Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

04 Februari, 2009

Melongok jejak karuhun di pantura


SITUS TAMANAN DI INDRAMAYU:

Gambaran Singkat Permasalahan dan Kemungkinan Penanganannya


Nanang Saptono



Sari

Akhir-akhir ini arkeologi mulai dikenal dan menjadi perhatian masyarakat. Keberadaan komplek percandian bata di kawasan Batujaya dan Cibuaya merupakan salah satu sarana pembelajaran sehingga masyarakat mengetahui akan objek purbakala dan arti pentingnya. Pada awal tahun 2007 yang lalu, seorang pengasuh pondok pesantren di daerah Karawang melaporkan “temuannya” ke Puslitbang Arkenas. Disebutkannya bahwa di Blok Tamanan, Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat terdapat bata kuna mirip dengan yang ada di Batujaya. Selain itu diungkapkan pula bahwa masyarakat setempat sering mendapatkan pecahanan keramik dan manik.

Penelitian awal yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung di situs Tamanan mendapatkan data arkeologis berupa bata kuna dan pecahan keramik asing. Bata kuna dari situs tersebut sudah dikumpulkan penduduk dan dimanfaatkan untuk pagar halaman. Pengamatan di lokasi situs menunjukkan bahwa situs tersebut terancam oleh abrasi. Jejak bata terlihat pada tebing pantai dengan ketebalan sedimentasi antara 1 hingga 1,5 meter. Masyarakat setempat menghubungkan keberadaan bangunan tersebut dengan tokoh Dampu Awang.


Permasalahan menyangkut situs Tamanan dapat dilihat dari dua aspek yaitu menyangkut latar budaya dan kondisi situs sebagai sumberdaya arkeologi. Dalam kaitannya dengan latar budaya perlu diungkap mengenai apa fungsi bangunan yang dahulu pernah ada dan pada masa kapan bangunan itu berdiri. Dalam kaitannya dengan kondisi situs perlu dilakukan upaya untuk menyelamatkan data baik dari ancaman abrasi dan tindakan masyarakat. Salah satu cara penyelamatan tersebut dapat dilakukan melalui ekskavasi penyelamatan.





Abstract

Recently archaeology becomes public interest. The brick temple in Batujaya and Cibuaya area is one of media studies for public to know about archaeological remains. In early 2007 one of teacher from Islamic boarding school in Karawang informs his discovered to Puslitbang Arkenas. He said if in Blok Tamanan, Dadap village, district Juntinyuat found the ancient brick like in Batujaya. He said too if public at there often find fragmentary ceramic and beads.

Preliminary research by Balai Arkeologi Bandung in Tamanan site founded archaeological object such as ancient brick and fragmentary foreign ceramic. Ancient brick from this site are assembled by public in this area and used for fence courtyard. Observation in this site shown if that site threatened by abration. The brick looks at beach about 1 to 1,5 meters. The public relatetd this building with Dampu Awang.


The problem of Tamanan site can looked from two aspect, about cultural background and site conditions is archaeological resource. In related with cultural background need to reveal of function of this building and when to construct. In related with site conditions need to do some effort to rescue data from abration threat and interference by people. One method to rescue can to do with rescue excavation.



PENDAHULUAN
Kawasan pantai utara Jawa Barat banyak berperan dalam percaturan sejarah kuna Indonesia khususnya pada masa Kerajaan Sunda hingga masa Kesultanan Banten dan Cirebon. Menurut Joao de Barros, Kerajaan Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983: 83). Selain Barros, Tomé Pires juga memberitakan bahwa Çumda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano (Cortesao, 1967: 166). Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sedangkan Pires menyebutnya dari barat ke timur. Antara Barros dan Pires pun ada perbedaan dalam penyebutan lokasi. Calapa yang disebut Pires tidak disebut oleh Barros, sedangkan Xacatra atau Caravam yang disebutkan Barros tidak disebutkan oleh Pires.

Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cortesao, 1967: 170-173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada. Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain. Barang-barang dagangan berupa beras, buah-buahan, lada, dan bahan makanan. Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangan sebagaimana pelabuhan yang lain. Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain. Chemano merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin dengan Chemano hingga seluruh Jawa.


Dalam perkembangannya hingga sekarang, pelabuhan-pelabuhan tersebut ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut bahkan sudah tidak dapat dikenali lagi secara pasti. Menurut John Joseph Stockdale dalam bukunya Island of Java, keadaan di Jawa Barat pada tahun 1775 – 1778, hanya ada tiga pelabuhan yaitu Banten, Batavia, dan Cheribon. Keadaan ini sangat berbeda dengan pemberitaan Tomé Pires.


Chiamo atau Chemano dapat diidentifikasi sebagai Cimanuk yang merupakan nama lama untuk Indramayu. Graaf dan Pigeaud (1974) menyebut bahwa kota Indramayu atau Dermayu dahulu merupakan kota pelabuhan Kerajaan Sunda Galuh. Perubahan nama Cimanuk menjadi Indramayu menurut tradisi masyarakat Indramayu terjadi ketika Arya Wiralodra berkuasa di Cimanuk.


Sebagai salah satu kota pelabuhan dagang di pantai utara Jawa Barat, Indramayu banyak dikunjungi pedagang baik dari kawasan regional maupun internasional. Beberapa penelitian arkeologi yang pernah dilakukan di Indramayu telah menemukan artefak indikator adanya perdagangan dengan pihak luar berupa pecahan-pecahan keramik asing. Sebaran pecahan keramik tidak hanya ditemukan di sekitar muara Cimanuk tetapi juga ditemukan di pinggir pantai sekitar Indramayu. Salah satu lokasi sebaran pecahan keramik tersebut adalah di Blok Tamanan, Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat. Selain sebaran keramik di situs itu juga terdapat bata besar-besar yang tertata. Selain itu masyarakat juga banyak menemukan pecahan keramik dan manik-manik.


KONDISI WILAYAH
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang berada di bagian timur pesisir Laut Jawa. Kabupaten ini beribukota di Kecamatan Indramayu. Wilayah Kabupaten Indramayu berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat, berada pada koordinat 107o51’ – 108o36’ Bujur Timur dan 6o15’ – 6o40’ Lintang Selatan. Sebagai kawasan pantai, ketinggian kawasan Indramayu berkisar antara 0 hingga 100 m di atas permukaan laut. Panjang pantai utara Kabupaten Indramayu adalah 114 km terbentang dari Kecamatan Sukra hingga Krangkeng. Luas Kabupaten Indramayu adalah 2.000,99 km² terdiri dari 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan.

Penduduk Indramayu pada tahun 2003 berjumlah 1.749.000 dengan kepadatan 874 jiwa/km². Penduduk yang berada di wilayah pesisir, pada kehidupan sehari-hari pada umumnya menggunakan Bahasa Indramayu mirip dialek Cirebon yang disebut dialek Dermayon. Sedangkan di bagian selatan, menggunakan Bahasa Sunda.


Situs Tamanan secara administratif termasuk di wilayah Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat. Lokasi ini dapat ditempuh dari Indramayu ke arah Cirebon berjarak sekitar 20 km hingga sampai kota Kecamatan Juntinyuat. Dari Juntinyuat selanjutnya melalui jalan desa beraspal menuju Desa Dadap berjarak sekitar 6 km hingga sampai Blok Tutupan, selanjutnya melewati jalan kampung menuju Blok Tamanan sejauh sekitar 1 km. Kondisi lingkungan merupakan kawasan pantai. Di daerah ini banyak terdapat tambak garam. Sekitar lokasi situs merupakan sawah dengan sistem pengairan sederhana.


Lokasi Situs Tamanan di pantai timur Indramayu


SEJARAH DAN LEGENDA JUNTINYUAT

Sejarah awal mula Juntinyuat secara pasti belum diketahui. Cerita yang berkembang di masyarakat mengenai awal mula Juntinyuat cenderung bersifat legenda yang bercampur dengan cerita sejarah (Dasuki, 1977: 339 – 340). Diceritakan bahwa Prabu Siliwangi sebagai raja Kerajaan Pajajaran mempunyai putra Raden Kuncung Walangsungsang, Nyi Larasantang, dan Raja Sengara. Ketiga putra Prabu Siliwangi ini pada suatu saat mengadakan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Nyi Larasantang kemudian diperistri Raja Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayat dan Syarif Ngaripin.

Syarif Hidayat bermaksud menuntut ilmu ke Mekah tetapi tidak terwujud. Syarif Hidayat kemudian pergi ke Tiongkok. Di sana ia berlaku sebagai dukun yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Raja Tiongkok yang bernama Titongki kemudian menguji kesaktian Syarif Hidayat dengan jalan disuruh menebak bayi yang dikandung isterinya, apakah laki-laki atau perempuan. Padahal isteri Raja Titongki tersebut sebenarnya tidak hamil. Syarif Hidayat mengatakan bahwa isteri Raja Titongki mengandung anak perempuan. Raja Titongki marah karena tahu bahwa Syarif Hidayat salah. Syarif Hidayat kemudian akan ditangkap tetapi berhasil melarikan diri dan menuju laut. Setelah itu kemudian isteri Raja Titongki yang sebelumnya pura-pura hamil jadi benar-benar hamil dan melahirkan anak perempuan. Anak tersebut diberi nama Santi.


Ketika anak itu menginjak dewasa menanyakan kepada Raja Titongki siapa sebenarnya ayahnya. Raja Titongki mengaku sebagai ayahnya. Santi sebenarnya sudah tahu bahwa ia bukan anak Raja Titongki. Ia kemudian melarikan diri menuju laut. Raja Titongki merasa kehilangan anak, maka diutuslah beberapa punggawa di bawah pimpinan Dampu Awang mencarinya ke laut. Di laut Santi bertemu dengan Syarif Hidayat. Mereka berdua kemudian mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu Nabi (Islam).


Perjalanan Syarif Hidayat hingga di Gunung Jati dan bertemu dengan Syech Datu Kahpi. Syarif Hidayat mendapat banyak ilmu tentang Islam dari Syech Datu Kahpi. Ketika Syarif Hidayat menuntut ilmu kepada Syech Datu Kahpi, Santi membuat tempat peristirahatan di padang Junti. Kebetulan di sebelah selatannya ada orang berkebun, lokasi itu kemudian diberi nama Juntikebon. Di sebelah barat terdapat kedokan air yang kemudian diperbaiki dan diperpanjang. Lokasi itu kemudian diberi nama Juntikedokan. Di tepi laut dilihatnya ada pohon yang daunnya menyolok (nyongat) ke laut maka tempat itu dinamakan Juntinyuat.


Pada kisah lain diceritakan dalam Babad Cirebon, Dampu Awang berkunjung ke rumah Ki Gedeng Junti (Dasuki, 1977: 7 – 9). Di situ ia bertemu puteri Ki Gedeng Junti dan kemudian bermaksud untuk mempersuntingnya. Ki Gedeng Junti mempersilahkan tetapi mengajukan syarat agar Dampu Awang sanggup membongkar benteng pekarangan Ki Gedeng Junti yang tersusun dari pohon bambu duri selebar 1,5 m dalam waktu semalam.


Dampu Awang yang kaya menyanggupinya. Ia kemudian menyebarkan berita bahwa akan mengadakan “tawur mas picis raja-brana”. Penduduk desa Junti mendengar berita itu lalu berbondong-bondong menuju alun-alun di depan rumah Ki Gedeng Junti. Begitu malam tiba, Dampu Awang mulai menabur emas pada rumpun bambu yang memagari pekarangan Ki Gedeng Junti. Rakyat mulai berebut mendapatkan emas dengan cara membongkar benteng bambu. Satu demi satu rumpun bambu itu jebol, sementara Dampu Awang terus menaburkan emas.


Usaha Dampu Awang berhasil, akhirnya benteng pekarangan Ki Gedeng Junti jebol. Di mata Ki Gedeng Junti, perlakuan Dampu Awang tersebut curang. Ia dan puterinya melarikan diri menuju Gunung Sembung. Di sana mereka menemui Syech Bentong untuk mohon perlindungan dari kecurangan Dampu Awang. Ki Gedeng Junti berjanji akan menyerahkan puterinya agar diperisteri Syech Bentong. Pengejaran Dampu Awang sampai di Gunung Sembung. Di situ bertemu Syech Bentong yang kemudian terjadi perang mulut hingga perang fisik yang akhirnya dimenangkan Syech Bentong. Akhirnya Syech Bentong memperisteri puteri Ki Gedeng Junti.


Legenda tentang bertambah lebarnya laut di Desa Dadap juga berkaitan dengan Dampu Awang dan puteri dari Junti (Dasuki, 1977: 358 – 359). Diceritakan bahwa Dampu Awang yang berasal dari daerah timur berguru dan tinggal di Cirebon. Dampu Awang ingin punya isteri. Ia mendengar bahwa di daerah Junti ada wanita cantik. Dia pun ke Junti membawa barang-barang perhiasan dengan menggunakan tiga pedati. Karena berangkatnya terlambat, satu pedati ditinggal di keraton. Dua pedati lainnya berangkat ke Junti. Karena terlalu kesiangan, perjalanan pedati hanya sampai di Desa Krangkeng. Dampu Awang melanjutkan perjalanan ke Junti sendirian. Sampai di Junti keinginan Dampu Awang ditolak.


Dampu Awang pulang kembali sambil mencari janda Nyi Ratu Benda. Di Benda, Dampu Awang mendapatkan wanita yang mau diperisteri tetapi dengan syarat minta dibuatkan keraton dalam waktu semalam. Dampu Awang menyanggupi karena dia bisa minta bantuan makhluk halus untuk membuat keraton tersebut. Ketika pembuatan keraton baru selesai bagian pintu gerbang, malam sudah berakhir. Makhluk halus yang membantunya lari meninggalkan Dampu Awang. Emas dan perhiasan sudah terlanjur dipakai dan ditabur di Desa Dadap.


Dampu Awang mengetahui kalau dia diperdaya wanita dari Desa Benda. Dampu Awang mencari dan mengejar ke mana wanita itu pergi. Wanita dari Desa Benda tadi karena terdesak masuk ke laut. Dampu Awang hanya bisa mengutuk kalau di daerah Benda ada wanita yang tidak mau menikah maka akan jadi perawan tua, dan bila ada pria yang tidak mau menikah akan jadi perjaka tua. Dampu Awang kemudian kembali ke Cirebon. Pedati yang tertinggal di Desa Krangkeng ditinggalkannya dan sampai sekarang masih ada. Di Desa Dadap masyarakat percaya bahwa abrasi yang terjadi karena laut mau mengejar wanita ke Desa Benda. Di Desa Benda sampai sekarang masih ada sisa pintu gerbang.


GAMBARAN UMUM SITUS TAMANAN
Situs Tamanan secara administratif termasuk di wilayah Desa Dadap. Desa ini merupakan desa lama yang hingga sekarang mengalami perkembangan. Salah satu bangunan di Desa Dadap yang tergolong tua adalah bendungan atau pintu air yang dibuat pada masa kolonial Belanda. Bangunan ini berada di Blok Tutupan yang dahulu merupakan lokasi pusat pemerintahan desa sehingga sekarang ini masih disebut dengan Dadap Lama. Nama Tutupan diambil dari keberadaan pintu air di blok tersebut yang maksudnya menutup sungai.

Kondisi bangunan hingga sekarang masih terawat bagus dan juga masih berfungsi. Bangunan pintu air tersebut melintang pada sungai kecil dengan ukuran panjang bangunan keseluruhan sekitar 12 m. Lebar sungai yang ditutup sekitar 8 m. Saluran pelimpahan air dibuat dua bagian masing-masing lebarnya 2 m. Di antara dua saluran pelimpahan tersebut terdapat semacam pilar yang lebarnya 1,5 m. Tinggi bangunan dari permukaan sungai ketika dilakukan pengamatan sekitar 4 m. Tebal bangunan sekitar 60 cm. Konstruksi bangunan dari bahan bata berplester. Pada bagian pintu air terdapat konstruksi dari bahan baja.


Jejak tinggalan yang lebih tua lagi berada di Blok Tamanan yaitu di sebelah utara Blok Tutupan. Di situs Tamanan menurut penuturan masyarakat setempat, dahulu terdapat tembok bata. Ketika sisa bangunan itu masih tampak jelas, masyarakat tidak berani ke lokasi itu karena dianggap keramat. Menurut kepercayaan masyarakat sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Didi Sukaedi (anggota Satpol Desa) dan beberapa aparat desa lainnya, dahulu di lokasi itu merupakan taman dilengkapi semacam danau buatan milik Kesultanan Cirebon yang dibangun oleh Dampu Awang.


Lokasi situs yang terancam abrasi

Lokasi situs berada pada ujung perkampungan di tepi pantai. Menurut keterangan Bapak Lurah Wasim (anggota Satpol Desa) lokasi ini sekarang berada di pinggir pantai karena terkena abrasi. Dahulu garis pantai berada sekitar 1 mil dari sekarang. Dua desa yaitu Desa Jaringan dan Desa Pulobi habis terkena abrasi dan masyarakatnya terpaksa pindah. Bapak Camhuri, penduduk Blok Tutupan mengatakan bahwa pada sekitar bulan Juli atau Agustus 2007 abrasi telah sampai di Blok Tamanan. Akibat dari abrasi tersebut banyak bata yang muncul. Masyarakat banyak yang tidak berani memanfaatkan bata kuna itu karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.



Pecahan bata dan artefak lainnya yang terlihat ketika air laut surut

Sejak lokasi itu terkena abrasi dan banyak bata yang muncul, Bapak Camhuri mengumpulkannya. Bata-bata tersebut sekarang dimanfaatkan untuk membuat pagar tembok bagian depan halaman rumah. Beberapa bata yang teramati ada yang salah satu sisinya melengkung membentuk tonjolan lingkaran. Bata utuh yang berhasil didapatkan Bapak Camhuri berukuran 30 x 18 x 6 cm. Beberapa bata ada juga yang dikumpulkan di bagian selatan halaman.





Bata kuna yang dimanfaatkan untuk pagar pekarangan


Lingkungan situs Tamanan merupakan lahan sawah yang sebagian berupa lahan kering (kebun) dan padang rumput. Jenis batuan berupa endapan aluvial berwarna kehitaman. Bibir pantai yang berada di situs ini secara umum berorientasi tenggara - barat laut. Jejak struktur bata terlihat pada tebing pantai. Jejak struktur yang teramati yaitu sepanjang sekitar 12 m dengan ketebalan 5 – 6 cm. Jejak struktur bata ini berada di bawah permukaan tanah dengan ketebalan sedimen yang menutupinya sekitar 50 – 60 cm. Jejak struktur bata juga dijumpai pada dinding sumur yang digali oleh masyarakat. Sumur tersebut berada pada lahan kebun sebelah selatan bibir pantai pada jarak sekitar 20 m. Bata dijumpai pada kedalaman sekitar 1,5 m dari permukaan tanah sekitar. Pengamatan pada pinggir laut ketika air mengalami surut terlihat beberapa pecahan bata. Selain itu juga terlihat fragmen keramik asing dan tembikar.

Fragmen keramik asing yang ditemukan merupakan keramik biru putih dengan hiasan bermotif flora. Sampel yang diambil sebanyak 10 keping terdiri dari 8 keping bagian dasar dan 2 keping bagian tepian. Secara tipologis, fragmen keramik tersebut berasal dari bentuk mangkuk sebanyak 9 keping dan 1 keping dari bentuk piring. Mengenai asal keramik, 5 keping berasal dari Cina, 3 keping dari Thailand (sekitar abad ke-13 – 18 M), dan 2 keping dari Eropa (sekitar abad ke-19 – 20 M). Keramik Cina sebanyak 5 keping dapat diidentifikasi 3 keping diproduksi pada masa Dinasti Ming (abad ke-14 – 17 M) dan 2 keping pada masa Dinasti Qing (abad ke-17 – 20 M).


Beberapa pecahan keramik asing yang ditemukan di situs Tamanan

Fragmen tembikar yang diperoleh sebanyak 3 keping yang merupakan bagian tepian (2 keping) dan dasar (1 keping). Secara tipologis fragmen tembikar tersebut merupakan bagian dari bentuk tempayang, mangkuk (wadah terbuka), dan kendi. Pecahan tembikar ini menunjukkan hasil teknologi tinggi dengan menggunakan roda putar cepat. Tingkat pembakaran belum terlalu tinggi karena masih didapatkan bagian berwarna hitam. Bahan tembikar berupa tanah liat dengan temper pasir kuarsa. Pecahan bata yang ditemukan sebanyak 1 bagian yang pada salah satu sisinya melengkung.


KEMUNGKINAN PENANGANAN SITUS
Situs Tamanan pada saat sekarang berada di bibir pantai dalam kondisi sangat rawan karena terkena abrasi. Menurut keterangan masyarakat daerah tersebut dahulu berada jauh dari pantai. Legenda yang menjadi ingatan kolektif masyarakat menghubungkan situs Tamanan dengan Kesultanan Cirebon dalam kaitannya dengan Dampu Awang menunjukkan bahwa abrasi yang terjadi sudah berlangsung sejak lama. Akibat abrasi ini, dua desa yang berada di sebelah utara situs telah lenyap menjadi laut dangkal. Seberapa banyak objek arkeologis yang telah terkena abrasi sulit diperkirakan. Data unsur bangunan bata berada di bawah permukaan tanah, oleh karena itu besaran situs secara pasti belum diketahui.

Mengingat situs Tamanan merupakan salah satu situs penting bagi pengungkapan sejarah budaya daerah Juntinyuat khususnya serta Indramayu dan Jawa Barat pada umunya maka perlu upaya penanganan. Kondisi situs saat ini sangat rawan dari ancaman abrasi. Untuk menanggulangi abrasi sangat tidak dimungkinkan. Oleh karena itu langkah yang perlu ditempuh adalah penyelamatan data melalui penelitian dalam bentuk ekskavasi penyelamatan.



Daftar Pustaka
Abdurachman, Paramita R (ed.). 1982. Cerbon. Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia, Penerbit Sinar Harapan

Adhyatman, Sumarah.
1990. Antique Ceramics found in Indonesia. Jakarta: Ceramic Society of Indonesia.

Anonim
. 1995. Profil Potensi Kabupaten DT. II Indramayu. Bagian Hubungan Masyarakat Setwilda Tingkat II Indramayu.

Cortesao, Armando
. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.

Dasuki
. 1977. Sejarah Indramayu. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu.

Djajadiningrat, Hoesein
. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan, KITLV.

Graaf, H.J. de dan Pigeaud, Th. G. Th.
1974. De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde.


Catatan: Makalah ini disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI. The Sunan Hotel, Solo, 13 - 16 Juni 2008. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Label:

4 Komentar:

Anonymous wong junti mengatakan...

sangat bagus. Coba kalau lebih awal lagi mengadakan penelitian. Pasti sejarah tersebut dapat diketahui dengan jelas.

25 Agustus 2009 pukul 11.12

 
Blogger Arkeologi Sunda mengatakan...

Terimakasih atas perhatiannya. Memang agak terlambat sehingga terancam abrasi. Masih lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.

27 Agustus 2009 pukul 08.00

 
Anonymous Anonim mengatakan...

Bagus...Bagus... Coba di teliti lebih dalam lagi supaya sejarah ini bisa terungkap dengan jelas.

4 Januari 2011 pukul 23.07

 
Blogger Arkeologi Sunda mengatakan...

Begitulah maunya, tapi bagaimana lagi, ketika kami ke sana tahun lalu situs Tamanan sudah hilang ditelan abrasi.

7 Januari 2011 pukul 07.18

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda