Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

18 Januari, 2014

Seminar 100 Tahun Purbakala



PERUBAHAN BUDAYA MASYARAKAT PESISIR INDRAMAYU



CULTURE CHANGE IN INDRAMAYU COASTAL COMMUNITIES





Nanang Saptono

nangsap@yahoo.co.id



Balai Arkeologi Bandung

Jalan Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623





Abstract



In the 16th century, Indramayu is one of the six ports on the northern coast of Java, which is under the control of the Kingdom of Sunda . Some archaeological facts and stories that illustrate the history of society is a society Indramayu merchant. In the 18th century Indramayu is no longer a port city that is because Ci Manuk can no longer navigable boat so that merchant ships were anchored off the coast of Indramayu can not connect to the city center Indramayu to conduct trading activities / exchanges. Culture that occurred on the eve of the 18th century to the present can be seen through the tradition has continued until now . In Indramayu coastal area there are several sacred sites. Communities around the shrine at certain times of the ceremonies associated with rice cultivation cycle . Based on this it is seen that changing the culture of the traders to the farmers. Explanatory study of the archaeological data can be obtained through the study of historical overview of the cultural change . Farming activities are activities that relate to cultivate land. In theory known model of cultural ecology Environmental determinism states that environmental conditions play an important role in shaping the culture. There are also models of Environmental possibilism stating that the environmental conditions are just as limiting/selectors . It happened in Indramayu seen that Ci Manuk silting caused flood water to the environment in Indramayu suitable for bersawah activity. At the same time, rice cultivations was also introduced Mataram troops who invaded Batavia in 1628 and 1629. Thus the cultural changes in Indramayu occur due to environmental factors and political expansion of Sultan Agung.



Key word: merchants, farmers, the changes, environmental, political







Abstrak



Pada sekitar abad ke-16, Indramayu merupakan salah satu dari enam pelabuhan di pantai utara Jawa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Beberapa fakta arkeologis serta cerita sejarah masyarakat menggambarkan bahwa masyarakat Indramayu merupakan masyarakat pedagang. Pada abad ke-18 Indramayu bukan lagi sebagai kota pelabuhan yang disebabkan karena Ci Manuk tidak dapat lagi dilayari perahu sehingga kapal-kapal dagang yang berlabuh di pantai Indramayu tidak dapat terhubung ke pusat kota Indramayu untuk melakukan aktivitas perdagangan/pertukaran. Budaya masyarakat yang terjadi pada menjelang abad ke-18 hingga sekarang dapat dilihat melalui tradisi yang masih berlangsung hingga sekarang. Di kawasan pesisir Indramayu terdapat beberapa lokasi yang dikeramatkan. Masyarakat di sekitar keramat pada waktu-waktu tertentu melakukan upacara yang berkaitan dengan siklus penanaman padi. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa budaya masyarakat berubah dari masyarakat pedagang ke masyarakat petani. Kajian eksplanatif terhadap data arkeologis melalui studi historis dapat diperoleh gambaran mengenai perubahan budaya tersebut. Aktivitas bertani merupakan aktivitas yang berhubungan dengan mengolah lahan. Dalam teori cultural ecology dikenal model Environmental determinism yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan sangat berperan dalam membentuk kebudayaan. Selain itu juga terdapat model Environmental possibilism yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan hanya sebagai pembatas/penyeleksi. Hal yang terjadi di Indramayu terlihat bahwa pendangkalan Ci Manuk menyebabkan luapan air sehingga lingkungan di Indramayu cocok untuk aktivitas bersawah. Bersamaan dengan itu, budaya bersawah juga diperkenalkan oleh pasukan Mataram yang menyerbu Batavia pada 1628 dan 1629. Dengan demikian perubahan budaya masyarakat di Indramayu terjadi karena faktor lingkungan dan politis ekspansi Sultan Agung.



Kata kunci: pedagang, petani, perubahan, lingkungan, politis





PENDAHULUAN

Sebagaimana kehidupan, kebudayaan akan mengalami perkembangan. Kebudayaan bersifat dinamis. Manusia sebagai pendukung kebudayaan mempunyai bakat di dalam gen-nya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi dalam kepribadian individunya. Dari berbagai hal inilah kemudian manusia membangun kebudayaannya. Wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadian sebagai pembentuk kebudayaan itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli yang berada dalam sekitaran alam dan lingkungan sosial maupun budayanya. Salah satu proses pembentukan kebudayaan adalah institutionalization. Dalam proses itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup di kebudayaannya. Dengan demikian, individu sebagai bagian dari masyarakat akan selalu mengembangkan diri untuk membangun kebudayaan. Demikian juga masyarakat, secara komunal akan mengembangkan kebudayaannya. Terdapat beberapa proses perubahan kebudayaan dalam masyarakat yaitu proses difusi, akulturasi, asimilasi, dan inovasi (Koentjaraningrat, 1990).

Proses difusi terjadi karena terjadi perpindahan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain. Bersamaan dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan dapat juga terjadi tanda ada perpindahan kelompok-kelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain, tetapi oleh karena ada individu-individu tertentu yang membawa unsur-unsur kebudayaan itu hingga jauh sekali. Sebagai contoh adalah para pedagang dan pelaut yang menjelajah dunia. Pada zaman penyebaran agama-agama besar, para pendeta agama Buddha, agama Nasrani, dan kaum muslimin mendifusikan berbagai unsur kebudayaan dari mana mereka berasal. Bentuk difusi yang lain lagi adalah berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu-individu dalam suatu kelompok dengan individu-individu kelompok tetangga.

Proses perubahan kebudayaan selanjutnya adalah akulturasi. Proses akulturasi timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Proses perubahan kebudayaan selanjutnya adalah asimilasi. Proses ini timbul bila ada golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujud menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Proses perubahan kebudayaan berupa inovasi adalah suatu proses pembaruan kebudayaan dari penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal, pengaturan baru tenaga kerja dan penggunaan teknologi baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, serta dibuatnya produk-produk baru. Inovasi biasanya berkaitan dengan unsur teknologi dan ekonomi.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi pada kelompok manusia manapun, tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tinggal di kawasan pedalaman dan juga masyarakat pesisir. Namun demikian, karena secara geografis kawasan pesisir lebih mudah terjadi interaksi antar masyarakat maka biasanya di kawasan pesisir itulah sangat mudah terjadi perubahan kebudayaan. Dalam kajian ini akan dibahas perubahan kebudayaan yang terjadi pada masyarakat pesisir Indramayu.

Kawasan pantai utara Jawa Barat sejak masa Kerajaan Sunda sudah sering disinggahi pedagang dari luar. Menurut Joao de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan di sepanjang pantai utara yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Selain Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesão, 1967: 166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sedangkan Pires menyebutnya dari barat ke timur. Antara Barros dan Pires pun ada perbedaan dalam penyebutan lokasi. Calapa yang disebut Pires tidak disebut oleh Barros, sedangkan Xacatra atau Caravam yang disebutkan Barros tidak disebutkan oleh Pires.

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cortesão, 1967: 170-173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin dengan Chemano hingga seluruh Jawa.

Chiamo atau Chemano dapat diidentifikasi sebagai Cimanuk yang merupakan nama lama untuk Indramayu. Graaf dan Pigeaud (1985) menyebut bahwa kota Indramayu atau Dermayu dahulu merupakan kota pelabuhan Kerajaan Sunda Galuh. Perubahan nama Cimanuk menjadi Indramayu menurut tradisi masyarakat Indramayu terjadi ketika Arya Wiralodra berkuasa di Cimanuk.

Selain mempunyai kota-kota pelabuhan, Kerajaan Sunda juga sudah mempunyai sistem jaringan transportasi darat berupa jalan utama yang sudah dikenal oleh para pedagang. Jalan darat  itu berpusat di Pakwan Pajajaran, yang satu menuju ke timur sedangkan yang lainnya lagi ke barat. Jalan ke timur menghubung­kan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi Ci Manuk. Jalan ini dari Pakwan Pajajaran melalui Cileungsi menuju Cibarusah kemudian belok ke arah utara menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang. Dari Tanjungpura ada jalur yang menuju Cikao dan Purwakarta kemudian berakhir di Karangsambung. Di Karangsambung, jalan ini berlanjut ke arah timur hingga ke Cirebon, kemudian ke selatan menuju Kuningan, dan akhirnya sampai ke Galuh atau Kawali. Dari Karangsambung ada juga yang ke arah selatan menuju Sindangkasih dan Talaga kemudian ke Kawali. Kedua jalan ini bertemu di daerah Cikijing.

Sedangkan jalan yang ke arah barat menghubungkan Pakwan Pajajaran hingga Banten melalui Jasinga dan Rangkasbitung menuju Serang dan berakhir di Banten. Selain itu juga ada jalan dari Pakwan Pajajaran menuju Ciampea dan Rumpin selanjutnya dilakukan melalui S. Cisadane. Melalui jalan-jalan darat dan sungai itulah hasil bumi dan pertambangan Kerajaan Sunda diangkut menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai. Dari pantai barang-barang kebutuhan penduduk pedalaman diangkut melalui jalan itu pula (Hardiati, 2009: 419 - 420).

Dalam perkembangannya hingga sekarang, pelabuhan-pelabuhan tersebut ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut bahkan sudah tidak dapat dikenali lagi secara pasti. Menurut John Joseph Stockdale dalam bukunya Island of Java, keadaan di Jawa Barat pada tahun 1775 – 1778, hanya ada tiga pelabuhan yaitu Banten, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995: 193). Keadaan ini sangat berbeda dengan pemberitaan Tomé Pires.

Pada masa Kerajaan Sunda hingga pada sekitar abad ke-18, Indramayu menunjukkan sebagai kota dagang. Dengan demikian masyarakat pada waktu itu akan mempunyai latar belakang kebudayaan sebagai masyarakat pedagang. Setelah abad ke-18, Indramayu tidak lagi berfungsi sebagai kota dagang. Dengan beralihnya fungsi kota Indramayu maka akan terjadi pula perubahan kebudayaan pada masyarakat penghuninya. Bagaimana kebudayaan masyarakat setelah terjadi alih fungsi kota dan bagaimana proses perubahan kebudayaan itu terjadi akan dibahas dalam makalah ini.





SEJARAH DAN LEGENDA

Pada masa pra-Islam, wilayah Kerajaan Sunda hingga Ci Pamali di daerah Brebes sekarang. Pada masa itu, sekitar 1415 M di sebelah timur Indramayu yaitu Juntinyuat sudah ada pemukiman. Selain Juntinyuat juga ada Desa Babadan yang pada tahun 1471 M pernah dikunjungi Sunan Gunung Jati. Beberapa desa tua seperti Bungko, Panguragan, Karangkendal, dan Kertasura mungkin pada waktu itu juga sudah berdiri. Di daerah Cirebon sekarang bahkan sudah ada Desa Singapura, yang berada di bawah kendali Kerajaan Sunda,  dikepalai oleh seorang Mangkubumi merangkap Syahbandar yang bernama Ki Gedeng Tapa. Masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja adalah tahun 1474 – 1513 M. Dengan demikian maka desa-desa seperti Juntinyuat, Babadan, dan desa-desa sekitarnya merupakan wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut Babad Dermayu, desa-desa ini merupakan wilayah Rajagaluh yang merupakan salah satu pemerintahan setingkat provinsi di bawah Kerajaan Sunda Pajajaran (Dasuki, 1977: 17 – 19). Peran penting Cimanuk bagi Kerajaan Sunda berlangsung cukup lama. Kera­jaan Sunda bergantung pada Cimanuk tidak hanya ketika beribukota di Pakwan Pajajaran tetapi juga ketika beribukota di Kawali dan Galuh daerah Ciamis.

Menurut Babad Dermayu, nama Cimanuk kemudian diubah menjadi Indramayu berkaitan erat dengan cerita wakil kerajaan Sunda (Galuh) bernama Wiralodra yang menjadi penguasa di Indrama­yu. Pada tanggal 7 Oktober 1527, Cimanuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Sunda dan namanya diubah menjadi Indramayu (Dasuki, 1977: 106). Nama Indramayu diambil dari nama istri Wira­lodra Endang Darma yang juga disebut Darma Ayu. Berdasarkan nama panggi­lan tersebut, daerah Cimanuk kemudian disebut Dermayu yang akhir­nya jadi Indramayu.

Awal abad ke-16 di kawasan Nusantara terjadi peristiwa penting yang mengakibatkan banyak perubahan. Pada 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Sejak itu hubungan dengan Eropa semakin intensif. Perdagangan di kawasan Asia Tenggara mengalami kemajuan dengan pesat. Kota-kota dengan penguasa para pedagang muslim dari Timur Tengah bermunculan dan berkembang dengan pesat. Kerajaan Sunda yang merasa mendapat ancaman dari orang-orang Islam, menjalin hubungan dengan Portugis (Graaf dan Pigeaud, 1985: 146-147). Hubungan antara Portugis (Malaka) dengan Sunda berlangsung sejak 1512. Ketika itu Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam meminta bantuan kepada Alfonso d’Albuquerque. Sebagai balasan pada ahun 1522 pihak Portugis di Malaka ketika itu yang menjadi gubernur Jorge d’Albuquerque, mengirim perutusan yang dipimpin Henrique Lemé untuk mengadakan perjanjian dengan Raja Sunda. Ketika itu yang bertahta adalah Samiam (Hardiati, 2009: 397).

Perjanjian berlangsung pada tanggal 21 Agustus 1522. Isi perjanjian pada intinya bahwa Raja Sunda memberikan ijin kepada Portugis untuk membangun benteng. Raja akan menyediakan lada sebanyak-banyaknya sebagai penukar barang-barang yang diperlukan. Sebagai pernyataan persahabatan Raja Sunda akan menghadiahkan 1.000 karung lada setiap tahun sejak Portugis membangun benteng (Djajadiningrat, 1983: 79-80).

Keberadaan Portugis di Malaka banyak mendapat perlawanan dari penguasa Islam. Pada 1523, Malaka diserang Sultan Mahmud yang bermarkas di P. Bintan. Walaupun Sultan Mahmud tidak berhasil, namun Portugis di Malaka banyak mendapat kerugian. Pada 1526, ketika Portugis akan mendarat di Sunda Kelapa untuk mewujudkan perjanjian dengan Raja Sunda, mendapat perlawanan dari Demak dan Cirebon. Pada tahun 1526 itulah Fadhillah Khan dan Pangeran Cirebon berhasil merebut Sunda Kelapa (Dasuki, 1977: 96-97). Keberhasilan Fadhillah Khan merebut Sunda Kelapa diikuti oleh beberapa kota pelabuhan melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.

Sajarah Banten menguraikan bahwa setelah pesisir utara Jawa Barat terlepas dari kekuasaan Pajajaran, maka Panembahan Hasanuddin menyerahkan daerah yang telah dikuasainya kepada Sunan Gunung Jati. Daerah-daerah yang berada di sebelah barat Sungai Citarum diserahkan kepada penguasa Banten, sedang daerah yang terletak di sebelah timurnya diserahkan kepada Pakungwati (Cirebon). Sunan Gunung Jati kemudian menyerahkan daerah-daerah kekuasaan Cirebon kepada Demak sebagai pemerintah pusat. Beberapa daerah di sebelah timur Sungai Citarum yaitu Kandanghaur dan Lelea masih berada di bawah kekuasaan Kadipaten Sumedang (Dasuki, 1977: 113-115).

Kerajaan Demak berdiri pada sekitar 1475. Pendiri dan raja pertama di Demak adalah Raden Patah atau Panembahan Jin Bun. Raden Patah adalah putra raja Kerajaan Majapahit, Brawijaya dengan selir seorang Putri Cina. Ketika Putri Cina mengandung, atas desakan permaisuri kepada Raja Brawijaya agar diberikan kepada Adipati Palembang yang bernama Arya Dilah. Raden Patah lahir di Palembang. Perkawinan Putri Cina dengan Arya Dilah melahirkan putra yang diberi nama Kusen.

Di dalam catatan Tomé Pires, Raden Patah (Pate Rodim) yang juga dikenal dengan sebutan Panembahan Jin Bun adalah anak Angka Wijaya dari Palembang menikah dengan cucu Sunan Ampel. Di bawah kepemimpinan Raden Patah, wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara, Semarang, Tegal, Palembang, Jambi, dan pulau-pulau yang terletak di antara Kalimantan dan Sumatera.  Pada abad ke-16 Demak telah menguasai seluruh Jawa. Hampir semua bagian pedalaman kerajaan Majapahit telah menjadi daerah taklukan Demak. Di bagian barat, sebagian daerah Pajajaran telah menjadi daerah di bawah pengaruh Demak. Cirebon juga ada di bawah Demak (Tjandrasasmita, 2009: 52).

Pada 1512/1513 Demak berusaha merebut Malaka dari tangan Portugis tetapi gagal. Raden Patah wafat pada 1518 dan kepemimpinannya digantikan oleh Dipati Unus. Kepemimpinan Dipati Unus tidak berlangsung lama. Pada 1521 meninggal dengan tidak mempunyai anak. Karena tidak ada putra mahkota maka calon pengganti adalah saudaranya yaitu Pangeran Mukmin atau Sekar Seda Lepen. Penobatan Pangeran Mukmin tidak pernah berlangsung karena ia dibunuh oleh Sunan Prawata putra Pangeran Trenggana. Pangeran Trenggana adalah adik Pangeran Mukmin. Dengan terbunuhnya Pangeran Mukmin selanjutnya yang naik tahta kerajaan adalah Pangeran Trenggana. Pangeran Trenggana memerintah dari tahun 1521 hingga 1546. Pangeran Trenggana wafat dalam ekpedisi ke Panarukan. Sepeninggal Pangeran Trenggana, Demak mengalami kekacauan. Arya Jipang, putra Pangeran Mukmin menuntut balas atas pengkhianatan terhadap ayahnya. Arya Jipang membakar habis kota Demak kecuali Masjid Agung Demak. Dengan hancurnya kota Demak, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir (Tjandrasasmita, 2009: 53-54).

Tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat, pemerintahan Cirebon diserahkan kepada Panembahan Ratu. Kesultanan Pajang kemudian menjalin hubungan dengan Cirebon dengan jalan melakukan perkawinan antara puteri Sultan Pajang dengan Panembahan Ratu. Perkawinan ini menyiratkan keinginan Pajang untuk menguasai Cirebon. Sepeninggal Sunan Gunung Jati, Banten di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin menyatakan sebagai kerajaan yang berdaulat, bebas dari ikatan Pajang maupun Cirebon. 

Di Kesultanan Pajang terjadi peristiwa pembangkangan yang dilakukan oleh Sutawijaya . Sutawijaya adalah Ki Gedeng Mataram, bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan Pajang dan akan mendirikan Kesultanan Mataram. Ketika Sultan Hadiwijaya akan menyerang Mataram tiba-tiba wafat. R. Benawa sebagai putra mahkota Pajang kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Sutawijaya atau yang juga dikenal dengan nama Ngabehi Loring Pasar. Sejak saat itu Ngabehi Loring Pasar memproklamirkan diri sebagai Raja Mataram bergelar Senopati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Abdurrakhman Khalifatullah (Dasuki, 1977: 147-158).

Panembahan Senopati menganggap bahwa Kesultanan Mataram merupakan pewaris dan penerus Kerajaan Majapahit dan Demak. Mataram berusaha memperluas kekuasaan hingga menguasai hampir seluruh wilayah Pulau Jawa. Pada 1590, Mataram mulai menjalin hubungan kekeluargaan dengan Cirebon. Pada masa Sultan Agung, yaitu tahun 1615, Mataram mulai memperkuat pengaruh terhadap Cirebon. Sultan Agung menikah dengan puteri Panembahan Ratu. Wilayah Indramayu di sebelah barat Ci Manuk diserahkan kepada Mataram. Selanjutnya pada 1619 Cirebon ditetapkan sebagai daerah vasal Mataram dan pada 1625 Cirebon ditundukkan hingga akhirnya pada 1650 secara keseluruhan menjadi bawahan Mataram.

Pada masa Sultan Agung memerintah Mataram, hubungan dengan Banten mengalami ketegangan. Pada masa ini VOC sudah berada di Batavia. Mataram mengambil hati VOC agar mau menyerang Banten secara bersama-sama. VOC sebagai pihak yang mau mengambil keuntungan tidak menghendaki salah satu kerajaan menjadi kuat. Oleh karena itu VOC menolak keinginan Mataram. Pada 1628 Mataram menyerang VOC di Batavia tetapi mengalami kegagalan. Serangan Mataram diulangi lagi pada 1629 dan mengalami kegagalan lagi. Kegagalan berturut-turut yang dialami Mataram dikarenakan kekurangan logistik. Mataram mengubah strategi, pada 1630 Sultan Agung menempatkan rakyatnya di daerah Karawang, Ukur (Bandung), Sumedang, Ciasem, Cilamaya, dan beberapa tempat di pantai utara Jawa untuk membuka persawahan guna mempersiapkan logistik. Pada 1641 penduduk Mataram banyak ditempatkan di Indramayu untuk membuka persawahan. Melihat gelagat seperti itu Banten tidak tinggal diam. Sejak 1632 Banten menempatkan penduduknya di Karawang dan Cikalong Wetan. Situasi perang antara Mataram, Banten, dan Batavia berlangsung lama. Daerah Karawang hingga Indramayu menjadi medan pertempuran.

Ambisi Mataram untuk menguasai tanah Jawa sedikit kendor setelah Sultan Agung wafat pada 1645. Amangkurat I sebagai penerus tahta Mataram mendapat tekanan pemberontakan Trunojoyo pada 1667 yang dibantu Kraeng Galesong dan Pangeran Giri. Banten juga berpihak kepada Trunojoyo. Mataram terpaksa minta dukungan pihak VOC (Kompeni Belanda) untuk mengatasi Trunojoyo. Dua pangeran Cirebon yang bermukim di Mataram diculik Trunojoyo tetapi kemudian berhasil dibebaskan oleh pasukan Banten dan selanjutnya dibawa ke Banten. Pangeran Wangsakerta menyusul ke Banten, di sana mereka bertiga mendapat indoktrinasi untuk tidak bekerjasama dengan Kompeni Belanda. Tahun 1678 mereka kembali ke Cirebon dan mendapat gelar Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon.

Tiga Sultan Cirebon berencana akan menyerang Sumedang. Rencana ini kemudian digagalkan oleh Kompeni Belanda.  Pada 1681 ditandatangani perjanjian antara Kompeni Belanda dengan ketiga Sultan Cirebon yang sangat merugikan Cirebon. Wilayah Kandanghaur, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Kabupaten Cirebon menjadi wilayah kekuasaan Kompeni. Selain itu ketiga sultan tidak boleh memakai gelar Sultan tetapi harus kembali memakai gelar Panembahan.

Di Mataram, pemberontakan Trunojoyo berhasil ditumpas pada masa Amangkurat II tahun 1679 dengan bantuan Admiral Speelman dari Jepara. Di Balik keberhasilan ini Mataram harus menanggung banyak kerugian. Amangkurat II didesak pihak Kompeni Belanda untuk menandatangani piagam yang isinya bahwa semua pelabuhan dari Karawang hingga pelabuhan terjauh di timur digadaikan kepada Kompeni sebagai pembayaran hutang Susuhunan.

Beberapa tahun kemudian timbul sengketa antara Amangkurat dengan Kompeni Belanda karena Amangkurat tidak mau melaksanakan perjanjian yang dipaksakan Kompeni Belanda. Di pihak Kompeni Belanda terjadi pemberontakan oleh Surapati, opsir kompenei yang merasa terhina. Surapati beserta pengikutnya diterima Susuhunan Amangkurat II. Pada 1685 Kapten Tack datang ke Kartasura (Ibukota Mataram masa Amangkurat II) untuk mengurus pembayaran hutang Susuhunan. Di Kartasura terjadi pertempuran antara pasukan Surapati yang diperkuat rakyat Mataram dengan pasukan Kapten Tack. Kemenangan berada di pihak Surapati. Kapten Tack beserta banyak serdadu Kompeni Belanda terbunuh. Atas kekalahan ini, pihak Kompeni Belanda mau mengadakan perundingan ulang mengenai hutang Susuhunan. Sebelum perundingan itu mencapai kesepakatan, pada 1703 Amangkurat II wafat dan digantikan Amangkurat Mas atau Sunan Mas.

Masa pemerintahan Amangkurat Mas juga diwarnai intrik di dalam istana. Pngeran Puger menyingkir ke Semarang karena berselisih faham dengan Sunan Mas mengenai hubungannya dengan Kompeni Belanda. Di Semarang Pangeran Puger mendapat dukungan dari Adipati Semarang, Bupati Surabaya, dan beberapa bupati lain. Pada 1704 para bupati mengangkat Pangeran Puger sebagai susuhunan bergelar Pakubuwono. Sunan Mas mengirim 40.000 pasukan untuk menumpas pemberontakan Pakubuwono. Panglima yang memimpin pasukan itu ternyata berkhianat dan berbalik memihak Susuhunan Pakubuwono. Pasukan Susuhunan Pakubuwono dibantu pihak Kompeni Belanda menyerang Kartasura dan berhasil mendudukinya. Karena berhasil pihak Kompeni Belanda mendapat hak untuk mengurus wilayah Priangan, Cirebon, dan Madura. Kompeni pun kemudian melunaskan hutang-hutang Susuhunan tetapi pihak Mataram harus mengirimkan beras ke Batavia sebanyak 800 koyan setiap tahun selama 25 tahun. Sejak itu pula Indramayu yang semula merupakan wilayah Mataram  selanjutnya jatuh ke tangan Kompeni Belanda.

Tahun 1799 VOC mengalami kebangkrutan dan akhirnya dibubarkan. Seluruh wilayah kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda. Pada 1806 ditunjuklah Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels melakukan restrukturisasi pemerintahan. Tahun 1809 Cirebon dinyatakan menjadi milik Belanda. Sultan diperbolehkan memakai gelar tetapi mereka dianggap sebagai pegawai pemerintah yang derajatnya sama dengan bupati. Bupati juga dinyatakan sebagai pegawai pemerintah yang kedudukannya berada di bawah prefectur. Para bupati dibebaskan dari membayar upeti tetapi masih berhak memungut pajak. Sebagian pajak yang diperoleh bupati harus disetor ke Gubernur sebanyak 100.000 ringgit. Pada waktu itu daerah Cirebon dibagi menjadi dua prefectur yaitu prefectur utara meliputi Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon; prefectur selatan meliputi Galuh, Sukapura, dan Limbangan. Daerah Cirebon dan Kuningan dikepalai Sultan Sepuh, daerah Majalengka dikepalai Sultan Anom, dan daerah Indramayu dikepalai Sultan Cirebon.

Tahun 1811 hingga 1816 penguasaan Indramayu pindah ke tangan Inggris di bawah pemerintahan Thomas Stamford Raffles sebagai Luitenan Gubernur Jenderal. Raffless meneruskan kebijaksanaan politik Daendels yaitu mengurangi sebanyak-banyaknya kekuasaan raja dan sultan bahkan bupati. Salah satu peraturan yang diciptakan Raffles yang banyak berpengaruh terhadap Indramayu adalah mengenai perbudakan. Pada 1812 Raffles mengeluarkan peraturan yang isinya 1) bagi setiap budak yang telah mencapai usia 8 tahun dikenakan pajak kepala sebesar 1 ringgit Spanyol yang harus dibayarkan oleh tuannya, 2) bagi setiap budak yang dijual, tuannya dikenakan pajak penjualan sebanyak-banyaknya ½ ringgit Spanyol. Tahun 1815 segala peraturan mengenai biaya memerdekakan budak dicabut. Polisi tidak diperkenankan menangkap budak yang melarikan diri atas permintaan tuannya. Rakyat Cirebon dan Indramayu yang banyak menjadi budak orang Belanda dan Cina menjadi berkurang.

Situasi politik di Eropa mengalami gejolak. Pihak Inggris dan Belanda harus menghadapi ekspansi Prancis di bawah Napoleon. Inggris akan menjadika Belanda sebagai benteng pertahanan dari serangan Prancis. Agar Belanda kuat maka harus mempunyai wilayah jajahan untuk membiayai keperluan militer. Pada 1814 dicapai kesepakatan bahwa pemerintah Inggris akan menyerahkan kembali wilayah jajahan kepada Belanda. Raffles menentang perjanjian itu akhirnya dipersilahkan meninggalkan Jawa. Perjanjian antara Inggris dan Belanda baru bisa dilaksanakan pada 1816.

Pemerintah Belanda memerlukan banyak biaya untuk memenuhi anggaran militer. Banyak tanah di wilayah jajahan dijual kepada swasta baik perusahaan maupun perorangan. Daerah Indramayu di sebelah barat Ci Manuk termasuk di dalam daftar tanah yang dijual. Sejak itu daerah Indramayu di sebelah barat Ci Manuk menjadi tanah partikelir yang dikuasai tuan tanah bangsa Belanda, Inggris, dan sebagian Cina. Pada masa tuan tanah, daerah Indramayu sebelah barat Ci Manuk terbagi dalam 6 Kademangan yaitu Kademangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan (Sindang), Bangodua, dan Jatitujuh. Sedangkan Indramayu sebelah timur Ci Manuk dibagi dalam 3 kawedanaan yaitu Kawedanaan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang).

Dalam rangka mengelola tanah jajahan, pemerintah Belanda membentuk Komissaris Jenderal terdiri Elout, Buyskes, dan Van der Capellen selanjutnya Van der Capellen terpilih menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Van der Capellen dalam mengelola tanah-tanah partikelir memanfaatkan kedudukan sosial para Bupati dan Kepala-kepala setempat. Sistem sewa tanah secara perorangan dihapuskan. Pajak tanah tidak diambil langsung tetapi dibebankan kepada desa. Dengan demikian pemerintah Kolonial Belanda tidak perlu berurusan dengan banyak orang.

Van der Capellen digantikan oleh Du Buis. Konsep-konsep yang digagas oleh Du Buis tidak sempat terlaksana karena berkobar perang Jawa/perang Diponegoro (1825 – 1830). Pada Oktober 1827 diangkatlah Van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal. Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa atau Cultuur-Stelsel. Pemerintahan Belanda berakhir setelah pada 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Eretan Wetan, Indramayu dan langsung bergerak dan menguasai Kalijati, Subang. Akhirnya pada 7 Maret 1942 pemerintah Belanda diwakili Gubernur Jenderal Carda van Starkenborg dan Jenderal Ter Poorten menandatangani penyerahan tanpa syarat kepada Jepang.

Masa pendudukan Jepang tidak memberi kemakmuran bahkan banyak menimbulkan penderitaan. Di Blitar terjadi pemberontakan prajurit Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Indramayu di bawah pimpinan Kapten Arya dan Mayor Dasuki juga mulai merencanakan pemberontakan. Sebelum pemberontakan dicetuskan terdengar berita bahwa Hirosima dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu. Beberapa hari kemudian Jepang menyerah kepada sekutu. Markas Kempetai di Indramayu ketika diserbu oleh rakyat sudah dalam keadaan kosong. Bala tentara Jepang di Indramayu ternyata ditarik ke Kedungbunder, Palimanan, Cirebon. Tidak lama setelah Jepang menyerah kepada sekutu Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.



TINGGALAN BUDAYA MASYARAKAT INDRAMAYU

Jejak-jejak budaya masyarakat Indramayu sebagai pedagang terlihat pada toponimi, benda-benda artefak dan situs, serta tradisi lisan masyarakat.



Toponimi

Di Indramayu terdapat toponimi Pabean Ilir. Lokasi ini termasuk di wilayah Kecamatan Pasekan, tepatnya berada pada posisi 06°17’36.93” LS dan 108°19’20.60” BT. Pemukiman di Desa Pabean Ilir berpola memanjang mengikuti tanggul alam rawa belakang (backswamp). Desa Pabean Ilir berdasarkan toponim merupakan bekas pabean. Desa ini terletak pada sekitar bekas muara aliran Ci Manuk di Laut Jawa dan merupakan bagian paling utara Kabupaten Indramayu. Sisa pemukiman lama sudah jarang ditemukan lagi. Pemukiman yang ada sekarang merupakan pemukiman baru dan terletak di sepanjang bekas aliran Ci Manuk.  Di kanan kiri bekas aliran sungai tersebut masih terdapat sisa-sisa tanggul yang sekarang dimanfaatkan untuk jalan desa.

Satu-satunya indikator pemukiman lama yaitu adanya situs Embah Buyut Datuk Khapi. Situs ini terletak di sebelah timur tanggul sungai. Berdasarkan keterangan, situs tersebut merupakan petilasan padepokan Syech Datuk Khapi dalam rangka menyebarkan Islam di Pabean. Syech Datuk Khapi adalah ulama dari Cirebon. Islamisasi yang dilakukannya ditujukan kepada para pemukim di Pabean yang merupakan imigran dari daerah Jawa Tengah. Sampai sekarang penduduk Desa Pabean menggunakan Bahasa Jawa.

Keadaan objek yang ada sekarang berupa “makam panjang” yang dilengkapi cungkup. Sekitar objek berupa komplek kuburan umum yang masih dipakai hingga sekarang. Pada sisi selatan komplek kuburan terdapat pagar tembok yang dilengkapi jalan masuk berupa gapura paduraksa. Bangunan pagar beserta gapura merupakan bangunan baru. Kompleks petilasan Syech Datuk Khapi terletak pada bagian paling utara. Petilasan tersebut berpagar tembok yang merupakan bangunan baru. Jalan masuk terdapat di sisi selatan tanpa dilengkapi gapura. Pada pagar sisi timur terdapat sumur kuna berdiameter 1 meter (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 39 – 41).

Selain Pabean, di Indramayu terdapat toponim Paoman. Toponim ini berasal dari kata Pa-omah-an yang berarti perumahan. Menurut keterangan, Kampung Paoman meru­pakan pemukiman yang dihuni para pekerja di Pabean. Dahulu para istri yang suaminya bekerja di Pabean, bermukim di Paoman, bekerja sebagai pembatik. Sampai sekarang tradisi membatik masih berlanjut.

Kampung Paoman terletak di sebelah timur Ci Manuk dan merupakan bagian paling utara pusat kota Indramayu. Di tengah-tengah pemukiman terdapat petilasan Padepokan Paoman yaitu bekas lokasi islamisasi bagi pemukim di Kampung Pao­man. Pada petilasan tersebut terdapat “makam” dengan orien­tasi utara-selatan, yang berukuran 1 X 3 m berjumlah sebe­las. Makam-makam tersebut merupakan lambang penyebar Islam di Paoman. Sembilan makam merupakan lambang walisanga, sedangkan dua yang lain merupakan lambang Ki Jaka Geding sebagai pemimpin keamanan, dan Ki Jaka Kendil sebagai pemim­pin dapur umum (Saptono, 1995: 61).

Kepandean merupakan toponim berasal dari kata Ka-pande-an yang berarti tempat industri logam (pande). Di Kampung Kepandean terdapat makam Ki Buyut Blencong. Makam tersebut berlokasi di sebelah timur Jalan Jenderal Suprapta pada sebidang tanah kosong. Keadaan makam berjirat dan berpagar tembok yang merupakan bangunan baru. Menurut kepercayaan masyarakat, Ki Buyut Blencong merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan pembuatan peralatan dari besi.

Di Kampung Kepandean juga terdapat lokasi yang dipercaya sebagai lokasi industri pande besi. Lokasi tersebut terletak di tepi Ci Manuk sebelah timur. Berdasarkan pengamatan di lokasi, tidak ditemukan adanya bukti-bukti sisa kegiatan industri pande besi. Namun demikian, indikator industri pande besi ditemukan di Blok Dermayu Selatan, Desa Dermayu, Kecamatan Sindang, di seberang barat Ci Manuk bersebelahan dengan Kampung Kepandean berjarak sekitar 300 m (Saptono, 1994: 10).



Situs dan Artefak

Di beberapa lokasi di Indramayu terdapat beberapa situs dan artefak yang menunjukkan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Di sepanjang ruas Jalan Jenderal Suprapto, pada sisi kiri dan kanan jalan merupakan pemukiman etnis Cina. Secara administratif, lokasi ini termasuk di wilayah Kelurahan Karang Anyar dan Karang Malang yang merupakan pusat kota Indramayu. Masyarakat menyebut lokasi ini Kampung Pacinan. Bangu­nan yang ada sebagian bertingkat, berfungsi sebagai rumah toko (ruko). Sebagaian besar bangu­nan pada puncaknya terdapat ragam hias berbentuk melengkung. Di antara jajaran rumah Cina terdapat suatu tempat yang disebut Pasar Lawas. Menurut keterangan, dahulu pasar Indramayu berada di lokasi tersebut. Pada sekitar tahun 1925, pasar dipindahkan ke lokasi sekarang ini.

Pemukiman etnis Cina, selain di Jalan Jenderal Suprapto juga terdapat di sepanjang Jalan Cimanuk hingga Jalan Veteran. Ruas jalan ini sejajar dengan Jalan Jenderal Suprapto di sebelah barat. Jalan Cimanuk dan Jalan Veteran terletak di sisi timur Ci Manuk. Bangunan Cina di sepanjang ruas jalan terse­but berfungsi sebagai rumah tinggal. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai gudang. Beberapa gudang ada yang menghadap ke Ci Manuk (Saptono, 1995: 61 – 62).

Di ruas Jalan Veteran pada sisi timur, terdapat Klenteng An Tjeng Bio atau Vihara Dharma Rahayu. Vihara ini semula bukan merupakan bangunan permanen. Pada tahun 1848 dibangun secara permanen oleh Poey Soen Kam. Pada tahun 1880 dipindahkan dari lokasi semula ke lokasi yang sekarang oleh Tan Liong Siang. Pada waktu itu jumlah penduduk Tionghoa terdiri dari 219 orang laki-laki dan 302 orang perempuan. Data ini terdapat pada catatan yang ada di klenteng tersebut. Klenteng An Tjeng Bio merupakan tempat pemujaan kepada Toa Pekong Lak Kwa Ya, yang merupakan panglima (Dewa) perang yang bersemayam di laut. Perayaan terhadap Toa Pekong Lak Kwa Ya dilaksanakan setiap Cia Gwee Ji It yaitu tanggal 21 bulan kesatu Imlek.

Bangunan klenteng menghadap ke Ci Manuk yang terletak di sebelah barat klenteng. Secara umum bangu­nan terdiri dari tiga unit. Bangunan yang terdapat di tengah merupakan bangunan inti. Pada bagian tersebut terdiri dari dua yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan merupakan sebuah pendapa terbuka. Sedangkan bagian belakang merupakan bagian utama tempat bersemayamnya Toa Pekong Lak Kwa Ya. Di kanan dan kiri bangunan inti terdapat bangunan terbuka yang masing-masing menghadap ke bangunan inti. Bangunan tersebut berfungsi untuk pemujaan kepada panteon Budha (Saptono, 1994: 8 – 9).

Di Desa Krangkeng Kecamatan Karangampel, terdapat artefak bagian-bagian pedati kuna (Tim Penelitian, 2011: 10). Pedati kuna tersimpan pada suatu bangunan cungkup di belakang kantor desa, tepatnya berada pada posisi 6° 28’ 34,44” LS dan 108° 29’ 15,82” BT pada ketinggian 4 m di atas permukaan laut. Desa Krangkeng berada di sebelah timur Karangampel berjarak sekitar 4 km. Permukiman berpola mengelompok dikelilingi area persawahan.

Berdasarkan legenda yang hidup di masyarakat, Pedati Kuno itu berkaitan dengan Dampu Awang, adalah nama lain dari Laksamana Cheng Ho atau Sam Po (Sam Poo atau San Po) dalam dialek Fujian atau San Bao dalam bahasa nasional Tiongkok (Mandarin). Cheng Ho adalah pelaut yang selama hampir 28 tahun (1405-1433) mengunjungi lebih dari 30 negara dan kawasan yang terletak di Asia.

Kondisi pedati sudah sangat rusak. Panjang pedati diukur dari rangka dasar utama, sekitar 3 m hingga 5 m. Tinggi bagian dasar dari permukaan tanah adalah sekitar  80 cm. Roda pedati berdiameter 2 m dengan jari-jari sebanyak 15 buah, berporos pada sumbu roda. Sumbu roda pada tiap roda berbentuk silinder, pada kedua ujungnya berbentuk tabung. Ujung sumbu bagian sisi luar atau tempat jari-jari berporos, lebih besar bila dibandingkan dengan ujung sumbu sisi bagian dalam yang dipasangkan dengan as roda. Sumbu roda diukir pola garis memanjang.

Bagian lain yang masih tersisa utuh adalah lengan kayu yang menghubungkan pedati dengan hewan penariknya beserta kayu berbentuk lengkung yang biasa diletakan di atas bahu hewan penariknya (kolongan). Berdasarkan sisa bagian kolongan dapat diperkirakan hewan penariknya adalah satu ekor sapi atau kerbau. Pedati kuno juga dilengkapi kursi tempat duduk berlengan. Bagian lengan dan kaki kursi dihias ukiran. Beberapa bagian lain yang tersisa diukir dengan ragam hias sulur-suluran. Ragam hias demikian dipergunakan pada seluruh bagian badan pedati. Papan yang mungkin merupakan bagian muka, belakang, atau samping terdapat hiasan sulur-suluran.

Di rumah Awiyah, Blok Karang Taruna, Desa Benda tersimpan artefak batu (Tim Penelitian, 2011: 11). Masyarakat setempat menyebutnya Sambi Watu. Sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1990-an akhir, batu tersebut berada di pinggir sisi utara jalan desa pada kebun mangga tepatnya pada posisi 6° 27’ 48,52” LS dan 108° 27’ 50,54” BT dengan ketinggian 4 m di atas permukaan laut. Di sebelah timur lahan merupakan area persawahan dan di sebelah baratnya merupakan area perkampungan. Rumah Ibu Awiyah berada sekitar 100 m sebelah timur lokasi semula, berada berseberangan, sebelah sisi selatan jalan desa. Alasan dipindahkan karena kalau di tempat semula tidak ada yang merawat. Masyarakat Desa Benda dan sekitarnya mempercayai bahwa batu itu merupakan peninggalan Dampu Awang.

Sambi Watu merupakan dua buah batu andesit yang bentuknya hampir sama, yaitu segi empat pipih berukuran panjang 130 cm, lebar 66 cm, dan tebal 66 cm tersimpan di dalam kamar diselubungi kelambu, diletakkan dalam posisi berdiri. Pada bagian bawah terdapat takikan dengan lebar 16 cm. Di atas takikan terdapat dua lubang tembus berdiameter 8 cm. Dilihat dari bentuknya, batu ini merupakan bagian dari ambang pintu. Kedua lubang merupakan tempat meletakkan kayu penyangga daun pintu. Selain dua buah batu tersebut juga terdapat beberapa batu polos. Batu-batu tersebut dahulu berada di bawah batu yang berlobang tersebut.

Di Desa Lombang, Kecamatan Juntinyuat sekitar 20 km timur kota Indramayu pernah ditemukan perahu dalam kondisi tertimbun pasir. Lokasi temuan berada di sebelah timur laut jalan raya berjarak sekitar 200 m. Secara geografis lokasi situs berada pada posisi 6° 24' 26,75" LS dan 108° 25' 32,96" BT. Morfologi daerah merupakan pedataran rendah di tepi pantai Laut Jawa. Sungai yang mengalir di daerah ini yaitu Kali Gabus dan Kali Glayem. Dahulu di daerah ini mengalir Kali Genggong. Pada saat sekarang sungai tersebut tinggal berupa jejaknya dan diperkirakan lokasi penemuan perahu kuna tersebut pada aliran sungai ini (Saptono, 1994: 15).

Penemuan perahu terjadi pada sekitar bulan November 1991. Ekaskavasi penyelamatan yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala berhasil menampakkan secara keseluruhan bangkai perahu (Michrob, 1992). Bangkai perahu berukuran panjang 11,5 m lebar 3 m tinggi sekitar 1,5 m. Bagian yang masih ada adalah serang (muka perahu), guri (belakang perahu), celek (tempat tiang layar), gading (rusuk perahu), galaran (papan yang ditempatkan di atas gading), dan baya-baya (kayu memanjang dari serang sampai guri). Teknik penyambungan beberapa komponen menggunakan paku. Temuan perahu kuna ini sekarang disimpan di sebuah bangunan di lokasi objek wisata Pantai Tirtamaya, Desa Lombang, Kecamatan Juntinyuat. Pada pintu masuk bangunan tempat menyimpan perahu itu terdapat papan nama “Musium Perahu”.



Cerita Sejarah

Sejarah Indramayu berkaitan dengan keberadaan kota pelabuhan yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda yang kebanya­kan terletak di sekitar Teluk Banten kecuali Cimanuk atau Indramayu yang terletak jauh di ujung timur Jawa Barat. Menurut keterangan dalam Carita Parahyangan, antara ibukota Kerajaan Sunda dengan kota pelabuhan dihubungkan dengan jalan darat  yang berpusat di Pakwan Pajajaran, yang satu menuju ke timur sedangkan yang lainnya lagi ke barat. Jalan ke timur menghubung­kan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung yang terletak di tepi Citarum kemudian berlanjut hingga ke Cirebon, Kuningan, hingga Kawali. Sedangkan jalan yang ke arah barat menghubungkan Pakwan Pajajaran hingga Banten (Hardiati, 2009: 420).

Berdasarkan data sejarah tersebut dapat dilihat bahwa permukiman di tepi Cimanuk banyak disebut. Hal ini tidak mengherankan karena kera­jaan Sunda ketika beribukota di Kawali dan Galuh daerah Ciamis, banyak menggantungkan prasarana transportasi menuju pantai pada Cimanuk. Menurut Babad Dermayu, perubahan nama dari Cimanuk menjadi Indramayu berkaitan erat dengan cerita wakil kerajaan Sunda (Galuh) bernama Wiralodra yang menjadi penguasa di Indrama­yu. Pada tanggal 7 Oktober 1527, Cimanuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Sunda dan namanya diubah menjadi Indramayu (Dasuki, 1977: 106). Nama Indramayu diambil dari nama istri Wira­lodra Endang Darma yang juga disebut Darma Ayu. Dari nama panggi­lan tersebut, daerah Cimanuk kemudian disebut Dermayu yang akhir­nya jadi Indramayu.

Surutnya kekuasaan kerajaan Sunda digantikan oleh Banten di daerah barat Jawa Barat dan Cirebon di daerah timur Jawa Barat. Pada masa ini Indramayu menjadi daerah kekuasaan Cirebon, hingga masa kolonial, Indramayu dibawah kontrol residen Cirebon  (Abdur­achman, 1982: 29 - 67). Mengenai sejarah yang berkaitan dengan kawasan pantai timur Indramayu khususnya daerah Juntinyuat, kebanyakan cenderung bersifat legenda yang bercampur dengan cerita sejarah (Dasuki, 1977: 339 – 340). Diceritakan bahwa Prabu Siliwangi sebagai raja Kerajaan Pajajaran mempunyai putra Raden Kuncung Walangsungsang, Nyi Larasantang, dan Raja Sengara. Ketiga putra Prabu Siliwangi ini pada suatu saat mengadakan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Nyi Larasantang kemudian diperistri Raja Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayat dan Syarif Ngaripin.

Syarif Hidayat bermaksud menuntut ilmu ke Mekah tetapi tidak terwujud. Syarif Hidayat kemudian pergi ke Tiongkok. Di sana ia berlaku sebagai dukun yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Raja Tiongkok yang bernama Titongki kemudian menguji kesaktian Syarif Hidayat dengan jalan disuruh menebak bayi yang dikandung isterinya, apakah laki-laki atau perempuan. Padahal isteri Raja Titongki tersebut sebenarnya tidak hamil. Syarif Hidayat mengatakan bahwa isteri Raja Titongki mengandung anak perempuan. Raja Titongki marah karena tahu bahwa Syarif Hidayat salah. Syarif Hidayat kemudian akan ditangkap tetapi berhasil melarikan diri dan menuju laut. Setelah itu kemudian isteri Raja Titongki yang sebelumnya pura-pura hamil jadi benar-benar hamil dan melahirkan anak perempuan. Anak tersebut diberi nama Santi.

Ketika anak itu menginjak dewasa menanyakan kepada Raja Titongki siapa sebenarnya ayahnya. Raja Titongki mengaku sebagai ayahnya. Santi sebenarnya sudah tahu bahwa ia bukan anak Raja Titongki. Ia kemudian melarikan diri menuju laut. Raja Titongki merasa kehilangan anak, maka diutuslah beberapa punggawa di bawah pimpinan Dampu Awang mencarinya ke laut. Di laut Santi bertemu dengan Syarif Hidayat. Mereka berdua kemudian mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu Nabi (Islam).

Perjalanan Syarif Hidayat hingga di Gunung Jati dan bertemu dengan Syech Datu Kahpi. Syarif Hidayat mendapat banyak ilmu tentang Islam dari Syech Datu Kahpi. Ketika Syarif Hidayat menuntut ilmu kepada Syech Datu Kahpi, Santi membuat tempat peristirahatan di padang Junti. Kebetulan di sebelah selatannya ada orang berkebun, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikebon. Di sebelah barat terdapat kedokan air yang kemudian diperbaiki dan diperpanjang. Lokasi itu kemudian diberi nama Juntikedokan. Di tepi laut dilihatnya ada pohon yang daunnya menyolok (nyongat) ke laut maka tempat itu dinamakan Juntinyuat.

Pada kisah lain diceritakan dalam Babad Cirebon, Dampu Awang berkunjung ke rumah Ki Gedeng Junti (Dasuki, 1977: 7 – 9). Di situ ia bertemu puteri Ki Gedeng Junti dan kemudian bermaksud untuk mempersuntingnya. Ki Gedeng Junti mempersilahkan tetapi mengajukan syarat agar Dampu Awang sanggup membongkar benteng pekarangan Ki Gedeng Junti yang tersusun dari pohon bambu duri selebar 1,5 m dalam waktu semalam.

Dampu Awang yang kaya menyanggupinya. Ia kemudian menyebarkan berita bahwa akan mengadakan “tawur mas picis raja-brana”. Penduduk desa Junti mendengar berita itu lalu berbondong-bondong menuju alun-alun di depan rumah Ki Gedeng Junti. Begitu malam tiba, Dampu Awang mulai menabur emas pada rumpun bambu yang memagari pekarangan Ki Gedeng Junti. Rakyat mulai berebut mendapatkan emas dengan cara membongkar benteng bambu. Satu demi satu rumpun bambu itu jebol, sementara Dampu Awang terus menaburkan emas.

Usaha Dampu Awang berhasil, akhirnya benteng pekarangan Ki Gedeng Junti jebol. Di mata Ki Gedeng Junti, perlakuan Dampu Awang tersebut curang. Ia dan puterinya melarikan diri menuju Gunung Sembung. Di sana mereka menemui Syech Bentong untuk mohon perlindungan dari kecurangan Dampu Awang. Ki Gedeng Junti berjanji akan menyerahkan puterinya agar diperisteri Syech Bentong. Pengejaran Dampu Awang sampai di Gunung Sembung. Di situ bertemu Syech Bentong yang kemudian terjadi perang mulut hingga perang fisik yang akhirnya dimenangkan Syech Bentong. Akhirnya Syech Bentong memperisteri puteri Ki Gedeng Junti.

Legenda tentang bertambah lebarnya laut di Desa Dadap juga berkaitan dengan Dampu Awang dan puteri dari Junti (Dasuki, 1977: 358 – 359). Diceritakan bahwa Dampu Awang yang berasal dari daerah timur berguru dan tinggal di Cirebon. Dampu Awang ingin punya isteri. Ia mendengar bahwa di daerah Junti ada wanita cantik. Dia pun ke Junti membawa barang-barang perhiasan dengan menggunakan tiga pedati. Karena berangkatnya terlambat, satu pedati ditinggal di keraton. Dua pedati lainnya berangkat ke Junti. Karena terlalu kesiangan, perjalanan pedati hanya sampai di Desa Krangkeng. Dampu Awang melanjutkan perjalanan ke Junti sendirian. Sampai di Junti keinginan Dampu Awang ditolak.

Dampu Awang pulang kembali sambil mencari janda Nyi Ratu Benda. Di Benda, Dampu Awang mendapatkan wanita yang mau diperisteri tetapi dengan syarat minta dibuatkan keraton dalam waktu semalam. Dampu Awang menyanggupi karena dia bisa minta bantuan makhluk halus untuk membuat keraton tersebut. Ketika pembuatan keraton baru selesai bagian pintu gerbang, malam sudah berakhir. Makhluk halus yang membantunya lari meninggalkan Dampu Awang. Emas dan perhiasan sudah terlanjur dipakai dan ditabur di Desa Dadap.

Dampu Awang mengetahui kalau dia diperdaya wanita dari Desa Benda. Dampu Awang mencari dan mengejar ke mana wanita itu pergi. Wanita dari Desa Benda tadi karena terdesak masuk ke laut. Dampu Awang hanya bisa mengutuk kalau di daerah Benda ada wanita yang tidak mau menikah maka akan jadi perawan tua, dan bila ada pria yang tidak mau menikah akan jadi perjaka tua. Dampu Awang kemudian kembali ke Cirebon. Pedati yang tertinggal di Desa Krangkeng ditinggalkannya dan sampai sekarang masih ada. Di Desa Dadap masyarakat percaya bahwa abrasi yang terjadi karena laut mau mengejar wanita ke Desa Benda.



BUDAYA MASYARAKAT PASCA ABAD KE-18

Tipe kebudayaan suatu masyarakat dapat dilihat dari wujud kebudayaan yang dimilikinya. J.J. Honigman membedakan tiga gejala kebudayaan yaitu ideas, activities, dan artifacts (Honigman, 1959 dalam Koentjaraningrat, 1990: 186). Sejalan dengan pendapat tersebut, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa tiga wujud kebudayaan tersebut terdiri dari

1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya

2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat

3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Dari ketiga wujud tersebut, yang dapat diamati hanya wujud kedua dan ketiga yaitu kompleks aktivitas dan benda hasil karya manusia. Di kawasan pesisir Indramayu terdapat beberapa lokasi yang berdasarkan aktivitas masyarakat pendukungnya dapat memperlihatkan bagaimana tipe kebudayaannya.



Kompleks Keramat Buyut Tambi dan Buyut Waja

Desa Tambi berada di sebelah tenggara kota Indramayu berjark sekitar 18 km. Nama Desa Tambi berkaitan erat dengan keberadaan makam keramat Buyut Tambi. Cerita atau sejarah Buyut Tambi tidak pernah diketahui secara pasti. Masyarakat setempat dan juru kunci makam tidak bisa menjelaskan mengenai tokoh Buyut Tambi. Keterangan singkat yang diperoleh menyebutkan bahwa Buyut Tambi adalah seorang dalang wayang kulit yang kemudian membuka lahan pemukiman yang saat itu masih kosong. Di lokasi itu kemudian berkembang anak-cucu dan pendatang yang ingin ikut bermukim. Setelah mengalami perkembangan, permukiman yang semula hanya merupakan kelompok masyarakat akhirnya menjadi desa dan dinamakanlah Desa Tambi.

Kompleks makam keramat Buyut Tambi berada di tengah pemukiman padat di sebelah selatan jalan raya Karangampel – Jatibarang. Secara geografis berada pada posisi 06°28’39.06” LS dan 108°20’13.58” BT. Kompleks makam menghadap ke arah timur. Di depan kompleks makam terdapat lapangan semacam alun-alun. Komplek makam Buyut Tambi berpagar tembok bata setinggi sekitar 2,5 m. Pintu gerbang berada di sisi timur terdiri dua jalan masuk. Gerbang utama berada di bagian selatan. Di bagian utara terdapat gerbang lainnya. Kedua gerbang tersebut berbentuk gapura paduraksa. Bagian atas terdapat hiasan kemuncak berjumlah empat.

Kompleks makam terbagi dalam tiga halaman. Makam Buyut Tambi berada di halaman ketiga. Jalan yang berada pada halaman pertama dan kedua berupa koridor terbuka, di kanan dan kiri terdapat bangunan terbuka untuk para peziarah. Pada halaman kedua di sisi utara terdapat mushala. Pada halaman ketiga, hampir seluruhnya berada pada bangunan terbuka. Pada bagian ini terdapat sekat-sekat untuk memisahkan para peziarah. Bagian selatan halaman ketiga merupakan bagian terbuka, terdapat lima kuburan. Makam Buyut Tambi berada di bagian utara halaman. Makam tersebut berada pada kamar berdinding keramik. Pintu masuk berada di sisi selatan dalam keadaan terkunci. Pada dinding sisi selatan ini dihias dengan tempelan piring keramik. Di depan pintu cungkup terdapat berbagai kelengkapan ziarah seperti tungku pembakaran kemenyan, botol air, dan benda-benda kecil lainnya.

Di sebelah selatan cungkup makam Buyut Tambi pada bagian bangunan terbuka terdapat satu kelompok makam khusus perempuan yang terletak dalam satu atap bangunan dengan dibatasi pagar pembatas dari tembok berukuran sekitar 50 cm. Makam ini disebut dengan Makam keramat Buyut Raisa. Di dalam makam ini terdapat 6 makam, terdiri dari 5 makam berada dalam satu deretan dari arah barat ke timur dan 1 makam terpisah di sebelah utara dari 5 deret makam tersebut. Makam Buyut Raisa berada di dalam 5 deretan nomor dua dari arah barat. Makam-makam lainnya tidak diketahui siapa yang dimakamkan di situ atau merupakan makam yang tidak dikenal. Dimungkinkan masih kerabat atau pengikut Ki Buyut Tambi dan Buyut Raisa. Sementara itu, Buyut Raisa sendiri tidak ada keterangan tentang keterkaitannya dengan Ki Buyut Tambi.

            Ada beberapa upacara adat diselenggarakan masyarakat. Setiap malam Jumat menyelenggarakan tahlil. Mapag tanggal diselenggarakan setiap awal bulan pada tanggal ganjil hari Sabtu malam Minggu. Tanggal yang dianut adalah sistem kalender Jawa Aboge. Bentuk acaranya adalah membuat tumpeng dan melaksanakan tahlil. Setiap tahun menyelenggarakan acara khaul atau mermule. Acara ini diselenggarakan setiap akhir musim panen kedua antara bulan September atau Oktober. Pada acara ini sering juga dilengkapi dengan adanya hiburan berupa wayang, sandiwara, musik organ tunggal, dan semacam pasar raya. Juru Kunci hanya berkewajiban menyelenggarakan upacara adat sedangkan hiburan merupakan tanggung jawab panitia penyelenggara. Pembangunan fisik bukan kewajiban Juru Kunci. Perbaikan prasarana fisik memang menjadi tugas Juru Kunci tetapi pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan pemerintah desa (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 22 – 23).



Aktivitas Masyarakat di Keramat Syekh Datuk Khafi

Di Keramat Syekh Datuk Khafi diselenggarakan upacara adat ngunjungan. Upacara ini diadakan satu tahun sekali pada bulan 9 (September) atau 10 (Oktober). Upacara ngunjungan dimaksudkan untuk memanjatkan rasa syukur masyarakat petani setempat. Selain upacara ngunjungan, masyarakat setempat apabila akan melakukan hajatan atau mau berangkat ibadah haji juga mengadakan tahlil di Keramat Syekh Datuk Khafi (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 39 – 41).



Keramat Ki Buyut Gentong

Di daerah Losarang pada masa awal masuknya agama Islam dikenal tokoh penyebar yang disebut Kuwu Sangkan. Tokoh ini juga dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuwana atau Kuwu Warsitem. Salah satu petilasan Kuwu Sangkan adalah di Keramat Ki Buyut Gentong. Keramat ini berada di Dusun Muntur, Desa Santing, sekitar 750 m sebelah selatan jalan raya Cirebon – Jakarta, tepatnya pada posisi 06°23’43.01” LS dan 108°08’51.33” BT.

Lahan Keramat Ki Buyut Gentong berada di tengah perkampungan pada sisi barat laut persimpangan jalan desa. Batas sisi selatan dan timur berupa pagar bambu, sedangkan sisi barat dan utara dinding bangunan rumah penduduk. Pada bagian timur lahan terdapat pohon asam (Tamarindus indica). Di sebelah barat pohon asam terdapat bangunan, bagian selatan berupa bangunan terbuka tanpa dinding, bagian utara terdapat bangunan cungkup menghadap ke selatan beratap welit (rumbia).

Penelitian Balai Arkeologi Bandung pada 1996 mencatat adanya dua batu pipisan yang tersimpan di dalam bangunan cungkup. Batu pipisan pertama bagian atas berpenampang segi empat dengan ukuran 39,5 x 20,5 cm. Bagian dasar juga berpenampang segi empat tetapi dalam ukuran lebih kecil yaitu 24 x 11,5 cm. Bagian dasar atau kaki berukuran tinggi 4 cm. Secara keseluruhan berpenampang lintang trapesium dengan tinggi berukuran 12 cm. Batu pipisan kedua, bagian atas berukuran 40 x 21 cm. Kedua sisi panjang pada bagian tengahnya agak masuk. Sedangkan salah satu sisi lebarnya melengkung keluar dan sisi lebar lainnya rata. Pada permukaan atas dekat dengan sisi lebar yang rata terdapat cekungan kecil berdiameter 5 cm. Bagian dasar pipisan terdapat dua buah kaki masing-masing berpenampang lintang segi tiga. Secara keseluruhan berukuran tinggi 12 cm. Kedua batu pipisan ini sekarang dibungkus kain putih dan tidak diperbolehkan dibuka. Menurut keterangan dahulu juga terdapat gentong keramik (guci) tetapi sekarang sudah hilang. Gentong yang sekarang ada merupakan duplikat. Benda-benda tersebut dipercaya sebagai tinggalan Kuwu Sangkan.

Beberapa upacara adat masih dilaksanakan masyarakat di lokasi ini. Masyarakat setiap melaksanakan hajatan didahului dengan mengirim nasi tumpeng ke keramat. Selain upacara adat perorangan, juga ada upacara adat yang dilakukan secara komunal. Upacara adat yang dilakukan secara masal antara lain “mapag sri” setiap musim panen tiba dan “sedekah bumi” pada setiap awal musim bertani. Pada acara “mapag sri” dilengkapi dengan tumpeng berjumlah tujuh, dilengkapi dengan ayam bakakak dan degan ijo. Rangkaian acara biasanya juga disertai dengan pertunjukan wayang (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 44 – 47).



Keramat Buyut Slonto atau Buyut Jaka Dolok

Di Desa Kapringan, Kecamatan Krangkeng terdapat keramat Buyut Slonto. Asal mula Desa Kapringan menurut cerita tutur masyarakat bermula dari tokoh Buyut Daya Lautan. Sejak kecil Buyut Daya Lautan sudah yatim piatu. Dia mempunyai pusaka peninggalan orang tuanya berupa cucuk konde, keris “Jaka Tua”, cemeti “Komala Geni”, dan rotan. Buyut Daya Lautan mempunyai putra bernama Buyut Maspah yang kemudian menjadi kuwu pertama di Desa Kapringan. Buyut Maspah berputrakan Buyut Warsiki. Buyut Warsiki mempunyai anak Slonto dan Jayalaksana. Jayalaksana dibunuh oleh orang Cirebon. Slonto akan balas dendam menyerang ke Cirebon. Di Desa Suramenggala bertemu Kuwu Sangkan. Di situ Slonto dibersihkan jiwanya dan berubah menjadi orang yang kalem (Dolok). Akhirnya Slonto mengurungkan niat untuk menyerang ke Cirebon. Slonto memutuskan untuk tinggal di Desa Kapringan hingga meninggal dunia dan dikenal dengan nama Jaka Dolok.

Keramat Buyut Slonto atau Jaka Dolok berada di pinggir sawah sebelah timur Kantor Kepala Desa Kapringan. Lokasi ini berada pada posisi 06°32’07.27” LS dan 108°27’30.48” BT. Kompleks Keramat Buyut Slonto berupa pemakaman umum. Makam Buyut Slonto berada di tengah-tengah kompleks dilengkapi bangunan cungkup yang merupakan bangunan baru. Cungkup menghadap ke arah utara terdiri dua ruangan. Ruang depan berfungsi untuk tempat para peziarah, sedang ruang dalam merupakan tempat makam Buyut Slonto.

Di lokasi keramat Buyut Slonto, secara komunal pada waktu tertentu dilaksanakan upacara adat. Upacara adat yang secara rutin dilaksanakan adalah munjungan. Acara ini dilaksanakan pada bulan Oktober atau November. Pada acara munjungan biasanya diisi dengan pertunjukan wayang, sandiwara, tarling, dan organ tunggal (Saptono dan Lia Nuralia, 2012: 47 – 48).

Keramat Buyut Tambi, Syekh Datuk Khafi, Buyut Gentong, dan Buyut Slonto semua berada di kawasan pesisir Indramayu. Masyarakat di sekitar lokasi keramat pada waktu-waktu tertentu mengadakan upacara adat secara komunal di lokasi makam. Upacara adat yang dilakukan berkaitan dengan siklus dalam menanam padi. Berdasarkan bentuk budaya dalam wujud kompleks aktivitas berupa upacara adat tersebut terlihat bahwa masyarakat pesisir Indramayu merupakan masyarakat petani. Dengan demikian telah terjadi perubahan dari yang sebelumnya sebagai pedagang ke petani.

Perubahan budaya dapat terjadi melalui beberapa proses salah satunya difusi. Pada kasus perubahan kebudayaan di Indramayu, berdasarkan data sejarah dapat diketahui adanya proses difusi oleh sebagian masyarakat Jawa yang memperkenalkan sistem persawahan. Proses ini berkaitan dengan penyerangan tentara Mataram ke Batavia. Pada masa Sultan Agung memerintah Mataram, hubungan dengan Banten mengalami ketegangan. Pada masa ini VOC sudah berada di Batavia. Mataram mengambil hati VOC agar mau menyerang Banten secara bersama-sama. VOC sebagai pihak yang mau mengambil keuntungan tidak menghendaki salah satu kerajaan menjadi kuat. Oleh karena itu VOC menolak keinginan Mataram. Pada 1628 Mataram menyerang VOC di Batavia tetapi mengalami kegagalan. Serangan Mataram diulangi lagi pada 1629 dan mengalami kegagalan lagi. Kegagalan berturut-turut yang dialami Mataram dikarenakan kekurangan logistik. Mataram mengubah strategi, pada 1630 Sultan Agung menempatkan rakyatnya di daerah Karawang, Ukur (Bandung), Sumedang, Ciasem, Cilamaya, dan beberapa tempat di pantai utara Jawa untuk membuka persawahan guna mempersiapkan logistik. Pada 1641 penduduk Mataram banyak ditempatkan di Indramayu untuk membuka persawahan. Melihat gelagat seperti itu Banten tidak tinggal diam. Sejak 1632 Banten menempatkan penduduknya di Karawang dan Cikalong Wetan. Situasi perang antara Mataram, Banten, dan Batavia berlangsung lama. Daerah Karawang hingga Indramayu menjadi medan pertempuran (Dasuki, 1977; Graaf, 2002).

Pada kasus ini terlihat bahwa sumber perubahan berasal dari luar. Menurut Rogers dan Shoemaker (1987: 17). Perubahan karena bersumber dari luar terdapat dua jenis yaitu selektif dan terarah. Perubahan selektif terjadi apabila warga bersikap terbuka terhadap pengaruh yang datang dari luar. Ide baru tersebut diterima didasarkan karena kebutuhan yang dirasakannya sendiri. Perubahan terarah terjadi karena adanya kesengajaan oleh pihak luar sebagai agen perubahan. Kelompok masyarakat ini akan berusaha memperkenalkan ide-ide baru di luar sistem budaya masyarakat yang dipengaruhinya agar diterima.

Perubahan yang terjadi di Indramayu tampaknya tidak melalui proses perubahan terarah tetapi melalui cara selektif. Pada awalnya sistem sawah hanya ditujukan untuk memenuhi logistik para laskar Mataram yang akan menyerang Batavia. Secara arkeologis, bukti-bukti adanya pengenalan sistem sawah terlihat pada adanya fitur sawah yang dikenal dengan sawah dalem. Objek berada di sebelah barat Kantor Kepala Desa  Plumbon. Sawah dalem berukuran sekitar 30 X 20 m. Menurut keterangan, sawah tersebut merupakan bekas sawah laskar Mataram ketika mengadakan penyerangan ke Jayakarta atau Batavia. Penyerangan besar-besaran oleh Mataram terjadi pada tahun 1618 dan 1629. Ketika Belanda mengadakan pembersihan terhadap laskar Mataram di sepanjang pantai utara Jawa, Laskar Mataram di Indramayu menyamar sebagai penduduk setempat yang berprofesi sebagai petani. Di sebelah utara situs sawah dalem berjarak sekitar 500 m terdapat situs lumbung dalem. Lokasi situs berada di tepi Ci Manuk sebelah timur berjarak sekitar 100 m. Lumbung dalem berada di dalam sebuah cungkup yang merupakan bangunan baru. Lumbung terbuat dari bahan kayu jati yang pada bagian tertentu berukir. Konstruksi bangunan lumbung menggunakan teknik pasak berbentuk prisma terbalik. Ukuran bagian bawah 2,6 X 1,4 m sedangkan pada bagian atas berukuran 3 X 1,8 m, tinggi keseluruhan 2 m. Menurut keterangan, lumbung tersebut juga merupakan peninggalan laskar Mataram (Saptono, 1994: 11). Pada kasus ini, laskar Mataram merupakan agen perubahan dari luar bagi masyarakat pesisir Indramayu.

Perubahan budaya di Indramayu selain dipengaruhi faktor budaya luar melalui proses difusi juga dipengaruhi faktor biofisik. Ci Manuk yang semula berfungsi sebagai urat nadi lalu lintas barang komoditi, secara perlahan mengalami pendangkalan sehingga tidak mampu lagi memenuhi fungsi sebagai prasarana transportasi. Tingginya volume lumpur yang terbawa dari kawasan hulu kemudian terendapkan di kawasan hilir, selain berdampak negatif juga berdampak positif. Masyarakat dengan cepat melakukan adaptasi. Menurut teori the cultural ecology sebagaimana yang digagas oleh Julian Steward, pada intinya kebudayaan berkembang di dalam lingkungan-lingkungan lokal. Kebudayaan inti (a cultural core) memiliki kaitan paling erat terhadap aktivitas-aktivitas subsisten dan penyusunan ekonomi (Iskandar, 2009: 47). Sementara itu menurut teori para penganut environmental determinism menyatakan bahwa faktor lingkungan bukan saja menentukan karakteristik kebudayaan tetapi juga berperan dalam pembentukan kebudayaan. Jadi, ditegaskan bahwa seluruh aspek-aspek kebudayaan manusia dan tingkah lakunya disebabkan secara langsung oleh pengaruh lingkungan (Rambo, 1983 dalam Iskandar, 2009). Model environmental determinism tidak selalu bisa diterima. Sedikit berbeda dengan itu, para penganut environmental possibillism berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan hanya membatasi kebudayaan tetapi tidak menentukan kebudayaan (Ellen, 1982; Milton, 1966 dalam Iskandar, 2009).

Indramayu pada masa Kerajaan Sunda merupakan kota pelabuhan dagang. Eksistensi Indramayu sebagai kota pelabuhan sangat bergantung pada kondisi ekologi. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat. Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai. Namun demikian, seringkali sungai membawa material aluvial yang dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi sehingga mendangkalkan pelabuhan. Apabila hal ibi terjadi, pelabuhan tidak dapat dijadikan sebagai tempat kapal berlabuh (Tjandrasasmita, 2009: 141). Sedimentasi adalah hasil proses erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, genangan banjir, saluran air, sungai, waduk, dan muara (Asdak, 2007: 391). Pada umumnya daerah genangan banjir yang mengalami sedimentasi merupakan daerah yang subur untuk pertanian.

Kawasan Indramayu mendapat pengaruh besar Ci Manuk. Sebagian kebutuhan air disuplai dari Ci Manuk. Pengkajian terhadap sedimentasi yang terjadi di sekitar Ci Manuk, khususnya daerah delta, sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli misalnya dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten-ind). Ci Manuk merupakan gabungan dari anak-anak sungai yang lebih kecil, yaitu Ci Lutung, Ci Pelas dan Ci Keruh. Hulu Ci Lutung berada di Kabupaten Kuningan, berasal dari kaki Gunungapi Ciremai. Hulu Ci Pelas berada di Kabupaten Sumedang, tepatnya di kaki Gunungapi Tampomas. Hulu Ci Keruh berada di sekitar Kabupaten Garut. Ketiga anak sungai Ci Manuk tersebut mengalir pada daerah-daerah endapan volkanik muda berumur Kuarter. Debit air Ci Manuk mencapai 1200 m3/detik di kala musim hujan, yaitu pada bulan Oktober hingga Maret. Pada musim kering debit sungai ini hanya mencapai 5 m3/detik. Dengan debit sungai yang sedemikian besar, di kala musim hujan, mengakibatkan alur sungai yang ada tidak mampu menampung jumlah air sungai, air akan meluap keluar menggenangi lingkungan sekitar. Dalam situasi tersebut kecepatan aliran air luapan (banjir) Ci Manuk akan mengalami penurunan karena terhambat oleh berbagai pematang-pematang, arus dan gelombang laut.

Kadar lumpur air Ci Manuk tergolong tinggi yaitu rata-rata 2.850 mg/liter, sementara kadar maksimum adalah 8.840 mg/liter, karena memiliki kadar lumpur yang cukup tinggi maka pertumbuhan daratan baru (akrasi) di kawasan muara berlangsung dengan kecepatan kurang lebih 200 meter/tahun. Dua faktor penting yang mempengaruhi dinamika alur Ci Manuk yaitu perubahan yang drastis debit sungai dan kandungan lumpur yang cukup tinggi. Ci Lutung sebagai salah satu anak sungai Ci Manuk juga mempunyai arti penting, sungai ini juga memiliki kadar lumpur lebih dari 2.850 mg/liter. Dari kandungan lumpur yang demikian tinggi tersebut ditambah dengan kandungan lumpur Ci Manuk dapat mencapai 27 juta ton/tahun. Akibatnya kawasan muara Ci Manuk akan mengalami proses pendangkalan (akrasi) yang sangat luas dan cepat. Material sedimen terangkut aliran Ci Manuk memiliki beragam ukuran butir, gosong pasir terkadang terbentuk pada tengahtengah alur sungai (mid stream bar) yang terdiri dari pasir ukuran sedang. Pembentukan gosong pasir tersebut dapat menghambat dan menyumbat aliran alur-alur sungai mengakibatkan proses pengendapan tidak seimbang antara satu alur dengan alur-alur lainnya (http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten-ind).

Tingginya sedimentasi yang terjadi di sekitar aliran Ci Manuk mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan. Pada masa Kerajaan Sunda, muara Ci Manuk sangat ideal untuk pelabuhan. Daerah itu kemudian mengalami pendangkalan hingga menyebabkan tidak dapat memenuhi fungsi sebagai pelabuhan. Di kanan-kiri aliran sungai juga terjadi sedimentasi sehingga menyediakan lahan bagi aktivitas bercocok tanam. Berlandaskan pada teori the cultural ecology dan fakta di lapangan terlihat bahwa perubahan lingkungan di Indramayu menyebabkan masyarakat menyesuaikan diri mengubah subsisten dari budaya perdagangan menjadi budaya pertanian sawah. Hal ini juga terjadi karena adanya proses perubahan secara difusi yang bersumber pada peristiwa ekspansi Mataram ke Batavia pada 1628 hingga 1630.



SIMPULAN

Dikaji melalui pendekatan arkeologi, sejarah, dan cerita sejarah/legenda, Indramayu hingga sekitar abad ke-16 merupakan kota pelabuhan dagang. Masyarakatnya pun bercirikan masyarakat yang berbudaya pedagang. Memasuki abad ke-17 terjadi perubahan kebudayaan pada masyarakat menjadi masyarakat petani sawah. Kompleks aktivitas serta tindakan berpola masyarakat yang berlangsung hingga sekarang menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Indramayu adalah masyarakat petani. Perubahan ini terjadi karena proses difusi yang disebabkan oleh adanya penetrasi budaya luar yang dibawa oleh laskar Mataram yang akan menyerang Batavia. Secara politis pada masa itu Indramayu berada di bawah kendali Mataram. Selain itu perubahan yang terjadi juga didukung adanya perubahan lingkungan. Ci Manuk yang semula dapat menjalankan peran sebagai urat nadi lalu lintas barang dan jasa, karena terjadi sedimentasi pada akhirnya tidak lagi berfungsi sebagai prasarana transportasi. Bila dilihat dari aspek pertanian, sedimentasi di sepanjang bantaran sungai berdampak positif bagi pengembangan persawahan. Dengan demikian proses perubahan budaya di Indramayu selain terjadi karena faktor pengaruh budaya luar juga karena perubahan lingkungan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, Paramita R. (Ed.). 1982. Cerbon. Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, Sinar Harapan.

Asdak, Chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.

Dasuki. 1977. Sejarah Indramayu. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu.

Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan -  KITLV.

Graaf, H.J. de. 2002. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta Grafitipers.

Graaf, H.J. de; Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafitipers.

Iskandar, Johan. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Padjadjaran.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Michrob, Halwany. 1992. Temuan Perahu KunoTradisi Jawa Barat di Kabupaten Indramayu. Serang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat, DKI Jaya, dan Lampung.

Proses Pertumbuhan Delta Baru Sungai Cimanuk Hingga Tahun 2002, Di Pantai Timur Kabupaten Indramayu (http://www.mgi.esdm.go.id/content/proses-pertumbuhan-delta-baru-sungai-cimanuk-hingga-tahun-2002-di-pantai-timur-kabupaten-ind, diakses 20 September 2013).

Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker. 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.

Stockdale, John Joseph. 1995. Island of Java. Singapore: Periplus Editions Ltd.

Saptono, Nanang. 1994. Permukiman di Indramayu. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Bandung, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Saptono, Nanang. 1995. Perkembangan Pemukiman di Indramayu. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi Tahun XV Edisi Khusus 1995: 47 – 59.

Saptono, Nanang dan Lia Nuralia. 2012. Pengelolaan Wisata Ziarah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Laporan Penelitian Arkeologi Publik. Balai Arkeologi Bandung, Badan Pengembangan Sumber Daya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Hardiati, Endang Sri (Ed.). 2009. Jaman Kuno, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Tim Penelitian. 2011. Persebaran Tinggalan Arkeologis di Indramayu. Laporan Pengumpulan Databased Arkeologi. Pusat Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tjandrasasmita, Uka (Ed.). 2009. Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.




Label: