesao, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Djafar, Hasan. 2002. Situs Percandian di Kawasan Batujaya: Potensi dan Permasalahannya. Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kab. Karawang. Cikampek, 15 – 19 April 2002 (belum diterbitkan).
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Krisis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan – KITLV.
Gibbon, Guy. 1984. Anthropological Archaeology. New York: Columbia University Press.
Krom, N.J. 1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht & Co.
Mulyana, Dadan. 2003. Penelitian di Daerah Subang. Dalam Agus Aris Munandar (ed.) Mosaik Arkeologi, hlm. 47 – 54. Bandung: Ikatan ahli Arkeologi Indonesia.
Mundardjito. 1990. Penalaran Induktif – Deduktif Dalam Arkeologi. Dalam PIA IV Buku III, Konsepsi dan Metodologi, hlm. 197 – 203. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.
Sharer, Robert J. dan Wendy Ashmore. 1979. Fundamentals of Archaeology. California: The Binjamin/Cummings Publishing.
Sumadio, Bambang (ed). 1990. Jaman Kuno. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Catatan:
tulisan ini dimuat di buku berjudul "Selisik Masa Lalu", hlm. 17 - 26. Editor: Prof. Dr. Sumijati Admosudiro. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Jawa Barat - Banten. Bandung, 2007.
7 Komentar:
Ngiring maca. Kaleresan keur budak kantos cicing di Sagalaherang. Hatur sewu nuhun kana pedaranana.
Hawe Setiawan
Http://sundanesecorner.org
24 Desember 2011 pukul 15.08
Hatur nuhun Kang Hawe kersa sindang didieu.
28 Desember 2011 pukul 21.16
Hatur nuhun Kang Rahmat, bilih abdi ngayakeun panalungtikan di Purwakarta bade ngontak Akang.
16 Oktober 2013 pukul 21.01
Abdi karuhun ti Sagalaherang Ciamis namung abdi lahir dugi ka smp di pasirbungur Purwadadi Subang. Abdi hoyong terang sasakala nami Sagalaherang Ciamis sareng Sagalaherang Subang. Naha aya patula patalina lalakon dua nami sagalaherang teh. Mugia akang tiasa ngajelaskeun. ieu nomor hp abdi 081380003160
27 April 2014 pukul 02.46
Kang ari Mbah Dongdo sareng Mbah Gintung di Kab. Subang kumaha lalakonna? Nuhun.
6 Februari 2015 pukul 20.51
jalbi biasa spertos abdi nu reueus pisan ka sajarah sunda tiasa ngiring nalungting kegiatan akang? sanaon.ngan bantu angkat angkat barang haturnuhu...
25 Mei 2019 pukul 14.11
apakah teknologi pembuatan bata si situs talun ini terdapat kemiripan atau kesamaan dengan bata di situs percandian batu jaya ?
17 April 2021 pukul 23.36
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda