Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

17 Maret, 2009

Nganjang ka Sumedang (1)


PENELITIAN TENTANG PERKOTAAN KUNA

DI DESA DAYEUH LUHUR, SUMEDANG


Oerip Bramantyo Boedi


Sari

Desa Dayeuh terletak di bagian puncak Gunung Rengganis. Secara administratif masuk dalam Kecamatan Ganeas, Kabupaten sumedang. Pada masa lampau, Dayeuh Luhur pernah menjadi ibu kota Kerajaan Sumedang Larang pada waktu Prabu Geusan Ulun berkuasa. Kerajaan Sumedang Larang merupakan kerajaan yang berdiri pada masa klasik atau Hindu-Buda hingga masa Islam. Dua hal yang menarik untuk dipecahkan dalam penelitian kali ini ialah alasan pemilihan lokasi sebagai ibu kota. Hal lain adalah unsur-unsur kota dan tata letak dari unsur-unsur kota tersebut.


Abstract

Dayeuh Luhur Village is located at top of Rengganis Mountain. Administratively, it is a part of Ganeas district, Sumedang regency. Dayeuh Luhur was used to be city of Sumedang Larang Kingdom along Prabu Geusan Ulun reign. The kingdom is established during classical or Hindu-Buddha period until Islamic Period. There are two interesting cases that found in this research, the location of a village as capital city and the element of city and setting of the element.

Kata Kunci : lokasi, unsur kota, tata kota kuna, Dayeuh Luhur.



Pendahuluan

Latar Belakang
Kerajaan Sumedang Larang merupakan salah satu kerajaan yang pernah berdiri di daerah Jawa bagian barat atau di Tatar Sunda. Sejarah kerajaan tersebut diawali pada waktu didirikan pada masa klasik sebagai kerajaan bawahan Kerajaan Sunda-Pajajaran, kemudian menjadi kerajaan yang bercorak Islami serta menjadi negara merdeka sebelum akhirnya menjadi kabupaten dari Mataram Islam di Yogyakarta.

Di samping mengalami dua periode dalam kerangka kesejarahan Indonesia dan status yang mengalami pasang surut, kerajaan tersebut juga mengalami perpindahan pusat pemerintahan. Diawali dengan Leuwi Hideung sebagai pusat kerajaan yang pertama pada masa klasik, kemudian diikuti perpindahan ke Ciguling. Memasuki masa Islam, ibu kota dipindah ke Kutamaya, kemudian dipindah ke Dayeuh Luhur, dan terakhir di Tegal Kalong.


Masalah
Kerajaan Sumedang Larang mengalami beberapa kali perpindahan ibu kota. Perpindahan dengan diawali proses pemilihan lokasi untuk pembangunan kota serta bentuk dari kota menjadi kajian dalam tulisan ini. Salah satu yang menarik untuk diteliti adalah ibu kota Kerajaan Sumedang Larang pada masa Islam, yaitu Dayeuh Luhur yang menggantikan peran Kutamaya sebagai ibu kota. Pemilihan lokasi Dayeuh Luhur yang sekilas tidak strategis, yaitu di bagian puncak gunung yang di kiri-kanannya merupakan daerah yang terjal, menarik untuk dikaji. Hal tersebut tentu disebabkan alasan tertentu.

Hal lain yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana tata letak dari unsur-unsur pembentuk kota atau tata kotanya. Sebagaimana lazimnya, kota-kota yang tumbuh dan berkembang pada masa Islam biasanya terdapat tempat tinggal penguasa (misalnya keraton untuk raja dan kabupaten untuk penguasa daerah setingkat bupati), alun-alun, masjid, pasar, dan tentu pemukiman. Unsur apa saja yang terdapat di Dayeuh Luhur dan bagaimana penataannya ?


Tujuan dan Metode Penelitian
Kajian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang latar belakang dan alasan pemilihan dipilihnya Dayeuh Luhur sebagai lokasi ibu kota Kerajaan Sumedang Larang pada masa Islam. Di samping itu, bertujuan memperoleh gambaran tata kota dari Dayeuh Luhur.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian diawali dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, pengamatan langsung ke lapangan, dan wawancara dengan narasumber terpilih. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah sumber tradisional dan modern yang pernah ditulis oleh orang lain; pengamatan langsung ke lapangan untuk menjaring data arkeologis dan toponimi terutama yang berhubungan dengan unsur-unsur pembentuk kota; sebagai pelengkap dilakukan wawancara dengan narasumber terpilih, biasanya kuncen dan sesepuh desa. Setelah data terkumpul akan dianalisis dan disintesiskan untuk selanjutnya ditarik kesimpulan atau generalisasi.


Sumber Kajian

Sejarah Kerajaan Sumedang Larang
Penelusuran para ahli sejarah, seperti Nina H. Lubis (2000) dan Dedi Supardi Arifin et al. (1994/1995), mengenai sejarah Sumedang dalam zaman sejarah diawali adanya Kerajaan Tembong Agung pada sekitar awal abad ke-16, masa klasik atau Hindu-Buddha sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung merupakan bawahan Kerajaan Pajajaran dengan Prabu Tajimalela sebagai raja yang pertama. Prabu Tajimalela merupakan anak Prabu Aji Putih, saudara Prabu Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi I. Pusat pemerintahan berada di Leuwi Hideung (sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Darmaraja). Prabu Tajimalela mempunyai dua orang putra, yaitu Prabu Lembu Agung atau Prabu Lembu Peteng Aji dan Prabu Gajah Agung.

Sepeninggal Prabu Tajimalela, Prabu Lembu Agung menggantikan kedudukannya untuk sementara waktu. Hal ini disebabkan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Pemerintahan kemudian dipegang oleh Prabu Gajah Agung. Oleh Prabu Gajah Agung pusat pemerintahan dipindah ke Ciguling (sekarang masuk Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan).

Prabu Gajah Agung selanjutnya digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Guling. Kemudian Sunan Guling digantikan putranya Sunan Tuakan yang setelah meninggal dimakamkan di Heubeul Isuk, Desa Cinanggerang, Kecamatan Sumedang Selatan.

Sunan Tuakan kemudian diganti oleh putrinya, Nyi Mas Ratu Istri Patuakan, yang mempunyai suami bernama Sunan Corendra. Setelah wafat Nyi Mas Ratu Istri Patuakan digantikan oleh putrinya Nyi Mas Ratu Inten Dewata yang setelah menjadi ratu bergelar Ratu Pucuk Umun. Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri.

Perkawinan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri yang beragama Islam menandai adanya era baru bagi Kerajaan Sumedang Larang. Mulai saat itu agama Islam mulai masuk dan berkembang di Kerajaan Sumedang Larang. Pusat pemerintahan terletak di Kutamaya. Pengganti Ratu Pucuk Umun adalah putranya yang bernama Pangeran Kusumahdinata atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Geusan Ulun.

Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Saka atau 8 Mei 1579 M, Kerajaan Pajajaran runtuh akibat serangan pasukan dari Kesultanan Banten. Runtuhnya Kerajaan Pajajaran mengakibatkan terjadinya perpecahan wilayah sehingga muncullah kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka dan berdaulat. Dalam suasana kehancuran tersebut, Prabu Geusan Ulun memproklamasikan bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Pajajaran dan seluruh bekas wilayah Kerajaan Pajajaran adalah daerah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang. Wilayah Kerajaan Sumedang Larang meliputi daerah yang di sebelah timur dibatasi oleh Sungai Cipamali, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cisadane, dan di sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa. Akan tetapi, tidak semua wilayah yang diklaim sebagai wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah kekuasaannya. Daerah-daerah seperti Dayeuh Pakuan Pajajaran menjadi wilayah Kesultanan Banten, Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka, dan Galuh menjadi bagian Mataram Islam pada tahun 1595.

Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun terjadi konflik dengan Cirebon disebabkan dibawa larinya Ratu Haris Baya, istri Pangeran Girilaya. Konflik tersebut didamaikan dengan syarat diserahkannya wilayah Sindangkasih atau Majalengka kepada Cirebon. Selain itu, terjadi pemindahan pusat pemerintahan dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pada tahun 1610, Prabu Geusan Ulun meninggal dan digantikan oleh putranya Raden Suriadiwangsa yang kemudian bergelar Pangeran Kusumahdinata. Pusat pemerintahan dipindah ke Tegal Kalong. Sementara itu, putra Prabu Geusan Ulun yang lainnya, Pangeran Rangga Gede memerintah sebagian wilayah Kerajaan Sumedang berpusat di Canukur. Tampaknya terdapat dualisme kepemimpinan akibat dari diserahkannya kedudukan raja kepada dua orang putranya.

Pada tahun 1620, Kerajaan Sumedang Larang menjadi daerah bawahan Kesultanan Mataram Islam di daerah Yogyakarta (pada waktu Sultan Agung berkuasa). Selanjutnya, Pangeran Kusumahdinata mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol dan diangkat menjadi Bupati Wedana untuk seluruh Pasundan. Dengan demikian riwayat Kerajaan Sumedang Larang sebagai kerajaan berakhir dan statusnya hanya sebagai kabupaten dari Mataram Islam.

Desa Dayeuh Luhur dan Tinggalan Arkeologis
Secara administratif Desa Dayeuh Luhur masuk dalam Kecamatan Ganeas, Kabupaten Sumedang, terletak pada koordinat 107058’50” Bujur Timur dan 6053’42” Lintang Selatan. Seperti arti dari namanya, dayeuh dalam bahasa Sunda yang berarti kota dan luhur yang berarti atas, Desa Dayeuh Luhur terletak di daerah yang tinggi, yaitu di bagian puncak Gunung Rengganis. Desa tersebut dikitari lereng bukit yang cukup terjal.

Lokasi ini merupakan ibu kota Kerajaan Sumedang Larang ketika Prabu Geusan Ulun memegang pemerintahan. Di lokasi ini terdapat kompleks makam Prabu Geusan Ulun, tanah lapang, sejumlah bata fragmentaris dan utuh, masjid yang sudah sering direnovasi, pemukiman, dan mata air yang secara turun- temurun sudah dipakai sebagai sumber kebutuhan air bagi warga.


Kompleks Makam Prabu Geusan Ulun
Kompleks makam terletak di sebelah utara areal parkir/terminal Desa Dayeuh Luhur. Kompleks makam lebih rendah dibandingkan dengan areal parkir/terminal. Kompleks makam berupa areal yang berbentuk bukit kecil dengan pintu gapura berbentuk paduraksa. Kompleks terdiri dari tiga bagian besar.
  1. Bagian pertama merupakan kompleks makam umum dan juga para juru kunci kompleks makam.
  2. Bagian kedua dengan tanah yang lebih tinggi dari, di sebelah utara bagian yang pertama berisi makam Ratu Haris Baya dan beberapa makam lainnya. Makam dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu gapura paduraksa pada sisi timur. Makam Ratu Haris Baya telah mengalami renovasi. Sekarang makam berupa jirat dan nisan. Jirat berbentuk segi empat berukuran 160 x 160 cm dan bahan dari keramik. Nisan berbahan semen berbentuk kuncup bunga dengan hiasan floral, pipih dan berjumlah dua. Makam berorientasi utara – selatan.
  3. Bagian ketiga terletak pada bagian paling belakang dan teratas dari kompleks makam tersebut. Makam dibatasi oleh tembok keliling dengan pintu gapura paduraksa pada sisi selatan. Kompleks makam berisi makam Prabu Geusan Ulun, makam Rangga Gede, dan beberapa makam lainnya yang tidak dikenal. Makam Prabu Geusan Ulun telah mengalami dua kali renovasi. Sekarang makam tersebut ditandai dengan adanya jirat tiga tingkat dari keramik, berdenah segi empat, berukuran 300 x 200 cm dan berorienrasi utara – selatan. Nisan ganda dari bahan semen setebal 10 cm dengan bentuk segi empat pada bagian badan dan segi tiga pada bagian atasnya dengan variasi lengkung pada bagian bahu dan puncaknya.

Tanah Lapang
Menurut keterangan juru kunci, Aceng Hermawan, areal parkir/terminal Desa Dayeuh Luhur sebelumnya merupakan tanah lapang. Areal berdenah empat persegi panjang berukuran sekitar 50 x 25 m. Sekarang seluruh permukaan areal telah dilapisi dengan aspal dan di bagian selatan area terdapat kios-kios pedagang, toilet, dan pos retribusi.

Masjid
Masjid terletak di sebelah selatan areal parkir/terminal. Masjid telah mengalami beberapa kali renovasi. Berdasar keterangan, di lokasi tersebut sejak dahulu merupakan tempat berdirinya masjid.

Mata Air
Kurang lebih 100 m di sebelah selatan pemukiman penduduk terdapat mata air yang secara turun-temurun digunakan oleh penduduk sebagai sumber air untuk segala keperluan.

Temuan Lepas
Di sebelah timur areal parkir/terminal pernah ditemukan beberapa bata fragmentaris dan utuh pada kedalaman sekitar 50 cm. Bata-bata tersebut disimpan di kompleks makam Prabu Geusan Ulun. Salah satu bata yang utuh mempunyai ukuran 25 x 20 x 8 cm.



Pembahasan

Pemilihan Lokasi
Perpindahan ibu kota pusat pemerintahan merupakan hal yang sering terjadi dalam perjalanan sejarah di Indonesia, sejak masa klasik, masa Islam bahkan hingga masa awal-awal terbentuknya Republik Indonesia. Pemindahan tersebut disebabkan oleh berbagai hal, misalnya karena alasan politik, ekonomi, keamanan, dan bencana alam (Sumadio, 1992: 355). Demikian pula halnya dengan pemindahan pusat pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur oleh Prabu Geusan Ulun. Berdasarkan catatan sejarah, pemindahan tersebut kemungkinan besar didasari alasan keamanan. Hal tersebut terlihat adanya konflik dan diikuti peperangan antara pihak Sumedang Larang dan Cirebon. Konflik tersebut diawali dibawa larinya Ratu Haris Baya, salah satu istri Sultan Cirebon Pangeran Girilaya oleh Prabu Geusan Ulun. Akibat peristiwa tersebut, Sumedang Larang mengalami serangan oleh Cirebon. Penyerangan tersebut tidak menyebabkan kekalahan dan keruntuhan Kerajaan Sumedang Larang. Konflik akhirnya bisa diredakan dan tercapai perdamaian dengan syarat Prabu Geusan Ulun menyerahkan Sindangkasih atau Majalengka ke Cirebon. Konflik diikuti peperangan dan kemungkinan masih adanya penyerangan lagi, besar kemungkinan menyebabkan pemindahan pusat pemerintahan oleh Prabu Geusan Ulun dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Pemilihan lokasi yang susah dijangkau kemungkinan besar menjadi pilihan utama dalam proses tersebut.

Selain faktor keamanan akibat adanya konflik, kemungkinan besar pemilihan tersebut juga dilandasi oleh aspek lain yang bersifat magis religius. Kemungkinan tersebut dilandasi adanya tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat hingga sekarang berupa adanya tujuh sumur, yaitu Ciasihan/Ciginasihan, Cikajayan, Cikahuripan, Cikawedukan, ciderma, Ciseger/Menceger, dan Cipaingan; yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut. Ketujuh sumur tersebut dikaitkan dengan legenda raja pertama Kerajaan Sumedang Larang, Prabu Tajimalela, yang mencari tempat yang cocok untuk menguji kesaktiannya. Setelah mencari beberapa tempat untuk menguji namun gagal, akhirnya di Dayeuh Luhur Prabu Tajimalela menemukan tempat yang sesuai.

Unsur dan Tata Kota
Dayeuh Luhur merupakan ibu kota kedua Kerajaan Sumedang Larang pada masa Islam setelah Kutamaya. Pada masa masuk dan berkembang Islam di Indonesia terdapat suatu fenomena, yaitu tumbuh dan berkembangnya kota-kota dengan unsur-unsur pembentuk kota yang ditata menjadi suatu pola yang berlaku secara umum. Unsur yang biasanya ada dalam kota adalah adanya tempat tinggal penguasa (keraton untuk kota pusat kerajaan dan kabupaten untuk kota pusat pemerinthan kabupaten), alun-alun, masjid sebagai tempat ibadah masyarakat yang mayoritas beragama Islam, pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian, dan pemukiman. Unsur tersebut ditata dengan keraton terletak di sebelah selatan alun-alun, masjid terletak di sebelah barat alun-alun, pasar terletak di sebelah utara alun-alun, dan pemukiman tersebar di lahan lainnya. Pola tersebut tidak selamanya berlaku, namun kadang-kadang menyesuaikan dengan kondisi geografis lokasi kota (Tjandrasasmita, 1992: 218–222).

Data arkeologis di Desa Dayeuh Luhur selain kompleks makam Prabu Geusan Ulun adalah adanya temuan sejumlah bata di sebelah timur lokasi lapang parkir atau terminal desa. Sementara itu data dari penelusuran toponimi yang diperoleh di lapangan adalah adanya keterangan bahwa lapang parkir dahulunya merupakan tanah lapang. Keterangan lain adalah adanya masjid desa yang letaknya tidak pernah dipindahkan. Unsur lain yang tidak ada adalah pusat kegiatan perekomomian, yaitu pasar. Apabila sedikit keterangan tersebut dijadikan upaya mencari pola tata kota Dayeuh Luhur, kemungkinan besar pola yang pernah berlaku adalah sebagai berikut.

Unsur-unsur kota Dayeuh Luhur meliputi alun-alun, masjid, pemukiman, dan keraton. Alun-alun didasari keterangan bahwa lapang parkir sebelumnya merupakan tanah lapang. Masjid didasari keterangan belum pernah dipindahnya lokasi masjid serta adanya kebiasaan untuk melanjutkan fungsi masjid secara berkelanjutan. Pemukiman didasari adanya kelanjutan fungsi sebagai pemukiman, artinya tidak pernah ditinggalkan oleh penghuni meskipun fungsi sebagai ibu kota telah hilang. Keraton didasari adanya temuan sejumlah bata yang mengindikasikan adanya bangunan yang lebih kokoh dan mewah dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang membangun rumah dengan bahan yang tidak permanen, misalnya bambu dan kayu.

Unsur-unsur tersebut diatur mengikuti pola umum yang berlaku pada masa Islam, yaitu alun-alun sebagai pusat, keraton sebagai tempat tinggal raja menghadap ke barat terletak di sebelah timur alun-alun, dan masjid terletak di sebelah selatan alun-alun. Sementara itu, pemukiman terdapat di sebelah selatan alun-alun dan keraton.


Penutup
Desa Dayeuh Luhur sebagai bekas ibu kota Kerajaan Sumedang Larang yang terletak di bagian puncak Gunung Rengganis secara alamiah memberi perlindungan dari kemungkinan gangguan keamanan. Hal tersebutlah yang kemungkinan besar alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai ibu kota pada waktu situasi politik dan keamanan dipandang tidak kondusif oleh Prabu Geusan Ulun. Berdasarkan hasil penelitian, unsur-unsur pembentuk kota relatif sedikit berupa alun-alun, keraton, masjid, dan pemukiman. Unsur-unsur tersebut ditata mengikuti pola tata kota masa Islam.

Kesimpulan tersebut bersifat sementara. Hal tersebut disebabkan data pustaka dan data arkeologis yang diperoleh dalam penelitian relatif sedikit, terutama data arkeologis. Sedikitnya data arkeologis yang terjaring disebabkan pada penelitian kali ini baru pada tahap awal berupa pengamatan di lapangan yang belum diikuti dengan ekskavasi. Adanya temuan beberapa bata oleh penduduk mengindikasikan kemungkinan adanya data lain yang masih terpendam dalam tanah yang perlu untuk diteliti lebih lanjut. Di samping itu, keterangan berupa toponimi sebagai salah satu pelengkap upaya mengungkap gambaran kehidupan masa lampau tergolong sedikit. Berdasarkan data yang relatif sedikit sangatlah sukar untuk menarik kesimpulan tentang unsur dan tata kota Dayeuh Luhur sebagai salah satu ibu kota Kerajaan Sumedang Larang secara tuntas. Dengan demikian, simpulan dalam kesempatan ini baru bersifat sementara.



Daftar Pustaka

Arifin, Dedi Supardi et al.
1994/1995 “Sejarah Kebupatian Sumedang”. Dalam Laporan Penelitian. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Hlm. 1–44.

Lubis, Nina H.
2000 “Sumedang”. Dalam Nina H. Lubis, et al. Sejarah Kota-kota di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint. Hlm. 71–90.

Sumadio, Bambang ed.
1992 “Jaman Kuna”. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Tjandrasasmita, Uka ed.
1992 “Jaman Pertumbuhan dan Perkembnagan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.


Catatan:
Tulisan ini dimuat di buku berjudul "Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan", hlm. 103 - 110. Editor Edi Sedyawati. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2006.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda