Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

13 Juli, 2015

Dinamika Budaya Asia Tenggara - Pasifik



CHEGUIDE

Oleh: Nanang Saptono

Pendahuluan
Pada akhir masa klasik menjelang masa Islam, di Jawa Barat berdiri kerajaan Sunda. Sepanjang sejarahnya kerajaan ini telah beberapa kali mengalami perpindahan ibukota antara lain di Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Sebagaimana kerajaan lainnya di Jawa, Kerajaan Sunda dapat berlangsung karena ditopang sektor agraris. Selain itu sektor perdagangan juga banyak menunjang kelangsungan hidup kerajaan. Perdagangan yang berlangsung ketika itu tidak hanya bersifat lokal tetapi sudah mencapai regional bahkan internasional. Dalam menunjang perdagangan tingkat regional dan internasional ini kerajaan Sunda mempunyai beberapa kota pelabuhan yang terdapat di pantai utara Jawa. Menurut Barros Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam.

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cortesão, 1967: 170-173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.

Dalam perkembangannya pelabuhan-pelabuhan tersebut ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja. Keadaan pada tahun 1775 – 1778 di Jawa Barat hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995: 193). Pada saat ini pelabuhan besar pada masa kerajaan Sunda tersebut di antaranya dapat dikenali lokasinya. Bantam adalah Banten, Pomdam sekarang dikenal dengan Pontang suatu kota kecil di daerah teluk Banten, Tamgaram adalah Tangerang, Calapa adalah Sunda Kelapa sekarang. Calapa  tidak disebut oleh Barros. Tetapi Xacatra atau Caravam yang disebut Barros tidak disebut Pires. Kemungkinan dua nama ini yaitu Calapa dan Xactra adalah sama-sama untuk menyebut satu lokasi yaitu Sunda Kelapa di Daerah Jakarta. Chemano sekarang bernama Indramayu yaitu kota yang terdapat di tepi S. Cimanuk. Di antara enam pelabuhan tersebut Cheguide belum dapat diketahui secara pasti. Melalui kajian sejarah dan arkeologi dalam makalah ini akan mencoba merekonstruksi letak pelabuhan Cheguide.

Cheguide Dalam Kajian Sejarah
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 berakibat juga terhadap semakin pesatnya perdagangan di kawasan Asia Tenggara. Kerajaan Sunda yang merasa mendapat ancaman dari orang-orang Islam, menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf dan Pigeaud, 1985: 146-147). Hubungan antara Portugis (Malaka) dengan Sunda sudah berlangsung sejak 1512. Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam meminta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada ahun 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Ketika yang bertahta adalah Samiam (Sumadio, 1990: 373).
Perjanjian berlangsung pada tanggal 21 Agustus 1522. Isi perjanjian pada intinya raja Sunda memberikan ijin kepada Portugis untuk membangun benteng. Raja akan menyediakan lada sebanyak-banyaknya sebagai penukar barang-barang yang diperlukan. Sebagai pernyataan persahabatan raja Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap tahun sejak Portugis membangun benteng (Djajadiningrat, 1983: 79-80). Menurut banyak ahli perjanjian itu dilaksanakan di Sunda Kelapa. Guillot dalam telaahnya mendapatkan kesimpulan yang berbeda.

Pertama-tama Guillot (1992) mendasarkan telaahnya pada kronik Barros dan Couto. Menurut Joao de Barros perjanjian antara Portugis dan Sunda berlangsung pada tahun 1522. Isi perjanjian sebagaimana di atas. Pihak Portugis diwakili Henrique Leme sedangkan raja Sunda didampingi oleh tiga orang menteri yaitu Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate, dan Bengar. Setelah perjanjian berlangsung tiga orang menteri tersebut mengantarkan Leme ke lokasi akan dibangunnya benteng. Lokasi itu berada di sebelah kanan muara sungai pada kawasan yang dinamai Calapa. Di situ Leme mendirikan sebuah padrao. Pembangunan benteng dilaksanakan oleh Francisco de Sa. Ketika Francisco de Sa menuju Sunda, armadanya terserang badai. Duarto Coelho salah seorang kapten armada tersebut berhasil sampai di Calapa tetapi kapalnya tengelam di situ. Semua pasukannya diserang oleh orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam.

Kronik versi Diogo do Couto menceritakan ketika Francisco de Sa menuju Sunda diserang badai sehingga kapal-kapalnya terpencar. Sebuah kapal besar yang dipimpin Duarto Coelho dan dua kapal lainnya dengan susah payah berhasil mencapai “Pelabuhan Sunda”. Ketika mencapai pantai diserang orang-orang Islam. Raja yang memberi ijin pendirian benteng sudah meninggal dan musuh yang diperanginya telah merebut daerahnya.

Berdasarkan dua versi ini terdapat suatu perbedaan. Barros menyebutkan bahwa lokasi yang akan dibangun benteng adalah Calapa. Coelho setelah diserang badai berhasil sampai di Calapa dan diserang orang-orang Islam. Sedangkan Couto menyebutkan bahwa Coelho berhasil mencapai “Pelabuhan Sunda”. Secara umum penyebutan Calapa dan Pelabuhan Sunda ini disimpulkan adalah Sunda Kelapa.

Dalam mencari penjelasan selanjutnya Guillot menelaah sumber lainnya. Dalam teks asli perjanjian didapakan keterangan bahwa perjanjian diadakan di “pelabuhan Sunda” (neste porto de Çumda), lokasi benteng pada tepi kanan sebuah muara sungai di kawasan yang bernama Calapa (na boca do rio a mao direita de fromte da barra a qual terra se chama Calapa), setelah selesai perjanjian kedua belah pihak berangkat menuju ke lokasi rencana pembangunan benteng untuk mendirikan padrao.

Telaah terhadap teks asli ini menghasilkan dua hipotesis. Hipotesis pertama lokasi perjanjian bukan di Sunda Kelapa. Alasannya dalam teks menyebutkan bahwa setelah perjanjian di “pelabuhan Sunda” kemudian berangkat menuju lokasi yang disebut Calapa. Dengan demikian “pelabuhan Sunda” (porto de Çumda) dan Calapa merupakan dua lokasi yang berbeda. Jika ketika itu Leme berada di Sunda Kelapa maka tidak akan menyebutkan pergi ke suatu tempat yang bernama Kelapa. Hipotesis kedua lokasi benteng Portugis dimana Leme mendirikan padrao bukan di pelabuhan Sunda Kelapa – Jakarta.

Peta dari Portugis sekitar tahun 1540 menyebut beberapa tempat di Jawa Barat dari barat ke timur yaitu Çumda, aguada do padra, dan Calupu. Buku pedoman pelayaran (roteiro) yang disusun oleh penulis yang mengikuti ekspedisi Francisco de Sa menyebutkan bahwa pelayaran dari arah barat. Dalam buku itu disebutkan nama Sumdabata, Sumdabamta, dan Bamta ke arah timur terdapat tanjung (hua pomta). Di situ terdapat sungai yang mengalir ke laut dan di situlah Francisco de Sa mendirikan padrao lain. Sungai itu diberinya nama Santo Yorge yang oleh orang-orang hitam disebutnya Cidigy. Semakin jauh ke timur terdapat pelabuhan Sumda-calapa.

Berdasarkan telaah atas beberapa teks akhirnya disimpulkan bahwa Leme mengadakan perjanjian di Banten dan akan mendirikan benteng di Cidigy. Nama Cidigy ini dapat disamakan dengan Cheguide lokasi yang sudah dikenal oleh penulis Portugis masa sebelumnya. Pires menyebut pelabuhan Sunda dari barat ke timur yaitu Bantam, Pontang, Cheguide, Tamgara, Calapa, dan Chemanu sedangkan Barros dari timur ke barat yaitu Chemanu, Xacatara atau Caravam, Tamgara, Cheguide, Pondang, dan Bintam.

Di mana lokasi Cheguide menurut buku pedoman pelayaran dapat ditentukan terletak di antara Pontang dan Tangerang. Tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane. Akhirnya Guillot menarik hipotesis bahwa Cheguide di mana Leme mendirikan padrao sebagai tanda lokasi akan dibangunnya benteng berada di tepi kali Kramat sekarang.
Peta kawasan situs Kramat
Bukti-bukti Arkeologis
Kawasan antara Tanjung Kait hingga muara Cisedane cukup luas yaitu berjarak sekitar 10 km atau tepatnya pada posisi 106°32’10” hingga 106°37’54” BT. Geomorfologi daerah berupa pedataran dengan ketinggian antara 0 - 1 m dpl. Keadaan lahan selain dimanfaatkan untuk perumahan juga untuk lahan pertanian berupa sawah. Lahan pekarangan rumah kebanyakan dimanfaatkan untuk tanaman kelapa. Pada daerah pantai banyak dimanfaatkan untuk tambak ikan dan udang. Di kawasan ini terdapat beberapa situs arkeologi antara lain situs Rawakidang, Sugri, dan Kramat (Djubiantono dan Saptono, 1997/1998).

1. Situs Rawakidang
Situs Rawakidang terdapat di Desa Rawakidang, Kecamatan Sukadiri. Situs ini dari pantai berjarak lurus sekitar 4,5 km tepatnya pada posisi 6°04’19” LS dan 106°33’47” BT (berdasarkan peta topografi daerah Mauk lembar 4324-IV). Keadaan situs berupa kebun di sebelah selatan jalan kampung dengan luas sekitar 50 X 25 m. Lahan situs ini sekarang banyak terdapat pohon kelapa. Pada bagian barat daya lahan terdapat beberapa makam keluarga penghuni pertama kampung itu. Sisi utara lahan, pada tepi jalan kampung, terdapat beberapa rumah penduduk. Data arkeologis yang ditemukan di situs ini berupa artefak beberapa fragmen keramik asing.

2. Situs Sugri
Situs Sugri terdapat di tengah permukiman penduduk Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji. Desa ini berada di sebelah timur laut situs Rawakidang berjarak lurus sekitar 2,5 km, dari pantai berjarak sekitar 2 km, atau pada posisi 6°03’06” LS dan 106°34’11” BT. Lahan di sekeliling desa berupa sawah.

Objek arkeologis yang ada berupa makam yang dikeramatkan. Menurut keterangan juru kunci, tokoh yang dimakamkan bernama Wali Riman. Tokoh ini dipercaya sebagai pemimpin umat Islam di desa itu. Menurut cerita Wali Riman tidak mau disebut sebagai wali sebelum mendapat pengakuan dari Sultan Banten ketika itu. Namun karena jasa-jasanya dalam mengembangkan agama Islam masyarakat memberi gelar wali. Tokoh ini juga berkaitan dengan nama kampung Sugri. Dahulu kampung itu bernama Pulau Tegal. Ketika itu sering terjadi bencana. Berkat upaya yang dilakukan Wali Riman akhirnya tidak pernah lagi ada bencana. Untuk mengingat jasa-jasanya nama Pulau Tegal diubah menjadi Sugri yaitu nama Wali Riman ketika masih kecil.

Komplek makam Wali Riman dilengkapi dengan bangunan cungkup baru yang dibangun oleh masyarakat sekitar. Jiratnya pun juga baru dengan bahan keramik berwarna putih. Sampai sekarang masyarakat sekitar bila akan menyelenggarakan sesuatu, misalnya mengkhitankan anak, berziarah dulu ke makam Wali Riman. Pengamatan di sekitar lokasi ditemukan beberapa benda arkeologis yaitu artefak fragmen keramik asing.

3. Situs Kramat
Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji. Situs ini berada di pantai sebelah timur laut situs Sugri berjarak lurus sekitar 2 km. Kawasan situs Kramat berada pada posisi 6°02’09” LS dan 106°34’51” BT. Di kawasan situs ini terdapat beberapa objek arkeologis antara lain makam, fragmen komponen bangunan, kapal, serta fragmen keramik, gerabah, dan besi.

Makam yang terdapat di situs ini berupa makam panjang. Menurut keterangan juru kunci, tokoh yang dimakamkan bernama Syekh Daud bin Said pendatang dari Hadramaut. Komplek makam terletak di sebelah utara jalan desa, dilengkapi bangunan cungkup. Jirat yang ada di dalam cungkup sepanjang 9 m lebar 0,5 m. Baik cungkup maupun jirat merupakan bangunan baru hasil renovasi masyarakat. Sampai sekarang masyarakat masih mengkeramatkan makam tersebut, sehingga lokasinya disebut Kampung Kramat.

Berdasarkan pengamatan pada singkapan hasil penggalian masyarakat banyak ditemukan artefak berupa fragmen keramik baik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca, dan fragmen besi. Artefak tersebut kebanyakan ditemukan pada kedalaman sekitar 0,5 m. Berdasarkan sebaran artefak yang terdapat dipermukaan, luas situs diduga sekitar 10 hektar. Lahan seluas itu berupa perumahan penduduk, kebun, komplek makam, dan empang. Aktivitas penduduk setempat saat ini, misalnya penggalian pasir, sering juga menemukan artefak di antaranya benda-benda keramik berupa piring kecil, mangkuk, dan botol. Berdasarkan keterangan penduduk setempat juga pernah ditemukan beberapa keping mata uang.
Pecahan keramik asing yang tersingkap ketika masyarakat menggali liang lahat


Beberapa keramik asing yang ditemukan masyarakat ketika menambang pasir


Botol hasil penemuan masyarakat ketika menambang pasir

Fragmen komponen bangunan yang ditemukan berupa ubin terakota. Ubin-ubin ini dimanfaatkan penduduk untuk memperkuat teras rumah. Komponen bangunan yang lain berupa struktur bekas sumur berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 1 m. Struktur bekas sumur itu dari bahan bata. Di dekat struktur sumur terdapat struktur fondasi bangunan yang juga dari bahan bata. Kedua komponen struktur bangunan ini ditemukan pada empang di belakang perkampungan penduduk (sebelah utara jalan desa).

Pada empang di sebelah utara perkampungan, berjarak sekitar 0,5 km atau 0,5 km dari pantai terdapat fragmen kapal dengan posisi membentang arah timur-barat (sejajar dengan garis pantai). Fragmen kapal yang terlihat merupakan bagian sisi lambung sepanjang sekitar 2 m. Bagian yang lain masih tertimbun tanah. Ujung kapal selanjutnya terlihat pada empang di sebelahnya. Secara keseluruhan dari ujung ke ujung yang masih ada panjangnya sekitar 6 m. Kapal ini terbuat dari bahan besi.
Bagian kapal yang terdapat di empang
Kondisi bagian kapal yang terbuat dari besi

Situs Kramat Sebagai Bekas Pelabuhan Cheguide 

Kajian sejarah mengenai Cheguide yang dilakukan Guillot menyimpulkan bahwa Cheguide berada di antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane di sekitar Kali Kramat. Penelitian arkeologis di kawasan itu berhasil mengidentifikasi tiga situs yaitu situs Rawakidang, Sugri, dan Kramat. Ketiga situs tersebut mepunyai ragam tinggalan dan besaran berbeda sebagaimana tabel berikut.



Berdasarkan ragam tinggalan yang ada mengindikasikan bahwa kawasan tersebut merupakan bekas pemukiman. Artefak keramik yang ditemukan semuanya berjumlah 131 fragmen. Di situs Kramat ditemukan 121 keping (92,37 %), situs Rawakidang 6 keping (4,58 %), dan di situs Sugri ditemukan 4 keping (3,05 %). Secara tipologis fragmen keramik tersebut berasal dari tipe mangkuk, piring, sendok, vas, botol, dan kendi atau teko. Tipe mangkuk yang dimaksud di sini mulai dari bentuknya kecil yaitu diameter dasar 2 cm dan diameter atas 4 cm hingga yang berukuran besar yaitu diameter dasar 12 cm dan diameter atas 24 cm. Begitu juga tipe piring yaitu yang berukuran kecil (lepek) hingga yang berukuran besar (julang). Secara tipologis sebaran keramik tersebut sebagai berikut.

Tabel: Tipologi keramik
Situs
Mangkuk
Piring
Sendok
Vas
Botol
Kendi/teko
Rawakidang
Sugri
Kramat
3
4
90
1
-
2
2
-
3
-
-
2
-
-
13
-
-
11

Sedangkan fragmen gerabah yang ditemukan berjumlah 12 semuanya dari situs Kramat. Gerabah-gerabah tersebut berasal dari bentuk kendi, tempayan, periuk, dan wadah terbuka tanpa tutup. Berdasarkan tipologis artefak tersebut dapat menunjukkan keragaman aktifitas yang terjadi. Situs Kramat yang mempunyai keragaman paling tinggi menunjukkan sebagai pusat pemukiman, sedangkan situs Rawakidang dan Sugri sebagai pemukiman yang lebih kecil. Adanya fragmen kapal di situs Kramat memberikan arah dugaan kuat sebagai kota pelabuhan. Kapal tersebut sekarang terdapat pada empang berjarak sekitar 0,5 km dari pantai. Penelitian geologis di kawasan ini menunjukkan adanya perubahan muka laut. Hasil penelitian geologis ini dapat dipakai untuk menelusuri permukiman masa lalu berdasarkan data arkeologis yang dikaitkan dengan keadaan alam tersebut (Zaim et al., 1998).
Pada sekitar 40.000 tahun yang lalu permukaan laut berada pada daerah-daerah yang sekarang terletak pada ketinggian 25-35 m di atas permukaan laut. Hal ini dibuktikan dengan adanya undak sungai purba di daerah Cileungsi. Analisis C14 terhadap sampel arang kayu menunjukkan umur 40.690 ± 3220 BP. Pada saat 40.000 tahun yang lalu garis pantai berada di selatan Tangerang.
Perubahan pertama terjadi pada saat terbentuknya endapan undak sungai Cisadane yang sekarang berada pada ketinggian 4-5 meter di atas muka air sungai Cisadane. Perubahan pertama tersebut pada saat terjadi naiknya muka laut (transgresi) pada waktu sekitar 4500 tahun yang lalu, di mana muka laut berada pada ketinggian sekitar 4-5 meter di atas muka laut sekarang.
Garis pantai berikutnya terjadi pada saat terbentuknya endapan pematang purba yang sekarang berada pada ketinggian 2-3 meter di atas permukaan laut. Pada pematang purba tersebut dijumpai banyak sekali cangkang moluska yang didominasi kelompok Potamididae, (Terebralia) dan Telescopium. Hasil pertanggalan terhadap moluska Telecopium sp (Gastropoda) menunjukkan umur 1680 ± 120 BP.
Perubahan muka laut selanjutnya terjadi pada 500 tahun yang lalu saat pembentukan endapan pantai purba yang sekarang didapatkan pada ketinggian 1 meter di atas permukaan laut. Endapan pantai/interdial terdapat di sekitar muara sungai Cisadane di daerah Kohod serta pantai Dadap. Dengan demikian daerah di kawasan tersebut yang berketinggian 1 m pada 500 tahun yang lalu merupakan garis pantai. Bila dikaitkan dengan bukti-bukti geologis dapat disimpulkan bahwa Situs Kramat pada 500 tahun yang lalu berada di garis pantai.
Temuan fragmen keramik secara relatif menunjukkan kronologi situs. Analisis secara kronologis terhadap fragmen keramik terlihat sebagaimana tabel berikut:

Tabel: Kronologi keramik
Situs
T’ang
Song
Yuan
Ming
Qing
Thailand
Eropa
Rawakidang
Sugri
Kramat
-
-
2
-
-
1
-
-
-
2
1
38
4
3
53
-
-
6
-
-
21

Keseluruhan temuan fragmen keramik, yang tertua berasal dari masa dinasti T’ang (abad VII – X) dan yang termuda keramik Eropa (abad XIX – XX). Dari tabel di atas terlihat bahwa pemukiman di situs Kramat berlangsung paling lama yaitu sejak abad VII hingga XX. Namun karena tidak ditemukannya keramik dari masa dinasti Yuan (abad XIII – XIV) dapat diduga pada masa-masa tersebut mengalami pasang surut. Aktifitas meningkat secara pesat pada masa dinasti Ming (abad XIV - XVII) dan mencapai puncaknya pada masa dinasti Qing (abad XVII – XX) dan selanjutnya surut lagi.
Bila dihubungkan dengan hasil kajian geologis di atas, pada sekitar abad XVII tersebut situs Kramat mengalami masa keemasan. Kajian sejarah menyimpulkan bahwa Chigeude sebagai pelabuhan penting berlangsung pada abad XVII pula. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa situs Kramat adalah bekas kota pelabuhan Chigeude. 
Beberapa makam keramat di situs ini karena tidak adanya unsur banunan yang menunjukkan kuna maka disangsikan validitasnya. Sedangkan terdapatnya komponen bangunan di situs Kramat berupa ubin terakota, struktur sumur, dan struktur fondasi bangunan dari bata dapat diperkirakan bangunan tersebut berdiri pada masa kolonial (abad XIX - XX). Adanya kapal yang terdapat di situs ini kemungkinan juga berasal dari masa sekitar abad XIX atau XX. Dugaan ini didasarkan pada bahan dasar kapal yaitu dari besi. Namun hal ini kiranya perlu pengkajian lebih lanjut dengan demikian akan dapat diketahui kapan Chigeude mengalami kemunduran dan akhirnya tidak dapat berfungsi sama sekali sebagai kota pelabuhan.


KEPUSTAKAAN

Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan.

Djubiantono, Tony dan Nanang Saptono. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Penanggulangan Kasus Kepurbakalaan di Pantai Utara Kabupaten Tangerang Propinsi Jawa Barat. Balai Arkeologi Bandung (tidak diterbitkan)

Graaf, H.J. de dan Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafitipers.

Guillot, C. 1992. “Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522”. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Stockdale, John Joseph. 1995. Island of Java. Singapore: Periplus Editions Ltd.

Sumadio, Bambang (ed.). 1990. “Jaman Kuna” Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Zaim, Yahdi; M. Haris Pindratmo, dan Aswan. 1998. “Perkembangan Perubahan Garis Pantai Utara Jakarta Kala Plestosen Atas – Resen: Data Baru Geologi Untuk Penelitian Arkeologi Jakarta.” Makalah disampaikan pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi. Cipayung, 16-20 Februari (belum diterbitkan).

Catatan: 
Artikel ini diterbitkan pada buku Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 1998. Hlm. 241 – 250.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda