Yang membaca sungguh-sungguh, janganlah hanya dilihat. Dengarkan lalu resapkan petuah lalu ikuti (Sewaka Darma) Bila ingin tahu tentang telaga, bertanyalah kepada angsa. Bila ingin tahu tentang hutan, bertanyalah kepada gajah. Bila ingin tahu tentang laut, bertanyalah kepada ikan. Bila ingin tahu tentang bunga, bertanyalah kepada kumbang (Sanghyang Siksakanda ng Karesian). Bila ingin tahu tentang kehebatan KARUHUN kunjungi terus www.arkeologisunda.blogspot.com

24 Juli, 2008

Hindu Buddha di tatar Sunda

REKONTEMPLASI ARKEOLOGI KLASIK JAWA BARAT




Candi Bojongmenje di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung


Oleh: Nanang Saptono


AWAL PEMIKIRAN

Pembabakan sejarah kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan ilmu purbakala (arkeologi) dikenal dengan masa prasejarah, klasik, dan Islam. Masa prasejarah dimaksudkan masa pada waktu itu kebudayaan masyarakat di Indonesia belum mengenal tulisan. Masa klasik untuk menunjuk suatu masa ketika masyarakat Indonesia mendapat pengaruh budaya Hindu-Buda. Sedangkan masa Islam menunjuk masa di mana secara dominan kebudayaan di Indonesia dipengaruhi Islam. Pembabakan seperti ini apabila dikaitkan dengan pengembangan arkeologi (sebagai ilmu) akan sangat menghambat karena sarat dengan keterbatasan (Magetsari, 1990: 4). Oleh karena keterbatasan pula, pembabakan arkeologi di Indonesia masih menerapkannya sebatas sebagai alat.

Masa klasik di Jawa Barat, berkaitan dengan kebudayaan masa pengaruh Hindu-Buda. Pusat-pusat peradaban berkembang pada komunitas-komunitas yang sudah mantap yang biasanya ditandai dengan adanya kekuatan politik. Di Jawa Barat kekuatan politik yang eksis pada masa klasik ditandai dengan adanya kerajaan Tárumanágara dan Sunda. Dua kerajaan ini meninggalkan beberapa prasasti yang dapat dijadikan data paling valid bagi arkeologi dan sejarah. Beberapa tinggalan lain baik bersifat monumental maupun benda bergerak dalam telaah arkeologi biasanya dikaitkan dengan keberadaan kerajaan.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang berkaitan dengan kerajaan di Jawa Barat periode klasik Jawa Barat terbagi dua. Jaman Tárumanágara dan jaman Kerajaan Sunda. Secara sederhana periode yang sejaman dengan Tárumanágara disebut periode klasik tua Jawa Barat dan periode yang sejaman dengan Kerajaan Sunda disebut periode klasik muda Jawa Barat. Ada beberapa data arkeologi klasik yang pernah ditemukan tidak satu periode dengan kedua kerajaan itu. Meskipun secara pasti belum dapat ditentukan karena tidak memuat bukti tulisan, namun berdasarkan gayanya dapat diperkirakan. Penemuan candi di Kampung Bojongmenje pada tahun 2002 merupakan salah satu dari tinggalan yang sulit untuk dihubungkan dengan kedua kerajaan tersebut. Berdasarkan kasus penemuan inilah perlu dilakukan rekontemplasi terhadap arkeologi klasik di Jawa Barat.


SEJARAH KLASIK JAWA BARAT

a. Periode Klasik Tua

Periode klasik tua Jawa Barat dimaksudkan sebagai periode budaya yang sejaman dengan Kerajaan Tárumanágara. Kerajaan Tárumanágara meninggalkan beberapa prasasti yang juga diperkuat dengan beberapa berita asing yang menyebutkan tentang keberadaan Tárumanágara. Namun demikian data yang ada tersebut belum dapat dipakai untuk mengungkap sejarah kerajaan tersebut secara menyeluruh.

Prasasti-prasasti yang berkaitan dengan kerajaan Tárumanágara yang pernah ditemukan yaitu prasasti Ciaruteun, Pasir Koleangkak, Kebonkopi I, Tugu, Pasir Awi dan Muara Cianten, serta prasasti Cidanghiang (Sumadio, 1990: 39-42). Prasasti Ciaruteun dikenal juga dengan nama prasasti Ciampea ditemukan di Ciampea, Bogor, pada pinggir sungai Ciaruteun. Prasasti ini terdiri empat baris dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh, menyebutkan nama Purnawarman raja negeri Táruma. Selain itu terdapat lukisan labah-labah dan tapak kaki yang dipahatkan di atas hurufnya.

Prasasti Pasir Koleangkak ditemukan di Bukit (Pasir) Koleangkak, Bogor. Di dalamnya disebutkan nama raja Sri Purnawarman yang memerintah di Táruma. Prasasti Kebonkopi terletak di kampung Muara Hilir, Cibungbulang, ditulis dalam bentuk puisi anustubh. Pada prasasti ini terdapat pahatan dua tapak kaki gajah yang dipersamakan dengan tapak Airawata.

Prasasti Tugu ditemukan di Tugu, Jakarta merupakan prasasti terpanjang dari masa Purnawarman. Tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara melingkar, berbentuk puisi anustubh. Di dalamnya menyebutkan adanya dua buah sungai yaitu Candrabhaga dan Gomati. Selain itu juga disebutkan adanya upacara selamatan yang dilakukan oleh Brahmana.

Prasasti Pasir Awi dan Muara Cianten ditulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Pada prasasti ini juga terdapat gambar tapak kaki. Prasasti Cidanghiang ditemukan di kampung Lebak, Kecamatan Munjul, Pandeglang pada pinggir sungai Cidanghiang berisi dua baris berhuruf Pallawa yang juga berbentuk puisi anustubh. Isi prasasti memuliakan nama raja Purnawarman.

Berita asing yang menyebut kerajaan Táruma berasal dari Cina. Berita dari masa dinasti Soui mengatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang utusan dari To-lo-mo. Tahun 666 dan 669 pada masa dinasti T’ang Muda juga datang utusan dari To-lo-mo (Sumadio, 1990: 43-44).

Dalam sejarah lama dinasti Sung disebutkan bahwa Ho-lo-tan di She-po pernah mengirim utusan ke Negeri Cina pada tahun 430, 433, 434, 436, 437, dan terakhir 452. Menurut O.W. Wolters sebutan She-po adalah Jawa sedangkan Ho-lo-tan berada di Jawa Barat (Wolters, 1967: 160-161). Sebutan Ho-lo-tan sangat bersesuaian bunyi dengan Aruteun. Berdasarkan kesesuaian bunyi tersebut Slamet Mulyana menyimpulkan bahwa Ho-lo-tan adalah kerajaan Aruteun yang berpusat di muara Ci Aruteun. Dengan melihat catatan Cina kerajaan ini mulai mundur pada tahun 452 dan selanjutnya ditaklukkan Táruma (Mulyana, 1980: 7-15). Menurut Satyawati Suleiman berdasarkan teori L. Ch. Damais yang menyatakan bahwa Ho adalah Wa maka Ho-lo-tan mungkin berasal dari Waratan. Ci sama dengan Cai, dan Ca di Jawa Barat kadang-kadang menjadi Wa misalnya caringin menjadi waringin. Cai adalah Wai kata untuk air atau sungai maka Ho-lo-tan mungkin wairatan sekarang menjadi ciaruteun (Suleiman, 1980: 378-379). Berdasarkan prasasti dan berita Cina dapat disimpulkan bahwa pada jaman klasik tua di Jawa Barat terdapat kerajaan Táruma yang pernah menaklukkan kerajaan Aruteun (Ho-lo-tan). Mengenai kondisi sejarah klasik tua Jawa Barat memang cenderung masih debatable.

Berdasarkan data yang ada diduga kerajaan Tárumanágara berlangsung dari abad V hingga akhir abad VII M. Runtuhnya Tárumanágara diperkirakan karena serangan Sriwijaya. Pada prasasti Kotakapur (686 M) dan Palaspasemah disebutkan bahwa Sriwijaya akan menyerang Bhũmijawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Banyak pendapat mengenai sebutan Bhũmijawa. P.V. van Stein Callenfels berpendapat bahwa kata jawa berarti luar negeri. Boechari berpendapat yang dimaksud bhũmijawa dalam prasasti Kotakapur adalah nama daerah di Lampung Selatan. Sedangkan G. Coedès dan Satyawati Suleiman berpendapat bahwa yang dimaksud bhũmijawa adalah kerajaan Táruma, yang sejak tahun 666 – 669 M sudah tidak lagi mengirimkan utusan ke Cina. Ekspansi kekuasaan Sriwijaya di Jawa juga diperkuat dengan adanya prasasti Juru Pangambat di Jawa Barat dan prasasti Gondosuli di daerah Kedu, Jawa Tengah (Sumadio, 1990: 58).


b. Periode Klasik Muda

Runtuhnya Tárumanágara kemudian digantikan oleh Kerajaan Sunda. Berita Portugis dari Tomé Pires menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat bernama regño de çumda telah mengadakan hubungan dagang dengan Portugis (Cortesão, 1967: 412-416). Berita Cina dari dinasti Ming menye­but-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt, 1960: 44). Prasasti Kebon Kopi (854 Ś atau 932 M) atau juga disebut prasasti Juru Pangambat, Bogor menyebut adanya ba(r) pulihkan haji sunda (Sumadio, 1990: 356).

Prasasti lebih muda yang menyebut Kerajaan Sunda yaitu prasasti Sanghyang Tapak berangka tahun 952 Ś atau 1030 M. Dalam prasasti ini disebut tokoh yang bernama Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurtti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswara­nindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Daerah kekuasaannya disebut Prahajyan Sunda. Sri Jayabhupati, dalam naskah Carita Parahyangan dapat disejajarkan dengan Sang Rakeyan Darmasiksa (Sumadio, 1990: 360-364).

Prasasti Kawali I sampai VI yang ditemukan di situs Astana Gede, Kawali diantaranya menyebut pemerintahan Prabu Raja Wastu yang kerajaannya beribukota di Kawali. Prasasti Kawali I – VI beraksara dan berbahasa Sunda Kuna. Prasasti-prasasti itu tidak mencantumkan angka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk paleografi dan bahasanya dapat diperkirakan berasal dari abad XIV (Nastiti, 1996: 26). Nama Prabu Raja Wastu juga terdapat pada prasasti lainnya yaitu prasasti Batutulis (Purbacaraka, 1921) dan pra­sasti Kebantenan (Buchari, 1985: 104). Pada kedua prasasti itu disebut Rahyang Niskala Wastu Kañcana.

Dari prasasti Kebantenan dapat diperoleh mengenai raja-raja pengganti Niskala Wastu Kañcana. Sepeninggal Wastu Kañcana digan­tikan oleh Rahyang Ningrat Kañcana, dan kemudian digantikan Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis disebutkan bahwa Maharaja penguasa Pakwan Pajajaran adalah cucu Niskala Wastu Kañcana, putra Rahyang Dewaniskala. Prasasti ini juga memuat tempat moksa (surup) Niskala Wastu Kañcana yaitu di Nusalarang, dan Rahyang Dewaniskala di Gunungtiga (Ayatrohaédi, 1986: 26).

Sepeninggal Wastu Kañcana, pemerintahan di Kerajaan Sunda digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana. Pada masa pemerintahannya ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (Yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran (Sumadio, 1990: 368-369). Menurut berita Portugis dari Tomé Pires, pada masa ini sudah mulai ada penetrasi dari masyarakat Islam (Cortesão, 1944: 1973). Sejak itulah Kerajaan Sunda mulai memasuki masa kemundurannya.


BEBERAPA TINGGALAN ARKEOLOGI

Tinggalan arkeologi masa klasik cenderung berupa arca atau bangunan candi. Bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Jawa Barat merupakan kawasan yang sangat miskin candi. Satu-satunya candi yang telah dibina kembali adalah Candi Cangkuang di Garut. Penelitian yang pernah dilakukan di Jawa Barat telah menemukan beberapa candi. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pernah mengadakan penelitian di Candi Ronggeng Dusun Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Ciamis. Penelitian itu berhasil menampakkan struktur batu yang merupakan sisa bangunan candi. Selain itu juga ditemukan arca nandi dan yoni (Yondri dan Etty, 2000: 102).

Situs Batu Kalde di Semenanjung Pangandaran, Ciamis terdapat arca nandi dan batu-batu candi. Setelah dilakukan ekskavasi terlihat struktur yang terdiri antara satu hingga tiga lapis. Di bawah struktur terdapat batu karang yang dipadatkan. Bangunan terdiri dari dua yang salah satunya berdenah segi empat dengan ukuran 12 X 12 m. Bentuk bangunan diperkirakan hanya berupa selasar dengan bagian atap merupakan bangunan dari bahan yang mudah rusak (Ferdinandus, 1990: 292-296).

Di Daerah Karawang terdapat situs Batujaya. Penelitian selama ini telah menampakkan beberapa struktur bangunan candi dan kolam. Selain itu juga ditemukan arca kepala, hiasan bangunan yang terbuat dari stucco, dan votive tablet yang kesemuanya mencirikan agama Buda. Berdasarkan temuan yang ada diperkirakan situs Batujaya berasal dari dua tahap yaitu tahap pertama abad V-VII M (masa Tarumanagara) dan tahap kedua abad VII-X M (masa pengaruh Sriwijaya). Beberapa candi ini memiliki fungsi yang khas seperti candi induk, candi peribadatan, candi penghormatan, kolam, dan sebagainya (Djafar, 2001: 3-4).

Situs candi yang terakhir ditemukan adalah situs Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Situs ini ditemukan pada bulan Agustus 2002 dan selanjutnya pada bulan September 2002 dilakukan ekskavasi. Hasil ekskavasi menunjukkan candi terbuat dari batuan volkanik. Bagian yang tersisa adalah kaki candi. Profil kaki menunjukkan bingkai padma yang dipadu dengan bingkai persegi. Denah bangunan segi empat berukuran 6 X 6 m. Indikator tangga masuk ditemukan di sisi timur. Berdasarkan profil kaki tersebut diperkirakan Candi Bojongmenje berasal dari abad VII atau VIII (Djubiantono dan Saptono, 2002). Analisis C14 terhadap tanah yang mengandung karbon, menghasilkan penanggalan Candi Bojongmenje pada 1300 BP atau 650 AD.[1]

Kegiatan pasca ekskavasi di situs Bojongmenje menemukan beberapa data baru yang cukup signifikan. Pada waktu pendirian pagar pengaman telah ditemukan fragmen yoni dan bagian kemuncak. Selanjutnya ketika dilakukan persiapan pemugaran ditemukan batu bagian tubuh candi, antefik, fragmen arca nandi, dan kemuncak. Di sebelah timur (depan) candi ditemukan struktur bangunan lain yang terbuat dari bata. Berdasarkan temuan-temuan ini dapat disimpulkan bahwa struktur Candi Bojongmenje merupakan bangunan yang lengkap mulai dari kaki, tubuh, dan puncak. Dengan ditemukannya fragmen yoni dan fragmen arca nandi menunjukkan sifat Hinduistis.

Selain bangunan candi, di Jawa Barat banyak ditemukan situs yang bercorak seperti bangunan megalitik tetapi mengandung unsur klasik. Bangunan-bangunan seperti ini tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat terutama di dataran tinggi. Situs-situs dengan bangunan seperti ini dikenal dengan sebutan kabuyutan. Berdasarkan isi prasasti dan naskah kuna, kabuyutankabuyutan merupakan suatu ideologi yang diwariskan secara turun temurun melalui ketaatan terhadap pikukuh. Dalam hal ini kabuyutan dianggap sebagai pusat kekuatan batin (Saringendyanti, 1996: 30-31).


AKHIR PEMIKIRAN

Jawa Barat memang merupakan kawasan yang miskin candi bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama ini bangunan candi atau unsur bangunan candi telah ditemukan yaitu komplek percandian Batujaya di Karawang, Candi Cangkuang di Garut, situs Tenjolaya di Cicalengka, serta candi Ronggeng dan candi Pananjung di Ciamis. Penemuan candi di Kampung Bojongmenje menjadikan pemicu untuk menelaah perkembangan peradaban masa klasik di Jawa Barat.

Prasasti dan berita Cina menyebutkan bahwa pada abad V sudah ada institusi berupa kerajaan yang merupakan pusat peradaban. Di daerah Bogor sekarang setidaknya tercatat dua kerajaan yang pernah berdiri. Kerajaan Aruteun (Ho-lo-tan) kemudian ditaklukkan oleh Táruma (To-lo-mo). Kerajaan Táruma akhirnya mengalami masa kemunduran. Setelah masa ini Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan hingga muncul kembali pada tahun 932 M sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kebon Kopi.

Masa antara 686 hingga 932 walupun secara politis merupakan masa kekosongan, namun peradaban tetap berjalan. Beberapa candi yang diperkirakan berasal dari masa kekosongan itu menunjukkan bahwa peradaban tidak mengalami stagnasi. Apabila suatu institusi kekuatan politik dijadikan indikator sebagai pusat peradaban, maka masa antara 686 hingga 932 tidak berarti masa tanpa kekuatan politik. Mungkin kekuatan politik ketika itu berada di bawah kontrol kekuatan politik yang lebih besar.

Hipotesis yang menyatakan bahwa percandian Batujaya berasal dari dua tahap yaitu tahap pertama abad V-VII M (masa Tárumanágara) dan tahap kedua abad VII-X M (masa pengaruh Sriwijaya) perlu dilakukan penjelasan. Masa Tárumanágara telah banyak meninggalkan data sejarah berupa prasasti. Sesudah masa itu tidak ada lagi prasasti yang ditemukan. I’tsing pada tahun 692 menyebut salah satu negara di Laut Selatan yaitu Mo-ho-sin sesudah Shih-li-fo-shih dan Ho-ling. Shih-li-fo-shih merupakan transliterasi dari Sriwijaya sedangkan Ho-ling adalah Keling di lembah S. Brantas, Jawa Timur. Wolters berpendapat bahwa Mo-ho-sin terletak di Jawa Barat (Wolters, 1967: 241-245). Mo-ho-sin adalah bhagasin yang artinya berbahagia. Bhagasin oleh I’tsing ditransliterasikan menjadi Mo-ho-sin. Kata bhagasin sekarang menjadi Bekasi (Mulyana, 1980: 32-37). Dengan demikian percandian di Batujaya pada tahap kedua merupakan percandian dari masa Bhagasin yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Candi-candi di kawasan timur Jawa Barat (Ciamis) juga merupakan indikator pusat peradaban. Patut disayangkan candi-candi di kawasan ini belum dapat diperkirakan titimangsanya. Di kawasan ini menurut Carita Parahyangan berkaitan dengan tokoh Sañjaya. Tokoh ini juga tertulis pada prasasti Canggal (732 M). Di dalam prasasti tersebut, Sañjaya dikatakan telah menggantikan raja sebelumnya yang bernama Sanna. Antara Sañjaya dengan Sanna masih ada hubun­gan darah. Carita Parahyangan menghubungkan tokoh Sañjaya dengan pusat Kerajaan Galuh, karena di situ dikatakan bahwa Sena, berkuasa di Galuh. Sañjaya juga disebut sebagai menantu Raja Sunda yang bernama Tarusbawa. Karena perkawinan tersebut, Sañjaya dapat berkuasa atas Kerajaan Sunda. Sejak itu Kerajaan Sunda berpusat di Galuh (Sumadio, 1990: 357-358).

Dalam hubungannya dengan Candi Bojongmenje, kawasan ini menunjukkan sebagai pusat peradaban Hindu. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Neder­landsch-Indie (ROD) 1914 yang disusun oleh N.J. Krom belum memuat adanya objek purbakala di sekitar Rancaekek. Dalam laporan itu dimuat adanya runtuhan candi di Tenjolaya, Cicalengka. Unsur bangunan candi yang dilaporkan antara lain patung bergaya Polinesia, kala, patung Durga, dan beberapa balok-balok batu. Selain itu di daerah Cibodas pernah juga dilaporkan adanya temuan patung Çiva-Mahãdewa. Di Cibeeut ditemukan patung Ganeśa (Krom, 1915: 48-49). Pleyte pada tahun 1909 pernah melaporkan bahwa di Desa Citaman, 200 m sebelah utara Stasiun KA Nagreg, terdapat objek purbakala yang oleh masyarakat setempat disebut pamujan. Di situs ini pernah ditemukan patung Durga (Iskandar, 1997: 104).

Kawasan ini berhubungan dengan kendan yang sekarang menjadi nama desa. Menurut J. Noorduyn kendan merupakan “perusakan” dari kata kaindraan. Dalam Carita Parahyangan daerah Kendan ada kaitannya dengan kehadiran Wretikandayun. Tokoh ini adalah ayah Rahyang Mandiminyak atau kakek Sañjaya (Ayatrohaedi, 2002: 2-3). Meskipun secara pasti kaitan antara Bojongmenje dengan masa awal kerajaan Sunda belum dapat dipastikan, namun sedikit gambaran ini dapat dijadikan bahan renungan sementara. Dengan demikian beberapa tinggalan arkeologi dari masa klasik, khususnya bangunan candi, yang pada akhir-akhir ini ditemukan di Jawa Barat dapat dijadikan bahan pemikiran bahwa walaupun secara politis di Jawa Barat pernah mengalami masa kekosongan, namun perkembangan peradaban tetap berlangsung. Di Jawa Barat, antara masa Tárumanágara dan Kerajaan Sunda terdapat masa yang perlu pengkajian mendalam.


KEPUSTAKAAN

Ayatrohaédi.1986. Niskalawastukancana (1348-1475): Raja Sunda Terbesar ?” Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV Buku II a. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hal. 25 - 36.

Ayatrohaédi.2002. “Tatar Sunda Abad VII-VIII”. Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Situs Bojongmenje, Kabupaten Bandung. Bandung, 2-3 November 2002.

Buchari.1985. Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I. Jakar­ta: Museum Nasional.

Cortesão, Armando.1967. The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.

Djafar, Hasan.2001. “Percandian di Situs Batujaya, Karawang: Kajian Arsitektural, Kronologi dan Sistemnya”. Makalah pada Semiloka Potensi dan Prospek Situs Percandian Batujaya Karawang, Jawa Barat. Kampus Universitas Indonesia, Depok, 28 Februari 2001.

Djubiantono, Tony dan Nanang Saptono.2002. “Sumberdaya Budaya Situs Bojongmenje (Paparan Hasil Ekskavasi)”. Makalah pada Workshop Pelestarian dan Pengembangan Situs Bojongmenje, Kabupaten Bandung. Bandung, 2-3 November 2002.

Ferdinandus, Pieter E.J.1990. “Situs Batu Kalde di Pangandaran, Jawa Barat”. Dalam Edi Sedyawati, Ingrid H.E. Pojoh, dan Supratikno Rahardjo. Monumen Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hal. 285-301.

Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.

Iskandar, Yoseph. 1997 . Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: C.V. Geger Sunten.

Krom, N.J. 1915. Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst In Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bata­viasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Magetsari, Noerhadi. 1990. “Masalah Pembidangan Dalam Arkeologi”. Dalam Dalam Edi Sedyawati, Ingrid H.E. Pojoh, dan Supratikno Rahardjo. Monumen Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hal. 1-6.

Mulyana, Slamet. 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Jakarta: Yayasan Idayu.

Nastiti, Titi Surti. 1996. “Prasasti Kawali”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hal. 19-37.

Purbacaraka, R. Ng. 1921. “De Batoe Toelis nabij Buitenzorg”. Dalam T.B.G. LIII. Hal. 380 - 218.

Saringendyanti, Etty. 1996. “Penempatan Situs Upacara Masa Hindu-Buda: Tinjauan Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat”. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Sumadio, Bambang (ed.). 1990. “Jaman Kuna”, Sejarah Nasional Indo­nesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Suleiman, Satyawati. 1980. “Studi Ikonografi Masa Sailendra di Jawa dan Sumatra”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Peninggalan Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hal. 375-391.

Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce. Ithaca – New York: Cornell University Press.

Yondri, Lutfi dan Etty S. 1996. “Melacak Bentuk Bangunan Klasik di Bagian Selatan Jawa Barat (Studi Kasus Kec. Pamarican, Kalipucang, dan Pangandaran)”. Dalam Cakrawala Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.



[1] Berdasarkan keterangan lisan dari Dr. Tony Djubiantono yang mendapatkan hasil analisis dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.


Catatan: Tulisan ini dimuat di buku berjudul "Nuansa Arkeologi 2", hlm. 29 - 39. Penyunting: Dr. Endang Sri Hardiati. Penerbit: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 2003.

2 Komentar:

Blogger Dildaar Ahmad Dartono mengatakan...

salam kenal..sy kagum dengan pemerhati sejarah...salam hormat..

20 Januari 2011 pukul 03.51

 
Blogger Unknown mengatakan...

Utk Arkeologi Sunda selamat berjuang utk memperjelas Tatar Sunda yg sebenarnya....perlu dukungan yg komprehensif dr para steak holder!!

26 Juni 2019 pukul 18.00

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda